Anda di halaman 1dari 15

MENELAAH PERISTIWA KEJADIAN KERACUNAN

DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN


NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH:

ESTIADAH TRI NURMASTUTI

113219001

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT (S.1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit yang diakibatkan pangan merupakan salah satu penyebab

penting kesakitan dan kematian yang berpengaruh pada pembangunan sosio-

ekonomi negara. Pangan yang terkontaminasi bakteri, virus, parasit atau

bahan kimia berbahaya menyebabkan lebih dari 200 penyakit. Secara global,

WHO memperkirakan terdapat 31 agen berbahaya (termasuk virus, bakteri,

parasit, toksin dan kimia) penyebab 600 juta kesakitan dan 420.000 kematian.

Agen penyebab diare seperti norovirus, Salmonella enterica, Campylobacter

dan E.coli. Penyebab utama kematian akibat penyakit karena pangan adalah

Salmonella thypi, Taenia solium, virus hepatits A dan aflatoxin. 

Kesakitan akibat pangan sering dikenal sebagai keracunan pangan.

Menurut PERMENKES No.2 2013, keracunan pangan didefinisikan sebagai

kesakitan yang dialami oleh seseorang dengan gejala dan tanda keracunan

seperti mual, muntah, sakit tenggorokan dan pernafasan, kejang perut, diare,

gangguan penglihatan, perasaan melayang, paralysis, demam, menggigil, rasa

tidak enak, letih, pembengkakan kelenjar limfe, wajah memerah dan gatal-

gatal, akibat mengkonsumsi pangan yang diduga mengandung cemaran

biologis atau kimia. Kasus kematian pangan akibat keracunan pangan terus

meningkat. Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014 menemukan


sekitar 200 laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan terjadi

di Indonesia tiap tahunnya. Pada tahun 2010, tercatat terdapat 429 laporan

kasus keracunan pangan dan diyakini angkanya jauh lebih besar karena

jumlah provinsi yang melaporkan baru 63%. 

Data Kementerian Kesehatan dan BPOM empat tahun terakhir

menunjukkan bahwa agen penyebab keracuman pangan sulit ditentukan.

Sebanyak 53% penyebab KLB tahun 2009 tidak diketahui dan terjadi

penurunan menjadi 13% tahun 2013. Enam puluh persen penyebab KLB

keracunan pangan diduga disebabkan oleh bakteri, tanpa ada bukti konfirmasi

laboratoris bahwa betul penyebabnya adalah bakteri. Jenis bakteri yang

menyebabkan KLB tidak dapat diketahui pasti. Penyelidikan KLB keracunan

pangan lebih banyak diarahkan untuk menghitung jumlah kasus keracunan

dan bukan sebagai penunjang penanggulangan KLB yang cepat, tepat dan

benar. Setiap agen mempunyai karakteristik tersendiri untuk mengontaminasi

makanan sehingga usaha pencegahan harus spesifik. Informasi terkait

populasi berisiko, peta agen penyebab dan faktor risiko yang berkontribusi

terhadap kejadian KLB keracunan pangan sangat dibutuhkan untuk sebagai

dasar strategi pencegahan. Dokumen epidemiologi yang tepat dan lengkap

dapat digunakan untuk sistem kewaspadaan dini, respon KLB keracunan

pangan dan perencanaan penanggulangan KLB di masa mendatang.      

Jenis makanan penyebab keracunan pangan terbanyak adalah masakan

rumah tangga pada 82 kejadian (46,9%), makanan jasa boga 33 kejadian

(18,9%) dan makanan jajanan pada 32 kejadian (18,3%). Jenis sampel


pemeriksaan yang paling sering dikirimkan adalah sampel makanan pada 137

kejadian (78,3%), sampel muntahan pada 47 kejadian (26,9%) dan sampel air

pada 40 kejadian (22,9%). Sebanyak 149 kejadian (85,6%) didukung dengan

pemeriksaan penunjang yang meliputi 144 kejadian (82,3%) dilakukan

pemeriksaan bakteriologi dan 36 kejadian (20,6%) yang dilakukan

pemeriksaan kimiawi. Status agen penyebab keracunan pangan hanya sekitar

54,9% yang dapat dipastikan baik dengan data epidemiologi yang

terkonfirmasi laboratorium dan 38,29% kasus dengan status agen penyebab

berupa dugaan. 

1.2 Tujuan

1. Mengetahui penyebab keracunan makanan

2. Mengetahui tempat terjadinya keracunan makanan

3. Mengetahui siapa saja yang menjadi korban keracunan makanan

4. Mengetahui tindakan yang dilakukan saat terjadi keracunan makanan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Makanan

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat

melangsungkan kehidupan selain kebutuhan sandang dan perumahan. Makanan

selain mengandung nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang

biaknya mikroba atau kuman terutama makanan yang mudah membusuk yaitu

makanan yang banyak mengandung kadar air serta nilai protein yang tinggi.

Kemungkinan lain masuknya atau beradanya bahan-bahan berbahaya seperti

bahan kimia, residu pestisida serta bahan lainnya antara lain debu, tanah,

rambut manusia dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia. (Depkes

RI, 2010).

Penyakit yang ditularkan melalui makanan dapat menyebabkan penyakit

yang ringan dan berat bahkan berakibat kematian diantaranya diakibatkan oleh

belum baiknya penerapan higiene makanan dan sanitasi lingkungan. Besarnya

dampak terhadap kesehatan belum diketahui karena hanya sebagian kecil dari

kasus-kasus yang akhirnya dilaporkan ke pelayanan kesehatan dan jauh lebih

sedikit lagi yang diselidiki. Kasus-kasus yang dilaporkan di negara maju

diperkirakan hanya 5 sampai 10% sedangkan di banyak negara berkembang data

kuantitatif yang dapat diandalkan pada umunya sangat terbatas. Kejadian

penyakit yang ditularkan melalui makanan di Indonesia cukup besar ini terlihat
dari masih tingginya penyakit infeksi seperti typus, kolera, disentri, dan

sebagainya. Dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh mikroba

(Hartono, 2006).

Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap makanan yang disediakan

di luar rumah, maka produk-produk yang disediakan oleh perusahaan dan

perorangan yang bergerak dalam usaha penyediaan makanan untuk kepentingan

umum (jajananan makanan), haruslah terjamin kesehatan dan keselamatannya.

Sebagai salah satu jenis pelayanan umum yang mengolah dan menyediakan,

maka penjual makanan memiliki potensi yang cukup besar untuk menimbulkan

gangguan kesehatan atau penyakit bawaan makanan yang dihasilkannya. Dengan

demikian kualitas makanan yang dihasilkan, disajikan dan dijual oleh penjual

makanan harus memenuhi syarat kesehatan seperti faktor lokasi dan bangunan,

fasilitas sanitasi, peralatan, pengolahan makanan yang baik dan penjamah

makanannya sendiri (Depkes RI, 2010).

Higiene dan sanitasi merupakan hal yang penting dalam menentukan

kualitas makanan dimana Escherichia coli sebagai salah satu indikator terjadinya

pencemaran makanan yang dapat menyebabkan penyakit akibat makanan (food

borne diseases). Bakteri-bakteri indikator sanitasi umumnya adalah bakteri lazim

terdapat dan hidup sebagai flora normal pada usus manusia. Bakteri E. Coli dapat

menimbulkan gangguan kesehatan seperti penyakit diare apabila masuk ke saluran

pencernaan, baik melalui minuman maupun makanan. Peraturan menteri

Kesehatan RI nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 angka kuman E. Coli pada

makanan harus 0/gram sampel makanan dan pada minuman angka kuman E. Coli
harus 0/100 ml sampel minuman. Makanan yang telah dicemari oleh bakteri

setelah dikonsumsi biasanya menimbulkan gejala-gejala seperti muntah-muntah,

demam, sakit perut, gejala terjadi 4-12 jam yang memberi kesan langsung pada

lapisan usus dan menyebabkan peradangan. Ada berbagai jenis bakteri yang

menyebabkan keracunan makanan, diantaranya salmonella, staphylococcus, dan

escherichia coli yang merupakan faktor keracunan makanan (Badan POM, 2003).

2.2 Definisi Racun (Poison)

Racun adalah substansi yang bila dimakan, dihirup, diabsorpsi, digunakan,

disuntikkan, atau timbul dalam tubuh dengan jumlah yang relatif kecil dapat

menyebabkan kerusakan struktural dan atau gangguan fungsional pada tubuh.

Racun adalah suatu zat yang apabila kontak atau masuk ke dalam tubuh dalam

jumlah tertentu (dosis toksik) dapat merusak faal tubuh baik secara kimia ataupun

fisiologis sehingga menyebabkan sakit ataupun kematian (Sudjana 2006:2017).

2.3 Pilahan Keracunan

Keracunan makanan adalah penyakit yang dihasilkan akibat dari

penggunaan makanan yang tercemar, patogen bakteri, virus, atau parasit yang

mencemari makanan, dan juga kimia atau racun alami seperti sebagai jamur.

Gejala dan tingkat keparahan tergantung pada waktu yang infeksi yang diperlukan

untuk kalikan dan memegang. Kali ini disebut periode inkubasi-nya. Ada lebih

dari 250 penyakit yang bertalian dengan makanan. CDC memperkirakan bahwa
68% dari kasus-kasus keracunan makanan yang disebabkan karena organisme

tidak terdeteksi atau tidak diketahui. Hal ini karena kebanyakan kasus

menyelesaikan sendiri dan tidak memerlukan rawat inap. Penyebab adalah

terutama dua-organisme menular dan racun. Keracunan makanan dapat

diklasifikasikan menurut keparahan dan awal.

Selama proses produksi, yang meliputi pengolahan, pengemasan,

transportasi, penyiapan, penyimpanan dan penyajian, makanan mungkin terpapar

pada kontaminasi mikroba penyebab infeksi atau intoksikasi. Jika mikroba atau

toksin yang dihasilkanya mencapai jumlah yang cukup dan dikonsumsi oleh

manusia, maka terjadilah keracunan pangan. Untuk menentukan apakah suatu

kejadian (Outbreak) keracunan pangan oleh mikroba telah terjadi, maka perlu

dilakukan penyelidikan pada makanan, korban keracunan dan tempat kejadiannya.

Ilmu yang secara khusus mempelajari hal ini disebut epidemiologi. Proses

penyelidikan epidemiologi ini bertujuan untuk mengidentifikasi makanan

penyebab, sebab terjadinya keracunanan serta ada tidaknya mikroba patogen yang

sama pada makanan dan pada spesimen penderita. Apabila mikroba patogen

penyebab keracunan dapat diidentifikasi, maka dapat diberikan pengobatan yang

tepat bagi korban keracunan. Penyelidikan ini dapat juga menunjukkan titik kritis

dimana kontaminasi mungkin telah terjadi. Hasil penyelidikan yang

didiseminasikan kemasyarakat akan meningkatkan kewaspadaan masyarakat

awam atau industri pangan tentang keamanan pangan sehingga kejadian serupa

tidak terulang. Untuk menunjang suksesnya penyelidikan epidemiologi maka

diperlukan rencana penyelidikan yang tepat, sumber daya manusia yang terampil
dan prosedur deteksi patogen yang tepat dan cepat.. Dalam makalah ini akan

dibahas cara melakukan penyelidikan pada kejadian keracunan pangan oleh

mikroba dengan mengacu pada prosedur yang dipublikasikan oleh The

International Association of Milk, Food and Environmental Sanitarians.

Penyakit yang disebabkan oleh patogen makanan, secara teoritis

pembuktian bahwa suatu penyakit disebabkan oleh mikroba patogen dapat

dilakukan sesuai dengan postulat koch. Berdasarkan postulat tersebut suatu

mikroba yang bersifat patogen harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Secara konsisten bisa diisolasi dari orang yang sakit

2. Bisa ditumbuhkan pada media sintetis dilaboratorium

3. Kultur yang ditimbulkan bisa suntikkan kepada hewan percobaan dan

menghasilkan penyakit yang sama

4. Dari hewan tersebut harus bisa diisolasi mikroba yang sama.

Cara pembuktian tersebut ternyata tidak bisa diterapkan dengan mudah pada

beberapa penyakit yang disebabkan karena patogen asal makanan (Foorborne

pathogen). Hal ini disebabkan karena :

1. Patogen asal makanan bisa menyebabkan intoksikasi yang disebabkan oleh

toksin yang dihasilkan sehingga sel mikroba mungkin tidak penting lagi

keberadaannya (Misalnya pada entorotoksin Stapylococcus aureus)

2. Jika penyebabnya adalah virus maka tidak bisa digunakan medium sintetis

3. Sering kali penyakitnya bersifat spesifik-inang sehingga tidak bisa

dilakukan pembuktian dengan hewan percobaan


4. Beberapa penyakit yang disebabkannya memerlukan waktu inkubasi yang

cukup lama.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus

Keracunan Makanan hidangan pesta pernikahan terjadi di Kabupaten

Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Bupati TTS Epy

Tahun kepada Kompas, Selasa (15/10/2019) malam, mengatakan, warga

mengalami gejala keracunan usai menyantap makanan pada pesta pernikahan

Keluarga Boimau di Desa Pana, Kecamatan Kolbano. Ratusan warga yang

mengalami keracunan itu, lanjut Epy, berasal dari Desa Oebelo, Sei, Bena, Pana,

Oni dan Kualin. Peristiwa ini terjadi pada hari senin tanggal 14 Oktober tahun

2019.

Warga yang mengalami keracunan sebanyak 183 orang dan mengingkat

jumlahnya menjadi 194 orang pada hari selasa, 15 Oktober 2019. Dari 194 orang

yang keracunan, 53 orang dari Desa Panite, 98 orang dari Desa Sei, 35 orang dari

Desa Kualin dan 11 orang dari Desa Kie. Menurut Epy, yang menjalani rawat

inap sebanyak 26 orang dan rawat jalan sebanyak 168 orang.

Kronologi Perstiwa itu, kata Epy, terjadi pada Senin (14/10/2019)

kemarin. Hidangan dalam pesta yang disantap warga, di antaranya nasi putih, sup

babi, sup sapi, sup ayam, babi kecap, rendang sapi, sate sapi, daging babi goreng
tepung.  Kemudian sambal goreng tempe, mie goreng kuning, sayur tumis daun

pepaya, sambal tomat, kerupuk, air mineral dan air masak sendiri. "Ratusan warga

itu mengalami pusing, mual, muntah, sakit perut dan demam, serta sesak napas.

Mereka masih menjalani perawatan medis," ujar Epy.

Pemerintah Kabupaten TTS, juga telah menetapkan kejadian luar biasa

(KLB), menyusul kejadian itu. Status itu lanjut Epy, ditetapkan setelah pihaknya

mengumpulkan sejumlah data dan hasil analisis epidemiologi. Selain itu kata Epy,

pihaknya mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 2 Tahun 2013,

tentang kejadian luar biasa keracunan pangan. "Hingga saat ini, masyarakat masih

dirawat di sejumlah Puskesmas. Kita juga masih menunggu data terbaru terkait

penambahan korban," kata Epy. Sebelumnya diberitakan, sebanyak 183 warga

dari enam desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur

(NTT), keracunan makanan hidangan pesta pernikahan.

3.2 Faktor Risiko

Penyebab keracunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah bumbu makanan

yang sudah habis masa berlakunya atau kadaluarsa. Untuk diketahui, hingga

Desember 2019 sudah terdapat kurang lebih lima kasus keracunan makanan

diantaranya 12 warga Kota Soe yang menderita keacunan setelah mengkonsumsi

bubur ayam, keracunan makanan juga di kecmaatan Amanuban Selatan dengan 

103 orang penderita dan 1 orang meninggal dunia. Keracunan kembali terjadi di

kecamatan Noebeba dengan jumlah penderita 93 orang dan Jumat kemarin 6


orang bocah di Desa Polo Kecamatan Amanuban Selatan kembali menderita

keracunan setelah mengkonsumsi makanan ringan jenis biskuit.

3.3 Upaya Penanggulangan

Pemerintah daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan

berkoordinasi dengan BPOM NTT untuk melakukan pengawasan dan penertiban

bahan makan dan bumbu dapur yang beredar dipasar ataupun pedagang asong

yang berada Timor Tengah Selatan agar makanan dan bumbu dapur yang sudah

expayer bisa dilakukan pemusnahan. Selain itu, upaya pengawasan yang

maksimal dari pemerintah daerah dan dinas kesehatan dengan melibatkan DPOM

NTT untuk mengecek bahan makanan dan bumbu dapur baik yang dijual di kios-

kios, toko maupun yang beredar di pasar-pasar yang ada Kabupaten Timor

Tengah Selatan diharapan bisa membantu menganggulangi maraknya keracunan

makanan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Kejadian keracunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan disebabkan

karena bumbu atau bahan makanan yang sudah kadaluarsa.

2. Korban sebanyak 194 orang.

3. Perlu adanya koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan BPOM NTT

untuk mengawasi makanan yang beredar di pasaran.

4.2 Saran

Pemerintah perlu melakukan peningkatan pengawasan dan pengelolaan

pangan dengan memerhatikan higiene dan sanitasi sesuai standard keamanan

pangan yang telah ditetapkan dan peningkatan pengetahuan masyarakat dan

tentang cara pengelolaan pangan yang benar untuk meningkatkan keamanan

pangan. 
Daftar Pustaka

Fadli, et all. 2019 Desember 7. Pospera: Keracunan Makanan di TTS Akibat

Kurangnya Perhatian Pemkab. Indonesia Koran. http://

www.indonesiakoran.com/

news/kesra/read/82744/pospera.keracunan.makanan.di.tts.akibat.kurangny

a.perhatian.pemkab

Marutho Sigiranus. 2019 Oktober 17. Korban Keracunan Makanan Pesta

Pernikahan Bertambah menjadi 194 Orang. Diakses dari

http://www.kompas.com

Arisanti, et all. 2018. Kontribusi Agen dan Faktor Penyebab Kejadian Luar Biasa

Keracunan Pangan di Indonesia: Kajian Sistematis. Berita Kedokteran

Masyarakat. Volume 34 halaman: 99-106.

Yunus P., et all. 2015. Hubungan Personal Higiene dan Fasilitas Sanitasi dengan

Kontaminasi Escherechia coli pada Makanan di Rumah Makan Padang

Kota Manado dan Kota Bitung. JIKMU. Vol 5 nomor 2.


WHO. WHO Estimates of The Global Burden of Foodborne Diseases: Foodborne

Disease Burden Epidemiology Reference Group 2007 – 2015. Switzerland.

2015.

Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri     Kesehatan RI No 2 Tahun 2013

Tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, Jakarta. 2013.

Anda mungkin juga menyukai