Anda di halaman 1dari 2

Terlahir Di Lingkungan Petani

Pagi hari ini terik sang fajar dari ufuk timur menyengat didepan kepala saya, hujan tadi malam
yang masih membekas ditanah yang saya injak sambil rambut saya di tetesi embun pagi yang
jatuh didedaunan samping rumah. Terlihat banyak sekali lahan sawah di depan horizon mata
saya, sembari memperhatikan dari kejauhan para petani lalu lalang sedang berangkat menenteng
cangkul dan sabit dengan penuh semangat. Terlihat tidak ada beban diwajah orang orang yang
yang dari kejahuan kepalanya tertutup caping. Tidak lama kemudian terdengar suara besi yang
saling berhantaman dari pojok belakang rumah, saya menoleh kebelakang ternyata bapak sedang
membersihkan sabit dan cangkul yang aka jadi senjatanya untuk menggarap kesawah.
Di sudut belakang rumah terlihat ibu yang sedang meniup api ditungku yang diatasnya ada
‘dandang’ sesekali percikan api kayu jati terlihat menyala dari kejauhan. Asapnya mengepul
melewati sela-sela atap genteng, cahaya sinar matahari yang lolos dari samping rumah yang
terbuat dari anyaman bamboo menyinari wajah ibu yang bercampur keringat didahinya. Ibu
meniup api dengan penuh harap untuk memastikan ada sarapan utuku sebelum berangkat pergi
kesekolah . Tidak jarang menu sarapan diambilnya sendiri dari hasil sawah, pernah sesekali
ketika paceklik datang persediaan beras habis kami sekeluarga makan nasi aking yang diatasnya
dikasih parutan kelapa, pernah juga yang masih teringat dikepala saya makan hanya dengan
singkong rebus ditaburi garam diatasnya. Memang dikelurga petani makananpun hanya
mengandalkan hasil tanaman sayuran yang ada dibelakang rumah. Kalau masalah makan petani
mah tidak akan kebingungan, hanya saja tidak sesuai 4 Sehat 5 Sempurna yang dianjurkan orang
di luar sana namun yang perlu giris bawahi bahwa perjuangan ibu gitu sangat sempurna untuk
tetap memastikan kesehatanku sampai sekarang ini.
Dulu waktu kecil sebelum berangkat sekolah ayahpun lebih dulu membawa cangkul
dipundaknya untuk pergi kesawah setelah diminumnya secangkir kopi diatas meja. Terik
matahari semakin panas, kedua kaki saya melangkah diatas tanah yang masih basah dan
masuklah kedalam rumah. Langkah kaki berhenti sejenak, pikiran saya mulai berontak, ternyata
semua masih sama seperti yang dulu “Ah, kenapa saya dilahirkan dilingkungan petani seperti
ini?” tiba tiba pertanyaan ini menggagalkan langkah saya. Samping belakang rumah semuanya
tepi sawah, bapak, ibu, embah, tetangga semua juga sehari-sehari diswah. Pikiran saya menjadi-
jadi “kenapa saya tidak terhalir dikota saja, yang fasiltas semuanya ada”. Mungkin ini hanya
pikiran kotorku yang sepulang dari perantauan dikota. Otak saya masih belum menerima
kesenjangan yang ada didesan dengan kota.
Tidak jarang pendidikan seorang petani didesa hanyalah lulusan sekolah dasar, bahkan belum
lulus sekolah dasar sudah “mokel” karena lebih memilih menghabiskan waktunya menggarap
sawah dan ‘angon’ sapi/memelihara hewan yang dikiranya lebih pasti hasilnya daripada tiap hari
duduk dibangku sekolah yang tak tau mau jadi apa. Doktrinasi seperti itulah yang terus
berkembang dikalangan keluarga petani. Nanum keinginan keluarga saya berbeda.
Melanjutkan langkah kemali, sorot mataku menuju kopi yang terlihat diatas meja teras rumah ,
kuminum kopi itu dan kuteringat “Nasib Terbaik adalah Tidak Dilahirkan, yang
Kedua Dilahirkan tapi Mati Muda, dan yang Tersial adalah Umur Tua Rasa-rasanya Memang
Begitu; Bahagialah Mereka yang Mati Muda”. Saya teringat pernyataan Soe Hoe gie, kalau saya
hanya meratapi nasib dilahirkan seperti ini rasaya memang begitu saja, namun saya tidak bisa
menolak dan memilih dilahirkan dilingkungan seperti apa, yang terpenting saat ini saya bisa
mensyukuri keadaan seperti ini, kadang “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya
memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada
penderitaannya saja, dia sakit.” Saya harus tetap melanjutkan hidup walau hanya berada
dikeluarga petani, dilingkungan petani. Kesempatan semua orang masih sama, jalan ini juga
masih panjang, tak patah arang jika hanya berdiam diri dan meratapi keadaan. Tidak ada
namanya perubahan jika hanya diam.
Kehidupan ini sangat indah tuan, kata-kata pemantik untuk terus melanjutkan hidup yang penuh
harapan seorang anak petani. Sejak kecil di didik bekerja keras seperti cangkul yang
dihantamkan tanah semakin kuat menghantam semakin dalam tanah yang didapat, sama halnya
dengan seorang kehidupan anak petani semakin dihantam terus dengan keadaan semakin dalam
dia mendapatkan hasil yang menggembirakan. Tidak ada waktu untuk menyesali terlahir
dikeluarga petani, semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan YME.
Setiap orang tua pasti menginginkan pendidikan anaknya lebih tinggi darinya, tidak lain hanya
untuk menjadikan anaknya lebih darinya, yang setiap pagi hanya menggarap sawah dengan hasil
pendapatan yang tidak pasti. Namun kebahagiaan anaknyalah yang utamakan untuk diwujudkan.
Terlahir dikeluarga petani mungkin itu sebuah hidayah yang patut untuk disyukuri, karena hidup
tenang didesa dengan sumber daya alam yang melimpah tidak kurang-kurang untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, itu semua tergantung dari sudut mana kita bisa menerimanya pasti nanti
berakhir bahagia. Petani adalah penolong negeri, setiap hasil panennya untuk memastikan
perut-perut orang orang kota tetap terisi.

Anda mungkin juga menyukai