Anda di halaman 1dari 11

Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)

ISSN 2580-4936

http://heanoti.com/index.php/hn

RESEARCH ARTICLE
URL of this article: http://heanoti.com/index.php/hn/article/view/hn00000

Model Kepemimpinan Berbasis Budaya Keselamatan Pasien Dan Pelaporan Insiden

Dr. Tutiany, S.Kp., M.Kes1(CA), Ani Nuraeni, S.Kp., M.Kes2, Mumpuni, S.Kp., M.Biomed3, Ridwan
Setiawan, S.Kp., M.Kes4
1(CA)
DepartemenKesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia;
tutiany.suryana@yahoo.com
2
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia; mail-
b@example.com
3
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Jakarta 1, Indonesia;
nuniwk@yahoo.com
4
Departemen Kesehatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Bandung, Indonesia; mail-
b@example.com

ABSTRAK (AMEL)
Insiden keselamatan pasien di rumah sakit seperti infeksi, salah pengobatan, pasien jatuh dan lainnya masih
sering dijumpai namun frekuensi kejadian yang dilaporkan relatif sedikit. Sistem pelaporan insiden merupakan
alat utama untuk membantu mengidentifikasi masalah keselamatan pasien sehingga adanya kelemahan
pelaporan berdampak pada tidak optimalnya upaya perbaikan dan penjaminan mutu pelayanan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengindentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien
terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan pasien. Metode penelitian
menggunakan Quasi experiment with control group design dan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama,
pengembangan program peniningkatan kemampuan kepala ruang tentang model kepemimpinan berbasis budaya
keselamatan pasien. Tahap kedua, uji coba/validasi model kepemimpinan dan mengevaluasi pelaporan insiden
keselamatan pasien. Sampel penelitian adalah perawat pelaksana dipilih secara acak sederhana di RS yang telah
menerapkan program keselamatan pasien, sebanyak 122 responden terbagi menjadi 61 responden kelompok
intervensi dan 61 untuk kelompok kontrol. Uji statistik menggunakan dependent t-test, independent t-test dan
uji Mancova. Berdasarkan analisa terdapat perbedaan/peningkatan signifikan kepemimpinan, frekuensi
pelaporan insiden, pembelajaran, dan ada penurunan signifikan hambatan pelaporan insiden. Faktor yang
mempengaruhi pelaporan insiden dan pembelajaran adalah kepegawaian, jenis kelamin, percaya diri, pengaruh
ideal, stimulasi intelektual, dan yang dominan adalah stimulasi intelektual.

Kata kunci: budaya keselamatan pasien, pelaporan insiden, pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan
pasien.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pelaporan insiden muncul sebagai alat utama untuk membantu mengidentifikasi masalah
keselamatan pasien dan memberikan data untuk memberi pembelajaran organisasi sistem serta untuk
membantu membuat pelayanan kesehatan lebih aman bagi pasien. Keselamatan pasien sudah menjadi isu
global sejak adanya laporan dari Instute of Medicine (IOM) Amerika Serikat (2000) yang mengemukakan
hasil penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado bahwa ditemukan kejadian tidak diharapkan (adverse
event) sebesar 2,9%, dan 6,6% diantaranya meninggal. Di Indonesia berdasarkan Laporan Monitoring &
Evaluasi KKP-RS (2012), insiden keselamatan pasien yang terjadi di beberapa rumah sakit yang

1| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

dilaporkan selama 6 tahun (2006-2011) berjumlah 555 kejadian meliputi kejadian nyaris cidera (KNC) 283
kasus, kejadian tidak diharapkan (tidak dijelaskan jenis insidennya) berjumlah 272 kasus.
(QORINA) Pelaporan insiden keselamatan pasien di ruang perawatan yang belum optimal dan
masih seringnya kejadian KNC atau KTD tidak dapat dipisahkan dengan kinerja perawat manajer ruang
rawat inap dalam menerapkan peran kepemimpinannya. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil studi
Casida (2008) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penerapan tindakan keselamatan pasien
diantaranya adalah perilaku kepemimpinan kepala ruangan yang masih kuatnya budaya menyalahkan
(blamming culture), belum terbina kepercayaan, belum memahami manfaatnya, dan belum optimalnya
peran kepala ruang dalam mentoring, supervisi dan monitoring evaluasi. Salah satu upaya untuk
membangun dan mengembangkan budaya keselamatan (termasuk budaya pelaporan insiden) di pelayanan
kesehatan adalah dengan pemberdayaaan struktural diantaranya melalui pemberdayaan manajer unit
perawatan (Swanson & Tidwell, 2011).

1.2 Tujuan

Tujuan umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis Budaya
keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan di Rumah sakit.

Tujuan khusus:
Diketahuinya (1) Deskripsi kepemimpinan kepala ruang, pelaporan insiden, pembelajaran berkelanjutan
tentang keselamatan pasien di rumah sakit sebelum dan sesudah intervensi. (2) Pengaruh penerapan model
kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran
berkelanjutan tentang keselamatan pasien. (3) Efektivitas penerapan model kepemimpinan berbasis
budaya keselamatan pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan tentang
keselamatan pasien. (4) Faktor dominan mempengaruhi laporan insiden dan pembelajaran tentang
keselamatan pasien.

METODE

Penelitian unggulan ini menggunakan metodologi quasi experiment pre-post test with control group
design yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengembangan program peningkatan kemampuan kepala
ruang tentang tema penelitian dan tahap uji coba/intervensi model kepemimpinan berbasis budaya
keselamatan. Populasi pada penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di rumah sakit di RSUD
sedangkan sampel penelitian adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap rumah sakit yang sudah
menerapkan program keselamatan pasien. Teknik pengambilan sampel menggunakan kriteria inklusi dan
eksklusi atau dipilih secara acak sederhana (simple random sampling method). Uji coba kuesioner
dilakukan pada 35 perawat di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Analisis data menggunakan program komputer,
yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat.

HASIL PENELITIAN

3.1. Kesetaraan Model Kepemimpinan Berbasis Budaya Keselamatan Pasien

Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa beberapa komponen/sub variabel kepemimpinan


memiliki kesetaraan antara kelompok intervensi dengan control (nilai-p ≥ 0,05), yaitu kepercayaan,
keterampilan politis, pertimbangan individual, pengaruh ideal, dan stimulasi intelektual. Adapun
komponen kepemimpinan yang tidak setara adalah percaya diri, komunikasi efektif,
perubahan/pembaharuan, dan mentoring, artinya bahwa salah satu (kelompok/intervensi) memiliki rata-
rata lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Secara umum dari hasil uji pre dengan post pada
kelompok intervensi terlihat bahwa hanya ada dua variabel penerapan kepemimpinan berbasis budaya
keselamatan pasien yang berubah signifikan diantaranya kepercayaan dan pertimbangan individual (p-
value < 0,05) dengan rata-rata mengalami peningkatan 0,18 dan 0,16.

2| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

(AZKHA) 3.2. Pengaruh Model Kepemimpinan Berbasis Budaya Keselamatan


Terhadap Pelaporan Insiden Dan Pembelajaran Tentang Keselamatan Pasien

Tabel 3.1.
Pengaruh Model Kepemimpinan Budaya Keselamatan Pasien terhadap Perubahan Pelaporan Insiden dan
Pembelajaran

Pelaporan Insiden Keselamatan Ps. Delta_pembelajaran tentang KPRS


Delta_ Delta_ Delta_
Sadar rekwensi hambatan
Delta_percaya diri Pearson .129 -090 - 422** .406**
Correlation
Sig. (2-tailed) .259 .400 .000 .000
N 90 90 90 90

Delta_kepercayaan Pearson .212* -124 .003 .396**


Correlation 90
Sig. (2-tailed) .045 .244 .000
N .90 90 -243* 90

Delta_keterampilan Pearson .184 - 143 - 243* .321**


politis Correlation
Sig. (2-tailed) .082 .179 .021 .002
N 90 90 90 90

Delta_pertimbangan Pearson .178 - 124 - 289** .387**


individual Correlation
Sig. (2-tailed) .092 .243 .006 .000
N 90 90 90 90

Delta_komunikasi Pearson .179 - 150 - 359** .431**


efektif Correlation
Sig. (2-tailed) .091 .159 .001 .000
N 90 90 90 90

Delta_pengaruh Pearson .158 - 155 - 257* .435**


ideal Correlation
Sig. (2-tailed) .136 .145 .015 .000
N 90 90 90 90

Delta_stimulasi Pearson .262* - 129 - 217** .260*


intelektual Correlation
Sig. (2-tailed) .013 .225 .010 .013
N 90 90 90 90

Delta_monitoring Pearson .128 - 179 - 301** .382**


Correlation
Sig. (2-tailed) .230 .091 .004 .000
N 90 90 90 90

Tabel 3.1. menunjukkan bahwa :


1. Percaya diri berpengaruh negatif terhadap hambatan, dengan koefisien korelasi -0.422 dan p-value
0.000 yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan diri semakin turun perubahan hambatannya.
Pecaya diri berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.406 dan p-value
0.000, yang artinya semakin tinggi kepercayaan diri semakin tinggi perubahan pembelajaran.

3| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

2. Kepercayaan berpengaruh positif terhadap kesadaran dengan koefisien korelasi 0.212 dan p-value
0.045, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakn tinggi perubahan kesadaran.
Kepercayaan berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.313 dan p-value
0.003, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakin turun perubahan hambatan.
(MEIMEI) Kepercayaan berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.396
dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan kepercayaan akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.
3. Keterampilan politis berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.243 dan p-
value 0.021, yang artinya semakin tinggi perubahan political semakin turun perubahan hambatan.
Keterampilan politis berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.321 dan p-
value 0.002, yang artinya semakin tinggi perubahan political akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.
4. Pertimbangan individual berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.289 dan
p-value 0.006, yang artinya semakin tinggi perubahan pertimbangan akan semakin turun perubahan
hambatan. Pertimbangan berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.387
dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan pertimbangan akan semakin tinggi
perubahan pembelajaran.
5. Komunikasi efektif berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.359 dan p-
value 0.001, yang artinya semakin tinggi perubahan komunikasi akan semakin turun perubahan
hambatan. Komunikasi efektif juga berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien
korelasi 0.431 dan p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan komunikasi efektif semakin
tinggi perubahan pembelajaran.
6. Stimulasi intelektual berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.271 dan p-
value 0.010 yang artinya semakin tinggi perubahan stimulasi akan semakin turun perubahan hambatan.
Stimulasi intelektual juga berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.2601
dan p-value 0.013, yang artinya semakin tinggi perubahan atau semakin baik stimulasi intelektual yang
dilakukan akan semakin tinggi perubahan pembelajaran.
7. Mentoring berpengaruh negatif terhadap hambatan dengan koefisien korelasi -0.301 dan p-value 0.004,
yang artinya semakin tinggi perubahan atau semakin baik mentoring akan semakin turun perubahan
hambatan. Mentoring berpengaruh positif terhadap pembelajaran dengan koefisien korelasi 0.382 dan
p-value 0.000, yang artinya semakin tinggi perubahan mentoring akan semakin tinggi perubahan
pembelajaran.

3.3. Faktor Dominan Pelaporan Insiden & Pembelajaran Keselamatan Pasien

Tahap pertama dalam analisa multivariat adalah melakukan seleksi variabel kandidat yang masuk dalam
model. Adapun variabel kandidat yang masuk dalam model yaitu yang memiliki nilai p-value ≤ 0.25.

3.4. Hubungan Model Kepemimpinan, Pelaporan Insiden & Pembelajaran


Keselamatan Pasien

Kepemimpinan kepala ruang, pelaporan insiden keselamatan pasien (kesadaran, frekuensi, hambatan) dan
pembelajaran tentang keselamatan pasien diuji dengan menggunakan Uji General Linier Model Repeated
Measure (GLM-RM). Hasil uji statistik adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2
Hubungan Kepemimpinan Berbasis Budaya, Kesadaran, Frekuensi, Hambatan Pelaporan Insiden, dan
Pembelajaran tentang Keselamatan Pasien (n=145)

4| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

(YAN BERLIN)

Variabel Klp. Intervensi (N=90) Klp. Kontrol (N=55) Nilai p**


Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI
1. Kepemimpinan
Berbasis Budaya
Keselamatan Pasien
(total)
- Sebelum Intervensi 2.42 2.38 2,27-2.47 2,49 2,48 2,41-2,56 p= 0.129
- Sesudah (3 bulan) 2,47 2,42 2,42-2,53 2,41 2,36 2,35-2,48 p= 0.158
2
p interaksi = 0.019 R = 0.038
-Kepemimpinan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi (p < 0.001, R2= 0.330)
2. Kesadaran pelaporan
IKP
- Sebelum intervensi 2,96 2,83 2,88-3,05 2,99 3,00 2,91-3,07 p=0.678
- Sesudah (3 bulan ) 3,09 3,00 2,95-3,23 2,96 3,00 2,89- 3,03 P=0.164
Kesadaran pelaporan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi (p interaksi = 0.143 R2 = 0.015)
3. Frekuensi pelaporan
IKP
- Sebelum intervensi 1,75 1,68 1,64-1,86 1,86 1,54 1,65-2,07 p = 0.347
- Sesudah (3 Bulan) 1,86 1,54 1,74-1,99 1,72 1,45 1,53-1,92 p = 0.199
2
Frekuensi pelaporan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi (p interaksi = 0.046 R = 0.015)
4. Hambatan Pelaporan
IKP
- Sebelum intervensi 2,23 2,37 2,26-2,41 2,19 2,20 2,11-2,29 P = 0.026
- Sesudah (3 Bulan) 2,26 2,25 2,18-2,33 2,18 2,16 2,09-2,27 r P = 0.202
2
Hambatan pelaporan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi (p interaksi = 0.323 R = 0.007)

1. Pembelajaran
Tabel 3.2 menunjukkan
tentang KPRS bahwa :
- SebelumIntervensi 2,65 2,64 2,53-2,77 2,91 2,84 2,77-3,03 P = 0.004
- Sesudah (2 bulan) 2,26 2,73 2,57-2,78 2,79 2,77 2,66-2,92 P = 0.205
Pembelajaran pelaporan sebelum dan 3 bulan sesudah intervensi(p interaksi = 0.120 R2 = 0.017)
1. Nilai rata-rata kepemimpinan kepala ruang tidak mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah
intervensi model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien baik pada kelompok control
maupun kelompok intervensi. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara
kepemimpinan kelompok control dengan kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p =
0,129), maupun setelah intervensi (nilai p = 0,158). Namun ada perbedaan kepemimpinan yang
signifikan sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai p < 0,001), dengan kekuatan
perbedaan 33%.
2. Tidak ada perbedaan signifikan antara kesadaran tentang pelaporan insiden antara kelompok control
dengan kelompok intervensi antara sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,678), maupun setelah
intervensi ( nilai p = 0,164). Begitujuga kesadaran pelaporan antara sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model tidak ada perbedaan ( nilai p < 0,143; R2 = 0.015).
3. Tidak ada perbedaan signifikan antara frekuensi pelaporan insiden antara kelompok control dengan
kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p = 0,347), maupun setelah intervensi (nilai p =

5| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

0,199). Namun ada perbedaan signifikan frekuensi pelaporan insiden sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model (niali p < 0,046) dengan kekuatan perbedaan 2,8%.
4. (JIJAH) Ada perbedaan signifikan antara hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,026) namun tidak ada signifikan
perbedaan hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi setelah
intervensi (nilai p = 0,202) .begitu juga hambatan pelaporan insiden antarasebelum dengan setelah 3
bulan intervensi model tidak ada perbedaan signifikan (nilai p = 0.323 ; R2 = 0,007).
5. Ada perbedaan signifikan antara pembelajaran tentang keselamatan pasien antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi baik sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,004). Tapi tidak ada
perbedaan setelah intervensi (nilai p = 0.205) begitu juga tidak ada perbedaan signifikan antara
pembelajaran tentang keselamatan pasien sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai p
<0,0120) dengan kekuatan perbedaan hanya 1,7%.

3.5. Hasil Penerapan Model Kepemimpinan terhadap Frekuensi Pelaporan Insiden


Keselamatan Pasien
Berdasarkan laporan monitoring evaluasi Komite Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit, diketahui
adanya peningkatan pelaporan insiden setelah intervensi penelitian. Dari hasil Monev KMKP RSUD pada
bulan Februari 2018 mengenai Frekuensi Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien menunjukan adanya
peningkatan frekuensi pelaporan setelah intervensi penelitian (penerapan model kepemimpinan) yang
dilakukan mulai awal bulan November 2017 sampai dengan akhir Januari 2018.

PEMBAHASAN

4.1. Keterbatasan Penelitian


Penelitian intervensi dilaksanakan di dua provinsi, yaitu di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Masing-
masing provinsi di dua rumah sakit (kelompok intevensi dan kelompok kontrol). Hal ini memungkinkan
adanya perbedaan dalam berbagai faktor seperti perbedaan komitmen manajemen, kebijakan yang
diterapkan, dan budaya/iklim kerja rumah sakit yang akan mempengaruhi data yang dikumpulkan. Salah
satu upaya yang dapat mengantisipasi dan mengurangi perbedaan yang mungkin terjadi dilakukan
pemilihan rumah sakit yang mempunyai karakteristik yang sama.
Pengumpulan data dilakukan oleh tim pengumpul data. Pada penelitian ini, pengumpul tidak dilatih
secara terstruktur tetapi hanya dengan penjelasan dan diskusi, tidak dilakukan evaluasi kemampuan
pengumpul data dalam menyampaikan informed consent dan mengumpulkan data. Hal ini dapat
menyebabkan data yang tekumpul tidak sesuai tujuan atau tidak akurat. Untuk mengatasi masalah tersebut
maka dilakukan pengolahan (editing, coding, processing, clearing), dan numerik serta kategorik sesuai
prosedur.
Kelompok intervensi terdiri dari RSUD di Jakarta dan di Jawa Barat. Pada penelitian ini tidak
dilakukan uji enumerator untuk menyamakan persepsi dan dapat menyebabkan perbedaan supervisor,
sehingga dapat berdampak terhadap penerapan model kepemimpinan oleh kepala ruang. Walaupun
ditemukan keterbatasan dalam penelitian tetapi model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien
ini sangat bermanfaat bagi kepala ruang diantaranya pelaporan insiden dan pembelajaran berkelanjutan
tentang keselamatan pasien.

4.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan
pasien terhadap pelaporan insiden dan pembelajaran tentang keselamatan pasien terhadap pelaporan
insiden dan pembelajaran tentang keselamatan pasien intervensi model kepemimpinan ini meliputi
pelatihan, bimbingan praktik (role play), tentang kepemimpinan dan pelaporan insiden selama 2 hari
kepada kepala ruang yang akan menerapkan model dan kepada supervisor keperawatan di rumah sakit.

6| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

Sebelum pelatihan, peneliti melakukan pengumpulan data (pra intervensi) dan perawat pelaksana
(responden penelitian). Setelah menyelesaikan dan lulus pelatihan kepemimpinan, kepala ruang
menerapkan kepemimpinan setiap hari, diantaranya pada kegiatan pengarahan (briefing), sosialisasi
(RIRIE) tentang pentingnya pelaporan insiden, timbang terima pasien (hand off/hand over), pre/post-
conference, dan monitoring. Penerapan kepemimpinan dilaksanakan kepala ruang selama 12 minggu.
Bimbingan/pendampingan penerapan kepemimpinan oleh supervisor dilakukan setiap minggu selama 4
minggu, dilanjutkan surpervisi setiap minggu selama 8 minggu. Setiap supervisor bertugas mendampingi
1-3 kepala ruang. Setiap pendampingan atau supervisi, supervisor menggunakan panduan observasi yang
disediakan. Peneliti tidak membuat panduan pendampingan dan supervisi, tetapi supervisor menggunakan
buku panduan penerapan kepemimpinan yang sama dengan kepala ruang.
Tim peneliti melakukan supervisi/monitoring dan evaluasi kegiatan penerapan kepemimpinan di Rumah
Sakit tempat penelitian secara langsung maupun tidak, yaitu memonitoring buku catatan harian kepala
ruang dan hasil supervisi pengumpulan data II (post intervensi) dilakukan setelah penerapan
kepemimpinan selama 2 minggu.

4.2.1 Deskripsi Kepemimpinan Berbasis Budaya Keselamatan Pasien, Pelaporan


Insiden, dan Pembelajaran tentang Keselamatan Pasien

1. Kepemimpinan Berbasis Budaya Keselamatan Pasien

Kepemimpinan merupakan kemampuan dam proses individu untuk mempengaruhi, memotivasi,


memfasilitasi, dan membuat orang lain (individu dan kolektif) mampu memahami apa yang perlu dilakukan
dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, dan setuju memberikan kontribusinya demi efektivitas dan
keberhasilan mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien terdiri atas
sembilan komponen, yaitu percaya diri, kepercayaan, keterampilan politis, pertimbangan individual,
komunikasi efektif, pengaruh ideal, stimulasi intelektual, perubahan & pembaharuan, dan mentoring.

Percaya Diri (Confidence)


Keyakinan atau percaya diri berarti memiliki kepercayan pada diri sendiri dan pada apa yang kita
lakukan, percaya pada fisik dan pembuktian dengan membuat keyakinan ini jelas dan eksplisit kepada orang
lain (Shaw, 2017). Hasil analisis faktor konfirmatori – structural equation modelling (SEM) untuk model
kepemimpinan kepala keuangan (Tutiany, 2016) menunjukan bahwa komponen kepemimpinan yang
berkontribusi paling besar adalah rasa percaya diri dan kemampuan meningkatkan rasa percaya diri
pengikut. Penelitian Ergeneli, Gohar dan Termirbekova (2007) menjelaskan bahwa kepercayaan diri dan
motivasi pengikut dapat dibangun dengan adanya komunikasi pemimpin yang mengisprasi bagi para
pengikutnya.

Kepercayaan (Trust)
Hasil studi Tutiany (2016) menunjukkan bahwa nilai korelasi konstruk kepemimpinan terhadap
dimensi kepercayaan adalah 0.89 dan nilai t-test 9.37. Artinya kepercayaan merupakan komponen yang
penting untuk kepemimpinan dalam suatu organisasi. Kepercayaan merupakan dimensi perilaku
kepemimpinan yang dapat dibentuk dengan pengembangan visi, hubungan yang positif, pengembangan
kebudayaan partisipatif, dan saling menghormati (Abdollahi, Ghoore, & Karimi, 2013). Mora (2012)
menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan faktor yang penting untuk membuat pekerja melakukan sesuatu
yang diinginkan pemimpin. Avollio dan Bass (2004, dalam Mora, 2012) menambahkan bahwa kepercayaan
terhadap pemimpin dapat meningkat apabila pemimpin tersebut mampu mengeluarkan karisma yang
membuat pekerjanya memiliki rasa kagum terhadap atasannya. Karisma juga merupakan aspek yang
berpengaruh besar dalam kepuasan pengikut terhadap kepemimpinan.

Keterampilan Politis

7| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

Keterampilan politis merupakan salah satu komponen yang penting dari konstruk kepemimpinan untuk
perubahan. Hasil study Tutiany (2016) menunjukkan bahwa keterampilan politis berkontribusi sebesar 0,89
dengan nilai t-test 10,02 terhadap penbangunan kepemimpinan. Hasil analisis deskriptif pada penelitian ini
(REGITA) menunjukkan rata-rata keterampilan pada politis kepala ruang adalah 3,00 dengan variasi 0,64.
Responden menilai bahwa kepala ruang sering melakukan perilaku kepemimpinan.

Konsiderasi atau Pertimbangan Individual


Hasil analisis dekriptif untuk dimensi kepemimpinan pertimbangan individual menunjukkan nilai 2,98
dengan variasi 0,63. Mora (2012) menjelaskan bahwa konsiderasi individual merupakan pemahaman
pemimpin dalam memandang perbedaan kebutuhan antar anggota dan beradaptasi dengan perilaku mereka.
Pemimpin mendelegasi kekuasaan namun tetap memberi pembinaan jika diperlukan dan memperlakukan
setiap pengikut setara dan sesuai dengan individu masing-masing (Ergeneli, Gohar dan Temirbekova, 2007).
Konsiderasi invidual memberi pengaruh terhadap kepemimpinan transformal yang akan di jalankan. Namun
hasil penelitian yang dilakukan Hoffmeister, Gibbons, Johnson, Cigularov, Chen, dan Rosecrance (2013)
menyatakan bahwa konsiderasi invidual kurang berhubungan dengan kepemimpinan dalam konteks
keselamatan, penelitian tersebut menyebutkan bahwa dimensi pengaruh ideal yang paling penting.

Komunikasi Efektif
Pada penelitian ini komponen komunikasi kepala ruang secara signifikan berkontribusi 88% terhadap
keberhasilan kepemimpinan kepala ruang (nilai t-test 10,96). Hasil penelitian ini sesuai dengan Konsep
Interaksi Dinamik yang dikemukakan King (1981) bahwa faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan
dalam berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal adalah kemampuan komunikasi, transaksi dalam
mencapai tujuan organisasi, penerapan peran, dan pengelolaan stress. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
merupakan salah satu dimensi yang penting dalam kepemimpinan dan juga harus didukung dengan dimensi
lainnya untuk membangun kepemimpinan transformasional yang ideal.

Pengaruh Ideal (Idealized Influence)


Hasil analisis structural equation modeling (Tutiany, 2016) menunjukkan bahwa nilai korelasi
konstruk kepemimpinan dengan komponen pengaruh ideal adalah sebesar 0,86 dengan nilai t-test 10,28.
Pengaruh ideal dikaitkan dengan tingkat kepercayaan, rasa hormat, dan kekaguman yang didapat oleh
pemimpin dari para pengikutnya. Hal ini juga berkaitan dengan kesadaran dari para pengikut bahwa
pemimpin memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan anggota yang lain (kehormatan dan
martabat).

Stimulasi Intelektual
Stimulasi intelektual merupakan usaha untuk meningkatkan minat karyawan dan kesadaran akan
permasalahan serta meningkatkan kapasitas mereka untuk berpikir mengenai berbagai permasalahan dalam
cara-cara yang baru (Rafferty & Griffin, 2004). Pemimpin harus membuat para pekerjanya dapat berpikir
mengenai masalah dan mendukung mereka untuk mempersembahkan solusi yang kreatif serta memberikan
tantangan kepada mereka untuk berpikir ulang mengenai beberapa asumsi dasar dan ide yang tidak pernah
ditanyakan sebelumnya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan stimulasi intelektual, yaitu dengan
membaca hasil-hasil penelitian terbaru, mengikuti seminar dan kegiatan-kegiatan ilmiah sehingga
pengetahuan dan wawasan meningkat.
Dari hasil analisis deskriptif, kemampuan stimulasi intelektual kepala ruang mendapatkan skor rerata
71.5% yang artinya masih dibawah standar yang telah ditetapkan. Hubungan konstruk kepemimpinan dalam
penelitian ini dengan dimensi stimulasi intelektual juga signifikan, yaitu dengan nilai korelasi 0.85 dan t-test
10.76. Dengan kata lain, stimulasi intelektual membuat pemimpin transformasional menjadi lebih proaktif,
lebih kreatif, berpikiran baru, dan inovatif dalam setiap idenya (Bass, 1985 dalam Ergeneli, Gohar, &
Temirbekova, 2007).

8| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

Perubahan dan Pembaharuan Diri Sendiri dan Orang Lain


Hasil analisis structural equation modeling-SEM (Tutiany, 2016) menjelaskan bahwa perubahan dan
pembaharuan diri sendiri dan orang lain memiliki nilai kolerasi yang signifikan dengan konstruk
kepemimpinan sebesar 0,89 nilai t-test 10,71. Sejalan dengan ICN (2005, dalam Shaw, 2007) bahwa
(ISMI) kemimpinan transformasional mempengaruhi perubahan motivasi yang meningkat. Perawat
yang mengikuti pelatihan yang dikembangkan ICN beberapa diantaranya juga mengikuti workshop dan
seminar berbeda untuk mendapat perubahan. Perawat lain mendaftar program keterampilan baru seperti
teknologi komputer dan praktek klinis. Sebagian besar melapor menerima persetujuan bahwa hal tersebut
menjadi pengalaman dan merangsang untuk terus belajar. Di beberapa negara terjadi peningkatan yang
menerima persetujuan untuk melanjutkan studi untuk mendapat gelar keperawatan lebih tinggi atau PhD
baik bidang keperawatan atau pendidikan.
Pembaharuan dan perubahan dibutuhkan untuk merespon pengaruh baru dan tekanan emergensi.
Bahwa para pemimpin yang efektif harus proaktif menginisiasi perubahan, dan merencanakan strategi sesuai
kebutuhan. Pemimpin yang menerapkan perubahan melihat jalan untuk meningkatkan strategi dan sistem
yang terkait, kreatif, dan inovatif, tidak takut mencoba ide baru. Hal ini mungkin berisiko, tetapi pemimpin
efektif menerimanya bahwa pembelajaran review dan pembaharuan juga dilakukan pada level individual.
Perubahan terjadi tanpa direncanakan. Namun pada konteks organisasi, aktivitas membuat berbagai hal
berbeda secara sengaja dan memiliki tujuan (Robbins & Judge, 2013). Perubahan yang memiliki tujuan
dapat membawa dampak terhadap organisasi. Setiap perubahan terjadi di tataran makro atau dalam skala
besar, dapat berefek kepada level mikro atau skala kecil kepada tim dan tiap individu (Whitehead, Weiss &
Tappen, 2010).

Mentoring
Hasil studi Tutiany (2016) menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara peran mentor dengan
variabel kepemimpinan kepala ruang, yaitu r – 0,85 dan nilai t-test 10,28. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
penerapan peran mentor secara signifikan memiliki peran penting dalam penerapan kepemimpinan. Mentor
diharapkan mampu menarik manfaat dari pengalaman dan memberikan nasihat yang bijaksana bagi
pengikutnya. Peran mentor dalam kepemimpinan juga dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mampu
mengidentifikasi masalah dan mampu mengadopsi sikap yang memberikan rasa kepercayaan diri sebagai
pemimpin perawat (ECSACON, 2003 dalam Shaw, 2007).
Mengacu pada peran manajer, maka kepala ruang sebagai manajer dan pemimpin bertanggung jawab
sebagai panutan, memotivasi dan mengarahkan perawat pelaksana dan karyawan lainnya untuk menerapkan
keselamatan pasien. Kepemimpinan dan keselamatan memiliki hubungan yang kompleks dan menekankan
bahwa aspek kepemimpinan yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda. Selanjutnya, aspek
kepemimpinan yang kurang konkrit (misalnya atribut dan perilaku yang ideal) sering dianggap yang paling
penting.

4.2.2. Perbedaan Pelaporan Insiden, Pembelajaran Tentang Keselamatan Pasien


setelah Intervensi Model Kepemimpinan

Tabel 4.10 menunjukan bahwa delta_ sadar_delta_frekuensi_delta_hambatan,dan delta_pembelajaran


memiliki nilai-p > 0,05, artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai sadar pelaporan, frekuensi,
hambatan pelaporan, dan pembelajaran pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Namun secara
substansi tampak terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Rerata perubahan (delta) kesadaran pelaporan pada kelompok intervensi – 77 . 50, dan kelompok kontrol =
65.64. Begitu juga perubahan nilai frekuensi laporan dan pembelajaran pada kelompok intervensi memiliki
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok control. Nilai rerata hambatan pelaporan pada kelompok control
memiliki nilai hambatan lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi, artinya pada kelompok kontrol
hambatan dalam pelaporan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok intervensi.

9| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

Secara umum dari hasil uji pre dengan post pada kelompok intervensi terlihat bahwa hanya ada dua variabel
penerapan kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien yang berubah signifikan, diantaranya
kepercayaan dan pertimbangan individual (p-value < 0,05) dengan rata – rata mengalami peningkatan 0,18
dan 0,16.
(SALMA)
4.2.3. Hubungan Model Kepemimpinan Berbasis Budaya keselamatan Pasien dengan
Pelaporan Insiden dan pembelajaran

Tabel 4.18 menunjukan bahwa


1. Nilai rata-rata kepemimpinan kepala ruang tidak mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah
intervensi model kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara
kepemimpinan kelompok kontrol dengan kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p =
0,129), maupun setelah intervensi (nilai p = 0,158). Namun ada perbedaan kepemimpinan yang
signifikan sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai p < 0,001) dengan kekuatan
perbedaan 33%.
2. Tidak ada perbedaan signifikan antara kesadaran tentang pelaporan insiden antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi antara sebelum dilakukan intevensi (nilai p = 0,678), maupun setelah
intervensi (nilai p = 0,164). Begitu juga kesadaran pelaporan antara sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model tidak ada perbedaan (nilai p<0, 143:R2 = 0,015).
3. Tidak ada perbedaan signifikan antara frekuensi pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi baik sebelum intervensi (nilai p = 0,347), maupun setelah intervensi (nilai p =
0,199). Namun ada perbedaan signifikan frekuensi pelaporan insiden sebelum dengan setelah 3 bulan
intervensi model (nilai p<0,046) dengan kekuatan perbedaan 2,8%.
4. Ada perbedaan signifikan antara hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,026). Namun tidak ada signifikan
perbedaan hambatan pelaporan insiden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi setelah
intervensi (nilai p = 0,202). Begitu juga hambatan pelaporan insiden antara sebelum dengan setelah 3
bulan intervensi model tidak ada perbedaan signifikan (nilai p = 0,323: R3 = 0,007).
5. Ada perbedaan signifikan antara pembelajaran tentang keselamatan pasien antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi baik sebelum dilakukan intervensi (nilai p = 0,004). Tapi tidak ada
perbedaan setelah intervensi (nilai p = 0,205). Begitu juga tidak ada perbedaan signifikan antara
pembelajaran tentang keselamatan pasien sebelum dengan setelah 3 bulan intervensi model (nilai
p<0,0120) dengan kekuatan perbedaan hanya 1,7%.

4.3 Implikasi Penelitian


Implikasi hasil penelitian meliputi implikasi terhadap perkembangan ilmu dan penelitian keperawatan
serta implikasi terhadap pelayanan keperawatan.

KESIMPULAN

Gambaran kepemimpinan berbasis budaya keselamatan pasien yang diterapkan oleh kepala ruang baik
sebelum maupun sesudah intervensi cukup baik. Hasil analisis deskriptif menunjukkan rata-rata setiap
komponen kemampuan kepemimpinan yang meliputi percaya diri, kepercayaan, keterampilan politis, pengaruh
ideal, pertimbangan individual, perubahan dan pembaharuan, serta mentoring adalah baik. Begitu juga rata-rata
pembelajaran berkelanjutan tentang keselamatan pasien adalah cukup baik. Adapun gambaran rata-rata
pelaporan insiden keselamatan pasien kurang baik. Faktor yang mempengaruhi pelaporan insiden dan
pembelajaran tentang keselamatan pasien adalah kepegawaian, jenis kelamin, percaya diri, pengaruh ideal, dan

10| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology


Health Notions, Volume 0Number 0 (Month 0000)
ISSN 2580-4936

stimulasi intelektual. Dan faktor yang dominan adalah stimulasi intelektual, dengan nilai parameter estimasi
0,415.

DAFTAR PUSTAKA

Shaw, S (2007). International council of nurses: Nursing Leadership. Geneva: Blackwell Publishing

Tutiany (2016) Model Kepemimpinan kelapa Ruang untuk membangun budaya keselamatan pasien diruang
rawat inap rumah sakit ,”, Disertai program Doktor Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Tahun 2016 Tidak dipublikasikan.
Walshe, K. & Boaden, R. (2006). Patient Safety: research into practice, Open University Press.
www.openup.co.uk

11| Publisher: Humanistic Network for Science and Technology

Anda mungkin juga menyukai