Anda di halaman 1dari 63

LITERATURE REVIEW

PENGARUH PENYAKIT DIABETES MELITUS TERHADAP

KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS

PROPOSAL

OLEH :

ESTIADAH TRI NURMASTUTI

113219001

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S.1)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2021
LITERATURE REVIEW

PENGARUH PENYAKIT DIABETES MELITUS TERHADAP

KEBERHASILAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat

OLEH :

ESTIADAH TRI NURMASTUTI

113219001

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S.1)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2021

ii
PENGESAHAN

Laporan Tugas Akhir/Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan pada


Seminar Proposal/Ujian pada tanggal ………………

Nama Mahsiswa : Estiadah Tri Nurmastuti

NPM : 113219001

Program Studi : S-1 Kesehatan Masyarakat

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi

Pembimbing I Pembimbing II

Asep Dian A. SKM., MM., MHKes Dini Marlina, SST., SKM., M.Kes.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa,

yang telah memberikan Rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan

peroposal penelitian dengan judul “Pengaruh Penyakit Diabetes Melitus terhadap

Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis” . Proposal ini diajukan salah satu tugas

akhir pada Program Studi Kesehatan Masyarakat (S-1) Stikes Jendral Achmad

Yani Cimahi. Dalam penyusunan proposal ini penulis banyak mendapat

bimbingan, bantuan dan saran dari berbagai pihak dan tidak lupa dalam

kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya

kepada:

1. Bapak Gunawan Iriyanto, dr., M.Kes (MARS) selaku Ketua Stikes


Jendral Achamd Yani Cimahi.
2. Bapak Asep Dian Abdillah, S.KM., MM., MH. Kes. Selaku Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat (S1) Stikes Jendral Achmad
Yani Cimahi sekaligus Pembimbing I yang telah membimbing dan
memotivasi penelitian dalam proses pengerjaan proposal skripsi,
3. Ibu Dini Marlina, SST., SKM., M.Kes. Selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti
sehingga proposal skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Seluruh staff Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (S-1) Stikes

Jenderal Achmad Yani Cimahi, pengelola perpustakaan serta seluruh

pihak yang terlibat dalam penyusunan proposal skripsi ini.

5. Kedua orangtua, ayahanda tercinta Ahmad Dahlan, SP., M.Pd. dan

ibunda Siti Hasna Farida, beserta seluruh keluarga tercinta yang

iv
tanpa lelah selalu mendoakan dan memberikan dukungan.

6. Teman-teman Ilmu Kesehatan Masyarakat S-1 Stikes Jenderal Ahmad

Yani Cimahi yang saling memotivasi, berbagi keluh kesah dan sama

sama berjuang dalam menyelesaikan Proposal Skripsi.

7. Semua pihak yang telah mendoakan, membantu dan mendukung

penelitian dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat peneliti

sebutkan.

v
DAFTAR ISI

Contents
PENGESAHAN...............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iv
DAFTAR ISI....................................................................................................................vi
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................4
1. Tujuan Umum..................................................................................................4
2. Tujuan Khusus.................................................................................................4
D. Manfaat Penelitian...............................................................................................5
1. Manfaat Teoritis...............................................................................................5
2. Manfaat Praktis................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................6
A. Tuberkulosis.........................................................................................................6
1. Pengertian.........................................................................................................6
2. Etiologi..............................................................................................................7
3. Patogenesis dan Penularan TB......................................................................11
4. Upaya Pengendalian TB.................................................................................18
5. Penemuan Pasien Tuberkulosis.....................................................................21
6. Pengobatan TB...............................................................................................29
B. Penyakit TB-DM................................................................................................32
BAB III...........................................................................................................................35
METODE PENELITIAN..............................................................................................35
A. Strategi Pencarian Literature............................................................................35

vi
1. Protokol dan Registrasi..................................................................................35
2. Framework yang digunakan..........................................................................35
3. Kata kunci.......................................................................................................36
4. Database atau Search engine.........................................................................36
B. Kriteria Literature.............................................................................................37
C. Seleksi Literature ( PRISMA)...........................................................................39
D. Analisis Data.......................................................................................................40
E. Etika Penelitian..................................................................................................41
Daftar Pustaka...............................................................................................................42

vii
viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang termasuk ke dalam

faktor utama terjadinya status kesehatan yang buruk, termasuk salah satu dari

10 penyebab kematian teratas di seluruh dunia dan penyebab utama kematian

dari agent infeksius (di atas HIV/AIDS). Penyakit TB disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebar ketika penderita

TBC mengeluarkan bakteri ke udara, misalnya saat penderita batuk. Penyakit

TB umumnya menyerang paru-paru (TB paru) tetapi selain itu juga dapat

menyerang bagian tubuh lainnya (TB ekstra paru).

Sekitar seperempat dari populasi dunia terinfeksi M. tuberculosis.

Penyakit TB dapat dicegah dan disembuhkan. Sekitar 85% orang yang

terserang penyakit TB dapat berhasil disembuhkan dengan waktu minum obat

selama 6 bulan, pengobatan ini juga berfungsi untuk menekan penularan

infeksi. Penyebaran penyakit ini dapat ditekan melalui tindakan multisektoral

untuk mengatasi faktor penyebab TB seperti, faktor ekonomi (kemiskinan),

kurang gizi, infeksi HIV, merokok, dan penyakit diabetes.

Secara geografis dari data global, penderita TB terbanyak pada tahun

2019 berada di wilayah Asia Tenggara, yaitu sebesar 44%, sedangkan

Indonesia menempati urutan ke dua yaitu sebesar 8,5% setelah India (26%).

1
2

Sejak tahun 2013 kedua negara ini menjadi penyumbang terbesar dalam hal

peningkatan orang yang terdiagnosis TB. Di Indonesia, jumlah kasus terus

meningkat dari 331.703 pada tahun 2015 menjadi 562.049 pada tahun 2019

(peningkatan lebih dari 69%). (WHO, 2020a).

Penyebaran penyakit TB di Indonesia sangat luas dan berisiko di semua

kelompok dan usia. Berdasarkan data survey prevalensi TB (SPTB) pada

tahun 2014, program TB di Indonesia mencatat sebanyak 324.539 kasus TB

ternotifikasi (TB semua tipe). Angka notifikasi semua tipe adalah

128/100.000. Sebanyak 303.152 kasus TB Paru (kasus baru dan pengobatan

ulang), dimana sekitar 199.770 (60%) dari kasus TB paru tersebut

terkonfirmasi bakteriologis. Terdapat 19.653 (6,1%) kasus TB Ekstra Paru

ternotifikasi. Sebagian besar kasus TB Ekstra Paru didiagnosis dan diobati di

Rumah Sakit karena memerlukan keahlian khusus dan peralatan yang

memadai. Angka kematian TB diperkirakan sekitar 68.000 kasus atau

26,5/100.000 penduduk sesuai dengan Laporan TB Global tahun 2014

(Kemenkes RI, 2016b). Sedangkan menurut Riskesdas tahun 2018 prevalensi

TB paru di Indonesia sebanyak 1.017.290 atau sebanyak 0,42% dari jumlah

penduduk (Kemenkes RI, 2019a).

Data Riskesdas tahun 2018, didapat prevalensi diabetes melitus

berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk ≥15 tahun, yaitu sebanyak

713.783 atau sebesar 2% (Kemenkes RI, 2019a). Prevalensi kejadian penyakit

diabetes mellitus dari seluruh populasi kasus penyakit tuberkulosis yaitu


3

sebanyak 12-17%. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 100 orang yang

terinfeksi TB, 12-17 diantaranya mempunyai komorbiditas diabetes melitus.

Seseorang dengan penyakit diabetes melitus mempunyai risiko 2-3 kali

lipat terinfeksi tuberkulosis dibandingkan dengan seseorang yang tidak

menderita diabetes mellitus. Pengobatan Obat anti tuberkulosis (OAT)

memakan waktu minimal 6 bulan, bahkan ada yang lebih lama yaitu 9 bulan,

12 bulan, hingga 24 bulan. OAT kategori II memiliki waktu yang lebih lama

yaitu minimal 8 bulan. Untuk kasus TB resisten obat membutuhkan waktu

yang lebih lama lagi. Selain berisiko menyebabkan kegagalan pengobatan,

pasien TB dengan komplikasi diabetes mellitus juga sering mengakibatkan

konversi sputum lebih lama, meningkatkan kematian akibat TB, dan peluang

kambuh setelah pengobatan selesai (Sembiring, 2019).

Faktor risiko terjadinya TB aktif dari TB laten (dorman) adalah

komorbiditas beberapa penyakit, termasuk diabetes melitus. Tuberkulosis

laten akan berlanjut ke TB aktif yang secara langsung berhubungan dengan

kondisi pasien (Kasper, 2010). Penyandang diabetes melitus bilamana

terinfeksi dengan M. tuberculosis akan jauh lebih mudah jatuh sakit dan

menjadi faktor risiko terjadinya TB. Setiap pasien dengan penyandang

diabetes melitus pada prinsipnya harus dievaluasi untuk TB meskipun belum

ada gejala. Penegakan diagnosis TB pada DM sama dengan diagnosis TB

tanpa komorbid (Kemenkes RI, 2016a).

Pada hasil registri TB-DM menunjukkan bahwa penyakit diabetes

melitus berpengaruh negatif terhadap kondisi klinis dan keberhasilan


4

pengobatan TB. Kegagalan pengobatan TB seperti meninggal, putus berobat,

gagal pengobatan, atau pindah tiga kali lebih besar pada TB-DM

dibandingkan dengan TB-non DM (Arlinda et al., 2017). Beberapa penelitian

lain menyatakan bahwa konversi sputum pada pasien TB dengan diabetes

melitus lebih lama daripada non-DM. Selain itu interaksi rifampisin dengan

obat penurun gula darah dapat menimbulkan hiperglikemi (Dooley &

Chaisson, 2009).

Penelitian mengenai TB-DM masih banyak dilakukan, dan hasilnya

cenderung bervariasi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka

peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh penyakit diabetes melitus terhadap

keberhasilan pengobatan tuberkulosis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut “Apakah ada pengaruh penyakit diabetes mellitus

dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menjelaskan keterkaitan penyakit diabetes melitus terhadap penyakit

tuberkulosis.
5

2. Tujuan Khusus

Menjelaskan pengaruh penyakit diabetes melitus terhadap keberhasilan

pengobatan tuberkulosis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat, khususnya

dibidang epidemiologi mengenai gambaran kejadian penyakit menular

Tuberkulosis (TB).

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini dapat memberikan masukan dan informasi mengenai

pengaruh penyakit diabetes melitus terhadap keberhasilan pengobatan

tuberkulosis.
6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

1. Pengertian

Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2020 (WHO,

2020b) tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri tahan asam (BTA)

Mycobacterium tuberculosis, yang akan berkembang atau menyebar

ketika seseorang dengan penyakit TBC mengeluarkan bakteri tersebut ke

udara, misalnya saat batuk. Penyakit ini umumnya menyerang paru-paru

(TB paru), tetapi dapat juga menyerang organ lain atau biasa disebut

dengan TB ekstraparu (WHO, 2020b).

Penyakit TB dapat menyerang siapa saja dan dari daerah mana

saja, tetapi kebanyakan yang terinfeksi penyakit ini adalah orang dewasa.

TB juga seringkali dikaitkan dengan penyakit kemiskinan, kesulitan

ekonomi, dan biasanya penderita akan mendapat stigma negatif dan

diskriminasi di masyarakat (WHO, 2020b). Tubuh yang mempunyai

imunitas yang baik, akan menekan pertumbuhan bakteri di dalam tubuh.

Sebaliknya, apabila imunitas buruk maka bakteri TB akan berkembang

dan menginfeksi organ tubuh (Sembiring, 2019).

7
8

2. Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.

Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis,

M. africanum, M. Bovis, M. leprae, dsb yang juga dikenal sebagai Bakteri

Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain

Mycobacterium tuberculosis yang dapat menimbulkan gangguan pada

saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than

Tuberculosis) yang terkadang dapat mengganggu penegakan diagnosa dan

pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu

melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi

sarana diagnosis ideal untuk TB (P2P Kemenkes RI, 2014).

Sesuai Permenkes RI No. 67 tahun 201, secara umum sifat kuman

Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut

(Kemenkes RI, 2016a):

a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6

mikron.

b. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl

Neelsen, berbenteuk batang berwarna merah dalam

pemeriksaan di bawah mikroskop.

c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain

Lowenstein Jensen, Ogawa.


9

d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup

dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4˚C sampai minus

70˚C.

e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar

ultra violet. Paparan langsung terhadap sinar ultra violet,

sebagian besar kuman akan mati dalam beberapa menit. Dalam

dahak pada suhu antara 30-37˚C akan mati dalam waktu lebih

kurang 1 minggu.

f. Kuman dapat bersifat dorman.

Belum ada penemuan bahwa hewan berperan sebagai agen

penularan M. tuberculosis, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang

terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta

menginvasi jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu

dari sapi yang terinfeksi oleh bakteri tersebut. Angka kejadian infeksi M.

bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara

berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah

diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.

Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan.

Tuberkulosis umumnya menular dari manusia ke manusia lain

lewat udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang

keluar ketika seseorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk,

bersin, atau bicara. Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB

paru melalui prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol


10

seperti saat dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat

dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di

laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1

sampai 5 µm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius,

dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang

sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang

alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan replikasi. Ada

3 faktor yang menetukan transmisi M. tuberculosis :

1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.

2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang

dan ventilasi.

3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Dalam sekali batuk dapat mengeluarkan hingga 3.000 percik renik

dan dalam satu kali bersin dapat menghasilkan hingga 1 juta percik renik,

sedangkan, dosis yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1

sampai 10 basil. Kasus yang paling infeksius adalah penularan dari pasien

dengan hasil pemeriksaan sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan

kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum negatif

bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak

infeksius, kecuali apabila penderita juga memiliki TB paru. Individu

dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi

mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melakukan transmisi ke

organisme lain.
11

Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan

minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam

waktu yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh

tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama

di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama

dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko penularan. Apabila

terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berkembang menjadi

penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu

dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi

penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif

(setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan setengahnya terjadi di

kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama

pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan

risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan

lanjut usia.

Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit

TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal.

Sekitar 50-60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan

mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada

kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan seperti

pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau

obat-obat imunosupresan lain dalam jangka panjang (Kemenkes RI,

2019b).
12

3. Patogenesis dan Penularan TB

M. tuberculosis sering kali ditularkan dari seseorang dengan

tuberkulosis paru melalui droplet, yang menjadi aerosol saat bersin, batuk,

atau berbicara. Droplet dapat mengering dengan cepat dan dapat

melayang di udara selama beberapa jam hingga terhirup oleh inangnya,

manusia. Kemungkinan kontak dengan penderita tuberkulosis, tingkat

kedekatan dan waktu kontak, satu lingkungan dengan penderita, bisa

menjadi penentu kemungkinan individu tertular tuberkulosis. Beberapa

penelitian menunjukkan seseorang dengan BTA positif secara

mikroskopis paling mungkin untuk menularkan infeksi. Interaksi M.

tuberculosis dengan inang manusia dimulai saat droplet yang

mengandung bakteri dari pasien terhirup. Meskipun sebagian besar yang

dihirup terperangkap di saluran pernafasan bagian atas dan dikeluarkan

oleh sel mukosa bersilia, sebagian kecil (biasanya <10%) mencapai

alveolus (Kasper, 2010).

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan

trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau

alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh

makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon

nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi

bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya.


13

Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini,

basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.

Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32

jam sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin

ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host

yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu

dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang

cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat

dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian

akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel

basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun.

Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar

melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran

darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui

memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar

dan limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.

Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan

otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang

pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat

berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler

spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.

a. TB Primer
14

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel

basili. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering

diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia

berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB

sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan

menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian

bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili

kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk

mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid yang

dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan

replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi

terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus

infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian

disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen kemudian bermigrasi

keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus

hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer.

Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis

kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu

respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat

pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung

1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area

inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan

fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang


15

mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host

adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk

beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”.

Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan

hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam

beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat

perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem

limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,

menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer

progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus

primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan

gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,

menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer.

b. TB pasca primer

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host

yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah

periode laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah

infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau

karena reinfeksi. Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap

di jaringan selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi

primer, mulai kembali bermultiplikasi.

Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun

host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang
16

pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak

dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil

kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah

terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit

intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada orang

dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran

limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-

primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga

melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer

adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan

paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil

yang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.

c. Perjalanan alamiah TB pada manusia

Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan

tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit, dan

meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Tahapan alamiah TB pada manusia.

a. Paparan
Peluang peningktan - Jumlah kasus menular di masyarakat
paparan terkait dengan: - Peluang kontak dengan kasus menular
- Tingkat daya tular dahak sumber
penularan
- Kedekatan kontak dengan sumber
penularan
- Lamanya waktu kontak dengan sumber
penularan
- Faktor lingkungan: konsentrasi kuman di
udara (ventilasi, sinar ultra violet,
17

penyaringan adalah faktor yang dapat


menurunkan konsentrasi.
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan
seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan
meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi
- Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan
kemudian berlangsung reaksi antigen-antibody.
- Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
- Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup
dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
- Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi.
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk - Konsentrasi / jumlah kuman yang
menjadi sakit TB adalah terhirup
tergantung dari: - Lamanya waktu sejak terinfeksi
- Usia seseorang yang terinfeksi
- Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh
yang rendah diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk)
akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian
TB melalui proses reaktifasi. TB umunya terjadi pada paru (TB paru).
Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat
menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila
penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua
organ tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian - Akibat dari keterlambatan diagnosis
karena TB: - Pengobatan tidak adekuat
- Adanya kondisi kesehatan awal yan
buruk atau penyakit penyerta
Catatan: pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko
ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.
18

Sumber : Permenkes RI No. 67 tahun 2016

Inhalasi Mycobacterium tuberculosis

Kuman Fagositosis oleh makrofag


mati alveolus paru

Masa inkubasi 2-
Kuman tetap hidup 12 minggu

Berkembangbiak
Pembentukan fokus
primer Penyebaran
limfogen Penyebarab
hematigen *1)

Uji Kompleks primer ghon *2)


tuberkulin Terbentuk imunitas seluler
TB Primer *3)

(+) spesifik

Sakit TB Infeksi

Komplikasi kompleks primer Imunitas


Komplikasi penyebaran
hematogen
Komplikasi penyebaran
limfogen

Meninggal
Imunitas turun,
reaktivasi
Sakit TB *4)
19

Sembuh

Gambar 2.1 : Patogenesis Tuberkulosis


Sumber : Depkes RI 2008 (Ni Made Mertaniasih, 2013).

4. Upaya Pengendalian TB

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an

WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang

dikenal sebagai strategi DOTS (Directky Observed Treatment Short-

course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan

pendanaan.

2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang

terjamin mutunya.

3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.

4) Sistem pengeloaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu

memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja

program.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam

pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi

DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis

sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan

dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Fokus utama


20

DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan

kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai

penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di

masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara

terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program

dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop

TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop

TB”, yaitu:

1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS.

2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya.

3) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan.

4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah

maupun swasta.

5) Memberdayakan pasien dan masyarakat.

6) Melaksanakan dan mengembangkan penelitian.

Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota

WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB

yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB,

mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan

landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan tercapai bila angka

insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB per 1 juta

penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi


21

TB (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi

10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012

mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi

sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi

pada tahun 2016. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih

komprehensif bagi pengendalian TB secara global. Pada sidang WHA ke

67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB

global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global

TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan:

1) Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun

2015.

2) Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000

penduduk).

Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-

komponenya yaitu:

1) Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB

a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi

semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan

kelompok populasi beresiko tinggi.

b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita

resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada

kebutuhan pasien (patient-centred support)


22

c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang

lain.

d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan

dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah

TB.

2) Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.

a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan

layanan dan pencegahan TB.

b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan

dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health

coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung

pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola

dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.

d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk

mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.

3) Intensifikasi riset dan inovasi

a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat,

metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB.

b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan

merangsang inovasi-inovasi baru untuk mempercepat

pengembangan program pengendalian TB.


23

5. Penemuan Pasien Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,

pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan

klasifikasi penyakt serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan

pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada

orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami

dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan

dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan

pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien

merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB.

Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan

dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta

sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling

efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien merupakan salah satu faktor

penting dalam upaya pengendalian TB.

1) Strategi Penemuan

a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok

populasi terdampak TB dan populasi rentan.

b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan

promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan

secara dini.
24

c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan fasilitas kesehatan;

didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan

bersama masyarakat.

d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk

mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan

pengobatan.

e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

a) Kelompok khusus yang rentan atau beresikio tinggi sakit TB

seperti pada pasien dnegan HIV, Diabetes mellitus dan

malnutrisi.

b) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang

berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/Rutan,

tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja,

asrama dan panti jompo.

c) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB

d) Kontak erat dnegan pasien TB dan pasien TB resisten obat.

f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan

gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan

praktis kesehatan paru (Practical approach to Lung health =

PAL), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu

meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi

terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu

layanan.
25

g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang

memiliki gejala:

- Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan

yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan

lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

berkeringatt malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang

lebih dari satu bulan.

- Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit

paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,

kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di

Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang

ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai

seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis langsung (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2014).

2) Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Bakteriologi

a) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk

menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi

penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan


26

dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang

dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):

- S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

- P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah

bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau di

bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani rawat

inap.

b) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode

Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk

penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan

untuk evaluasi hasil pengobatan.

c) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media

padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria

Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium

tuberkulosis (M.tb).

Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana

laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil

pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang

berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung

terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan

sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau


27

pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut

serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung

ke laboratorium.

b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

a) Pemeriksaan foto toraks

b) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai Tb

ekstraparu

c. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

resistensi M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus

dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan

mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat

nasional maupun internasional.

d. Pemeriksaan Serologis.

Sampai saat ini belum direkomendasikan.

1. Klasifikasi TB

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis

kompleks ini biasanya mempengaruhi paru, meskipun organ lain yang

terlibat dalam sepertiga kasus. Bagian tubuh lain yang sering terkena

adalah TB kelenjar getah bening, pleura, saluran genitourinari, tulang dan

sendi, meninges, peritoneum, dan perikardium. Berdasarkan letak anatomi

tuberkulosis dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: a. Tuberkulosis Paru adalah

tuberkulosis yang mengenai parenkim paru. Pleura tidak termasuk


28

sedangkan TB milier di klasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya

berada di dalam paru. b. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang

mengenai bagian tubuh lain selain paru (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PPDI), 2011). Berdasarkan pemeriksaan dahak dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Tuberkulosis paru disebut BTA (+) apabila minimal satu dari

sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukan hasil

positif. Dengan syarat laboratorium harus sesuai dengan Quality

external assurance (EQA). Dua kali pemeriksaan dahak baru bisa

dinyatakan sebagai BTA (+) apabila laboratorium belum sesuai

dengan EQA atau salah satu dari pemeriksaan dinyatakan positif dan

didukung dari hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran

TB paru yang sudah ditetapkan oleh klinisi. Satu hasil pemeriksaan

dahak positif ditambah dengan hasil kultur positif maka bisa

dinyatakan sebagai BTA (+).

b. Tuberkulosis paru BTA (-) apabila hasil dari pemeriksaan dahak

negatif tetapi hasil kultur positif. BTA (-) dinyataka jika hasil dari

pemeriksaan dahak dua kali negatif dan belum ada fasilitas

pemeriksaan kultur dengan syarat hasil foto toraks sesuai dengan

gambaran TB paru aktif dan mencantumkan hasil pemeriksaan

Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif atau jika status HIV

negatif, tidak diketahui, tidak menunjukkan perbaikan setelah

pemberian antibiotik sepektrum luas kecuali antibiotik yang


29

mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida.

Riwayat pengobatan penting diketahui untuk melihat adanya resiko

resistensi obat. Diperlukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan

terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jika ada indikasi resistensi.

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa jenis seperti:

a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat

pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT

kurang dari satu bulan.

b) Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif.

c) Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan

berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d) Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif

atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan

sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e) Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA

masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan

pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.


30

f) Kasus Bekas TB adalah dengan ditentukan dari hasil

pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,

atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PPDI), 2011).

6. Pengobatan TB

a. Tujuan Pengobatan TB, adalah:

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta

kualitas hidup.

2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya.

3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.

4) Menurunkan risiko penularan TB.

5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

b. Prinsip Pengobatan TB:

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling

efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

resistensi.
31

2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi

dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai

pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

c. Tahapan Pengobatan TB:

1) Tahap Awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada

tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan

jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir

pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan

sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap

awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.

Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa

adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu pertama.

2) Tahap Lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa

kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister

sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

d. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


32

Tabel 2.2. Obat Lini Pertama

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan
syaraf tepi, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang.
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome (gejala
(R) influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,
(Z) gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan,
(S) gangguan keseimbangan dan
pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta
(E) warna, neuritis perifer
(Gangguan syaraf tepi).
Sumber : Permenkes RI No. 67 tahun 2016

Tabel 2.3. Pengelompokan OAT Lini Kedua

Grup Golongan Jenis Obat


A Florokuinolon - Levofloksasin (Lfx)
- Moksifloksasin(Mfx)
- Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik - Kanamisin (km)
lini kedua - Amikasin (Am)*
- Kapreomisin (Cm)
- Streptomisin (S)**
C OAT oral lini - Etionamid (Eto/ Protionamid (Pto)*
kedua - Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
- Clofazimin (Cfz)
- Linezolid (Lzd)
D D1 - OAT - Pirazinamid (Z)
Lini - Etambutol (E)
Pertama - Isoniazid (H) dosis
tingggi
D2 - OAT - Bedaquiline (Bdq)
33

baru - Delamanid (Dlm)*


- Pretonamid (PA-824
D3 - OAT - Asam para
tambahan aminosalisilat (PAS)
- Imipenemsilastatin
(Ipm)*
- Meropenem (Mpm)*
- Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
- Thioasetazon (T)*

Keterangan :

*Tidak disediakan oleh program

**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada

kondisi tertentu dan tidak disediakan oleh program.

e. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

Panduan yang digunakan adalah :

1) Kategori 1 : 2(HRZE) / 4 (HR)3 atau 2 (HRZE) / 4 (HR).

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S /

(HRZE) / 5(HR)E.

3) Kategori Anak: 2(HRZ) / 4(HR) atau 2HRZE(S) / 4-10HR.

4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obt: terdiri dari OAT lini

ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,

Sikloserin, moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin,

Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1,

yaitu pirazinamid dan etambutol.


34

B. Penyakit TB-DM

Prevalensi kasus penyakit DM dari populasi pasien TB adalah sekitar

12-17%. Ini artinya dari 100 orang pasien yang menderita tuberkulosis, ada

sekitar 12-17 diantaranya memiliki penyakit diabetes melitus. Dari berbagai

referensi disebutkan bahwa diabetes melitus merupakan salah satu komorbid

dari penyakit tuberkulosis.

Penderita diabetes mellitus memiliki risiko 2-3 kali lipat menderita

penyakit tuberkulosis dibanding mereka yang tidak memiliki diabetes

mellitus. Hal ini dikarenakan kekebalan tubuh pasien diabetes mellitus

menurun sehingga rentan terhadap infeksi. Apalagi jika selama ini pasien

memiliki tuberkulosis laten, maka akan mudah sekali berubah menjadi

tuberkulosis aktif.

Penyakit diabetes melitus ada dua tipe, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pankreas sehingga produksi insulin

berkurang, sedangkan tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin yang artinya

insulinnya cukup tetapi tidak bekerja dengan baik dalam mengontrol kadar

gula darah. Diantara kedua tipe ini, DM tipe 1 memiliki peluang lebih besar

terkena tuberkulosis aktif, yaitu sekitar 3-5 kali berisiko daripada penderita

non-DM (Sembiring, 2019).

Selain berisiko menyebabkan kegagalan pengobatan, komorbid diabetes

mellitus juga sering mengakibatkan konversi sputum lebih lama,

meningkatkan laju angka kematian akibat tuberkulosis, serta meningkatkan

peluang kambuh setelah pengobatan berakhir (Sembiring, 2019). Hasil


35

penelitian Karminiasih dkk (2016) dalam suatu penelitian kasus kontrol

menunjukkan bahwa penyakit penyerta DM secara independen dijumpai

sebagai faktor risiko kekambuhan pasien TB paru dengan AOR=9,6 (95%CI:

2,17-43,08) (Karminiasih et al., 2016). Berdasarkan studi yang telah dilakukan

di RSKP Sumatera Utara menunjukkan hasil bahwa pada pasien dengan kadar

gula darah meningkat dengan BTA terkonversi sebesar 8,2% dari total

responden. Sedangkan yang tidak terkonversi sebesar 12,2%. Pada kategori

kadar gula darah menurun dengan BTA terkonversi sebesar 65,3% dan yang

tidak terkonversi sebesar 14,3%. Hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh kadar

gula darah terhadap konversi BTA memiliki hubungan yang signifikan

(Pulungan, 2020).
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literature

1. Protokol dan Registrasi

Hasil keseluruhan dalam bentuk literature review mengenai

pengaruh penyakit tuberkulosis terhadap keberhasilan pengobatan

tuberkulosis. Langkah-langkah dan evaluasi dari literature review akan

menggunakan PRISMA checklist untuk menentukan pemilahan penelitian

yang telah dilakukan dan disesuaikan dengan tujuan dari literature review.

2. Framework yang digunakan

PICOS digunakan sebagai strategi pencarian literatur, dengan uraian

sebagai berikut (Nursalam & Nurs, 2020):

1) Population/problem yaitu populasi atau masalah yang akan digunakan

dalam melakukan literature review yang sesuai topik penelitian.

2) Intervention yaitu tindakan atau perlakuan yang diberikan kepada

populasi yang sesuai dengan topik penelitian serta pemaparan tentang

penatalaksanaan studi dalam melakukan literature review.

3) Comparation yaitu tindakan atau perlakuan lain yang digunakan

sebagai pembanding dalam melakukan literature review. Jika tidak

bisa dapat menggunakan kelompok kontrol dalam studi yang terpilih.

36
37

4) Output yaitu luaran atau hasil yang diperoleh dari penelitian terdahulu

dan sesuai dengan topik literature review yang telah ditentukan.

5) Study design yaitu jenis desain penelitian yang akan digunakan dalam

literature review.

3. Kata kunci

Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword AND, OR NOT or

AND NOT yang dipakai untuk memperluas atau menemukan pencarian

yang lebih spesifik sehingga mempermudah dalam penentuan artikel atau

jurnal yang digunakan. Kata kunci Kata kunci yang digunakan dalam

literaure review ini disesuaikan dengan Medical Subject Heading (MeSH),

terdiri dari sebagai berikut :

Tabel 3.4 Kata Kunci Literature Review

Effect Diabetes Treatment Tuberculosis


Melitus
Effect Metabolic Therapy Gram positive
diseases bacterial
infection
OR OR OR OR
Impact Glucose Treatment Mycobacterium
metabolism infection
disorders
OR OR OR
Response Diabetes Tuberculosis
mellitus Type 1
and type 2

4. Database atau Search engine

Literature review yang merupakan kumpulan ataupun ringkasan studi

atau penelitian yang ditentukan berdasarkan tema tertentu. Pencarian


38

literature dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2021. Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dimana data yang didapatkan

tidak melalui pengawasan secara langsung melainkan mengambil dari data

penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan. Sumber data yang digunakan

adalah artikel jurnal bereputasi nasional (Sinta 1-6) dan artikel jurnal

internasional Scopus, Pubmed, CINHL, Scient Direct, Google Shcolar

yang sesuai dengan tema yang telah ditentukan.

B. Kriteria Literature

Pertanyaan review mempunyai perumusan dan batasan pertanyaan

penelitian yang didefinisikan dengan jelas melalui kriteria inklusi dan

eksklusi menggunakan format PICOS (Lewis & Woodhouse, 2015).

Tabel 3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi dengan format PICOS

Kriteria Inklusi Eksklusi


Population/ Jurnal nasional dan Jurnal nasional dan
Problem internasional dari database internasional dari
yang berbeda dan berkaitan database yang berbeda
dengan variabel penelitian dan tidak ada kaitan
yakni TB-DM dan dengan variabel
pengobatan TB. penelitian.
Intervention Terdapat penyakit penyerta Penyakit penyerta
Diabetes Melitus lainnya antara lain, HIV,
pneumonia, gangguan
ginjal, dan jantung.
Comparation Tidak ada faktor
pembanding
Outcome Adanya pengaruh penyakit Adanya pengaruh
penyerta DM dengan pengobatan TB paru
keberhasilan pengobatan dengan penyakit kronis
TB. lainnya.
Study design Cross sectional, cohort dan case control, descriptive
Systematic/Literature
39

Kriteria Inklusi Eksklusi


review
Tahun terbit Jurnal yang terbit pada Jurnal yang terbit
tahun 2018 sampai 2021 sebelum tahun 2018
Bahasa Bahasa Indonesia dan Menggunakan bahasa
Bahasa Inggris dari negara lain selain
kedua bahasa tersebut
40

C. Seleksi Literature ( PRISMA)

Pencarian literature melalui melalui jurnal publikasi database dan

menggunakamkata kunci yang disesuaikan dengan MeSH. Hasil pencarian

artikel akan diskrining dan disesuaikan dengan tema literature review, yaitu

berdasarkan kelayakan terhadap kriteria inklusi dan eksklusi.

Research identified through


databases Scopus, PubMed,
Science Direct, CINAHL and
ProQuest (n= )

Excluded (n= )

Records after duplicates


removed (n= )

Titles identified and screened


(n= )

Abstract identified and


screened (n= )
Excluded (n= )

Full copies retrieved and


assessed for eligibility (n= )

Studi included in synthesis


(n= )

Gambar 3.2 Metode Penelitian Sistem Studi Kepustakaan.


41

D. Analisis Data

Analisis kualitas metodologi dengan checlist daftar penilaian dengan

beberapa pertanyaan untuk menilai kualitas dari penelitian. Penilaian kriteria

diberi nilai ‘ya’, ‘tidak’, ‘tidak jelas’, atau ‘tidak berlaku’, dan setiap kriteria

dengan skor ‘ya’ diberi satu poin dan nilai lainnya adalah nol, setiap skor

penelitian kemudian dihitung dan dijumlahkan. Critical appraisal untuk

menilai studi yang memenuhi syarat, jika skor penelitian setidaknya 50%

memenuhi kriteria critical appraisal dengan nilai titik cut-off yang telah

disepakati oleh peneliti, studi dimasukkan ke dalam kriteria inklusi. Peneliti

mengecualikan studi yang berkualitas rendah untuk menghindari bias dalam

validitas hasil dan pemberian kesimpulan.

Risiko bias dalam literature review ini menggunakan penilaian pada

metode pada penelitian masing-masing, yang terdiri dari (Nursalam & Nurs,

2020) :

1) Teori : teori yang tidak sesuai, sudah kadaluarsa, dan kredibilitas

kurang.

2) Desain : desain kurang sesuai dengan tujuan penelitian

3) Sample : memperhatikan 4 aspek, yaitu populasi, sampel, sampling,

dan besar sampel yang tidak sesuai dengan kaidah pengambilan

sampel.

4) Variabel : variabel yang ditetapkan kurang sesuai dari segi jumlah,

pengontrolan variabel perancu.


42

5) Instrumen : instrumen yang digunakan tidak memiliki sensitifitas dan

spesifikasi serta validitas-reliabilitas.

6) Analisis Data : analisis data tidak sesuai dengan kaidah analisis yang

sesuai dengan standart.

E. Etika Penelitian

1. Point misconduct, peneliti tidak melakukan tindakan penipuan dalam

menjalankan proses penelitian.

2. Plagiarism, peneliti tidak memalsukan hasil penelitian, dan tidak mengutip

sumber tanpa diberikan keterangan sumber.


Daftar Pustaka

Arlinda, D., Yulianto, A., Syarif, A. K., Harso, A. D., Indah, R. M., & Karyana,
M. (2017). Pengaruh Diabetes Melitus terhadap Gambaran Klinis dan
Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Tujuh RSU Kelas A dan B di Jawa
dan Bali. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 27(1), 31–38.
https://doi.org/10.22435/mpk.v27i1.4130.31-38

Dooley, K. E., & Chaisson, R. E. (2009). Tuberculosis and diabetes mellitus:


convergence of two epidemics. The Lancet Infectious Diseases, 9(12), 737–
746. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(09)70282-8

Karminiasih, N. L. P., Putra, I. W. G. A. E., Duarsa, D. P., Ngurah, I. B., &


Karmaya, M. (2016). Faktor Risiko Kekambuhan Pasien TB Paru di Kota
Denpasar : Studi Kasus Kontrol Risk Factors for Recurrences of Pulmonary
TB among Patients in Denpasar : A Case-Control Study. Public Health and
Preventiv Medicine Archive, 4, 20–26.

Kasper, D. L. et all. (2010). Harrison’s Infectious Disease. In The McGraw-Hill


Companies (17th ed.).

Kemenkes RI. (2016a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67


Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 244(26), 993–
994. https://doi.org/10.1056/nejm195106282442609

Kemenkes RI. (2016b). Rencana Aksi Nasional Penanggulangan TB Melalui


Penguatan Laboratorium TB 2016-2020.

Kemenkes RI. (2019a). Laporan Nasional Riskesdas 2018. In Badan Penelitian


dan Pengembangan Kesehatan (p. 198). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Lap
oran_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf

Kemenkes RI. (2019b). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

43
44

Tuberkulosis (Vol. 1, Issue 1). Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Buku Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkuolsis.

Lewis, A., & Woodhouse, M. (2015). Using The PICOS Model To Design And
Conduct A Systematic Search : A Speech Pathology Case Using the PICOS
model to design and conduct a systematic search : A Speech Pathology case
study . A collaborative effort by Charn Nang , Bianca Piano , Abigail.
Australia University, September.

Ni Made Mertaniasih, dkk. (2013). Tuberkulosis Diagnostik Mikrobiologis (N.


M. M. Eko Budi Koendhori, Deby kusumaningrum (ed.)). Airlangga
University Press.

Nursalam, & Nurs. (2020). Literature Systematic Review pada Pendidikan


Kesehatan (M. D. Sukartini Tintin, Priyantini Diah (ed.)). Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga.
file:///C:/Users/USER/Downloads/pdfcoffee.com_literature-systematic-
review-pada-pendidikan-kesehatan-pdf-free.pdf

P2P Kemenkes RI. (2014). Modul Program Pengendalian Tuberkulosis.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PPDI). (2011). PPOK (Penyakit paru


Obstruktif Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia.

Pulungan, A. L. (2020). Pengaruh Kadar Gula Darah Terhadap Konversi BTA


pada Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus di RSKP Provinsi
Sumatera Utara Periode Juli 2018 Hingga September 2019. Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.

Sembiring, dr. S. (2019). Indonesia Bebas Tuberkulosis (R. Awahita (ed.)). CV


Jejak, anggota IKAPI.

WHO. (2020a). Global Tuberculosis Report.


45

http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf

WHO. (2020b). Global Tuberculosis Report 2020. www.WHO.int


46

Lampiran

JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR CASE


REPORTS
Reviewer ______________________________________
Date_______________________________

Author_______________________________________ Year_________ Record


Number_________

Yes No Unclear Not


applicable
1. Were patient’s demographic characteristics
clearly described? □ □ □ □
2. Was the patient’s history clearly described
and presented as a timeline? □ □ □ □
3. Was the current clinical condition of the
patient on presentation clearly described? □ □ □ □
4. Were diagnostic tests or assessment
methods and the results clearly described? □ □ □ □
5. Was the intervention(s) or treatment
procedure(s) clearly described? □ □ □ □
6. Was the post-intervention clinical condition
clearly described? □ □ □ □
7. Were adverse events (harms) or
unanticipated events identified and
described? □ □ □ □
8. Does the case report provide takeaway
lessons? □ □ □ □
Overall appraisal: Include □ Exclude □ □
Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)


47

_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
___________________________________________________
48

JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR


CASE CONTROL STUDIES
Reviewer ______________________________________
Date_______________________________

Author_______________________________________ Year_________ Record


Number_________

Not
Yes No Unclear applica
ble
1. Were the groups comparable
other than the presence of disease
in cases or the absence of disease
in controls?
□ □ □ □
2. Were cases and controls matched
appropriately? □ □ □ □
3. Were the same criteria used for
identification of cases and
controls?
□ □ □ □
4. Was exposure measured in a
standard, valid and reliable way? □ □ □ □
5. Was exposure measured in the
same way for cases and controls? □ □ □ □
6. Were confounding factors
identified? □ □ □ □
7. Were strategies to deal with
confounding factors stated? □ □ □ □
8. Were outcomes assessed in a
standard, valid and reliable way for
cases and controls?
□ □ □ □
9. Was the exposure period of
interest long enough to be
meaningful?
□ □ □ □
10. Was appropriate statistical analysis
used? □ □ □ □
49

Overall appraisal: Include □ Exclude □ Seek further info □


Comments (Including reason for exclusion)

_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
___________________________________________________
50

JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR


ANALYTICAL CROSS SECTIONAL STUDIES
Reviewer ______________________________________
Date_______________________________

Author_______________________________________ Year_________ Record


Number_________

Yes No Unclear Not


applicable
1. Were the criteria for inclusion in the
sample clearly defined? □ □ □ □
2. Were the study subjects and the setting
described in detail? □ □ □ □
3. Was the exposure measured in a valid
and reliable way? □ □ □ □
4. Were objective, standard criteria used
for measurement of the condition? □ □ □ □
5. Were confounding factors identified?
□ □ □ □
6. Were strategies to deal with
confounding factors stated? □ □ □ □
7. Were the outcomes measured in a valid
and reliable way? □ □ □ □
8. Was appropriate statistical analysis
used? □ □ □ □
Overall appraisal: Include □ Exclude □ □
Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)

_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
___________________________________________________
51

JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR


COHORT STUDIES
Reviewer ______________________________________
Date_______________________________
Author_______________________________________ Year_________ Record
Number_________
Yes No Unclear Not
applicable
1. Were the two groups similar and recruited from the
same population? □ □ □ □
2. Were the exposures measured similarly to assign
people
3. to both exposed and unexposed groups?
□ □ □ □
4. Was the exposure measured in a valid and reliable
way? □ □ □ □
5. Were confounding factors identified?
□ □ □ □
6. Were strategies to deal with confounding factors
stated? □ □ □ □
7. Were the groups/participants free of the outcome
at the start of the study (or at the moment of
exposure)? □ □ □ □
8. Were the outcomes measured in a valid and reliable
way? □ □ □ □
9. Was the follow up time reported and sufficient to be
long enough for outcomes to occur? □ □ □ □
10. Was follow up complete, and if not, were the
reasons to loss to follow up described and explored? □ □ □ □
11. Were strategies to address incomplete follow up
utilized? □ □ □ □
12. Was appropriate statistical analysis used?
□ □ □ □
Overall appraisal: Include □ Exclude □ Seek further info □
52

Comments (Including reason for exclusion)

_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
__________________________________
53

JBI CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR


SYSTEMATIC REVIEWS AND RESEARCH
SYNTHESES
Reviewer ______________________________________
Date_______________________________

Author_______________________________________ Year_________ Record


Number_________
Not
Yes No Unclear
applicable
9. Is the review question clearly and explicitly
stated? □ □ □ □
10. Were the inclusion criteria appropriate for
the review question? □ □ □ □
11. Was the search strategy appropriate?
□ □ □ □
12. Were the sources and resources used to
search for studies adequate? □ □ □ □
13. Were the criteria for appraising studies
appropriate? □ □ □ □
14. Was critical appraisal conducted by two or
more reviewers independently? □ □ □ □
15. Were there methods to minimize errors in
data extraction? □ □ □ □
16. Were the methods used to combine studies
appropriate? □ □ □ □
17. Was the likelihood of publication bias
assessed? □ □ □ □
18. Were recommendations for policy and/or
practice supported by the reported data? □ □ □ □
19. Were the specific directives for new
research appropriate? □ □ □ □
Overall appraisal: Include □ Exclude □ □
Seek further info
54

Comments (Including reason for exclusion)

_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
___________________________________________________
55

Anda mungkin juga menyukai