Anda di halaman 1dari 7

Keuntungan Sediaan ”Preferential COX-2 Inhibitor“ Dalam

Penanggulangan Nyeri Kanker

Aznan Lelo
D.S. Hidayat
Tri Widyawati

Fakultas Kedokteran
Bagian Farmakologi dan Terapeutik
Universitas Sumatera Utara

Abstrak
Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri akibat tumornya sendiri, segala
sesuatu yang berkaitan dengan tumor dan akibat pengobatan. Tempat tumbuhnya tumor
adalah juga tempat berlangsungnya inflamasi, yang ditandai dengan peninggian kadar
COX-2. Nyeri kanker selalu ditanggulangi dengan memberikan analgetik opiat dan non-
opiat dari golongan anti-inflammasi non-steroid (AINS) atau kombinasinya. Sediaan ini
bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase,
COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan
prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan. Prostaglandin tidak hanya
mampu menaikkan kepekaan nosiseptor, mediator ini juga diperlukan dalam hal keutuhan
mukosa saluran cerna, fisiologi organ tubuh lainnya.
Bila intensitas nyeri kanker makin meningkat (sedang sampai berat), peningkatan
dosis AINS tidak diikuti dengan peningkatan khasiat analgetiknya. Peningkatan dosis
dan frekwensi pemberian AINS secara linear akan meningkatkan kejadian efek samping.
Pertimbangan apa saja yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS sebagai
anti-nyeri kanker? Sebagai analgetik, AINS hendaklah mampu menghambat aktivitas
COX dengan hambatan COX-2 lebih besar daripada hambatan COX-1. AINS yang lebih
bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang
mengalami inflamasi. Selagi kejadian hypercoagulation selalu terjadi pada penderita
kanker, AINS yang digunakan tidak memperberat hypercoagulation yang ada, misalnya
peningkatan trombosis bila menggunakan AINS yang sangat selektif menghambat COX-
2. AINS yang terbukti berkhasiat antipyretic akan memberikan nilai tambah, mengingat
demam merupakan keluhan penyerta yang umum pada penderita kanker. Badan
Kesehatan Dunia WHO menganjurkan penggabungan analgetik opiate (misalnya kodein)
dan AINS terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Oleh
karena biotransformasi kodein menjadi morfin sangat bergantung dengan aktivitas
enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6), penggunaan AINS yang tidak membutuhkan
CYP2D6 merupakan sediaan pilihan.
Dari uraian diatas AINS yang tergolong ”preferential COX-2 inhibitor“
memberikan keuntungan yang nyata dalam penanggulangan nyeri kanker.

1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Nyeri sebagai pengalaman yang tak menyenangkan pada penderita kanker, maka
dalam penanggulangannya dicapai dengan merubah pengalaman penderita sendiri. Salah
satu pendekatan yang berterima adalah memberikan analgetik non-opiat. Namun
analgetik opiate morfin masih tetap sebagai baku emas dalam penanggulangan nyeri
kanker. Morfin harus digunakan dengan benar, termasuk pengaturan dosis morfin yang
diberikan (hendaknya dibawah kadar sedasi). Bila nyeri neuropatik dijumpai pada
penderita kanker dan tidak memberikan respon terhadap morfin, maka diperlukan
penambahan bahan tertentu (antidepresan, antikonvulsan, gabapentin dan sebagainya)
(Lickiss, 2001).
Penanggulangan nyeri yang sempurna merupakan suatu yang penting dalam
pengobatan penderita kanker. Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri akibat
tumornya sendiri, segala sesuatu yang berkaitan dengan tumor dan nyeri akibat
pengobatan. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik
opiat dan non-opiat terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai
berat. Opiate merupakan analgetik sentral menghambat transduksi syaraf di medulla
spinalis. Sedangkan analgetik non-opiat, terutama analgetik anti-inflamasi non-steroid
(AINS), merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam
pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Masing-
masing analgetik memberikan efek samping tertentu, dengan menggabungkan beberapa
jenis analgetik dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan
keamanan tiap analgetik dalam pengobatan nyeri kanker (Ladner dkk, 2000).
Kanker umumnya menyerang penderita lanjut usia (lansia). Namun penderita
lansia rentan untuk mengalami nyeri yang disebabkan oleh banyak kondisi klinis diluar
kanker seperti rematik dan lainnya. Kenyataan ini mengisyaratkan adanya kesukaran
dalam mengetahui analgetika mana yang sangat berhasil guna (Shirk, 1997).
Kerumitan dalam penanggulangan nyeri-kanker pada lansia makin bertambah dengan
makin meningkatnya penyakit kronis (seperti hipertensi, diabetes mellitus dan
sebagainya) sesuai dengan pertambahan usia, akan meningkatkan terapi polifarmasi dan
reaksi interaksi obat yang merugikan (Beyth dan Shorr, 1999).

Apa yang menjadi alasan penggunaan AINS pada penanggulangan nyeri kanker?
Karena secara definisi nyeri nosiseptif dimulai dari perangsangan nociceptor oleh
berbagai mediator, maka upaya menghambat perjalanan nyeri diperkirakan akan
bermanfaat dalam penanggulangan nyeri. Selagi prostaglandin merupakan mediator
utama dalam kejadian hiperalgesia, upaya mengurangi pembentukan mediator ini pada
area yang mengalami inflamasi akan menurunkan keparahan nyeri. Tempat tumbuhnya
tumor adalah juga tempat berlangsungnya inflamasi. Telah ditemukan bahwa kadar
COX-2 meninggi pada beberapa jenis jaringan kanker (Becerra dkk, 2003). Ventafridda
dkk (1990) membandingkan berbagai sediaan AINS (asetosal, paracetamol, diclofenak,
ibuprofen, indometasin, pirprofen, sulindac, naproxen dan suprofen) dalam
menanggulangi nyeri kanker. Meskipun seluruh AINS yang diuji menunjukkan khasiat
antinyeri yang bermakna, namun diclofenak, indometasin dan naproxen lebih efektif dan
aman. Kenyataan ini mengisyaratkan AINS dapat dijadikan sebagai obat pilihan pertama
dalam penanggulangan nyeri kanker.

2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Seperti dikemukakan sebelumnya AINS mengurangi pembentukan prostaglandin
dan beberapa AINS juga mempengaruhi sistem susunan saraf pusat, namun sediaan-
sediaan ini tidak mengativasi reseptor opiat. Dengan kata lain mekanisme kerja AINS
sebagai anti-nyeri kanker berbeda dari opiat. Selain itu, AINS tidak menimbulkan
toleransi dan ketergantungan, malahan memiliki nilai tambah sebagai antipiretik.
Kelemahan AINS sebagai analgetika tunggal adalah mengikuti efek mengatap (ceiling
effect), dengan demikian penggunaan dosis yang lebih besar dari yang dianjurkan
bukanlah cara yang dibenarkan. Bila intensitas nyeri kanker makin meningkat (sedang
sampai berat), peningkatan dosis AINS tidak diikuti dengan peningkatan khasiat
analgetiknya. Namun peningkatan dosis dan frekwensi pemberian AINS secara linear
akan meningkatkan kejadian efek samping (Eisenberg dkk, 1994), maka
penggabungannya dengan analgetik opiate sangat dianjurkan. Gabungan analgetik non-
opiat AINS dengan analgetik opiate (codein, morfin dan lainnya) akan meningkatkan
keberhasilan penanggulangan nyeri kanker.
Sebagai sediaan yang mampu menghambat aktivitas COX, saat ini AINS
merupakan sediaan yang paling luas digunakan untuk menanggulangi nyeri, arthritis,
penyakit kardiovaskuler dan, terakhir ini diindikasikan untuk mencegah kanker colon dan
penyakit Alzheimer. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa AINS yang selektif dan non-
selektif menghambat angiogenesis melalui efek langsung pada sel endothel (Jones dkk,
1999). Misteri bagaimana AINS mampu mengurangi risiko kanker kelihatannya berkaitan
dengan hambatan aktivitas COX pada proses angiogenesis. Angiogenesis, pembentukan
pembuluh darah kapiler baru, tidak hanya dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metastase
tumor, tetapi juga penyembuhan luka dan tukak, sebab tanpa aliran darah yang baik,
oksigen dan nutrisi tidak dapat dihantarkan ke tempat yang mengalami inflamasi. Bila
angiogenesis tidak dihambat, proses inflamasi terus berlanjut diikuti dengan perjalanan
nyeri kanker menjadi kronis dan lebih parah.

Pertimbangan apa saja yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS sebagai
anti-nyeri kanker?

1 Pastikan mampu menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2


Pannuti dkk (1999) mengkaji perbedaan khasiat analgetik dan toksisitas AINS
yang lebih selektiv menghambat COX-1 ketorolak dengan yang agak selektif
menghambat COX-2 diclofenak dalam menanggulangi nyeri kanker. Kedua sediaan
ternyata menunjukkan khasiat analgetik dan toksisitas yang sepadan, sebagaimana
ditunjukkan oleh area under the pain-intensity time curve (AUC0-8), efek
maksimum,atau masa kerja ke dua sediaan. Yang menarik adalah peningkatan gangguan
lambung setelah ketorolak diberikan pada mereka yang sebelumnya diterapi dengan
AINS lain. Medhurst dkk (2002) mengkaji modulasi nyeri akibat kanker tulang pada
hewan coba tikus. Setelah penyuntikan intra-tibia “syngeneic MRMT-1 mammary gland
carcinoma cells” tumor segera merebak dan merusak tulang tikus, sementara itu secara
perlahan muncul alodinia dan hiperalgesia mekanik. Pengobatan akut dengan analgetik
opiat morfin secara sub-kutan memberikan pengurangan nyeri sesuai dengan dosis yang
diberikan. Namun pengobatan akut dengan analgetik non-opiat AINS yang sangat selektif
menghambat COX-2 celecoxib yang juga diberikan secara sub-kutan tidak
mempengaruhi alodinia mekanik (Medhurst dkk, 2002). Dari temuan diatas, hambatan

3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
spesifik pada COX-2 tidak mampu meniadakan modulasi nyeri alodinia akibat kanker.
Kemampuan menghambat aktivitas COX-1 ternyata berbeda diantara AINS. Berdasarkan
laporan van Hecken dkk (2000) diketahui urut persentase hambatan aktivitas COX-1
pasca pemberian rofecoxib (1 x 12.5 mg, 7,98%), rofecoxib (1 x 25 mg, 6,65%),
meloxicam (1 x 15 mg, 53,3 %), diclofenac (3 x 50 mg, 49,5 %), ibuprofen (3 x 800 mg,
88,7%) dan naproxen (2 x 550 mg, 94,9 %).

2 Sifat keasaman OAINS


Sifat keasaman suatu AINS mutlak menjadi pertimbangan dalam pemilihannya
sebagai analgetik anti-inflamasi pada penderita kanker. Capone dkk (2003) menyatakan
bahwa sediaan AINS yang lebih bersifat asam akan memiliki nilai tambah dalam hal
penetrasinya ke jaringan yang mengalami inflamasi dengan sendirinya akan memperbaiki
manfaat klinis AINS bersangkutan. Sebagai contoh, ratio konsentrasi AINS bersifat asam
meloxicam di cairan sinovium : plasma lebih besar pada saat inflamasi akut (0,58)
dibandingkan bila tanpa ada inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).

3 Tidak memperberat hypercoagulation yang ada pada penderita kanker


Seperti telah diketahui bahwa keadaan hyprecoagulable dapat sebagai akibat
penyakit cancernya sendiri, yaitu inflammation, protein abnormal dan stasis serta terapi
anticancer, pembedahan, kemoterapi dan terapi hormone (Caine dkk, 2002).
Sediaan yang sangat selektif menghambat COX-1 (COX-1 inhibitor, seperti
asetosal) akan menghambat pembentukan tromboxan yang diikuti dengan tercegahnya
agregasi trombosit. Khasiat ini diindikasikan dalam penanggulangan penyakit jantung
koroner dan strok non-hemoragik. Sedangkan sediaan yang sangat selektif menghambat
COX-2 (COX-2 inhibitor, seperti celecoxib dan rofecoxib) akan menyebabkan
peningkatan aktivitas COX-1 diikuti dengan peningkatan pembentukan tromboxan dan
agregasi trombosit. Bersamaan dengan vasokonstriksi meningkat yang diikuti dengan
peningkatan kejadian trombosis, penyumbatan aliran darah, infark miokard dan strok
non-hemoragik. Crofford dkk (2000) menemukan beberapa kasus yang mengalami
trombosis setelah diterapi dengan celecoxib. Apa yang akan terjadi bila penderita kanker
dengan nyeri yang bersangatan diatasi dengan AINS penghambat selektif COX-2?
Becerra dkk (2003) menemukan bahwa rofecoxib menjadi tidak berkhasiat dan malah
toksisitasnya makin meningkat, sehingga uji klinik fase II pengobatan kanker colorectal
metastase dengan gabungan rofecoxib dan kemoterapi 5-fluorourasil harus dihentikan
ditengah jalan.

4 Sesuaikan pola keluhan gejala penyerta pada penderita kanker


Penderita kanker tidak selamanya hanya mengeluhkan nyeri. Demam merupakan
keluhan yang umum pada penderita kanker. Laporan dari kajian tentang khasiat
antipiretik pada penderita kanker sangat terbatas. Hasil penelitian Oborilova dkk (2002)
menunjukkan bahwa khasiat antipiretik metamizol (2500 mg or 1000 mg, IV infusion)
dan AINS diklofenak (75 mg, IV infusion) lebih nyata daripada propacetamol (prodrug
paracetamol, 2000 mg atau 1000 mg, IV injection atau IV infusion) pada 254 penderita
kanker darah.

4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5 Mampu meningkatkan khasiat anti-nyeri opiate
Penanggulangan nyeri yang sempurna merupakan suatu yang penting dalam
pengobatan penderita kanker. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan
kombinasi analgetik opiate dan non-opiat terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri
menengah sampai berat. Penggabungan beberapa jenis analgetik (opiate dan non-opiat)
dengan mekanisme kerja berbeda akan meningkatkan khasiat dan keamanannya dalam
pengobatan nyeri kanker (Ladner dkk, 2000). Salah satu gabungan yang dapat dilakukan
adalah kombinasi analgetik opiate lemah kodein dengan analgetika non-opiat AINS.
Beberapa pertimbangan perlu dikemukakan sebelum menggabungkan kodein
dengan AINS, diantaranya biotransformasi kodein menjadi morfin yang sangat
bergantung dengan aktivitas enzyme sitokrom P4502D6 (CYP2D6) yang secara
diturunkan berbeda antar individu (polimorfisme). Sekitar 7-10% ras Kaukasian
kekurangan CYP2D6, tapi sampai 29% bangsa Ethiopia memetabolisir dengan sangat
cepat. Dari kajian farmakologi diketahui ada beberapa obat-obatan yang dapat
mengurangi kerja CYP2D6 (Cascorbi, 2003). Polimorfisme CYP2D6 dapat
meningkatkan atau menurunkan laju eliminasi suatu obat. Populasi dengan fenotip
CYP2D6 lambat jarang dijumpai pada orang Asia (Thailand 1%) dibandingkan orang
Barat (Kaukasian 10%) (Kitada, 2003). Hasil kajian Ismail dkk (2000) menunjukkan
bahwa msyarakat Melayu dengan fenotip CYP2D6 lambat lebih banyak daripada
masyarakat turunan Cina.
Salah satu sediaan yang mampu menghambat kerja CYP2D6 adalah AINS
celecoxib. Werner dkk (2003) mendapati bahwa celecoxib menghambat metabolisme
beta-blocker metoprolol (substrat CYP2D6) yang ditandai dengan peningkatan area under
the plasma concentration-time curve metoprolol. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi
bila digabungkan celecoxib dengan kodein (substrat CYP2D6), yang pada gilirannya
akan tercegah biotransformasi kodein menjadi morfin. Berbeda halnya dengan diclofenak
yang merupakan substrat CYP2C9 (Damkier dkk, 1999), penggabungan kodein dengan
dikofenak akan meningkatkan khasiat analgetik (Breivik dkk, 1999).

Kesimpulan

AINS merupakan sediaan terpilih dalam penanggulangan nyeri kanker, karena di


tempat tumbuhnya tumor berlangsung proses inflamasi, yang ditandai dengan peninggian
kadar COX-2. AINS menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase,
COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan
prostaglandin sehingga kepekaan nosiseptor berkurang. Namun, bila intensitas nyeri
kanker makin meningkat (sedang sampai berat), peningkatan dosis AINS tidak diikuti
dengan peningkatan khasiat analgetiknya. Peningkatan dosis dan frekwensi pemberian
AINS secara linear akan meningkatkan kejadian efek samping.
Pertimbangan farmakologi yang harus diperhitungkan dalam pemilihan AINS
sebagai anti-nyeri kanker adalah pastikan AINS berkhasiat analgetik yang lebih
menghambat aktivitas COX-2 daripada hambatan COX-1. AINS yang lebih bersifat asam
akan memiliki nilai tambah dalam hal penetrasinya ke jaringan yang mengalami
inflamasi. Selagi kejadian hypercoagulation selalu terjadi pada penderita kanker, AINS
yang digunakan tidak memperberat hypercoagulation yang ada, misalnya peningkatan
trombosis bila menggunakan AINS yang sangat selektif menghambat COX-2. AINS yang

5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
terbukti berkhasiat antipyretic akan memberikan nilai tambah, mengingat demam
merupakan keluhan penyerta yang umum pada penderita kanker. Jika AINS akan
digabungkan dengan analgetik opiate kodein dan AINS yang digunakan tidak
membutuhkan CYP2D6 dalam biotransformasinya. Oleh karena biotransformasi kodein
menjadi morfin sangat bergantung dengan aktivitas CYP2D6.
Dari uraian diatas AINS yang tergolong ”preferential COX-2 inhibitor“
memberikan keuntungan yang nyata dalam penanggulangan nyeri kanker.

Rujukan

Becerra CR, Frenkel EP, Ashfaq R, Gaynor RB. Increased toxicity and lack of efficacy of
Rofecoxib in combination with chemotherapy for treatment of metastatic
colorectal cancer: A phase II study. Int J Cancer. 105(6):868-72,2003
Beyth RJ, Shorr RI. Epidemiology of adverse drug reactions in the elderly by drug class.
Drugs Aging 14(3):231-9,1999
Breivik K, Barkvoll P, Skovlund E. Combining diclofenac with acetaminophen or
acetaminophen-codeine after oral surgery; a randomized, double blind single dose
study. Clin Pharmacol Ther 66:625-35,1999.
Caine GJ, Stonelake PS, Lip GY, Kehoe ST. The hypercoagulable state of malignancy:
pathogenesis and current debate. Neoplasia. 4(6):465-73,2002.
Capone ML, Tacconelli S, Sciulli MG, Patrignani P. Clinical pharmacology of selective
COX-2 inhibitors. Int J Immunopathol Pharmacol. 16(2 Suppl):49-58,2003.
Cascorbi I. Pharmacogenetics of cytochrome P4502D6: genetic background and clinical
implication. Eur J Clin Invest. 33 Suppl 2:17-22,2003.
Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, Gupta S, Kaplan MJ, Catella-Lawson F, Morrow
JD, McDonagh KT, Schmaier AH. Thrombosis in patients with connective tissue
diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases.
Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000
Ismail R, Hussein A, Teh LK, Nizam Isa M. CYP2D6 phenotypes among Malays in
Malaysia. J Clin Pharm Ther. 25(5):379-83,2000.
Jones MK, Wang H, Peskar BM, Levin E, Itani RM, Sarfeh IJ, Tarnawski AS. Inhibition
of angiogenesis by nonsteroidal anti-inflammatory drugs: insight into mechanisms
and implications for cancer growth and ulcer healing. Nat Med. 5(12):1418-
23,1999.
Damkier P, Hansen LL, Brosen K. Effect of diclofenac, disulfiram, itraconazole,
grapefruit juice and erythromycin on the pharmacokinetics of quinidine. Br J Clin
Pharmacol. 48(6):829-38,1999.
Eisenberg E, Berkey CS, Carr DB, Mosteller F, Chalmers TC. Efficacy and safety of
nonsteroidal antiinflammatory drugs for cancer pain: a meta-analysis. J Clin
Oncol. 12(12):2756-65,1994.
Kitada M. Genetic polymorphism of cytochrome P450 enzymes in Asian populations:
focus on CYP2D6. Int J Clin Pharmacol Res. 23(1):31-5,2003.
Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics--
irreplaceable in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed
Schmerzther. 35(11):677-84,2000.

6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Lapicque F, Vergne P, Jouzeau JY, Loeuille D, Gillet P, Vignon E, Thomas P, Velicitat
P, Turck D, Guillaume C, Gaucher A, Bertin P, Netter P. Articular diffusion of
meloxicam after a single oral dose: relationship to cyclo-oxygenase inhibition in
synovial cells. Clin Pharmacokinet. 39(5):369-82,2000.
Lickiss JN. Approaching cancer pain relief. Eur J Pain. 5(Suppl A):5-14,2001.
Medhurst SJ, Walker K, Bowes M, Kidd BL, Glatt M, Muller M, Hattenberger M,
Vaxelaire J, O'Reilly T, Wotherspoon G, Winter J, Green J, Urban L. A rat model
of bone cancer pain. Pain. 96(1-2):129-40,2002.
Oborilova A, Mayer J, Pospisil Z, Koristek Z. Symptomatic intravenous antipyretic
therapy: efficacy of metamizol, diclofenac, and propacetamol. J Pain Symptom
Manage 24(6):608-15,2002.
Pannuti F, Robustelli della Cuna G, Ventaffrida V, Strocchi E, Camaggi CM. A double-
blind evaluation of the analgesic efficacy and toxicity of oral ketorolac and
diclofenac in cancer pain. The TD/10 recordati Protocol Study Group. Tumori.
85(2):96-100,1999.
Shirk, M.B. Management of pain in patients with cancer. The Consultant Pharmacist,
12(Suppl. 1):11.1-11.10, 1997.
Van Hecken A, Schwartz JI, Depre M, De Lepeleire I, Dallob A, Tanaka W, Wynants K,
Buntinx A, Arnout J, Wong PH, Ebel DL, Gertz BJ, De Schepper PJ.
Comparative inhibitory activity of rofecoxib, meloxicam, diclofenac, ibuprofen,
and naproxen on COX-2 versus COX-1 in healthy volunteers. J Clin Pharmacol
40(10):1109-20,2000.
Ventafridda V, De Conno F, Panerai AE, Maresca V, Monza GC, Ripamonti C. Non-
steroidal anti-inflammatory drugs as the first step in cancer pain therapy: double-
blind, within-patient study comparing nine drugs. J Int Med Res. 18(1):21-9,1990.
Werner U, Werner D, Rau T, Fromm MF, Hinz B, Brune K. Celecoxib inhibits
metabolism of cytochrome P450 2D6 substrate metoprolol in humans. Clin
Pharmacol Ther. 74(2):130-7,2003.

7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai