Anda di halaman 1dari 109

AGENS-AGENS HAYATI SEBAGAI PENGGANTI

INSEKTISIDA SINTETIK

Penulis:
Drs. Parluhutan Siahaan, M.Si.
Arie Saimima, S.Si.

Editor:
Arie Saimima, S.Si.

Penerbit
CV. PATRA MEDIA GRAFINDO BANDUNG
AGENS-AGENS HAYATI SEBAGAI PENGGANTI INSEKTISIDA SINTETIK

Penulis: Drs. Parluhutan Siahaan, M.Si.


Arie Saimima, S.Si.

Editor: Arie Saimima, S.Si.

Hak Cipta @ pada Penulis Dilindungi (All right reserved)


Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian
atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, baik secara mekanis
maupun elektronis, termasuk fotocopy, rekaman dan lain-lain tanpa izin tertulis dari
penulis.

ANGGOTA IKAPI
Cetakan pertama, Mei , 2020
Cover Design by: CV. Patra Media Grafindo
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk berkat,


kemurahan, dan penyerataan-NYA, kami dapat menyelesaikan
buku ini dengan segala baik. Kiranya Tuhan Yesus Kristus
yang adalah Tuhan dan Juruselamat umat manusia senangtiasa
melindungi dan memberkati kita semua.
Buku ini bertujuan untuk memberitahu tentang
penggunaan agens-agens hayati yang dapat menjadi pengganti
pestisida sintetik. Agens hayati tersebut antara lain; kelompok
virus, bakteri, jamur, protozoa, rickettsia, dan nematoda.
Masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahannya. Dari
kebanyakan agens pengendali hayati tersebut, kelompok virus
dan jamurlah yang paling banyak digunakan karena ciri
infeksinya sangat jelas dan mudah untuk diproduksi secara
masal.
Penggunaan agens hayati mulai diminati karena efek
samping penggunaan pestisida sintetik mulai diketahui.
Terdapat permasalahan pada penggunaan pestisida sintetik,
sehingga agens hayati menjadi solusi satu-satunya untuk
mengatasi dua masalah yang dihadapi para pemulia tanaman,
yaitu masalah hama tanaman khususnya serangga dan masalah
lingkungan akibat penggunaan pestisida sintetik.

i
Secara umum, penggunaan agens hayati telah banyak
digunakan baik lewat produk komersial ataupun produk hasil
isolasi dan perbanyakan mandiri di laboratorium. Namun,
persaingannya dengan pestisida sintetik masih terus terjadi
karena kepentingan bisnis.
Pegetahuan akan agens hayati yang dapat menggantikan
pestisida sintetik perlu diperjuangkan oleh semua pihak baik
dari pemerintah, peneliti, petani, dan masyarakat. Sehingga
untuk mewujudkan hal tersebut kami membuat buku ini dapat
dengan mudah dipahami oleh semua kalangan. Buku ini dapat
digunakan sebagai bahan bacaan atau sumber referensi oleh
mahasiswa, peneliti, dan manyarakat luas.
Akhir kata, kami selaku penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu yang mendukung dalam doa dan juga sumbangan
pengetahuannya sehingga buku ini dapat diselesaikan dengan
baik. Tuhan Yesus Kristus memberkati kita semua. Amin

Manado, Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................ 1
BAB II. SEJARAH PENGGUNAAN AGENS HAYATI
SEBAGAI PENGENDALI SERANGGA HAMA TANAMAN
................................................................................................... 6
BAB III. JENIS-JENIS PATOGEN SERANGGA YANG
POTENSIAL DAN BEBERAPA ASPEK PENGGUNAANYA
DALAM PENGENDALIAN SERANGGA HAMA .............. 10
3.1. Virus .............................................................................. 11
3.1.1. Virus Polihedrosis Inti (NPV) ................................ 12
3.1.2. Virus Granulosis (GV) ........................................... 20
3.1.3. Virus Polihedrosis Sitoplasma (CPV) .................... 24
3.2. Bakteri ........................................................................... 27
3.2.1. Nonspora-Foming Bacteria (Bakteri yang tidak
membentuk spora) ............................................................ 27
3.2.2. Spore-Forming Bacteria (Bakteri yang membentuk
spora) ................................................................................ 28
3.3. Jamur ............................................................................. 38
3.3.1. Beauveria bassiana ............................................... 41
3.3.2. Metarrhizium anisopliae ....................................... 44
3.3.3. Isaria fumosorosea ................................................. 48
iii
3.3.4. Nomuraea rileyi ..................................................... 49
3.4 Protozoa ......................................................................... 50
3.5. Rickettsia ...................................................................... 53
3.6. Nematoda ...................................................................... 56
BAB IV. BEBERAPA SIFAT KARAKTERISTIK PATOGEN
SERANGGA ........................................................................... 65
4.1 Mekanisme Penularan .................................................... 65
4.2 Kisaran Inang (Host Range) .......................................... 66
4.3. Persistensi Patogen Serangga ....................................... 68
4.4. Patogenisitas ................................................................. 71
BAB V. TAHAP PERKEMBANGAN PENYAKIT
SERANGGA ........................................................................... 79
GLOSARIUM ......................................................................... 86
DAFTAR INDEX.................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA.............................................................. 93

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Virus Polihedrosis Inti (NPV) (Contoh:


Baculovirus)........................................................... 13
Gambar 2. Tipe Virus Polihedrosis Inti ................................... 14
Gambar 3. Ulat Bawang (Spodoptera exigua) yang mati akibat
NPV ....................................................................... 15
Gambar 4. Mekanisme Infeksi NPV pada Larva Serangga ..... 16
Gambar 5. Struktur Granulosis Virus (GV)............................. 21
Gambar 6. Mekanisme Serangan Granulosis Virus (GV) ....... 22
Gambar 7. Infeksi GV pada Cydia pomonella ........................ 23
Gambar 8. Struktur Virus Polihedrosis Sitoplasma (CPV) ..... 25
Gambar 9. Saluran Pencernaan (Gut) Larva Helicoverpa
armigera yang terinfeksi CPV. A) Gut yang sehat.
B) Gut yang terinfeksi CPV................................... 25
Gambar 10. Larva Rhopaea verreauxi yang terinfeksi Bacillus
popilliae var. rhopaea. Larva Sehat (Kiri) dan Larva
Terinfeksi (Kanan) ................................................. 30
Gambar 11. Bentuk Spora Bacillus popiliae ........................... 31
Gambar 12. Bentuk Sel Vegetatif Bacilus popilliae................ 32
Gambar 13. Spora (S) dan Kristal (C) Bakteri Bacillus
thuringiensis (Perbesaran 10,000 x) ...................... 33

v
Gambar 14. Sel-sel Bakteri Bacillus thuringiensis (Perbesaran
1000 x)................................................................... 33
Gambar 15. Mekanisme infeksi Bakteri Bacillus thuringiensis
................................................................................................. 37
Gambar 16. Larva Ulat Kedelai (Chrysodeixis includens) yang
terinfeksi Bacillus thuringiensis. Larva sehat
(Bawah), Larva yang terinfeksi selama 24 Jam
(Tengah), dan Larva yang terinfeksi selama 48 Jam
(Atas) ..................................................................... 37
Gambar 17. Proses Infeksi Larva oleh Jamur Entomopatogen 40
Gambar 18. Konidia Jamur Beaveria bassiana (Perbesaran
400x)...................................................................... 42
Gambar 19. Mekanisme Serangan Beauveria bassiana Melalui
Kutikula ................................................................. 43
Gambar 20. Nilaparvata lugens yang terinfeksi Beauveria
bassiana. Serangga Sehat (A) dan Serangga
Terinfeksi (B) ........................................................ 44
Gambar 21. Konidia Jamur Metarrhizium anisopliae ............. 45
Gambar 22. Larva Oryctes rhinocerpo yang terinfeksi
Metarrhizium anisopliae ....................................... 47
Gambar 23. Larva Helicoverpa armigera yang terinfeksi (atas)
dan Konidia Jamur Nomuraea rileyi (bawah) ....... 50

vi
Gambar 24. Bentuk Spora Protozoa. Microsporidian
Pleistophora schubergi .......................................... 51
Gambar 25. Salah Satu Bentuk Rickettsia (Batang) ................ 54
Gambar 26. Morfologi Nematoda. Betina (a) dan Jantan (b) .. 59
Gambar 27. H.mikroamphidus. 1) Ujung Anterior Jantan. 2)
Penampang Apikal Kepala Jantan. 3) Vagina. 4)
Ujung Anterior Betina. 5) Penampang Lateral
Ujung Posterior Jantan. 6) Ujung Anterior
Postparasit Juvenil. 7) Penampang Ventral Ujung
Posterior Jantan. 8) Potongan Melintang Bagian
Tengah Tubuh Betina. ........................................... 62
Gambar 28. A). Sirex noctilio. B). Deladenus siricicola. C).
Telur Sirex noctilio yang terinfeksi Deladenus
siricicola ................................................................ 63
Gambar 29. D) Ovarium Sirex noctilio . Tanpa Deladenus
siricicola (Kiri) dan Terinfeksi Deladenus siricicola
(Kanan). E) Testis Sirex noctilio. Tanpa Deladenus
siricicola (Kiri) dan Terinfeksi Deladenus siricicola
(Kanan) .................................................................. 64
Gambar 30. Entomophthora planchoniana menginfeksi Myzus
persicae ...................................................................... 83

vii
BAB I. PENDAHULUAN

Pengendalian hama tanaman dengan menggunakan


musuh-musuh alaminya, sampai saat ini belum dilakukan
sebanyak pemakaian pestisida sintetik yang konvensional.
Pemakaian musuh alami ini merupakan cara yang paling aman,
murah dan tidak mengandung resiko pencemaran lingkungan.
Seperti kita ketahui musuh-musuh alami ini terdiri dari
predator, parasit dan patogen seperti bakteri, jamur dan virus
yang merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi atau
menekan populasi hama tanaman. Di alam bebas jasad renik
atau mikroba seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, rickettsia
dan nematoda dapat menimbulkan suatu epizootic atau wabah
penyakit pada populasi suatu hama tanaman. Beberapa jenis
mikroba-mikroba tersebut diketahui sangat patogenik pada
inangnya.
Sebagai contoh salah satu agensia pengendali hama
yang potensial yaitu mikroorganisme yang dapat menginfeksi
serangga hama. Seperti sudah dikemukakan bahwa
pengendalian hama dengan agensia ini relatif aman, karena
tidak bersifat toksik terhadap bentuk kehidupan lainnya, yang
artinya tidak berpengaruh terhadap serangga-serangga yang

1
bermanfaat (Beneficial insects). Selain aman cara ini juga
memberikan keuntungan lainnya, antara lain :
a) Banyak entomopatogen yang bersifat kompatibel
dengan berbagai insektisida konvensional.
b) Beberapa entomopatogen mudah dan murah untuk
diproduksi.
c) Penggunaannya bervariasi (introduksi/kolonisasi atau
sebagai insektisida mikroba).
Sejauh ini telah diketahui kurang-lebih terdapat 2.000
mikroorganisme yang potensial untuk digunakan dalam
pengendalian hama, antara lain hampir meliputi 100 spesies
bakteri, lebih dari 750 spesies jamur, 700 jenis virus, dan 300
spesies protozoa.
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk
memanfaatkan potensi ini. Beberapa diantaranya telah dapat
memberikan hasil yang memuaskan, bahkan di beberapa
negara yang sudah maju entomopatogen ini telah digunakan
secara meluas. Sebagai contoh, misalnya Bacillus thuringiensis
Berliner, jenis bakteri ini diketahui sangat patogenik pada
beberapa genus hama dan Ordo Lepidoptera. B. thuringiensis
Berliner dalam bentuk insektisida mikroba telah terdaftar di
Amerika Serikat untuk mengendalikan tidak kurang dari 23
spesies serangga hama pada 20 jenis tanaman pertanian.

2
Sejarah mulai digunakannya patogen sebagai agensia
pengendali serangga hama barangkali sulit untuk ditentukan.
Namun demikian, rintisan terdahulu dari penggunaan patogen
untuk menekan populasi serangga hama antara lain yaitu
karena penemuan dari Agustino Bassi pada tahun 1835
terhadap adanya infeksi alami dari ―
White Musc ardine
Fungus”, Beauveria bassiana (Balsama) Vuillemin pada ulat
sutra (Bombyx mori L.) dan serangga-serangga lain. Penelitian
telah banyak dilakukan untuk uji coba terhadap ―
Green
Muscardine Pungus”, Metarrhizium anisopliae Sor,. Yang
diinfeksikan pada kumbang Anisoplia austriaca Herbst. Pada
tahun 1888, jamur Metarrhizium tersebut telah dapat
diperbanyak oleh Krassilstschick. Setelah berhasil
memperbanyak spora jamur tersebut maka spora tersebut
diaplikasikan di lapangan terhadap serangga-serangga hama.
Keberhasilan Krassilstschick tersebut telah membuka
lembaran baru dalam dunia pengendalian serangga hama
sehingga usaha-usaha kearah pengembangan dan penggunaan
patogen makin dipergiat. Sebagai contoh misalnya, pada tahun-
tahun awal abad dua puluh penggunaan jamur Metarrhizium
telah meluas kebeberapa bagian dunia seperti Hawaii, Jawa
(Indonesia), Trinidad, dan Puerto Rico. Juga pada tahun 1913
Friedrichs melaporkan mengenai keberhasilan penggunaan

3
jamur Metarrhizium untuk mengendalikan hama Oryctes
rhinoceros L. pada tanaman kelapa. Kegiatan tersebut masih
diikuti oleh kegiatan-kegiatan lain yang meliputi penelitian dan
penggunaan jenis patogen lain seperti virus, bakteri, dan lain-
lain untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Misalnya
Beauveria bassiana telah digunakan secara rutin dan meluas di
Uni Soviet untuk mengendalikan Colorado potato beatle
(Laspeyrisia pomonella).
Menurut kesimpulan beberapa ahli, penggunaan
patogen serangga ini akan lebih berhasil apabila dilakuan pada
stadium awal dari populasi hama yang dikendalikan.
Sedangkan penularan penyakit pada beberapa serangga
sasarannya dapat melalui tanaman inang atau langsung menular
pada serangga tersebut. Penyakit yang terdapat pada tanaman
inang akan mengakibatkan kematian lebih tinggi dan
merupakan racun kronis, apabila dibandingkan dengan yang
langsung menempel atau masuk pada serangga, karena
penyakit/patogen yang terdapat pada tanaman inang lebih tahan
terhadap lingkungan.
Arthropoda pada umumnya dan serangga pada
khususnya peka (susceptible) terhadap kelompok-kelompok
mikroorganisme, yaitu protozoa, jamur, bakteri, rickettsia dan
virus, seperti halnya manusia, binatang lain, dan tumbuhan.

4
Mikroorganisme-mikroorganisme yang menyerang serangga
disebut entomopatogen yang dapat menyebabkan penyakit
yang sering menekan dan dalam beberapa kasus dapat
membasmi populasi serangga hama secara alami. Mengingat
potensi dan keamanannya dalam mengendalikan hama,
dirasakan perlu untuk terus menggali dan mengembangkan
potensi entomopatogen yang ada, agar dapat dimanfaatkan
secara efektif dan efisien dalam pengendalian nama pada
berbagai komoditi pertanian.
Dilihat dari segi keamanan, produksi, dan
keefektifannya merupakan suatu hal yang perlu dikaji
berulang-ulang kali. Hal ini menentukan dalam pengembangan
insektisida mikrobia itu sendiri. Kemungkinan faktor-faktor
yang mempengaruhinya dan faktor-faktor non-teknis yang lain
dalam pengembangan potensi entomopatogen sebagai
insektisida mikrobia akan diuraikan lebih lanjut.

5
BAB II. SEJARAH PENGGUNAAN AGENS
HAYATI SEBAGAI PENGENDALI SERANGGA
HAMA TANAMAN

Fakta sejarah mengenai penggunaan agens hayati


sebagai pengendali hama sulit untuk diklarifikasih runtutannya.
Sejak zaman prasejarah manusia telah mengetahui mekanisme
bercocok tanam sebagai cikal bakal pemukiman sehingga tidak
berpindah-pindah tempat lagi, sehingga permasalahan hama
pada lahan bercocok tanam bisa dipastikan sudah mulai ada.
Bangsa Sumeria yang dipercaya sebagai cikal bakal
peradaban modern sudah mengenal kegiatan bercocok tanam
pada masa neolitikum. Namun, belum adanya informasi bahwa
bangsa ini sudah mulai menggunakan agens hayati sebagai
pengendali hama. Hal yang sama juga terjadi pada Bangsa
Mesir Kuno. Kedua bangsa ini dikenal dengan sistem pertanian
yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi selain sektor
perdagangan. Namun, catatan sejarah keduanya tidak
menjelaskan secara pasti adanya penggunaan agens hayati
ataupun hama pada daerah pertanian mereka.
Beberapa sumber mengatakan bahwa bangsa Mesir
Kuno mulai menggunakan kucing untuk membasmi tikus yang
sangat merugikan sektor pertanian mereka, sehingga kucing
sangat dianggungkan oleh Bangsa Mesir Kuno. Merujuk pada

6
dua bangsa tersebut dapat dikatakan bahwa sistem pertanian
mereka belum mengenal serangga sebagai salah satu hama
pertanian yang merugikan. Namun, hal ini belum dapat
dipastikan karena kurangnya informasih mengenai sistem
pertanian mereka dikarenakan kurangnya catatan sejarah yang
berkenaan dengan kegiatan pengendalian serangga hama.
Kegiatan pengendalian serangga hama yang dapat
dipercaya kebenarannya yaitu dari buku Nanfang Caomu
Zhuang, Tanaman-tanaman dari Wilayah Selatan oleh Ji Han
ahli tanaman pada masa Dinasti Jin sekitar tahun 300-an
masehi. Penggunaan semut rangrang (Oecophylla smaragdina)
untuk mengendalikan hama tanaman jeruk sudah populer saat
itu. Teknik ini masih dipertahankan oleh petani-petani Cina
setidaknya hingga ratusan tahun kemudian sampai sekitar abad
ke-17. Para petani menaruh sarang semut besar di salah satu
pohon jeruk dan dihubungkan dengan pohon-pohon lain
menggunakan batang bambu sehingga kolonisasi semut dapat
terjadi di setiap pohon.
Pada tahun 1776 di daratan Eropa agens pengendali
hayati yang pertama dilaporkan yaitu kepik Picromerus bidens
L. yang mengendalikan bedbug (Cimycidae). Pengendalian
hama dengan agens hayati mulai menjadi sorotan didunia
pertanian salah satunya karena penemuan Agustino Maria

7
Bassi pada tahun 1835 terhadap adanya infeksi alami dari

White Muscardine Fungus”, Beauveria bassiana (Balsama)
Vuillemin pada ulat sutra (Bombyx mori L.) dan serangga-
serangga lain. Di daratan Amerika pada tahun 1868-1869
terjadi serangan hama Icerya purchasi dan hampir
menghancurkan industri perkebunan jeruk pada tahun 1886 dan
dikendalikan dengan kumbang koksi Rodilia cardinalis dan
parasitoid larva Chyptochaetum iceryae. Puncak dari
popularitas agens hayati di dunia terjadi pada tahun 1930 –
1940-an dengan ditemukannya 57 jenis musuh alami yang
dikenal diberbagai daerah.
Penggunaan agens hayati di Indonesia tercatat
dilakukan pada tahun 1920-an saat Van der Goot
mengintroduksi kumbang Cryptolaemus montrouzieri untuk
mengendalikan populasi kutu (Coccidae) antara lain; Ferrisia
virgate pada lamtoro dan Coccid planococcus pada sirsak.
Selain itu, introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji
untuk mengendalikan kumbang kelapa (Promecotheca reichei)
terjadi pada tahun yang sama. Pada tahun 1938 pengendalian
Aspidiostus detructor pada tanaman kelapa dilakukan dengan
introduksi Cryptognatha nodiceps dari daerah tropis Amerika.
Mulai tahun 1956 perencanaan yang lebih teliti, hati-
hati, dan memiliki evaluasi tetap mulai digunakan untuk setiap

8
musuh alami yang ada. Kemajuan dari perencanaan ini mulai
terhambat karena trend penggunaan agens hayati untuk
mengendalikan serangga hama mulai ditinggalkan karena
kepentingan bisnis pestisida sintetik, sehingga pengetahuan
mengenai agens hayati mengalami hambatan besar. Hal ini
terus berlanjut hingga dampak negatif dari pestisida sintetik
mulai diketahui dan menjadi ancaman serius. Akhir abad 20
sampai awal adab 21 trend agens hayati menjadi topik utama
yang dibahas oleh ahli pertanian, entomolog, dan pemerhati
lingkungan sebagai alternatif lain mengendalikan serangga
hama. Hal ini terus berlanjut sampai saat ini.

9
BAB III. JENIS-JENIS PATOGEN SERANGGA
YANG POTENSIAL DAN BEBERAPA ASPEK
PENGGUNAANYA DALAM PENGENDALIAN
SERANGGA HAMA

Insektisida mikrobia atau microbial insectisides dibuat


berdasarkan organisme penyakit yang dapat menyebabkan
serangga hama sakit. Organisme yang dipergunakan dapat
berupa virus, bakteri, cendawan, protozoa, nematoda dan
rickettsia.
Di Jepang dalam tahun-tahun 60-an, penelitian dan
percobaan-percobaan pada penggunaan mikroorganisme
sebagai patogen terhadap serangga hama bertambah banyak
dilakukan. Sampai saat ini, percobaan-percobaan pengendalian
dengan mikroba terhadap serangga hama yang menyerang
tanaman pangan, buah-buahan, tanaman kehutanan, dan
pemeliharaan ulat sutra, semuanya mengenai penggunaan
jamur sebagai patogen serangga.
Selama periode tahun-tahun pertama pada tahun 70-an,
banyak masalah teknis yang menyangkut karakteristik
entomopatogen, yaitu spesifikasi identitas biologis, mode of
action (cara kerjanya), stabilitas, kompatibilitas dan lain
sebagainya. Pada perkembangannya hingga saat ini masalah-
masalah tersebut mulai terpecahkan sehingga menghasilkan

10
berbagai terobosan yang menjawab permasalahan mengenai
penggunaan agens hayati untuk mengendalikan hama.
Dari beberapa pustaka, jenis-jenis patogen serangga
yang potensial dan beberapa aspek penggunaannya dalam
pengendalian serangga hama yaitu seperti dalam uraian berikut
ini.

3.1. Virus
Seperti yang telah diungkapkan, bahwa setiap jenis
entomopatogen mempunya sifat atau karakteristik yang
spesifik. Demikian pula halnya dengan virus yang menyerang
serangga hama (sebagai patogen) memiliki sifat yang khusus,
yang berbeda dengan virus-virus penyebab penyakit, baik pada
tanaman/tumbuhan maupun pada hewan bertulang belakang
(vertebrata). Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terletak
pada bentuk, badan protein, ukuran serta
perkembangbiakannya.
Kebanyakan partikel virus yang menyerang serangga
tersusun atau ―
dibungkus‖ dalam suatu badan kristal protein
yang disebut inclusion body. Dari golongan virus berbadan
kristal ini secara rinci masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga
tipe (macam), yaitu :
1. Virus Polihedrosis Inti atau disebut juga NPV (Nuclear
Polyhedrosis Virus)

11
2. Virus Granulosis atau disebut juga GV (Granulosis
Virus) dan
3. Virus Polihedrosis Sitoplasma atau disebut juga CPV
(Cytoplasmic Polyhedrosis Virus).

Virus Polihedrosis Inti (NPV) maupun Virus Granulosis


(GV) termasuk kedalam Baculovirus. Sedangkan Virus
Polihedrosis Sitoplasma (CPV) berkerabat dekat dengan
Reovirus.

3.1.1. Virus Polihedrosis Inti (NPV)


Partikel-partikel virus NPV ini, berbentuk cambuk,
dimana ukuran diameternya berubah-ubah antara 20
milimikron – 50 milimikron dan panjangnya antara 200
milimikron – 400 milimikron.
Nuclear Polyhedrosis Virus, merupakan sejenis virus
patogen yang menyerang inti sel serangga inang. Bagian luar
partikel virus ini diselubungi oleh suatu pembungkus yang
terbentuk dalam suatu kristal protein yang disebut polyhedra
(disebut juga Occlusion Body) (Gambar 1). Polihedra ini
kadang-kadang dapat muncul berupa bentuk dodecahedral,
tetrahedral, kubus, atau berupa siku-siku maupun bentuk
ireguler yang masing-masing berisikan ratusan partikel virus.
Tipe dari NPV dibedakan berdasarkan banyaknya virion dalam

12
satu kelompok (Gambar 2). Tipe MNPV saat ada lebih dari
satu virion melekat satu sama lain dan tipe SNPV saat hanya
ada satu virion dan saling lepas dengan virion yang lainnya.
Ukuran diameter polyhedra berkisar antara 0,5µ ˗ 15µ, hal ini
sangat dipengaruhi oleh sifat atau tipe (jenis) virus yang
bersangkutan.

Gambar 1. Struktur Virus Polihedrosis Inti (NPV) (Contoh:


Baculovirus)
Sumber : Dwight Lynn ©, 2006

13
Gambar 2. Tipe Virus Polihedrosis Inti
Sumber : Lee, H. et al., 2017

Sebagian besar jenis virus NPV dijumpai sebagai


penyebab penyakit pada larva Lepidoptera. Sebagai contoh
misalnya yang menyerang ulat bawang, Spodoptera exigua
(Gambar 3). Penyerangannya melalui mulut yang selanjutnya
menyerang jaringan epidermis, lemak tubuh, sel darah dan
trachea. Perkembangbiakannya terjadi pada inti (nukleus) sel
inang. Polihedra ini dapat bertahan hidup mulai dari 4 hari
sampai 3 bulan, hal ini bervariasi tergantung pada keadaan
inangnya, jenis dari polihedra dan keadaan temperatur
sekelilingnya.

14
Gambar 3. Ulat Bawang (Spodoptera exigua) yang mati akibat NPV
Sumber : Samsudin, 2017

Mekanisme infeksi NPV dapat dilihat pada gambar 4.


Serangga awalnya memakan bagian tanaman (seperti helaian
daun) yang terdapat partikel virus yang terbungkus polihedra
(1a). Saat masuk dalam sistem pencernaan larva (2a), polihedra
akan terbuka karena sifat alkali (basa, pH > 8) dari sistem
pencernaan serangga dan melepaskan partikel virus
kepermukaan epidermis sel perut (midgut) (3a). Partikel virus
tersebut akan masuk kedalam sel-sel midgud dengan merusak
membran peritropik (4a). Partikel virus masuk melalui
mikrofili pada sel epitel midgut (1b). Setelah sampai di dalam
sitoplasma nucleocapsid akan dilepaskan (2b) dan masuk
kedalam inti sel (3b) atau nucleocapsidnya tidak masuk
kedalam inti sel sehingga dapat menjadi nucleocapsid bebas
(11b). Nucleocapsid yang masuk ke dalam inti sel akan
15
melepaskan materi genetiknya untuk mengekspesikan gen yang
akan membentuk bagian-bagian virus baru (4b). Di dalam inti
sel materi genetik virus akan diduplikasi (5b), ditranskripsi
(6b), dan ditranslasi (7b). Hasil translasi (berupa protein
penyusun virus baru) akan ditranslokasikan ke dalam inti sel
lagi (8b).

Gambar 4. Mekanisme Infeksi NPV pada Larva Serangga


Sumber : Haase, S. dan Sciocco-Cap, A., 2015

Materi genetik yang diduplikasi tadi (5b) akan


dibungkus kembali dengan protein hasil translasi (7b) sehingga
menjadi nucleocapsid baru (9b). Nucleocapsid yang baru ini
akan mengalami pembungkusan kembali sehingga menjadi
polihedra baru (15b) atau dilepas kembali ke sitoplasma
16
menjadi nucleocapsid bebas (11b). Melalui jalur sekresi yang
di lakukan oleh sel (13b) nucleocapsid bebas ini akan keluar
dari dalam sel (12b) dan dapat menginfeksi sel lain secara
langsung. Polihedra baru (15b) inilah yang dapat bertahan
hingga berbulan-bulan di dalam sel larva atau masuk kedalam
hemocoel sehingga larva mengalami kematian sedangkan
nucleocapsid yang tidak mengalami pembungkusan menjadi
polihedra baru akan menginfeksi sel-sel lain. Akibatnya sel-sel
larva tidak lagi membentuk protein yang dibutuhkan oleh sel
melainkan membentuk protein pembungkus partikel virus yang
pada akhirnya akan merusak sel tersebut. Semakin banyak sel
yang rusak akan membuat tubuh larva menjadi lunak dan
mudah pecah.
Penularan virus NPV ini dari satu inang ke inang yang
lain dapat melalui kelenjar yang keluar dari mulut dan feses
larva yang terinfeksi atau dari larva yang mati akibat infeksi.
Selain dari itu, serangga inang betina yang telah terinfeksi
dapat pula menularkan virus yang dibawanya kepada
keturunannya.
Selama periode penularan, tidak ada tanda-tanda bahwa
larva inang tersebut telah terinfeksi. Setelah satu atau dua hari
menjelang hari kematiannya, larva yang terserang virus ini
akan menimbulkan gejala yang berbeda-beda. Gejala umum

17
serangga yang terinfeksi virus NPV ini menunjukkan kulit
larva inang terlihat menjadi agak gelap dan terdapat bercak-
bercak kuning atau kelihatan seperti berminyak (mengkilat).
Kemudian lama kelamaan kulitnya menjadi sangat lunak
(rapuh) sehingga mudah robek, dan hemolimfanya menjadi
keruh, hal ini disebabkan adanya polihedra dalam jumlah yang
besar.
Larva Lepidoptera yang terserang virus polihedra ini
menunjukkan perilaku yang abnormal, seperti naik ke pucuk
tanaman dan menggantung di pucuk tanaman. Kematian inang
akibat serangan virus ini dapat terjadi setelah kira-kira antara
tiga sampai empat minggu. Cepat atau lambatnya kematian
inang tersebut akan sangat dipengaruhi oleh jenis serangga
inang, jumlah dan jenis partikel virus pada inang, strain virus,
dan temperatur lingkungan.
Di alam, virus Polihedra ini banyak dijumpai
menyerang larva Lepidoptera. Sebagai contoh dapat
menyerang larva Pseudaletia unipuncta (Hawort), dapat juga
menyerang larva-larva Trichoplusiani (Hubner), pada kubis;
Heliothis zea (Boddie), pada kapas; Prodenia litura; Laphygma
exigua dan beberapa jenis ulat api seperti Darn sp. dan Setora
sp.

18
Pada saat menjelang matinya larva yang terinfeksi,
maupun setelah larva mati, larva tersebut masih dapat
menularkan partikel virus yang sudah ada didalamnya karena
kulit larva ini akan pecah dan melepaskan berjuta-juta
polihedra yang mengandung banyak partikel virus yang akan
menjalar pada inangnya. Hasil penelitian di Jepang
menunjukan bahwa NPV ini sangat efektif untuk
mengendalikan ulat grayak, Spodoptera litura F., yang
menyerang tanaman tembakau. Penelitian tentang pemanfaatan
NPV dalam mengendalikan ulat grayak pada kedelai di
Indonesia telah banyak dilakukan, diantaranya mengenai:
Konsentrasi NPV yang efektif untuk digunakan sebagai bahan
pengendali populasi ulat grayak.
Penggunaan bioinsektisida, khususnya NPV dalam
bentuk murni maupun tanpa bahan pembawa apabila
diaplikasikan di lapangan masih terdapat kelemahan-
kelemahan, diantaranya yaitu :
a) Untuk dapat melekat dengan baik atau menyebar secara
merata pada permukaan tanaman diperlukan
konsentrasi yang relatif tinggi.
b) Dalam menentukan dosis atau konsentrasi yang
diinginkan bila diaplikasikan di lapangan kurang
praktis.

19
c) Dalam penyimpanan, stabilitas keefektifan NPV dalam
bentuk murni, lebih rendah bila dibandingkan dengan
yang memakai bahan pengawet tepung.

NPV telah dikembangkan menjadi sebuah produk yang


dapat diaplikasihkan langsung ke bagian tanaman sehingga
lebih mudah untuk digunakan. Berikut contoh-contoh produk
dan/atau merk dagang pengendali hama dengan bahan dasar
NPV ;
1. Baculo-soja (Tipe MNPV)
2. Baculovirus Nitral (Tipe MNPV)
3. Coopervirus SC (Tipe MNPV)
4. Diplomata (NPV)
5. Helicovex (NPV)
6. VPN 82 (NPV)
7. Gemstar (Tipe SNPV)
8. HzNPV CCAB (Tipe SNPV)
9. VPN-ULTRA (Tipe MNVP + NPV)

3.1.2. Virus Granulosis (GV)


Sebagaimana halnya virus NPV, maka virus Granulosis
(GV) ini pun banyak menyerang larva dari ordo Lepidoptera.
Bagian utama dari tubuh inang yang diserang oleh virus GV ini
yaitu sel-sel midgut Lepidoptera, akan tetapi kadang-kadang

20
jaringan epidermis dan trachea pun dapat pula terinfeksi.
Perkembangbiakan virus ini dapat terjadi, baik pada inti sel
(nucleus) maupun pada sitoplasma sel inang.
Partikel-partikel virus GV ini dikelilingi oleh membran
semacam protein yang sama dengan protein polihedra pada
NPV di mana partikel-partikel ini dikelilingi oleh suatu selaput
(membran) yang berbentuk kapsul yang biasanya hanya berisi
satu partikel GV. Partikel GV ini mempunyai ukuran yang
berkisar, lebar antara 36 sampai 80 milimikron. Sedangkan
kapsul granulosis mempunyai ukuran berkisar antara 119
sampai 350 milimikron, dan panjangnya antara 300 sampai 511
milimikron. Struktur umum GV ini dapat dilihat pada Gambar
5.

Gambar 5. Struktur Granulosis Virus (GV)


Sumber : Lee, H. et al., 2017

21
GV hanya memiliki satu nucleocapsid dalam satu
kapsul pembungkus. Hal ini mirip dengan SNPV hanya saja
partikel virus GV tidak dibungkus dengan polihedra seperti
NPV. Mekanisme serangan dari GV dapat dilihat pada gambar
6.

Gambar 6. Mekanisme Serangan Granulosis Virus (GV)


Sumber : Rohrmann, G. F. 2019

Mula-mula Partikel virus GV akan masuk dengan cara


dimakan oleh larva (A). Saat mencapai midgut, GV akan
masuk ke dalam sitoplasma melalui mikrofili dan melepaskan
nucleocapsid (B). Pada infeksi pertama, perakitan nucleocapsid
yang baru tidak akan merusak membran nukleus dan kapsul
GV belum terbentuk (C). Nucleocapsid akan keluar dari sel dan
menginfeksi sel-sel lain disekitarnya. Pada tahap infeksi
lanjutan ini beberapa nucleocapsid akan kembali melakukan
perakitan nucleocapsid baru seperti pada bagian (B) atau
22
membentuk kapsul protein baru dan menjadi GV sempurna
(D). Sel yang mengalami pembentukan kapsul GV akan
mengalami kerusakan membran nukleus karena terfrakmentasi.
Penularan virus ini dari satu inang ke inang yang
lainnya dapat melalui kelenjar yang keluar dari mulut larva,
feses, dan melalui telur dari induk yang telah terinfeksi. Infeksi
yang ―
tersembunyi‖ dapat pula terjadi. Gejala keracunan pada
tahap awal tidaklah spesifik, biasanya belum dapat dilihat.
Akan tetapi pada tahap berikutnya, gejala tersebut akan terlihat
dimana larva yang sudah terinfeksi GV ini tubuhnya
membengkak, berwarna pucat dan mengkilat disertai hilangya
nafsu makan. Sebagai contoh infeksi GV pada Cydia
pomonella dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Infeksi GV pada Cydia pomonella


Sumber : Nigel Cattlin ©, 2012

23
Menjelang kematiannya, apabila diamati di bawah
mikroskop, maka darah larva tersebut akan nampak keruh dan
dijumpai kapsul virus dalam jumlah yang banyak sekali. Bila
virus GV menyerang larva, maka lamanya antara waktu mulai
terinfeksi sampai jasad sasarannya mati memerlukan 4 sampai
25 hari. Selain menyerang larva Ordo Lepidoptera, virus GV
ini dapat juga menyerang ordo-ordo: Hymenoptera, Coleoptera
dan Ordo Diptera.
Penggunaan GV dalam bentuk produk tidak sebanyak
NPV, namun ada beberapa produk yang menggunakan GV
sebagai bahan dasarnya. Berikut beberapa produk yang
menggunakan GV sebagai bahan dasar;
1. Madex
2. Carpovirusine
3. Madex Twin
4. Baculovirus erinnyis
5. Baculovirus Corpoica
6. PTM baculovirus

3.1.3. Virus Polihedrosis Sitoplasma (CPV)


Virus Polihedrosis Sitoplasma (CPV) ini juga diketahui
sebagai penyebab penyakit pada beberapa jenis larva dari Ordo
Lepidoptera. Sesuai dengan namanya, CPV ini menyerang
bagian sitoplasma dari sel-sel epitel midgut pada larva yang

24
terkena infeksi, contoh saluran pencernaan larva yang
terinfeksi oleh CPV seperti pada gambar 9. Partikel-partikel
CPV mempunyai bentuk sebagai icosahedral dengan ukuran
yang sangat bervariasi, berkisar antara dari 50 milimikron
sampai 70 milimikron. Struktur CPV dapat dilihat pada gambar
8.

Gambar 8. Struktur Virus Polihedrosis Sitoplasma (CPV)


Sumber : Dwight Lynn ©, 2006

B
Gambar 9. Saluran Pencernaan (Gut) Larva Helicoverpa armigera
yang terinfeksi CPV. A) Gut yang sehat. B) Gut yang terinfeksi CPV
Sumber : Marzban, R. et al., 2013
25
Partikel-partikel CPV tidak tertutup oleh selaput
(membran) seperti halnya pada GV. Akan tetapi terbungkus
dalam suatu Kristal protein serupa dengan yang diuraikan
untuk NPV. Ukuran partikel-partikelnya ini berubah-ubah
berkisar dari 1µ – 7µ, dan beberapa polihedra yang lebih besar
tampak mempunyai bentuk hampir sepereti bola (spherical).
Larva yang terinfeksi oleh CPV, biasanya perkembangan atau
pertumbuhannya lambat dan sering tubuhnya tampak kurus,
sedangkan kepalanya membengkak dan besar. Pada tahap
berikutnya larva yang sudah terinfeksi tersebut tumbuh dengan
warna yang berubah-ubah, yaitu menjadi kuning pucat atau
keputih-putihan.
Penularan virus CPV ini dari satu inang kepada inang
yang lainnya, sama seperti penularan oleh GV, yaitu dapat
melalui kelenjar yang keluar daru mulut, feses, dan melalui
telur dari induk yang terlah terinfeksi. Infeksi yang

tersembunyi‖ dapat pula terjadi seperti oleh NPV dan GV.
Dari pengamatan yang pernah dilakukan, diperoleh
petunjuk bahwa CPV memiliki daya patogenesitas yang lebih
rendah baik dibandingkan dengan NPV maupun GV.
Disamping itu, CPV ini juga tidak mempunyai kekhususan
inang (host-spesific) hingga kurang berhasil baik jika dipakai
sebagai pengendali serangga hama. Di alam CPV banyak juga

26
dijumpai menyerang larva Pieris brassicae L. dan Trichoplusia
ni Hubner.

3.2. Bakteri
Seperti kita ketahui, sebagian besar dari bakteri
penyebab penyakit (patogen) pada serangga hama merupakan
anggota dari famili Euterobacteriaceae dan Bacilliaceae.
Bakteri-bakteri patogen tersebut, dapat pula digolongkan
menjadi dua golongan besar yang terdiri dari : Bakteri-bakteri
yang tidak membentuk spora (Nonspora-Forming Bacteria)
dan Bakteri-bakteri yang membentuk spora (Spore-Forming
Bacteria). Insektisida mikrobia yang mengandung bakteri ini,
penggunaannya sudah lebih meluas bila dibandingkan dengan
yang mengandung virus.

3.2.1. Nonspora-Foming Bacteria (Bakteri yang tidak


membentuk spora)
Sebagian besar saluran pencernaan serangga
mengandung banyak bakteri yang tidak membentuk spora yang
disebut ―
potential patogen‖. Sepanjang bakteri-bakteri tersebut
tetap tinggal pada midgutnya dan tidak bersifat patogen (non
phatogenic). Akan tetapi, bilamana bakteri tersebut sudah
masuk (menyerang) sel darah (hemocoel), maka akan bersifat
sangat patogenic terhadap serangga lainnya. Beberapa faktor,
yang disebut ―
stress factor‖, yaitu suhu yang ekstrim, adanya

27
jenis patogen yang lain, adanya parasit serta rendahnya mutu
makanan inang, hal ini dapat mendorong bakteri untuk
memasuki saluran peredaran darah (hemocoel).
Dalam beberapa kasus yang ada, jenis bakteri ini tidak
diragukan lagi, dapat menjadi salah satu faktor mortalitas yang
cukup potensial pada populasi inangnya. Akan tetapi karena
daya infeksinya yang relatif kecil dan memiliki daerah
penyebaran yang sangat luas (kosmopolitan), jadi sedikit sekali
dilakukan usaha pengembangan untuk tujuan pengendalian
serangga hama di lapangan.

3.2.2. Spore-Forming Bacteria (Bakteri yang membentuk


spora)
Jenis bakteri pembentuk spora (Spore-Forming
Bacteria) yang sangat penting dan merupakan patogen
serangga dan digunakan dalam program pengendalian serangga
hama adalah:
1. Bacillus popilliae Dutky, yang dapat menyebabkan

penyakit susu‖ (milky disease) pada serangga hama

white grubs‖
2. Bacillus thuringiensis Berliner, merupakan suatu
bakteri yang patogen terhadap beberapa spesies larva
dari Ordo Lepidoptera.

28
Bakteri-bakteri tersebut sudah dapat diproduksi secara
komersial dan dapat langsung diaplikasikan di lapang baik
dalam bentuk ―
dust” maupun dalam bentuk ―
spray‖. Beberapa
aspek mengenai kedua jenis bakteri tersebut secara khusus
dapat dijelaskan seperti dalam uraian di bawah ini.

1. Bacillus popilliae Dutky


Bakteri ini dikenal sebagai penyebab ―
penyakit susu‖
(milky disease) pada beberapa serangga hama, yaitu pada larva
dari Ordo Coleoptera. Mula-mula bakteri ini dikenal sebagai
penyebab penyakit pada kumbang Jepang (Popillia japonica
Newman). Namun akhirnya diketahui pula, bahwa bakteri ini
banyak dijumpai menyerang serangga hama yang termasuk ke
dalam famili Scrabaeidae.
Penularan bakteri ini dari satu inang kepada inang yang
lainnya yaitu melalui mulut (orally). Jadi timbulnya penyakit
terjadi dengan cara termakannya spora bakteri oleh serangga.
Lamanya waktu yang diperlukan sejak spora-spora tersebut
masuk ke dalam tubuh inang sampai inangnya mati terutama
sangat dipengaruhi oleh banyaknya jumlah spora yang masuk
ke dalam saluran pencernaan inang. Pada temperatur 30°C sel-
sel vegetatif bakteri sudah dapat ditemukan di dalam saluran
darah inang dalam waktu 30 jam setelah terjadinya infeksi.

29
Pada temperatur tersebut sel-sel vegetatif bakteri berkembang
biak dengan sangat cepat dan saat sudah menjadi sporulasi
akan terjadi. Dari pengamatan yang pernah dilakukan diperoleh
data bahwa, dalam waktu antara 7 – 10 hari sesudah mulai
infeksi, dalam tubuh larva inang yang terserang, dapat
ditemukan 2 – 5 miliar spora dalam saluran darahnya. Pada
keadaan tersebut, darah larva yang terserang nampak seperti
susu, sehingga disebut gejala ―
penyakit susu‖, dan tidak lama
kemudian larva tersebut mati. Larva yang mengalami infeksi
dapat dilihat pada gambar 10. Anak panah menunjukan letak
perbedaan antara larva sehat dan yang terinfeksi.

Gambar 10. Larva Rhopaea verreauxi yang terinfeksi Bacillus


popilliae var. rhopaea. Larva Sehat (Kiri) dan Larva Terinfeksi
(Kanan)
Sumber : Kalmakoff, J. dan Longworth, J. F., 1980

30
Banyak spesies dari ―
white grubs‖ ini cukup peka
terhadap serangga bakteri B. popilliae, baik pada kondisi alami
di lapangan maupun di laboratorium. Akan tetapi pembiakan
masal terhadap bakteri ini sulit dilakukan pada media buatan.
Usaha pembiakan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan
inang asli sehingga sulit untuk diproduksi secara besar-besaran.
Untuk lebih jelasnya bentuk sel vegetatif dan spora B. popilliae
Dutky ini dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 11. Bentuk Spora Bacillus popiliae


Sumber : Sharpe, E. S. et al. 1970

31
Gambar 12. Bentuk Sel Vegetatif Bacilus popilliae
Sumber : Steinkraus, K. H., 1957

Produk berbahan dasar Bacilus popilliae sudah dapat


ditemukan di pasaran diantaranya yaitu Milky Spore Powder.

2. Bacillus thuringiensis Berliner


Sebagaimana halnya B. popilliae Dutky, bakteri
Bacillus thuringiensis Berliner ini merupakan suatu jenis
bakteri pembentuk spora yang sangat patogen terhadap
sejumlah larva dari Ordo Lepidoptera. Karena bakteri ini dapat
tumbuh dengan baik pada media buatan, maka di Amerika
Serikat setiap tahunnya baratus-ratus ton produk berbahan
dasar bakteri ini diproduksi untuk digunakan sebagai
insektisida mikroba.

32
Gambar 13. Spora (S) dan Kristal (C) Bakteri Bacillus thuringiensis
(Perbesaran 10,000 x)
Sumber : Muratoğlu, H., et al., 2008

Gambar 14. Sel-sel Bakteri Bacillus thuringiensis (Perbesaran 1000


x)
Sumber : Elqowiyya, 2015

Pada saat bakteri ini membentuk spora, maka terbentuk


pula semacam kristal yang juga bersifat racun (toxic) terhadap
sejumlah larva dari ordo Lepidoptera. Respon setiap jenis
serangga inang baik terhadap Kristal maupun spora B.
33
thuringiensis ini sangat bervariasi. Hal tersebut tergantung
pada spesies inangnya. Beberapa jenis larva Lepidoptera
diketahui ada yang sangat rentan atau peka terhadap kerja
racun kristalnya saja, atau hanya rentan terhadap sporanya saja,
dan beberapa jenis yang lain ada pula yang sangat rentan
terhadap kombinasi antara racun kristal dan spora. Beberapa
jenis larva ordo Hymenoptera diketahui justru hanya rentan
terhadap kerja racun sporanya saja.
Spesies dari ordo Lepidoptera sangat rentan terhadap
kristalnya saja, berdasarkan responnya terhadap infeksi maka
jenis tersebut dapat dibagi ke dalam dua tipe, yaitu Tipe I dan
Tipe II keduanya menderita kelumpuhan pada usus tengahnya
(midgut) beberapa menit setelah kristal bakteri tertelan ke
dalam saluran pencernaan. Spesies serangga yang termasuk ke
dalam Tipe I hanya sedikit, dimana serangga inang yang
menderita kelumpuhan dalam waktu satu sampai tujuh jam
akan mati. Sedangkan spesies serangga yang termasuk ke
dalam Tipe II, tidak menderita kelumpuhan seperti pada Tipe I,
dan akan mati dalam waktu antara dua sampai empat hari
sesudah kristal-kristal bakteri tertelan ke dalam saluran
pencernaan. Sebagian besar spesies yang rentan atau peka
termasuk ke dalam kelompok Tipe II. Gejala awal yang tampak

34
sesudah spora-spora tertelan, baik pada inang Tipe I maupun
Tipe II yaitu berukurangnya nafsu makan.
Aktivitas dari kristal racun bakteri tersebut sangat
tergantung dan dipengaruhi oleh tingkat pH dari midgut dan
foregut serta oleh adanya Proteolytic enzymes dalam usus larva
inang. Spesies serangga dari ordo Lepidoptera yang
mempunyai usus dengan suasana sangat basa (strongly
alkaline) dengan pH di atas 8,9 dan sistem enzim dengan
aktivitas proteolytic yang selektif dalam suatu media dengan
suasana basa sangat rentan atau peka terhadap kristal bakteri B.
thuringiensis. Kristalnya sendiri merupakan suatu protoxin
yang aktifitasnya digiatkan oleh enzymic hydrolysis.
Gejala dari larva yang terserang oleh bakteri ini
biasanya sama dengan gejala serangan bakteri pada umumnya.
Gejala tersebut biasanya berkaitan dengan hal makan. Mula-
mula larva yang terserang tidak mempunyai nafsu makan,
kemudian penghentian makan. Gejala selanjutnya yaitu
terjadinya diare, terjadinya prolisis pada usus dan diikuti
muntah-muntah. Disamping itu larva yang terserang juga
menunjukkan perilaku yang tidak terkoordinasi seperti
bergerak ke pucuk pohon (tempat yang tinggi) ataupun
bersembunyi di bawah dedaunan.

35
Banyaknya spesies serangga yang rentan ataupun peka
hanya terhadap kombinasi spora-kristal saja atau spora saja,
maka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan banyaknya
spesies serangga yang rentan terhadap Kristal racun saja.
Spora-spora yang berkecambah (tumbuh) masuk ke dalam
hemocoel dan mengakibatkan septicemia yang umum.
Mekanisme yang terjadi belum dapat dimengerti secara
keseluruhan, walaupun banyak strain Bacillus thuringiensis
sudah diisolasi, tentu saja terjadi epizootic karena Bacillus
thuringiensis nya jarang.
Mekanisme serangan bakteri dapat dilihat pada gambar
15. Mula-mula spora dan/atau kristal B. thuringiensis termakan
oleh larva serangga (A). Kristal yang masuk ke dalam sistem
pencernaan akan berubah bentuk mulai dari endotoksin diubah
menjadi pro-toksin dan terakhir menjadi toksin (B). Toksin tadi
akan melekat pada reseptor yang ada pada sel-sel epitelium
midgut larva dan menyebabkan lisis pada sel-sel tersebut (C).
spora yang sudah ada didalam midgut akan berkecambah dan
menjadi bakteri baru dalam sistem pencernaan larva.

36
Gambar 15. Mekanisme infeksi Bakteri Bacillus thuringiensis
Sumber : Elqowiyya, 2015

Beberapa contoh inang (serangga hama) dari ordo


Lepidoptera yang rentan atau peka terhadap bakteri ini antara
lain adalah larva Prodenia litura Fab., Crocidolomia binotalis
Zell., C. Pavonana, Plutella xylostella L., Laphygma exigua,
dan Ostrinia nubilalis Hubner.

Gambar 16. Larva Ulat Kedelai (Chrysodeixis includens) yang


terinfeksi Bacillus thuringiensis. Larva sehat (Bawah), Larva yang
terinfeksi selama 24 Jam (Tengah), dan Larva yang terinfeksi selama
48 Jam (Atas)
Sumber : Daniel L. Mahr ©, 2016
37
Beberapa Produk/merk dagang yang menggunakan
Bacillus thuringiensis sebagai bahan utamanya yaitu;
1. Thuricide
2. Mosquito Bits
3. Dipel
4. Sok-Bt
5. Certan
6. Bactospeine

3.3. Jamur
Lebih dari 36 genera jamur yang berbeda mempunyai
spesies-spesies yang patogen atau penyakit pada serangga
hama. Banyak klasifikasi dari jamur yang menyebabkan
penyakit pada serangga ini sering tertukar dan identifikasi
spesies jamurnya kadang-kadang sulit untuk dilaksanakan.
Sampai saat ini diketahui jamur yang memiliki peranan
penting sebagai patogen atau penyakit pada serangga hama
(entomopatogenic fungus) tergolong ke dalam dua kelas, yaitu
kelas Eumycetes dan Phycomycetes. Sebagai contoh, dua
spesies jamur dari kelas Eumycetes yang merupakan patogen
pada serangga hama yaitu Metarrhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana, dimana keduanya dikenal sebagai
penyebab penyakit ―
muscardin‖ pada beberapa serangga hama.
Kedua jenis jamur tersebut termasuk ke dalam subkelas
Deuterimycetes.

38
Kebanyakan jamur, pada umumnya ditularkan dari
suatu inang ke inang lain dengan spora, biasanya dengan
sebuah konidium. Cara infeksi atau penularan yang paling
umum yaitu melalui dinding tubuh serangga atau kutikulanya.
Konidia tersebut kemudian tumbuh dan membentuk suatu
struktur khusus yang disebut hifa invasive yang akan
menembus kutikula dengan bantuan enzim khusus atau dengan
tekanan mekanis masuk ke jaringan tubuh inang; sering sekali
sel-sel lemak tubuh inang merupakan sasaran pertamanya, dan
kemudian akan berkembang biak dalam hemocoel. Jamur
tersebut tumbuh dan berkembang biak di dalam tubuh serangga
sampai serangga tersebut penuh dengan miselia (mycelia). Pada
saat menjelang kematiannya, tubuh serangga sudah penuh
dengan miselia, dalam kondisi yang cocok, kemudian jamur
mengeluarkan hifa dan akan menerobos integument serangga
inang untuk kemudian membentuk spora-spora atau konidia di
permukaan tubuh inang. Sebagai contoh, pertumbuhan jamur
tersebut pada tubuh inang dapat dilihat pada Gambar 17.

39
Gambar 17. Proses Infeksi Larva oleh Jamur Entomopatogen
Sumber : organikrevolusioner.wordpress.com

Uraian mengenai cara penularan dan infeksi jamur


terhadap serangga seperti yang dikemukakan di atas
merupakan suatu gejala yang sangat umum, sebab banyak juga
jamur patogen serangga (entomopatogen) yang cara penularan
atau infeksinya sama sekali berbeda dengan yang telah
diuraikan.
Proses terjadinya penularan, infeksi dan perkembangan
dari jamur ini akan sangat dipengaruhi oleh jumlah atau
kepadatan populasi inang serta oleh kondisi lingkungan yang
cocok. Kelembaban yang tinggi serta suhu yang optimum
sangat diperlukan untuk pembentukan spora maupun
perkembangan spora jamur ataupun kondia. Jamur yang tidak
terlalu spesifik terhadap jenis serangga inang dapat tumbuh
pada media yang berbeda-beda, termasuk media buatan. Akan

40
tetapi kerugiannya infeksi atau penularan terhadap serangga
hama menjadi lebih lambat atau berkurang.
Miselium dan spora jamur yang menyelimuti tubuh
serangga inang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis
jamur tersebut. Apabila serangga yang terserang oleh jamur
dan pada tubuhnya itu penuh dengan spora yang berwarna
putih seperti tepung, maka dapat diduga bahwa penyebabnya
yaitu jamur Beauveria bassiana. Sedangkan bila spora yang
menyelimuti tubuh inang itu berwarna hijau, maka jamur
tersebut yaitu jamur Metarrhizium anisopliae, dan jika tersebut
berwarna kuning kehijauan adalah jamur Paecilomyces
farinosis. Namun demikian, warna khas tersebut mungkin tidak
selalu muncul jika jamur dibiakkan pada media agar. Berikut
beberapa contoh jamur entomopatogen yang potensial untuk
pengendalian serangga hama.

3.3.1. Beauveria bassiana


Seperti yang telah disebutkan, bahwa jamur B. bassiana
ini memiliki spora yang khas berwarna putih seperti tepung,
maka jamur tersebut dikenal dengan nama white muscardine
fungus. Konidia jamur ini dapat dilihat pada Gambar 18.

41
Gambar 18. Konidia Jamur Beaveria bassiana (Perbesaran 400x)
Sumber : Anggarawati, S. H., 2017

Penularan jamur ini dari satu inang kepada inang yang


lainnya dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu
yang terinfeksi. Akan tetapi, induk yang sakit tidak
menularkannya pada telur yang dihasilkannya. Seperti pada
jenis-jenis jamur yang lain, maka jamur B. bassiana juga
memerlukan suhu dan kelembapan yang cukup baik
(favorable) untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Suhu
optimum untuk pertumbuhan yang baik adalah sekitar 28°C.
Mekanisme infeksi B. bassiana melalui kutikula
serangga dapat dilihat pada gambar 19. Mula-mula sporulasi
terjadi pada cadaver serangga dan spora terlepas ke udara.
Spora akan menempel pada kutikula serangga dan terjadi
perkecambahan. Proses inisiasi hifa akan dibantu oleh enzim
42
kitinase dan amilase hingga menembus kedalam epidermis.
Selanjutnya enzim lipase dan protease membantu menembus
lapisan epidermis menuju hemocoel. Saat inisiasi selesai hifa
akan tumbuh membentuk miselium dan melepaskan racun
golongan dekstruksin dan mikotoksin sehingga serangga
kehilangan kontrol atas tubuhnya, pada tahap lanjut serangga
akan mengalami gangguan motorik yang Nampak seperti
kejang-kejang, gerakan menjadi lambat, dan akhirnya tubuh
tidak dapat digerakan. Pada tahap ini miselium akan tumbuh
memenuhi bagian dalam tubuh serangga dan berkembang
dengan cepat. Proses ini berlanjut sampai serangga benar-benar
mati. Miselum akan terus tumbuh sampai menembus ruas-ruas
tubuh serangga dan mengalami sporulasi. Gambar serangga
yang terinfeksi seperti pada gambar 20.

Gambar 19. Mekanisme Serangan Beauveria bassiana Melalui


Kutikula
Sumber : Charnley, 2006

43
Gambar 20. Nilaparvata lugens yang terinfeksi Beauveria bassiana.
Serangga Sehat (A) dan Serangga Terinfeksi (B)
Sumber : Li et al., 2014

Beberapa produk/merk dagang yang menggunakan


Beauveria bassiana sebagai bahan utamanya seperti berikut
ini;
1. Natural BVR
2. Killer Insektisida Hayati
3. By-Vii
4. Toxin
5. BEAUVERIA BASSIANA
6. Racer
7. Mosa BR

3.3.2. Metarrhizium anisopliae


Jamur Metarrhizium ini termasuk dalam famili
Moniliaceae. Berbeda dengan B. bassiana, jamur M. anisopliae
memiliki spora yang khas berwarna hijau, maka jamur tersebut
dikenal pula dengan nama jamur muskardin hijau atau green

44
muscardine fungus. Warna tersebut terjadi karena jamur yang
berkembang lanjut memiliki spora atau konidia yang berwarna
hijau gelap atau hijau olive.
Jamur M. anisopliae berkembang biak dengan konidia.
Kelembaban dan suhu yang cukup baik, seperti halnya untuk B.
bassiana, berpengaruh baik pada pertumbuhan dan
perkembangan jamur. Akan tetapi, cahaya matahari yang
langsung akan dapat menghambat perkembangan jamur. Untuk
tumbuh normal diperlukan suhu normal antara 10° – 30°C,
sedangkan suhu optimumnya berkisar antara 24° – 26°C.
Konidia dari jamur M. anisopliae seperti terlihat pada Gambar
21.

Gambar 21. Konidia Jamur Metarrhizium anisopliae


Sumber : E. Ihara © dalam id.thpanorama.com 2020

Penularan jamur dapat terjadi melalui mulut, pernafasan


ataupun kutikula (kontak langsung). Ciri khas dari serangga
yang terserang jamur ini terlihat saat tubuhnya tertutup oleh
45
spora jamur yang berwarna hijau gelap atau hijau olive dan di
samping tubuh inang lama kelamaan akan menjadi keras.
Jamur M. anisopliae ini telah dapat dikembangbiakkan
di laboratorium, baik dengan media alami maupun media
buatan. Media Potato Dektrose Agar (PDA) merupakan media
yang umum digunakan untuk pembuatan biakan murni,
sedangkan untuk pembiakkan masal, Laboratorium Hama Balai
Penelitian Tanaman Industri Bogor menggunakan media
jagung.
M. anisopliae dikenal sebagai penyebab penyakit pada
berbagai larva dari ordo Lepidoptera dan Coleoptera. Beberapa
jenis kumbang dari suku Scarabaeidae seperti Oryctes
rhinoceros L., Dynastus Gideon dan beberapa jenis kumbang
lain merupakan inang dari jamur Metarrhizium. Selain itu,
larva Heliothia sp. Serta Agrotis sp. sering pula mendapat
serangga jamur tersebut. Jamur M. anisopliae juga mampu
menginfeksi dan mematikan hama pengetam pucuk kelapa
(Brontispa longissima).

46
Gambar 22. Larva Oryctes rhinocerpo yang terinfeksi Metarrhizium
anisopliae
Sumber : Ali, S. R. A., et al., 2013

Beberapa produk/merk dagang yang menggunakan


Metarrhizium anisopliae sebagai bahan utamanya seperti
berikut ini;
1. Supermeta
2. Laseana
3. Met-AR
4. Meta Power
5. Natural Metarrhizium
6. Bio King
7. Metarizep

47
3.3.3. Isaria fumosorosea

Jamur ini dulunya dikenal dengan nama Paecilomyces


fumosoroseus. Isaria fumosorosea merupakan jamur
entomopatogen yang masih kurang dikenal dibandingkan
dengan dua jamur sebelumnya karena masih sulit untuk
diisolasi secara langsung dari alam.
Seperti jamur pada umumnya, Isaria fumosorosea
berkembangbiak dengan menggunakan konidia. Spora jamur
dapat masuk melalui mulut, kloaka, spirakel, dan melalui
kutikula serangga. Saat penetrasi masuk melalui kutikula jamur
akan menghasilkan enzim yang mampu merusak kutikula
sehingga hifa dapat masuk kedalam hemocoel. Pada tahap
akhir dari serangan, tubuh serangga akan tertutupi oleh
miselium yang mengalami sporulasi. Serangga akan mati
karena mengalami kekurangan nutrisi akibat pertumbuhan
jamur ini di dalam tubuhnya.
Diketahui jamur ini memiliki kisaran inang yang luas.
Berbagai serangga yang dapat menjadi inangnya antara lain;
Plutella xylostella , Diuraphis noxia, dan Bemisia argentifolii.
Beberapa jenis tungau juga diketahui dapat menjadi inangnya
antara lain; Tetranychus urticae dan Panonychus ulmi.

48
3.3.4. Nomuraea rileyi
Jamur ini merupakan jamur spesialis kosmopolitan
yang hanya menyerang larva dari 51 spesies. Pada umumnya
menyerang ordo Lepidoptera terutama family Noctuidae.
Beberapa literature menyebutkan bahwa jamur ini sinonim
dengan Metarrhizium rileyi. Jamur ini termasuk dalam ordo
Hypocreales, family Clavicipitaceae.
Jamur ini memiliki tangkai konidia yang pendek dan
padat. Pada tahap akhir infeksi, serangga akan ditutupi dengan
miselium yang berwarna keputih-putihan atau hijau mudah
sampai ungu karena terjadi sporulasi. Penelitian mengenai
jamur ini masih sedikit beberapa diantaranya seperti
pengendalian hama Helicoverpa armigera di Brazil dan Uji
patogenissitas isolat lokal terhadap Helicoverpa armigera di
Malang. Contoh serangga yang terinfeksi dan konidia
Nomuraea rileyi dapat dilihat pada gambar 23.

49
Gambar 23. Larva Helicoverpa armigera yang terinfeksi (atas) dan
Konidia Jamur Nomuraea rileyi (bawah)
Sumber : da Costa, V. H. D., et al., 2015

3.4 Protozoa
Flagelata, ciliata, amoeba, coccidian, dan
haplosporidian merupakan kelompok protozoa yang
mempunyai daya patogenic terhadap serangga. Sebagian besar
protozoa penyebab penyakit (patogen) pada serangga hama ini
termasuk ke dalam sub-filium Sporozoa dan Chidospora.
Sedangkan sub-filium lain yang anggotanya dapat berperan
sebagai patogen yaitu Sarcomastigophora dan Ciliophora.
Akan tetapi anggota dari ―
neogregarines‖ dan

microsporidians‖ merupakan protozoa ―
entomopatogenic‖
yang terpenting.

50
Neogregarines dan microsporidians ini penularannya
dapat terjadi, baik melalui mulut atau alat pencernaan. Pada
umumnya perkembangbiakan protozoa terjadi dalam jaringan
tubuh inang, yaitu dalam sel darah, akan tetapi sebagian kecil
ada yang dapat tumbuh atau hidup pada usus serangga inang.
Spora-spora protozoa yang terbentuk ini mengakibatkan
penyakit pada serangga inang dengan tingkatan infeksi yang
bermacam-macam, dari tingkat infeksi lemah yang kronis
sampai tingkat yang sangat tinggi (very phatogenic).

Gambar 24. Bentuk Spora Protozoa. Microsporidian Pleistophora


schubergi
Sumber : Abdel-Ghaffar, F., et al., 2009

Penyakit serangga yang disebabkan oleh protozoa ini


dapat diagnosis dengan adanya bentuk spora di dalam tubuh
serangga inang yang sudah terinfeksi. Jaringan yang sudah
terinfeksi ini sangat spesifik pada neogregarine atau
microsporidian. Beberapa spesies ada yang menginfeksi satu

51
jenis jaringan, sementara itu ada pula spesies yang lain yang
menginfeksi hampir semua jaringan pada tubuh serangga
inang. Namun demikian protozoa-protozoa ini sering
mempunyai siklus hidup yang kompleks dan mengakibatkan
sering susah untuk mengidentifikasi spesiesnya. Semua
protozoa, neogregarines, microsporidian, coccidian, dan
haplosporidian merupakan obligate parasites dan tidak dapat
berkembang biak dengan baik pada media buatan.
Contoh beberapa jenis protozoa yang bertindak sebagai
patogen pada serangga tersebut antara lain adalah : Leptomonas
pyraustae, termasuk kedalam kelas Mastigophora atau kelas
Flagellata, sebagai penyebab penyakit pada penggerak batak
jagung di Eropa, Ostrinia nubilalis Hubner. Malphigamoeba
locustae, termasuk kedalam kelas Sardinna, merupakan
patogen pada belalang Sexapa sp. dan beberapa jenis belalang
yang lain. Adelina sp. merupakan protozoa yang menyerang
serangga hama Tribolium spp., misalnya T. castaneum Herbst
Coleoptera; Tenebrionidae); dan genus yang lain, misalnya
Tenebrio molitor Linne.
Gejala atau tanda dari seragga inang yang terkena
serangan patogen protozoa ini, antara lain adalah tubuh
menjadi kerdil, bentuk tubuh tidak sempurna (invalid),
kemudian kesulitan dalam molting, berkurangnya nafsu makan,

52
kehilangan keseimbangan dan akhirnya biasanya serangga
tersebut mengeluarkan kotoran yang berwarna putih. Namun
demikian, gejala-gejala tersebut tidak selamanya persis mucul
seperti diatas, dan hal ini tergantung oleh jenis protozoa yang
menyerang. Dalam beberapa kasus kematian merupakan gejala
awal dari serangan patogen ini dan apabila inang yang telah
mati terebut diamati di bawah mikroskop maka akan terlihat
bentuk-bentuk spora protozoa yang bersangkutan.

3.5. Rickettsia
Selain dari empat kelompok mikroba yang sudah
diuraikan sebelumnya, maka dari beberapa pustaka yang ada
ternyata masih ada dua kelompok mikroba lagi yang
merupakan patogen untuk beberapa hama. Salah satu
diantaranya, yaitu Rickettsia. Kelas Rickettsia ini dapat dibagi
kedalam dua ordo penting, yaitu Rickettsiales dan
Chlamydiales. Namun demikian, dari kedua ordo tersebut
hanya ordo Rickettsiales saja yang telah diketahui anggotanya
berperan sebagai patogen pada serangga hama.
Rickettsia merupakan mikroba yang menyerupai cirus
yang selnya berbentuk batang atau coccus (Gambar 25) dan
biasanya hidup pada sel jaringan tubuh inang, khususnya pada
sel jaringan lemak. Perkembangbiakan atau penggandaan

53
dirinya terjadi pada sitoplasma. Akan tetapi, Rickettsia ini
merupakan kelompok mikroba bakteri yang berbentuk batang
yang jumlahnya sedikit sekali.

Gambar 25. Salah Satu Bentuk Rickettsia (Batang)


Sumber : Entwistle, P. F. dan Robertson, J. S. 1968

Rickettsia tersebut bersifat sebagai obligat parasit


interselular (obligate intercellular parasites) pada artropoda,
terutama kutu-kutu yang termasuk ke dalam kelas serangga
(insect) atau tungau (mites) seperti fleas, lice, dan ticks.
Beberapa jenis Rickettsia yang bertindak sebagai
patogen untuk serangga tertentu, dapat dimanfaatkan sebagai
agensia pengendali hayati serangga hama diantaranya adalah:
Rickettsiella melolontha yang dikenal sebagai penyebab
penyakit pada Melolontha spp. Demikian pula jenis
Rickettsiella popilliae sering dijumpai menyerang kumbang
Jepang, Popillia japonica Bewman.

54
Prospek pemanfaatan Rickettsia sebagai agensia
pengendali hayati serangga hama terlihat cukup baik,
mengingat bahwa mikroba ini cukup memiliki potensi untuk
menyebabkan penyakit atau bahkan kematian pada inangnya.
Namun demikian, disamping itu ada beberapa spesies
Rickettsia yang justru bukannya menolong manusia akan tetapi
malah membahayakan manusia. Rickettsia prowazekii dan
Roche lima yang merupakan penyebab penyakit typhus pada
manusia, ditularkan oleh kutu (Pediculus humanus humanus
L.) yang bertindak sebagai vektor. Demikian pula penyakit pes
atau disebut juga tsutsugamushi fever disebabkan oleh
Rickettsia tsutsugamushi (Hayashi) Ogata yang ditularkan
kepada manusia dari tikus (Rattus spp.) sebagai inangnya.
Gejala atau tanda dari serangga yang terserang oleh
Rickettsia ini sangat bervariasi, hal ini sangat dipengaruhi,
pertama oleh Rickettsia yang menyerang kedua oleh inang
yang diserangnya. Sebagai contoh, misalnya larva serangga
yang terserang oleh Rickettsiella popilliae akan terlihat adanya
perubahan warna pada sel lemak, yaitu warnanya menjadi
kebiru-biruan, sehingga gejala tersebut dikenal dengan nama

blue disease‖. Sedangkan gejala dari larva Melolontha spp.
Yang terserang oleh R. poppiliae akan menunjukkan
perilakunya, dimana jika suhu sekitarnya turun atau diturunkan

55
maka akan menyebabkan larva sakit bergerak ke permukaan
tanah, padahal larva yang sehat pada kondisi tersebut akan
bergerak ke dalam tanah.

3.6. Nematoda
Nematoda mewakili suatu cabang dari jalur evolusi
binatang dan tidak menyebabkan timbulnya suatu bentuk
kehidupan yang lebih rumit. Bentuk tubuh seperti tabung dan
sistem tubuh yang terselubung sangat cocok untuk hidup di
dalam tanah. Adaptasi struktural maupun fisiologis terhadap
berbagai keadaan hidup merupakan hal yang sangat menarik.
Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus

Mikrobivorous‖ atau ―
Phytovagous‖ umumnya bersifat
sebagai parasit pada serangga. Beberapa famili Nematoda ada
yang mempunyai spesies berupa parasit pada serangga sewaktu
Nematoda tersebut berkembangbiak.
Nematoda-nematoda yang bertindak sebagai parasit
baik pada serangga maupun binatang yang bertulang belakang
mengalami perkembangan dengan cara yang berbeda antara
lain untuk menempatkan diri, masuk dan mempertahankan
posisi di dalam inangnya (Host), demikian juga dalam
memberikan kesempatan kepada larva dari generasi berikutnya
untuk mengulang daur hidupnya. Sedangkan pada

56

Enthonematoda‖ hubungan antara Nematoda dengan serangga
dapat terjadi dalam beberapa bentuk seperti:
1. Hubungan secara ―
foretik‖ (phoretic)
2. Sebagai parasit fakultatif (Facultative parasite) dan
3. Sebagai parasit obligat (Obligat Parasite)
1. Hubungan Phoretic
Hubungan secara foretik (phoretic) ini dapat terjadi
bilamana, baik nematode maupun serangga menempati relung
yang sama. Jadi dalam hal ini nematoda bisanya hanya
memanfaatkan serangga tersebut sebagai tempat berlindung
atau tempat bersembunyi ataupun membantu dalam
pemencarannya.
2. Parasit Fakultatif
Sebagai parasit fakultatif, maka nematoda sudah hidup
di dalam tubuh serangga yang seluruhnya sebagai suatu
saprofit, namun pada kondisi tertentu yang memungkinkan
dapat bertindak sebagai parasit. Dalam beberapa kasus
nematoda tersebut ada yang bersimbiosis dengan bakteri atau
jamur untuk memenuhi kebutuhan pakannya dan bakteri
tersebutlah yang justru sangat patogenic terhadap serangga
inangnya. Salah satu contoh dari nematod yang dimaksud
adalah Neoaoplectena sp. yang bersimbiosis dengan bakteri
Acromobacter sp.

57
3. Parasit Obligat
Sebagai parasit obligat, maka nematode tersebut hanya
dapat hidup pada serangga inang sebagai parasit tidak dapat
sebagai Saprofit. Jadi dalam kasus demikian, nematode itu
sendiri sudah mampu untuk menyebabkan kematian pada
inang.
Mulai dari saat stadium telur sampai stadium dewasa,
nematoda biasanya mengalami empat kali pergantian kulit, dan
stadium antara telur dengan dewasa dikenal dengan nama
juvenile. Tahap ini juga merupakan ―
fase invasif‖ yang siap
untuk hidup sebagai parasit pada inangnya. Kebanyakan dari
nematoda-nematoda ini menginfeksi atau menyerang tubung
inangnya pada tahap juvenile yang masuk melalui kutikula
inangnya menuju midgut. Sesudah masuk kedalam hemocoel
serangga inang, nematode juvenile ini mengalami pertumbuhan
yang sangat cepat. Menjelang dewasa nematoda tersebut akan
meninggalkan tubuh inangnya dan hidup di dalam tanah.
Perkawinan nematoda parasit ini juga terjadi di luar tubuh
inangnya. Bentuk umum dari morfologi suatau nematoda
dapat dilihat pada gambar 26.

58
Gambar 26. Morfologi Nematoda. Betina (a) dan Jantan (b)
Sumber : referensibiologi.com, 2019

Beberapa suku dari filum Nematoda yang anggotanya atau


spesiesnya berperan sebagai patogen pada serangga hama
antara lain adalah:
1. Suku Rhabditidae (Bangsa Rhabditida)
2. Suku Mermithidae (Bangsa Enoplida)
3. Suku Neotylenchidae (Bangsa Tylenchida)
Spesies-spesies dari Tylenchus dan Aphelenchoids
tinggal pada lubang yang dibuat oleh kumbang penggerek kulit
kayu (bark beetle) dan sering sekali terbaur pada tubuh

59
kumbang tersebut. Akan tetapi sebagian kecil spesies ada yang
telah menjadi parasit di dalam tubuh kumbang yang
bersangkutan, dimana stadia larvanya tinggal dan hidup pada
hemocoel atau pada Malphigian tubules. Larva spesies-spesies
dari Diplogaster juga merusak bagian dalam tubuh dan
hemocoel kumbang. Kemudian Neoplectana sp. merupakan
suatu parasit fakultatif yang tinggal atau hidup di dalam sistem
pencernaan serangga dan seterusnya menyerang jaringan tubuh
serangga.
Ada beberapa spesies nematoda yang mempunyai
kekhususan inang (host-specific), sedangkan spesies yang lain
ada yang menyerang lebih banyak jenis serangga inang.
Kebanyakan nematoda sangat sukar untuk dibiakkan dalam
media buatan, dan tidak ada nematoda yang bersifat sebagai
endoparasitik obligat (obligate endoparasitic) kecuali spesies
yang memiliki genus Neoplectana sudah dibiakkan. Secara
ringkas beberapa jenis nematoda tersebut dapat dikemukakan
seperti dalam uraia berikut ini.

1. Suku Rhabditidae
Dari suku Rhabditidae tercatat diantaranya ada genus
Neoplectana dan Heterorhabditis yang memiliki hubungan
dekat dengan serangga hama. Sepereti telah diuraikan

60
sebelumnya, nematoda tersebut biasanya berasosiasi dengan
bakteri tertentu, misalnya Acromobacter sp., Pseudomonas. sp.
Dalam hal ini nematoda hanya bertindak sebagai vektor dan
bakterinyalah yang mampu untuk menimbulkan kematian
inang. Bakteri tersebut sangat patogenic dan dapat membunuh
inang dalam waktu yang sangat singkat. Nematoda beserta
bakterinya telah dapat dibiakkan di laboratorium dan pada saat
ini telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati
serangga hama.

2. Suku Mermithidae
Nematoda parasit dari suku Mermithidae ini bersifat
parasit obligat dan hanya pada saat fase juvenile saja yang
bersifat dan bertindak sebagai parasit. Menjelang dewasa
nematoda tersebut meninggalkan tubuh inangnya dan hidup
serta mengadakan kopluasi (perkawinan) di dalam tanah.
Nematoda dapat masuk ke dalam tubuh inang dengan
cara mengadakan penetrasi langsung ke dalam tubuh melalui
kutikula, infeksi nematoda dapat pula terjadi dari telur
nematoda yang ikut termakan oleh serangga inang bersama-
sama dengan pakan lainnya. Jenis nematoda ini sering dijumpai
menyerang beberapa jenis serangga hama seperti, belalang,

61
penggerek batang padi (stem borer), Helopeltis sp. (Hemiptera;
Midae).
Beberapa jenis dari filum nematoda, suku Mermithidae
yang telah diketahui memiliki peranan sebagai patogen antara
lain yaitu Hexamermis microamphidis Stein (Gambar 27) dan
Agamermis paradecaudata Stein. Keduanya diketahui sebagai
penyebab penyakit pada serangga hama dari genus Helopeltis.

Gambar 27. H.mikroamphidus. 1) Ujung Anterior Jantan. 2)


Penampang Apikal Kepala Jantan. 3) Vagina. 4) Ujung Anterior
Betina. 5) Penampang Lateral Ujung Posterior Jantan. 6) Ujung
Anterior Postparasit Juvenil. 7) Penampang Ventral Ujung Posterior
Jantan. 8) Potongan Melintang Bagian Tengah Tubuh Betina.
Sumber : Achinelly M. F dan Camino, N. B., 2008

62
3. Suku Neotylenchidae
Salah satu jenis nematoda parasit dari suku
Neotylenchidae ini adalah Deladenus siricicola Bedding.
Nematoda betina bersifat dimorfik, dimana sebagian hidup
bersimbiosis dengan sejenis jamur kayu dan sebagian lain
dapat bertindak sebagai parasit pada serangga hama Sirex sp.
yang merupakan hama pada beberapa jenis kayu hutan di
Australia.

Gambar 28. A). Sirex noctilio. B). Deladenus siricicola. C). Telur
Sirex noctilio yang terinfeksi Deladenus siricicola
Sumber : Bedding, R., 1972

63
Gambar 29. D) Ovarium Sirex noctilio . Tanpa Deladenus siricicola
(Kiri) dan Terinfeksi Deladenus siricicola (Kanan). E) Testis Sirex
noctilio. Tanpa Deladenus siricicola (Kiri) dan Terinfeksi Deladenus
siricicola (Kanan)
Sumber : Bedding, R., 1972

Nematoda tersebut telah dapat dibiakkan di


laboratorium pada media buatan, kultur jamur, dan kemudian
diadakan pelepasan ke lapangan. Evaluasi sementara terhadap
pelepasan nematoda tersebut diperolah petunjuk bahwa
nematoda telah tersebar di hutan-hutan Austalia.

64
BAB IV. BEBERAPA SIFAT KARAKTERISTIK
PATOGEN SERANGGA

4.1 Mekanisme Penularan


Mekanisme penularan dan masuknya patogen pada
inangnya memiliki cara yang berbeda-beda dan tergantung pula
pada jenis patogen dan juga inangnya. Cara yang paling umum
terjadinya penyakit pada serangga yaitu melalui mulut (orally)
ke dalam saluran pencernaan. Akan tetapi sebagian patogen
serangga hama seperti jamur, misalnya Beauveria dapat secara
langsung melakukan penetrasi ke dalam tubuh inang dengan
melalui kutikula tubuh serangga tanpa perlu termakan terlebih
dahulu ke dalam saluran pencernaannya. Demikian pula halnya
Nematoda ada juga yang dapat melakukan hal yang sama, yaitu
mengadakan penetrasi langsung melalui kutikula tubuh inang,
namun beberapa diantaranya dapat masuk melalui mulut
(orally).
Penularan patogen dari satu individu kepada individu
yang lain dapat pula terjadi karena perkawinan ataupun kontak
langsung. Selain dari pada itu banyak patogen serangga ini
yang dapat ditularkan dari inang yang sakit, yaitu betina yang
sudah terinfeksi melalu telur menular kepada keturunannya.
Bilamana penularan ini terjadi di dalam indung telur (ovary)

65
dan agensia penyakit diisikan atau dimasukkan ke dalam telur,
hal ini disebutnya ―
transovarian transmission”. Telur serangga
dapat juga terkontaminasi atau ditulari dari bagian luar
(―
contaminated externally‖) oleh anggota penyakit yang
bersangkutan sebagai hasil sekresi dari kelenjar tertentu yang
terdapat pada serangga betina. Serangga yang belum dewasa
yang baru timbul kemudian menelan agensia penyakit tersebut
dan dengan sendirinya akan terinfeksi. Penyakit ini dapat pula
ditularkan dari satu serangga inang ke inang yang lain oleh
vektor parasit yang termasuk ordo Hymenoptera
(Hymenopterous parasites) yang membawa agensia penyakit
yang bersangkutan ikut terbawa dan masuk ke dalam serangga
inang yang lain.

4.2 Kisaran Inang (Host Range)


Kisaran inang patogen serangga sangat bervariasi.
Beberapa jenis patogen ada yang mempunyai inang yang
spesifik (host specific) dan hanya menginfeksi atau menyerang
sedikit sekali spesies serangga. Akan tetapi ada pula patogen
yang lain yang tidak spesifik yang mempunyai jenis inang yang
banyak (‖very broad host spectrum‖) dan mampu menginfeksi
spesies serangga yang berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya
bakteri Bacillus thuringiensis Berliner, dikenal sebagai ―
broad

66
spectrum microbial agent‖, karena mempunyai kamampuan
menginfeksi spesies-spesies larva, lebih dari 137 spesies
serangga dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, dan
Caleoptera. Demikian pula halnya jamur Metarrhizium
anisopliae dan Beauveria sp. merupakan jenis patogen yang
memiliki kemampuan menginfeksi spesies-spesies larva dari
beberapa ordo, dengan demikian kisaran inangnya cukup luas.
Kebanyakan jenis virus, relatif hanya memiliki kisaran
inang yang sempit atau spesifik (―
host specific‖), disebut juga

narrow spectrum‖ atau ―
narrow spectrum microbial agent‖.
Dalam hal ini, virus tersebut sebatas hanya dapat menginfeksi
serangga inang dari genus yang sama. Namun demikian
beberapa jenis virus serangga hama ada pula yang dapat
menginfeksi inang dari beberapa famili atau bahkan ordo yang
berbeda.
Telah dilakukan uji coba kekhususan inang virus Darna
catenatus terhadap beberapa larva yang berbeda. Dari hasil
pengujiannya tersebut maka diperoleh petunjuk bahwa, virus
tersebut dapat menginfeksi larva Parasa sp., Setora sp.
Chalcocelis sp. (Cohlidiidae = Lomacodidae) dan larva ulat
sutra, Bombyx mori L. (Bombycidae).

67
4.3. Persistensi Patogen Serangga
Pada kondisi lingkungan yang sesuai (favorable),
patogen serangga seperti bakteri pembentuk spora (spore-
forming bacteria), mampu untuk tetap bertahan dalam
beberapa tahun walapun berada di luar tubuh inangnya.
Agensia penyakit yang lain, seperti virus serangga yang
noniclusion body hanya dapat bertahan beberapa minggu saja
kalau berada di luar tubuh inangnya. Sedangkan kalau terkena
sinar matahari secara langsung dan temperatur tinggi maka
akan merugikan atau membahayakan kehidupan untuk
kebanyakan patogen. Spora-spora bakteri dan jamur serta virus
serangga yang berada di dalam inclusion body akan dapat
hidup dalam jangka waktu yang cukup lama kalau keadaan
gelap, akan tetapi secepatnya akan menjadi tidak aktif kalau
terkena langsung sinar matahari.
Polyhedra dari virus polyhedrosis inti (NPV) yang
menyerang ulat kilan pada kubis, Trichoplusia ni Hubner dapat
tetap hidup pada suspense air steril yang dingin selama lebih
dari 15 tahun, dan di dalam tanah kurang lebih lima tahun,
sedangkan kalau pada tanaman inang hidupnya kurang dari
satu bulan.
Mungkin pada suhu normal di lingkungan pertanian
ataupun dilapang, baik di sawah maupun di kebun, tidaklah
begitu berpengaruh terhadap aktivitas patogen serangga hama
68
seperti pengaruh sinar matahari langsung. Penelitian yang
pernah dilakukan, diperoleh petunjuk bahwa biakan murni
virus granulosis pada Pieris brassicae L. menjadi tidak aktif
jika mendapat perlakuan suhu setinggi 70°C selama 10 menit;
pada suhu 65°C selama 60 menit; dan pada suhu 60°C selama
24 jam. Tidak sepenuhnya tidak aktif pada perlakuan 50°C
selama 5 hari dan pada suhu 40oC selama 30 hari. Akan tetapi,
penyimpanan patogen tersebut pada suhu -20°C selama 6 bulan
ternyata tidak mempengaruhi patogenisitas patogen tersebut.
Kelembapan udara nisbi ternyata tidak begitu
berpengaruh terhadap persistensi patogen serangga, kecuali
terhadap jamur dan beberapa Nematoda. Kelembaban yang
tinggi dapat dimanfaatkan untuk perkecambahan spora jamur,
akan tetapi pada umumnya tidak baik (unfavorable) untuk
kehidupan spora yang lebih lama. Sebagai contoh apabila
kelembaban yang tinggi tersebut menyebabkan jumlah spora
yang berkecambah itu banyak sekali, sedangkan serangga
inangnya tidak ada maka jumlah spora jamur yang dapat hidup
di lingkungan tersebut akan berkurang.
Peranan patogen sebagai faktor mortalitas pada
populasi serangga hama di lapangan sangat dipengaruhi oleh
faktor persistensinya patogen yang bersangkutan di suatu
daerah atau lapang untuk jangka waktu yang cukup lama di

69
bawah kondisi lingkungan setempat (alami). Beberapa jenis
patogen yang pada suatu waktu tertentu diketahui memiliki
persistensi yang rendah di lapangan, masih dapat ditingkatkan
kemampuannya sebagai insektisida mikroba, dengan jalan
melakukan perlakuan atau aplikasi yang berulang-ulang dalam
waktu tertentu untuk pengendalian hama di lapangan. Dalam
beberapa kasus ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
umur panjang patogen yang terlibat dalam persistensinya pada
populasi inang. Ruangan yang terpisah dari patogen dengan
inangnya mungkin merupakan salah satu faktor, patogen
tersebut tidak hanya harus mempunyai ketahanan tertentu
terhadap keadaan atau kondisi lingkungan, akan tetapi juga
harus dapat berhubungan dan menginfeksi inangnya. Dua
macam tujuan atau maksud yang paling penting dalam
merumuskan atau menentukan insektisida mikroba adalah :
1. Menambah data persistensi patogen untuk jangka
waktu selama mungkin.
2. Dapat menempatkan patogen tersebut sedemikian rupa
sehingga berhubungan dengan inangnya untuk
mendapatkan infeksi yang maksimum.

Patogen sering terdapat di alam dan menginfeksi atau


menyerang inang hidup. Serangga yang telah terjangkit atau

70
terinfeksi sering masih dapat hidup selama masih dingin (over
winter) dan merupakan sumber infeksi untuk inang yang lain
pada waktu berikutnya. Hal ini merupakan salah satu
mekanisme persistensi yang sangat penting untuk kebanyakan
patogen serangga yang terjadi secara terus menerus tahun demi
tahun.

4.4. Patogenisitas
Untuk mengukur daya racun atau toksisitas yaitu dosis
yang mematikan, suatu jenis insektisida pada khususnya,
pestisida pada umumnya biasa dinyatakan dalam LD50 (Lethal
Dose 50). LD50 ini merupakan data dosis yang menunjukkan
besarnya bilangan daya racun dimana pada dosis yang
bersangkutan menghasilkan jumlah kematian separuh (50%)
dari seluruh hewan uji. Patogenisitas atau daya racun dari
agensia penyakit serangga atau patogen dapat pula ditunjukkan
dalam ukuran LD50. Akan tetapi kalau hanya LD50 saja, hal
ini belum dapat memberikan gambaran yang akurat dari efek
patogenisitas dari patogen yang bersangkutan. Serangga hama
akan memberikan respon, kalau dosis organisme patogen yang
dipergunakan sebagai insektisida mikroba ditingkatkan, dengan
terjadinya bertambah banyaknya yang kena infeksi dan
mortalitas pun bertambah tinggi, sama halnya seperti respons

71
terhadap kenaikan atau peningkatan dosis insektisida senyawa
kimia yang sudah biasa dipakai (konvensional). Efek atau
pengaruh dari peningkatan dosis ini dapat ditunjukkan oleh
suatu kurva (curva) dosis – infeksi (dosage – infection) atau
dosis – mortalitas (dosage – mortality). Kurva-kurva ini
mempunyai bentuk ―
sigmoid‖, akan tetapi dapat pula dirubah
menjadi garis lurus dengan cara mem‖plotting‖ dosis
dinyatakan dalam logaritma terhadap mortalitas yang
dinyatakan dalam ―
probits‖ (―
probits analyse‖). Dengan
demikian efek mortalitas dari patogen terhadap inangnya dapat
dinyatakan sebagai LD50 dan dicirikan oleh ―
slope‖ kurva
logprobit. Patogen serangga biasanya menghasilkan kurva
dengan ―
slope‖ yang sangat rendah bila dibandingkan dengan
insektisida biasa.
Slope kurva ―
dosage-mortality‖ menunjukkan derajat
atau tingkat variability dalam respon terhadao perlakuan dalam
populasi serangga. Slope yang lebih rendah, variabilitasnya
lebih besar. Hal ini berarti bahwa untuk menghasilkan
mortalitas yang 100% maka biasanya diperlakukan agensia
penyakit dalam jumlah yang banyak sekali. Beberapa
mortalitas hama dapat terjadi pada dosis yang sangat rendah,
dan bertitik tolak dari pendirian pengendalian hama, hal ini
menunjukkan suatu gambaran patogen serangga yang sama

72
sekali tidak diinginkan. Dalam praktek di lapang, bilamana
patogen diintroduksikan kepada populasi serangga hama
dengan tujuan untuk mengendalikan hama jangka panjang
long-term control‖), sering-sering menggunakan patogen
(―
dengan dosis jauh di bawah nilai LD50. Akan tetapi dengan
dosis tersebut, hasil yang dicapai sudah cukup untuk membuat
keseimbangan antara populasi hama dan musuh alami pada
tingkat yang tidak merugikan.
Slope kurva ―
dosage-mortality‖ yang rendah untuk
patogen serangga, juga menunjukkan suatu hubungan inang-
patogen (host-patogen) yang lebih stabil. Sebagai sebuah
contoh hipotesis, satu jenis patogen serangga yang mempunyai
kurva ―
dosage-mortality‖ dengan slope yang tinggi dan
berindak sebagai faktor mortalitas utama dalam suatu populasi
serangga dapat mengakibatkan jumlah populasi serangga untuk
turun naik yang sangat tajam.
Beberapa patogen yang mempunyai nilai LD50 yang
tinggi tidak selalu memberikan gambaran bahwa patogen
tersebut tidak efektif untuk dipakai sebagai agensia
pengendalian hama. Sebagai contoh misalnya Bacillus pipilliae
Dutky, bakteri tersebut mempunyai nilai LD50 yang relatif
tinggi, yaitu 2.000.000 spora per larva, tetapi bakteri tersebut
sangat berhasil untuk dipakai sebagai agensia pengendali hama

73
Popillia japonica, Newman. Ditanaman yang mendapat
serangan ―
Japanese beetle‖ dapat diatasi dengan
mengaplikasikan spora B. popilliae Dutky dengan dosis
dibawah nilai LD50, 2.000.000 spora per larva. Hal ini dapat
terjadi karena walaupun patogen tersebut diaplikasikan dengan
dosis dibawah nilai LD50, namun beberapa larva hama yang
sudah terinfeksi akan melepaskan atau menularkan spora
patogen yang dibawanya ke lingkungan sekitarnya dan pada
hama yang sehat sehingga akan timbul ―
peledakan penyakit‖
yang disebut ―
epizootic‖ pada populasi hama tersebut. Dengan
kata lain dengan cara ini inoculum spora tersebut secara
perlahan-lahan akan memenuhi daerah dimana hama yang
sudah terinfeksi tersebut berada sampai patogen tersebut
menjadi suatu faktor penentu mortalitas yang sangat penting.
Nilai LD50 dapat juga menyesatkan, karena nilai
tersebut tidak mengingat efek patogen yang melemahkan pada
inang. Sebagai contoh, virus polyhidrosis sitoplasma (CPV)
pada ―
Vallcarkerworm‖, ―
Alsophila pometaria‖ (Harris)
(Lapidoptera; Geometridae) mempunyai nilai LD5O 19.000
Polihedra per larva, akan tetapi betina yang sudah terinfeksi
tidak menghasilkan telur yang banyak demikian pula halnya
betina yang sehat yang kawin dengan jantan yang sudah
terinfeksi. Protozoa Rosporidian, Nosema Trichoplusiae

74
tanabe dan Tamashirom mempunyai efek yang sama pada
Cabbage Looper‖, Trcihoplusia ni (Hubner).

Penyakit serangga atau patogen yang ditularkan dari
seekor induk kepada keturunannya melalui telur yang disebut

transovarian transmission‖ juga mempunyai efek patogenis,
akan tetapi dalam hal ini tidak dapat dinyatakan dalam istilah
LD50. Sebagai contoh, Sasaran yang berbeda pada angka yang
masih hidup, antara inang yang kena infeksi dengan cara

transovarian transmission‖ tadi dengan inang yang terinfeksi
tidak dengan cara ―
transovarian‖ tadi yang ada pada ―
European
corn borer‖, Ostrinia nubilalis (Hubner). Ternyata pada yang
disebut pertama 14% mencapai masa dewasa, sedangkan pada
yang kedua 75% mencapai matang pada stadium dewasa.
Patogenitas suatu agensia penyakit mempunyai
variabilitas yang sangat besar, karena dalam hal ini dua
variabel biologis terlibat di dalamnya, yaitu inang dan patogen.
Desakan yang tepat dari suatu agensia penyakit menggunakan
desakan pilihan pada populasi inang, sementara itu pada saat
yang sama virulensi patogen dapat saja berubah. Hal demikian
dapat terjadi berulang-ulang dimana patogen tersebut
menyerang spesies inang yang sama dan sering mengakibatkan
virulensi yang meningkat. Ada empat kali lipat peningkatan
virulensi polyhedrosis dari ngengat lilin, Galleria Mellonella

75
(L)., setelah delapan kali melalui inangnya. Akan tetapi
mekanisme yang bertanggung jawab untuk perubahan virulensi
patogen ini belum sepenuhnya dapat dimengerti. Tentunya hal
ini memegang peranan yang penting dalam perkembangan
peledakan penyakit (epizootic). Virulensi harus dipelihara atau
dilindungi sewaktu memproduksi agensia penyakit yang
digunakan sebagai insektisida mikroba.
Mortalitas penyakit seraangga atau patogen ini dapat
juga dinyatakan dalam ukuran atau nilai LT50, Lethal time,
yaitu waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 50%
mortalitas hewan uji. LD50 harus dinyatakan pada suatu
kisaran yang ternyatakan sesudah pemberian atau aplikasi
patogen. Sebagai contoh, apabila efek mortalitas satu jenis
patogen pada inangnya dicatat satu hari setelah pemberian
patogen, LD50 nya biasanya lebih tinggi (artinya mortalitas
rendah) daripada efek mortalitas yang tercatat sesudah lima
hari. Untuk alasan tersebut hal ini terkadang diperlukan sekali
untuk menyatakan efek patogen pada inangnya dalam istilah
LT50. Apabila dosis patogen bertambah maka LT50 nya
diharapkan akan berkurang.
Patogen serangga sering hanya menginfeksi satu stadia
tertentu dan tidak menginfeksi stadia yang lain pada suatu
spesies yang sama dari inangnya, akan tetapi dapat

76
menginfeksi stadia yang sama dari spesies yang berbeda.
Sebagai contoh, bakteri Bacillus thuringiensis Berliner dapat
menular dan menyerang beberapa larva dari ordo Lepidoptera,
akan tetapi stadia dewasa atau imago dari ordo Lepidoptera
tersebut tidak pernah diserangnya. Beberapa patogen yang
hanya dapat menyerang stadia larva dan keberadannya pada
inang tersebut dapat menyebabkan infeksi pada stadia imago
atau dewasa. Akan tetapi, patogen yang lain ada yang mampu
menginfeksi setiap stadia serangga inangnya. Contohnya,
jamur Metarrhizium anisopliae mampu mengifeksi baik larva,
pupa (kepompong) maupun dewasa (imago). Disamping itu
stadia atau bahkan instar yang lebih muda biasanya lebih
rentan atau lebih ―
susceptible‖, instar pertama larva ulat
grayak, Pseudaletia unipuncta (Haworth) sering sekali lebih
rentan (susceptible) terhadap infeksi virus Polyhedrosis inti
(NPV). Daripada larva instar yang lebih tua, instar muda larva

Cabbage looper‖, Trichoplusia ni (Hubner) sering sekali lebih
rentan (Susceptible) terhadap jamur Nomuraea rileyi (Varlow)
daripada larvanya yang lebih tua.
Dalam beberapa kasus tertentu, larva instar terakhir dari
serangga inang yang sama sekali sukar untuk disembuhkan
akibat serangan patogen yang bersangkutan, hal ini sangat
menular untuk larva instar yang lebih muda dari serangga

77
inang pada spesies yang sama. Mengingat hal diatas tersebut
maka waktu aplikasi insektisida mikroba tersebut merupakan
hal yang sangat penting.

78
BAB V. TAHAP PERKEMBANGAN PENYAKIT
SERANGGA

Pada bab-bab sebelumnya telah disinggung bahwa


penyakit serangga seringkali dapat bertindak sebagai pengatur
alami yang penting untuk menekan populasi serangga. Dalam
hal ini alam telah melakukan tahap pertama perkembangan
insektisida mikroba dengan aktivitas ―
screening‖. Timbul
pertanyaan apa yang harus kita lakukan dalam
mengembangkan penyakit-penyakit serangga tersebut untuk
bisa dipergunakan sebagai insektida mikroba? Perkembangan
suatu patogen serangga untuk dapat dimanfaakan sebagai
insektisida mikroba dimulai dengan suatu konsep di
Laboratorium yang maju melalui tahap percobaan-percobaan
pendahuluan dan mencapai realisasi teknis sebagai hasilnya.
Ada tiga parameter untuk mengevaluasi calon atau bahan dari
patogen serangga yang akan dipergunakan untuk insektisida
mikroba, yaitu:
1. Faesibility produksi.
2. Aman untuk manusia, ternak atau binatang vertebrata,
dan serangga yang berguna dan tanaman.
3. Efektif terhadap hama-hama utama.

79
Melihat pengalaman para ahli entomologi telah melihat
peledakan patogen serangga atau epizootic secara drastis
mengurangi populasi serangga dalam jumlah yang besar. Akan
tetapi sayangnya, epizootic tersebut biasanya terjadi sporadis,
dan sukar untuk diramalkan kapan dan dimana peledakkan itu
akan terjadi.
Perkembangan dan penyebaran penyakit dalam suatu
populasi serangga tergantung kepada interaksi antara patogen
tersebut dengan inang dan lingkungannya. Interaksi tersebut
melibatkan banyak variabel dan benar-benar complicated.
Karakteristik patogen yang mempengaruhi kemampuannya
untuk menyebar keseluruh populasi serangga inang ialah:
1. Virulensi dan daya penularan
2. Kemampuan untuk tetap hidup (Capacity of survive)
3. Kemampuan untuk menyebar
Kepadatan dan kepekaan terhadap penyakit serangga
(patogen) merupakan karakteristik populasi inang yang sangat
penting. Faktor-faktor lingkungn yang sangat penting termasuk
didalamnya temperatur, kelembapan udara, kondisi fisiokimia
dari tanah, mikroorganisme, parasit, predator dan binatang-
binatang yang lain (fauna) serta tumbuhan (flora).
Apabila patogen serangga ini timbulnya di alam secara
sporadis maka bagaimana caranya patogen tersebut

80
dimanfaatkan dalam program pengelolaan hama? Sungguhpun
penelitian mengenai kebanyak penyakit serangga belum
dilaksanakan secara mendalam, dimana perkiraan terjadinya
epizootic belum dapat dilakukan, akan tetapi epizootic tersebut
sudah dapat dipakai atau dipergunakan dalam program
pengelolaan atau pengendalian hama apabila dua faktor yang
sangat penting secara teliti sudah dapat dipikirkan. Adapun
kedua faktor tersebut, yaitu:
1. Ambang kerusakan populasi serangga hama untuk
tanaman tertentu sudah diketahui
2. Para ahli entomologi (entomologist) harus sudah
mengetahui penyakit yang sangat penting di dalam
populasi serangga hama yang bersangkutan.
Apabila sebagai contoh, seseorang mengetahui bahwa
serangga hama tertentu sering dikendalikan oleh penyakit
(patogen) serangga yang ada di lapangan, maka ia dapat
menjaga populasi tersebut secara hati-hati dan menghindari
perlakuan dengan insektisida kimia selama mungkin dan
sebelumnya belum pernah populasi serangga yang
bersangkutan melampaui ambang kerusakan. Dengan
sendirinya populasi serangga hama ini secara tetap harus
dimonitor selama penyakit serangga (patogen) muncul pada
waktu pertama kali. Penyakit yang muncul pada populasi

81
serangga yang dapat seringkali memberi tanda permulaan atau
awal terjadinya peledakan penyakit dan kemudian populasi
serangga akan menurun. Dalam beberapa kasus aplikasi
pengendalian dengan insektisida diterapkan pada populasi
serangga tepat pada permulaan atau sesudah penyakit baru saja
meledak sudah terjadi. Aplikasi tersebut dapat dicegah apabila
populasi hama dan kemungkinan peledakan penyakit ini secara
hati-hari dievaluasi sebelum dilakukan pengendalian tadi.
Virus dan jamur merupakan dua kelompok patogen
serangga yang sangat dipercaya menyebabkan timbulnya
epizootic. Sedangkan bakteri, protozoa dan nematoda sering
kurang dapat menimbulkan epizootic dari pada virus dan
jamur, akan tetapi hal ini tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh
kenyataan bahwa infeksi oleh jamur dan virus lebih mudah
dikenal dari pada infeksi protozoa, nematoda dan bakteri.
Di Hawaii, populasi ulat grayak Pseudalatia unipucta
(Haworth) sering dapat dikendalikan oleh adanya infeksi atau
serangan virus-virus Nuclear Polyhedrosis Viruses (NPV) dan
Granulosis Viruses (GV), dimana biasanya populasi serangan
dipertahankan tetap dibawah ambang ekonomi. Demikian pula
halnya, virus-virus tersebut di negara bagian Illinois, Amerika
Serikat, penting dalam pengendalian ulat grayak di lapang.
Tingkat peledakan peyakit epizotic oleh virus biasanya

82
bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lainya, namun secara
hati-hati maka perlakuan secara insektisida kimia dapat
dihindarkan.
Banyak Aphids dapat dikendalikan dengan adanya
jamur dialam dari genus Entomophtohora. Faktor utama yang
mengendalikan populasi Myzus persicae (Sulzer) disebabkan
oleh adanya infeksi Entomophtohora.

Gambar 30. Entomophthora planchoniana menginfeksi Myzus


persicae
Sumber : Fekih, I. B. et al., 2013

Walaupun faktor-faktor yang mengawali terjadinya


infeksi Entomophtohora pada Aphids yaitu lingkungan yang
luas dan tidak dapat diperkirakan atau diramalkan, akan tetapi
sekali infeksi Entomophtohora ini tampak pada populasi aphids
yang padat, biasanya suatu penyakit epizootic akan terjadi dan
pengendalian tidak perlu dilakukan. Di negara bagian Alabama
83
Entomophtohora sp. juga dapat memberi penjelasan yang
memuaskan dengan persentase yang tinggi dari pengendalian
alami terhadap Pseudoplusia includens (Walker) yang
menyerang tanaman kedelai. Tanpa adanya pengendalian
alami dari jamur maka untuk menghindari kerusakan tanaman
dan penurunan hasil sebagai tindakan preventive pemakaian
insektisida kimia perlu dilakukan.
Jamur Nomuraea rileyi merupakan jamur yang
bertanggung jawab dalam terjadinya ―
epizootic‖ pada populasi
larva-larva phitophagous dari ordo Lepideptera. Sebagai
contoh di Negara bagian Illinois, Amerika Serikat,
dipertanaman kedelai banyak sekali dijumpai ―
the green
kloferworm‖, Plathypena scabra (fabrisius) dengan populasi
yang tinggi, akan tetapi biasanya hama tersebut dapat
dikendalikan secara alami oleh adanya jamur Nomuraea rileyi.
Hanya sayangnya permulaan terjadinya epizootic tidak dapat
diramalkan dan perlakuan dengan insektisida kimia sering
diterapkan untuk menekan populasi hama tersebut. Padahal
secara alami pun dengan adanya jamur Nomuraea rileyi tadi,
sudah cukup bila perlakuan dengan insektisida kimia tidak
diterapkan. Ramalan yang tepat terjadinya penyakit (patogen)
serangga secara alami mungkin saja dapat dilakukan apabila
penyakit tersebut digunakan secara penuh dan konsekuen

84
dalam sistem pengelolaan hama (―
pest-management system‖).
Mengingat hal diatas kita harus melanjutkan usaha atau upaya
kita untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai
faktor-faktor yang berperan ataupun bertanggung jawab untuk
mengembangkan epizootic tadi dalam populasi serangga hama
yang menyerang pertanaman.

85
GLOSARIUM

Bioinsektisida : Pestisida biologis


Cadaver : Mayat atau jasad suatu
organisme.
Dinasti : Keturunan raja-raja yang
memerintah dan berasal dari satu
garis keturunan yang sama.
Dodecahedral : Bentuk 3D dengan 12 sisi.
Entomopatogen : Organisme penyebab penyakit
pada serangga.
Epizootik : Wabah penyakit yang
menyerang satu jenis organisme
dengan jumlah yang banyak.
Evolusi : Proses perubahan secara
bertahap.
Faesibility : Kelayakan (Menurujuk pada
suatu produk atau usaha bisnis)
Foregut (Pada Serangga) : Bagian depan sistem
pencernaan (usus depan).
Hifa : Struktur berbentuk tabung dari
perkecambahan spora.
Insektisida : Pestisida yang dikhususkan
untuk serangga.
Integument (Pengertian untuk Antropoda): Bagian dalam dari
kutikula. Kulit eksternal yang
86
teridiri dari satu lapisan sel
epitelium
Introduksi : Perbuatan memperkenalkan
atau melancarkan sesuatu untuk
pertama kali.
Juvenil : Tahap pra-dewasa dari
organisme artropoda
Konidia : Alat reproduksi yang terbentuk
di ujung hifa khusus untuk
membentuk spora.
Midgut (Pada Serangga) : Bagian tengah sistem
pencernaan (usus tengah).
Miselium : Kumpulan beberapa hifa.
Mortalitas : Ukuran jumlah kematian dalam
suatu populasi
Nukleocapsid : Badan protein yang berasosiasi
dengan asam nukleat. Berfungsi
mentrasfer asam nukleat baik ke
sitoplasma dan/atau nucleus.
Parasit : Organisme yang hidup dalam
organisme lain yang sifatnya
merugikan.
Parasitoid : Organisme yang hidup pada
organisme lain pada fase
pradewasa dan hidup bebas di
luar organisme lain tersebut
setelah dewasa.

87
Patogen : Agen biologis yang dapat
menyebabkan gangguan pada suatu
organisme lain. Pada tingkat tertentu
dapat menyebakan penyakit bahkan
kematian.
Pestisida : Bahan kimiawi yang digunakan untuk
mengendalikan, mengganggu, dan
membasmi organisme yang
menimbulkan kerugian.
Predator : Organisme yang memburu,
menangkap, dan memakan organisme
lain. Pemangsa.
Protozoa : Mikroorganisme mirip hewan dari
Kingdom Protista (Dalam sistem lima
kingdom).
Septicemia : Infeksi aliran darah atau kondisi
keracunan darah.
Sporadis : Keadaan yang tidak merata baik
penyebaran suatu tumbuhan atau
munculnya suatu penyakit yang tidak
menyeluruh.
Tetrahedral : Bentuk 3D dengan 4 sisi.
Transkripsi (Dalam Biomolekuler) : Proses penyalinan DNA
menjadi RNA.
Translasi (Dalam Biomolekuler) : Proses penerjemahan
kodon-kodon tRNA menjadi protein.
Vertebrata : Hewan dengan tulang belakang.

88
Virion : Unit struktural lengkap dari
virus
Zootik : Wabah penyakit yang
menyerang banyak jenis
organisme.

89
DAFTAR INDEX
Chrysodeixis includens · 37
A Chyptochaetum iceryae · 8
Ciliophora. · 50
Coccid planococcus · 8
Acromobacter sp. · 57, 61
CPV · 12, 24, 25, 26, 74, 94
Adelina · 52
Crocidolomia binotalis · 37
Adelina sp. · 52
Cryptognatha nodiceps · 8
Agamermis paradecaudata · 62
Cryptolaemus montrouzieri · 8
Agrotis sp. · 46
Cydia pomonella · 23
Alsophila pometaria · 74
Anisoplia austriaca · 3
Aphelenchoids · 59
Aspidiostus detructor · 8
D
Darn sp · 18
B Darna catenatus · 67
Deladenus siricicola · 63, 64
Diplogaster · 60
B. bassiana · 41, 44, 45
Diuraphis noxia · 48
B. popilliae · 31, 32, 74
Dynastus Gideon · 46
B. thuringiensis · 2, 34, 35, 36
B.bassiana · 42
Bacillus popilliae · 28, 29, 30, 97, 98
Bacillus thuringiensis · 2, 28, 32, 33,
E
36, 37, 38, 66, 77, 95, 96
Baculovirus · 13, 94 Entomophthora planchoniana · 83
Beauveria bassiana · 3, 4, 8, 38, 41, Entomophtohora · 83
43, 44, 93
Beauveria sp. · 67
Bemisia argentifolii. · 48 F
Bombyx mori · 3, 8, 67
Brontispa longissima · 46 Ferrisia virgate · 8

C G

C. Pavonana · 37 Galleria Mellonella · 75


Chalcocelis sp. · 67 GV · 12, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 82, 96
Chidospora. · 50

90
H N
Helicoverpa armigera · 25, 49, 50 Neoaoplectena sp. · 57
Heliothia sp · 46 Neogregarines · 51
Heliothis zea · 18 Neoplectana · 60
Helopeltis sp · 62 Neoplectana sp. · 60
Heterorhabditis · 60 Nilaparvata lugens · 44
Hexamermis microamphidis · 62 Nomuraea rileyi · 49, 50, 77, 84, 94
Hymenopterous parasites · 66 NPV · 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 24, 26, 68, 77, 82,
94, 98
I nucleocapsid · 15

Icerya purchasi · 8
Isaria fumosorosea · 48 O
Oecophylla smaragdina · 7
L Oryctes rhinoceros · 4, 46
Ostrinia nubilalis · 37, 52, 75
Laphygma exigua · 18, 37
Laspeyrisia pomonella · 4
Leptomonas pyraustae · 52 P
Paecilomyces farinosis · 41
M Paecilomyces fumosoroseus. · 48
Panonychus ulmi · 48
M. anisopliae · 44, 45, 46 Parasa sp. · 67
Malphigamoeba locustae · 52 Pediculus humanus humanus · 55
Melolontha spp. · 54, 55 Pediobius parvulus · 8
Metarrhizium · 3, 4, 38, 41, 44, 45, Phytovagous · 56
46, 47, 49, 67, 77, 94, 97 Picromerus bidens · 7
Metarrhizium anisopliae · 3, 38, 41, Pieris brassicae · 27, 69
44, 45, 47, 67, 77 Plathypena scabra · 84
Metarrhizium rileyi · 49 Pleistophora schubergi · 51
microsporidians · 51 Plutella xylostella · 37, 48
Mikrobivorous · 56 Popillia japonica · 29, 54, 74
Myzus persicae · 83, 95 Prodenia litura · 18, 37
Promecotheca reichei · 8
Pseudaletia unipuncta · 18, 77
Pseudomonas. sp. · 61

91
Pseudoplusia includens · 84 Setora sp. · 18, 67
Sexapa sp. · 52
Sirex sp · 63
R Spodoptera exigua · 14, 15
Spodoptera litura · 19
R.poppiliae · 55 Sporozoa · 50
Rattus spp. · 55
Rhopaea verreauxi · 30
Rickettsia prowazekii · 55 T
Rickettsia tsutsugamushi · 55
Rickettsiella melolontha · 54 T.castaneum · 52
Rickettsiella popilliae · 54, 55 Tenebrio molitor · 52
Roche lima · 55 Tetranychus urticae · 48
Rodilia cardinalis · 8 Tribolium · 52
Tribolium spp. · 52
Trichoplusia ni · 27, 77
S Trichoplusiae tanabe · 75
Trichoplusiani · 18
Sarcomastigophora · 50 Tylenchus · 59

92
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Ghaffar, F., Abdel-Rahman, B., Mehlhorn, H., Al-
Rasheid, K. A. S., Al-Olayan, E., Koura, E., Morsy, K.
2009. Ultrastructure, Development, and Host–parasite
Relationship of a New Species of the Genus
Pleistophora—a Microsporidian Parasite of the Marine
Fish Epinephelus Chlorostignei. Parasitology Research
106: 39 – 46.

Achinelly, M. F dan Camino. 2008 . Hexamermis paranaense


New Species (Nematoda, Mermithidae): a Parasite of
Diloboderus abderus (Coleoptera, Scarabaeidae) in
Argentina. Iheringia, Sér. Zool., Porto Alegre 98(4):
460 – 463.
Ali, S. R. A., Kamarudin, N., Mslim, R., Wahid, M. B. 2013 .
Microbial Approach In Pests Control. Further Advance
in Oil Palm Research (Chapter 13). Malaysian Palm Oil
Board:
https://www.researchgate.net/publication/269167388_
Microbial_Approach_In_Pests_Control [Diakses pada
07 Juni 2020].
Anggarawati, S. H., Santoso, T., dan Anwar, R. 2017.
Penggunaan Cendawan Entomopatogen Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin Dan Lecanicillium
lecanii (Zimm) Zare & Gams Untuk Mengendalikan
Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae). Jurnal
Silvikultur Tropika 8(3): 197 – 202.
Bedding, R. 1972 . Biology of Deladenus Siricidicola
(Neotylenchidae) an Entomophagous-Mycetophagous

93
Nematode Parasitic in Siricid Woodwasps.
Nematologica 18(4): 482 – 493.
Charnley, K. 2006. Fungal Phatogens of Insect: From
Mechanism of Pathogenicity to Host Defens.
Departement of Biology and Biochemistry.
da Costa, V. H. D., Soares, M. A., Rodríguez, F. A. D.,
Zanuncio, J. C., da Silva, I. M., Valicente, F. H. 2015.
Nomuraea rileyi (Hypocreales: Clavicipitaceae)
in Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae)
Larvae in Brazil. Florida Entomologist 98(2):796 –
798.
Daniel L. Mahr ©, 2016. A Horticulture Information article
from the Wisconsin Master Gardener website.[Artikel]
posted on 24 Oct 2016.
Devi, K. U., C. H. M. Mohan, J. Padmavathi, dan K. Ramesh.
2003. Susceptibility to Fungi of Cotton Bollworms
before and after a Natural Epizootic of the
Entomopathogenic Fungus Nomuraea rileyi
(Hyphomycetes). Biocontrol Science and Technology.
13(3): 367 – 371.
Dwight Lynn ©, 2006. Struktur Virus Polihedrosis Inti (NPV)
(Contoh: Baculovirus) dan Struktur Virus Polihedrosis
Sitoplasma (CPV).
E. Ihara © . 2020. Karakteristik Metarrhizium anisopliae,
taksonomi, morfologi, mode aksi.
https://id.thpanorama.com/articles/biologa/Metarrhiziu
m-anisopliae-caractersticas-taxonoma-morfologa-
modo-de-accin.html. [Diakses pada 07 Juni 2020].
94
Elqowiyya, A. I. 2015. Efikasi Larvaida Bacillus thuringiensis
israelensis terhadap Kematian Larva Culex
quinquefascuatus dari daerah Bekasi. [Skripsi]. UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.
Entwistle, P. F. dan Robertson, J. S. 1968. The Ultrastructure
of a Rickettsia Pathogenic to a Saturnid Moth. J. gen.
Microbiol. 54: 97 – 104.
Fekih, I. B., Boukhris-Bouhachem, S., Eilenberg, J., Allagui,
M. B., dan Jensen, A. B. 2013. The Occurrence of Two
Species of Entomophthorales (Entomophthoromycota),
Pathogens of Sit obion avenae and Myzus
persicae (Hemiptera: Aphididae), in Tunisia. Hindawi
Publishing Corporation BioMed Research International
: 1 – 7.

Gazali, A. 2015. Pengendalian Hayati. Mujahid Press:


Bandung
Haase, S., Romanowski, V., dan Sciocco-Cap, A. 2015.
Baculovirus Insecticides in Latin Anerica: Historical
Overview, Current Status and Future
Perspectives.Viruses 7: 2231 – 2267.

Indrayani, I., Prabowo, H., Dan Mulyaningsih, S. 2013.


Patogenisitas Dua Isolat Lokal Jamur Nomuraea Rileyi
(Farlow) Samson terhadap Helicoverpa Armigera
Hubner (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Littri 19(1): 8
– 14.
Kalmakoff, J. dan Longworth, J. F. 1980 . Microbial Control of
Insect Pests. DSIR: Wellington

95
Lee, H. R., Jung, J., Riu, M., and Ryu, C. M. 2017. A New
Frontier for Biological Control against Plant Pathogenic
Nematodes and Insect Pests I: By Microbes. Res. Plant.
Dis. 23(2): 114 – 149.

Li, M., Li, S., Xu, A., Lin, H., Chen, D., Wang, H. 2014.
Selection of Beauveria Isolates Pathogenic to Adults of
Nilaparvata lugen. Journal of Insect Science 14(32).
https://www.researchgate.net/publication/267872797_S
election_of_Beauveria_Isolates_Pathogenic_to_Adults_
of_Nilaparvata_lugens. [Diakses pada 01 Juni 2020].

Marzban, R., He, Q., Zhang, Q., Liu, X. 2013. Histophatology


of Cotton Bollworm Midgut Infected with Helicoverpa
armigera Cytoplasmic Polyhedrosis Virus. Brazilian
Journal of Microbiology 44(4): 1231 – 1236.

Mascarin, M. G., Alves, S. B., Lopes, R. B.2010. Culture


media selection for mass production of Isaria
fumosorosea and Isaria farinosa. Braz. Arch. Biol.
Technol. 53(4).
https://www.scielo.br/scielo.php?pid=S1516-
89132010000400002&script=sci_arttext. [Diakses pada
07 Juni 2020].

Muratoğlu, H., Sezen, K., Nalcacioglu, R., dan Mert, D. 2008.


Highly pathogenic Bacillus thuringiensis subp.
tenebrionis from European shot-hole borer, Xyleborus
dispar (Coleoptera: Scolytidae). New Zealand Journal
of Crop and Horticultural Science 36(1):77 – 84.

Nigel Cattlin ©, 2012. Infeksi GV pada Cydia pomonella.


96
Organikrevolusioner.Wordpress.Com. Insektisida Hayati: B e
a u v e r I a b a s s i a n a.
Https://Organikrevolusioner.Wordpress.Com/Bakteri-
Pemacu-Pertumbuhan/Insektisida-Hayatibeauveria-
Bassianainsektisida-Biologi/. [Diakses Pada 06 Juni
2020].
Referensibiologi.com, 2019. Anatomi dan Morfologi Nematoda.
https://www.referensibiologi.com/2019/01/nematoda.ht
ml . [Diakses pada 11 Juni 2020].
Rohrmann, G. F. 2019. Baculovirus Molecular Biology 4th
edition (Updated). National Center for Biotechnology
Information : Bethesda.
Sabbour, M. M. 2015.The Toxicity Effect of Nano Fungi Isaria
fumosorosea and Metarrhizium flavoviride Against the
Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella (Zeller).
American Journal of Biology and Life Sciences 3(5):
155 – 160.
Samsudin, 2017. Prospek Pengembangan Bioinsektisida
Nucleopolihedrosisvirus (NPV) untuk Pengendalian
Hama Tanaman Perkebunan Indonesia. Perspektif
15(12): 18 – 30.
Sharpe, E. S., St. Julian, G., dan Crowell, C. 1970.
Characteristics of a New Strain of Bacillus popilliae
Sporogenic In Vitro. Applied Microbiology Vol. 19(4):
681 – 688.
Steinkraus, K. H. 1957. Studies on the milky disease
organisms. I Parasitic growth and sporulation of
Bacillus popilliae. Journal of Bacteriology 74: 621 –
624.

97
Supariyem, Trisyono, Y. A., Witjaksono. Patogenitas Jamur,
Nomuraea riley terhadap Larva Spodopteralitura.
Agrosains 19(4): 347 – 359.
Trisnaningsih dan Kartohardjono, A. 2009. Formulasi Nuclear
Polyhedrosis Virus (NPV) untuk Mengendalikan Ulat
Grayak Padi (Mythimna separata Walker) pada
Tanaman Padi. J. Entomol. Indon. 6(2): 86 – 94.

Umar, M. 2009. Mesopotamia dan Mesir Kuno: Awal


Peradaban Dunia. El-Harakah 11(3): 198 – 215.

98

Anda mungkin juga menyukai