ISSN 2580-4936
http://heanoti.com/index.php/hn
RESEARCH ARTICLE
URL of this article: http://heanoti.com/index.php/hn/article/view/hn00000
Dr. Tutiany, S.Kp., M.Kes1(CA), Ani Nuraeni, S.Kp., M.Kes2, Mumpuni, S.Kp., M.Biomed3, Ridwan
Setiawan, S.Kp., M.Kes4
1(CA)
DepartemenKesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia;
tutiany.suryana@yahoo.com
2
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia; mail-
b@example.com
3
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia;
nuniwk@yahoo.com
4
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Bandung, Indonesia; mail-
b@example.com
ABSTRAK (AMEL)
Insiden keselamatan pasien di rumah sakit seperti infeksi, salah pengobatan, pasien jatuh dan lainnya masih
sering dijumpai namun frekuensi kejadian yang dilaporkan relatif sedikit. Sistem pelaporan insiden merupakan
alat utama untuk membantu mengidentifikasi masalah keselamatan pasien sehingga adanya kelemahan
pelaporan berdampak pada tidak optimalnya upaya perbaikan dan penjaminan mutu pelayanan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengindentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien
terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan pasien. Metode penelitian
menggunakan Quasi experiment with control group design dan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama,
pengembangan program peniningkatan kemampuan kepala ruang tentang model kepemimpinan berbasis budaya
keselamatan pasien. Tahap kedua, uji coba/validasi model kepemimpinan dan mengevaluasi pelaporan insiden
keselamatan pasien. Sampel penelitian adalah perawat pelaksana dipilih secara acak sederhana di RS yang telah
menerapkan program keselamatan pasien, sebanyak 122 responden terbagi menjadi 61 responden kelompok
intervensi dan 61 untuk kelompok kontrol. Uji statistik menggunakan dependent t-test, independent t-test dan
uji Mancova. Berdasarkan analisa terdapat perbedaan/peningkatan signifikan kepemimpinan, frekuensi
pelaporan insiden, pembelajaran, dan ada penurunan signifikan hambatan pelaporan insiden. Faktor yang
mempengaruhi pelaporan insiden dan pembelajaran adalah kepegawaian, jenis kelamin, percaya diri, pengaruh
ideal, stimulasi intelektual, dan yang dominan adalah stimulasi intelektual.
Kata kunci: budaya keselamatan pasien, pelaporan insiden, pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan
pasien.
PENDAHULUAN
Sistem pelaporan insiden muncul sebagai alat utama untuk membantu mengidentifikasi masalah
keselamatan pasien dan memberikan data untuk memberi pembelajaran organisasi sistem serta untuk
membantu membuat pelayanan kesehatan lebih aman bagi pasien. Keselamatan pasien sudah menjadi isu
global sejak adanya laporan dari Instute of Medicine (IOM) Amerika Serikat (2000) yang mengemukakan
hasil penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado bahwa ditemukan kejadian tidak diharapkan (adverse
event) sebesar 2,9%, dan 6,6% diantaranya meninggal. Di Indonesia berdasarkan Laporan Monitoring &
Evaluasi KKP-RS (2012), insiden keselamatan pasien yang terjadi di beberapa rumah sakit yang
dilaporkan selama 6 tahun (2006-2011) berjumlah 555 kejadian meliputi kejadian nyaris cidera (KNC) 283
kasus, kejadian tidak diharapkan (tidak dijelaskan jenis insidennya) berjumlah 272 kasus.
(QORINA) Pelaporan insiden keselamatan pasien di ruang perawatan yang belum optimal dan
masih seringnya kejadian KNC atau KTD tidak dapat dipisahkan dengan kinerja perawat manajer ruang
rawat inap dalam menerapkan peran kepemimpinannya. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil studi
Casida (2008) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penerapan tindakan keselamatan pasien
diantaranya adalah perilaku kepemimpinan kepala ruangan yang masih kuatnya budaya menyalahkan
(blamming culture), belum terbina kepercayaan, belum memahami manfaatnya, dan belum optimalnya
peran kepala ruang dalam mentoring, supervisi dan monitoring evaluasi. Salah satu upaya untuk
membangun dan mengembangkan budaya keselamatan (termasuk budaya pelaporan insiden) di pelayanan
kesehatan adalah dengan pemberdayaaan struktural diantaranya melalui pemberdayaan manajer unit
perawatan (Swanson & Tidwell, 2011).
1.2 Tujuan
Tujuan umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis Budaya
keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan di Rumah sakit.
Tujuan khusus:
Diketahuinya (1) Deskripsi kepemimpinan kepala ruang, pelaporan insiden, pembelajaran berkelanjutan
tentang keselamatan pasien di rumah sakit sebelum dan sesudah intervensi. (2) Pengaruh penerapan model
kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran
berkelanjutan tentang keselamatan pasien. (3) Efektivitas penerapan model kepemimpinan berbasis
budaya keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan tentang
keselamatan pasien. (4) Faktor dominan mempengaruhi laporan insiden dan pembelajaran tentang
keselamatan pasien.
METODE
Penelitian unggulan ini menggunakan metodologi quasi experiment pre-post test with control group
design yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengembangan program peningkatan kemampuan kepala
ruang tentang tema penelitian dan tahap uji coba/intervensi model kepemimpinan berbasis budaya
keselamatan. Populasi pada penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di rumah sakit di RSUD
sedangkan sampel penelitian adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap rumah sakit yang sudah
menerapkan program keselamatan pasien. Teknik pengambilan sampel menggunakan kriteria inklusi dan
eksklusi atau dipilih secara acak sederhana (simple random sampling method). Uji coba kuesioner
dilakukan pada 35 perawat di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Analisis data menggunakan program komputer,
yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
HASIL PENELITIAN
Tabel 3.1.
Pengaruh Model Kepemimpinan Budaya Keselamatan Pasien terhadap Perubahan Pelaporan Insiden dan
Pembelajaran
2. Kepercayaan berpengaruh positif terhadap kesadaran dengan koefisien korelasi 0.212 dan p-value
0.045, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakn tinggi perubahan kesadaran.
Kepercayaan berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.313 dan p-value
0.003, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakin turun perubahan hambatan.
(MEIMEI) Kepercayaan berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.396
dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.
3. Keterampilan politis berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.243 dan p-
value 0.021, yang artinya semakin tinggi perubahan political semakin turun perubahan hambatan.
Keterampilan politis berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.321 dan p-
value 0.002, yang artinya semakin tinggi perubahan political akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.
4. Pertimbangan individual berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.289 dan
p-value 0.006, yang artinya semakin tinggi perubahan pertimbangan akan semakin turun perubahan
hambatan. Pertimbangan berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.387
dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan pertimbangan akan semakin tinggi
perubahan pembelajaran.
5. Komunikasi efektif berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.359 dan p-
value 0.001, yang artinya semakin tinggi perubahan komunikasi akan semakin turun perubahan
hambatan. Komunikasi efektif juga berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien
korelasi 0.431 dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan komunikasi efektif semakin
tinggi perubahan pembelajaran.
6. Stimulasi intelektual berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.271 dan p-
value 0.010 yang artinya semakin tinggi perubahan stimulasi akan semakin turun perubahan hambatan.
Stimulasi intelektual juga berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.2601
dan p-value 0.013, yang artinya semakin tinggi perubahan atau semakin baik stimulasi intelektual yang
dilakukan akan semakin tinggi perubahan pembelajaran.
7. Mentoring berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.301 dan p-value 0.004,
yang artinya semakin tinggi perubahan atau semakin baik mentoring akan semakin turun perubahan
hambatan. Mentoring berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.382 dan
p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan mentoring akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.
Tahap pertama dalam analisa multivariat adalah melakukan seleksi variabel kandidat yang masuk dalam
model. Adapun variabel kandidat yang masuk dalam model yaitu yang memiliki nilai p-value ≤ 0.25.
Kepemimpinan kepala ruang, pelaporan insiden keselamatan pasien (kesadaran, frekuensi, hambatan) dan
pembelajaran tentang keselamatan pasien diuji dengan menggunakan Uji General Linier Model Repeated
Measure (GLM-RM). Hasil uji statistik adalah sebagai berikut :
Tabel 3.2
Hubungan Kepemimpinan Berbasis Budaya, Kesadaran, Frekuensi, Hambatan Pelaporan Insiden, dan
Pembelajaran tentang Keselamatan Pasien (n=145)
(YAN BERLIN)
1. Pembelajaran
Tabel 3.2 menunjukkan
tentang KPRS bahwa :
- SebelumIntervensi 2,65 2,64 2,53-2,77 2,91 2,84 2,77-3,03 P = 0.004
- Sesudah (2 bulan) 2,26 2,73 2,57-2,78 2,79 2,77 2,66-2,92 P = 0.205
Pembelajaran pelaporan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi(p interaksi = 0.120 R2 = 0.017)
1. Nilai rata-rata kepemimpinan kepala ruang tidak mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah
intervensi model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien baik pada kelompok control
maupun kelompok intervensi. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara
kepemimpinan kelompok control dengan kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p =
0,129), maupun setelah intervensi (nilai p = 0,158). Namun ada perbedaan kepemimpinan yang
signifikan sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai p < 0,001), dengan kekuatan
perbedaan 33%.
2. Tidak ada perbedaan signifikan antara kesadaran tentang pelaporan insiden antara kelompok control
dengan kelompok intervensi antara sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,678), maupun setelah
intervensi ( nilai p = 0,164). Begitujuga kesadaran pelaporan antara sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model tidak ada perbedaan ( nilai p < 0,143; R2 = 0.015).
3. Tidak ada perbedaan signifikan antara frekuensi pelaporan insiden antara kelompok control dengan
kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p = 0,347), maupun setelah intervensi (nilai p =
0,199). Namun ada perbedaan signifikan frekuensi pelaporan insiden sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model (niali p < 0,046) dengan kekuatan perbedaan 2,8%.
4. (JIJAH) Ada perbedaan signifikan antara hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,026) namun tidak ada signifikan
perbedaan hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi setelah
intervensi (nilai p = 0,202) .begitu juga hambatan pelaporan insiden antarasebelum dengan setelah 3
bulan intervensi model tidak ada perbedaan signifikan (nilai p = 0.323 ; R2 = 0,007).
5. Ada perbedaan signifikan antara pembelajaran tentang keselamatan pasien antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi baik sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,004). Tapi tidak ada
perbedaan setelah intervensi (nilai p = 0.205) begitu juga tidak ada perbedaan signifikan antara
pembelajaran tentang keselamatan pasien sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai p
<0,0120) dengan kekuatan perbedaan hanya 1,7%.
PEMBAHASAN
4.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan
pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran tentang keselamatan pasien terhadap pelaporan
insiden dan pembelajaran tentang keselamatan pasien intervensi model kepemimpinan ini meliputi
pelatihan, bimbingan praktik (role play), tentang kepemimpinan dan pelaporan insiden selama 2 hari
kepada kepala ruang yang akan menerapkan model dan kepada supervisor keperawatan di rumah sakit.
Sebelum pelatihan, peneliti melakukan pengumpulan data (pra intervensi) dan perawat pelaksana
(responden penelitian). Setelah menyelesaikan dan lulus pelatihan kepemimpinan, kepala ruang
menerapkan kepemimpinan setiap hari, diantaranya pada kegiatan pengarahan (briefing), sosialisasi
(RIRIE) tentang pentingnya pelaporan insiden, timbang terima pasien (hand off/hand over), pre/post-
conference, dan monitoring. Penerapan kepemimpinan dilaksanakan kepala ruang selama 12 minggu.
Bimbingan/pendampingan penerapan kepemimpinan oleh supervisor dilakukan setiap minggu selama 4
minggu, dilanjutkan surpervisi setiap minggu selama 8 minggu. Setiap supervisor bertugas mendampingi
1-3 kepala ruang. Setiap pendampingan atau supervisi, supervisor menggunakan panduan observasi yang
disediakan. Peneliti tidak membuat panduan pendampingan dan supervisi, tetapi supervisor menggunakan
buku panduan penerapan kepemimpinan yang sama dengan kepala ruang.
Tim peneliti melakukan supervisi/monitoring dan evaluasi kegiatan penerapan kepemimpinan di Rumah
Sakit tempat penelitian secara langsung maupun tidak, yaitu memonitoring buku catatan harian kepala
ruang dan hasil supervisi pengumpulan data II (post intervensi) dilakukan setelah penerapan
kepemimpinan selama 2 minggu.
Kepercayaan (Trust)
Hasil studi Tutiany (2016) menunjukkan bahwa nilai korelasi konstruk kepemimpinan terhadap
dimensi kepercayaan adalah 0.89 dan nilai t-test 9.37. Artinya kepercayaan merupakan komponen yang
penting untuk kepemimpinan dalam suatu organisasi. Kepercayaan merupakan dimensi perilaku
kepemimpinan yang dapat dibentuk dengan pengembangan visi, hubungan yang positif, pengembangan
kebudayaan partisipatif, dan saling menghormati (Abdollahi, Ghoore, & Karimi, 2013). Mora (2012)
menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan faktor yang penting untuk membuat pekerja melakukan sesuatu
yang diinginkan pemimpin. Avollio dan Bass (2004, dalam Mora, 2012) menambahkan bahwa kepercayaan
terhadap pemimpin dapat meningkat apabila pemimpin tersebut mampu mengeluarkan karisma yang
membuat pekerjanya memiliki rasa kagum terhadap atasannya. Karisma juga merupakan aspek yang
berpengaruh besar dalam kepuasan pengikut terhadap kepemimpinan.
Keterampilan Politis
Keterampilan politis merupakan salah satu komponen yang penting dari konstruk kepemimpinan untuk
perubahan. Hasil study Tutiany (2016) menunjukkan bahwa keterampilan politis berkontribusi sebesar 0,89
dengan nilai t-test 10,02 terhadap penbangunan kepemimpinan. Hasil analisis deskriptif pada penelitian ini
(REGITA) menunjukkan rata-rata keterampilan pada politis kepala ruang adalah 3,00 dengan variasi 0,64.
Responden menilai bahwa kepala ruang sering melakukan perilaku kepemimpinan.
Komunikasi Efektif
Pada penelitian ini komponen komunikasi kepala ruang secara signifikan berkontribusi 88% terhadap
keberhasilan kepemimpinan kepala ruang (nilai t-test 10,96). Hasil penelitian ini sesuai dengan Konsep
Interaksi Dinamik yang dikemukakan King (1981) bahwa faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan
dalam berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal adalah kemampuan komunikasi, transaksi dalam
mencapai tujuan organisasi, penerapan peran, dan pengelolaan stress. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
merupakan salah satu dimensi yang penting dalam kepemimpinan dan juga harus didukung dengan dimensi
lainnya untuk membangun kepemimpinan transformasional yang ideal.
Stimulasi Intelektual
Stimulasi intelektual merupakan usaha untuk meningkatkan minat karyawan dan kesadaran akan
permasalahan serta meningkatkan kapasitas mereka untuk berpikir mengenai berbagai permasalahan dalam
cara-cara yang baru (Rafferty & Griffin, 2004). Pemimpin harus membuat para pekerjanya dapat berpikir
mengenai masalah dan mendukung mereka untuk mempersembahkan solusi yang kreatif serta memberikan
tantangan kepada mereka untuk berpikir ulang mengenai beberapa asumsi dasar dan ide yang tidak pernah
ditanyakan sebelumnya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan stimulasi intelektual, yaitu dengan
membaca hasil-hasil penelitian terbaru, mengikuti seminar dan kegiatan-kegiatan ilmiah sehingga
pengetahuan dan wawasan meningkat.
Dari hasil analisis deskriptif, kemampuan stimulasi intelektual kepala ruang mendapatkan skor rerata
71.5% yang artinya masih dibawah standar yang telah ditetapkan. Hubungan konstruk kepemimpinan dalam
penelitian ini dengan dimensi stimulasi intelektual juga signifikan, yaitu dengan nilai korelasi 0.85 dan t-test
10.76. Dengan kata lain, stimulasi intelektual membuat pemimpin transformasional menjadi lebih proaktif,
lebih kreatif, berpikiran baru, dan inovatif dalam setiap idenya (Bass, 1985 dalam Ergeneli, Gohar, &
Temirbekova, 2007).
Mentoring
Hasil studi Tutiany (2016) menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara peran mentor dengan
variabel kepemimpinan kepala ruang, yaitu r – 0,85 dan nilai t-test 10,28. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
penerapan peran mentor secara signifikan memiliki peran penting dalam penerapan kepemimpinan. Mentor
diharapkan mampu menarik manfaat dari pengalaman dan memberikan nasihat yang bijaksana bagi
pengikutnya. Peran mentor dalam kepemimpinan juga dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mampu
mengidentifikasi masalah dan mampu mengadopsi sikap yang memberikan rasa kepercayaan diri sebagai
pemimpin perawat (ECSACON, 2003 dalam Shaw, 2007).
Mengacu pada peran manajer, maka kepala ruang sebagai manajer dan pemimpin bertanggung jawab
sebagai panutan, memotivasi dan mengarahkan perawat pelaksana dan karyawan lainnya untuk menerapkan
keselamatan pasien. Kepemimpinan dan keselamatan memiliki hubungan yang kompleks dan menekankan
bahwa aspek kepemimpinan yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda. Selanjutnya, aspek
kepemimpinan yang kurang konkrit (misalnya atribut dan perilaku yang ideal) sering dianggap yang paling
penting.
Rerata perubahan (delta) kesadaran pelaporan pada kelompok intervensi – 77 . 50, dan kelompok kontrol =
65.64. Begitu juga perubahan nilai frekuensi laporan dan pembelajaran pada kelompok intervensi memiliki
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok control. Nilai rerata hambatan pelaporan pada kelompok control
memiliki nilai hambatan lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi, artinya pada kelompok kontrol
hambatan dalam pelaporan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok intervensi.
Secara umum dari hasil uji pre dengan post pada kelompok intervensi terlihat bahwa hanya ada dua variabel
penerapan kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien yang berubah signifikan, diantaranya
kepercayaan dan pertimbangan individual (p-value < 0,05) dengan rata – rata mengalami peningkatan 0,18
dan 0,16.
(SALMA)
4.2.3. Hubungan Model Kepemimpinan Berbasis Budaya keselamatan Pasien dengan
Pelaporan Insiden dan pembelajaran
KESIMPULAN
Gambaran kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien yang diterapkan oleh kepala ruang baik
sebelum maupun sesudah intervensi cukup baik. Hasil analisis deskriptif menunjukkan rata-rata setiap
komponen kemampuan kepemimpinan yang meliputi percaya diri, kepercayaan, keterampilan politis, pengaruh
ideal, pertimbangan individual, perubahan dan pembaharuan, serta mentoring adalah baik. Begitu juga rata-rata
pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan pasien adalah cukup baik. Adapun gambaran rata-rata
pelaporan insiden keselamatan pasien kurang baik. Faktor yang mempengaruhi pelaporan insiden dan
pembelajaran tentang keselamatan pasien adalah kepegawaian, jenis kelamin, percaya diri, pengaruh ideal, dan
stimulasi intelektual. Dan faktor yang dominan adalah stimulasi intelektual, dengan nilai parameter estimasi
0,415.
DAFTAR PUSTAKA
Shaw, S (2007). International council of nurses: Nursing Leadership. Geneva: Blackwell Publishing
Tutiany (2016) Model Kepemimpinan kelapa Ruang untuk membangun budaya keselamatan pasien diruang
rawat inap rumah sakit ,”, Disertai program Doktor Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Tahun 2016 Tidak dipublikasikan.
Walshe, K. & Boaden, R. (2006). Patient Safety: research into practice, Open University Press.
www.openup.co.uk