Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

* Program Profesi Dokter/G1A219055/Februari/ 2021


** Pembimbing: dr. Wahyu Indah Dewi Aurora, M.K.M

ASMA BRONKIAL

Oleh :
Noy Parida Yanti S,S.Ked
G1A219055

Pembimbing:
dr. Wahyu Indah Dewi Aurora, M.K.M

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS PAAL X
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMUKESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
ASMA BRONKIAL

Oleh :
Noy Parida Yanti S,S.Ked
G1A219055

Sebagai salah satu tugas Program Profesi Dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jambi
Puskesmas Paal X
2021

Jambi, Februari 2021


Preseptor

dr. Wahyu Indah Dewi Aurora, M.K.M


KATA PENGANTAR

ii
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Asma Bronkial” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Rotasi 2 di Puskesmas Paal X.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Wahyu Indah Dewi Aurora,
M.K.M yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Paal X.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan guna kesempurnaan laporan kasus ini, sehingga nantinya dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, Februari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................ii

KATA PENGANTAR................................................................................................iii

DAFTARISI................................................................................................................iv

BAB I STATUS PASIEN............................................................................................1

BAB II TINJAUANPUSTAKA.................................................................................12

BAB III ANALISIS KASUS.....................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................29

LAMPIRAN...............................................................................................................30

iv
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


a. Nama/ Jenis Kelamin/Umur :Tn. M/ Laki laki/ 61 Tahun
b. Pekerjaan/Pendidikan : Pensiunan
c. Alamat : RT 11 KAB

1.2 Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga


a. Status Perkawinan : Sudah Menikah
b. Jumlah Anak :3
c. Status Ekonomi Keluarga : Cukup

1.3 Aspek Psikologis Keluarga


Hubungan pasien dengan keluarganya baik. Tidak ada masalah psikologis
dalam keluarga.
1.4 Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu
1.5 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang
lalu. Pasien mengeluh sesak nafas sesaat setelah bangun tidur. Pasien
mengaku sesak selalu datang apabila pasien mengalami batuk, terpapar oleh
debu, dan cuaca yang dingin. Sesak nafas disertai dengan bunyi “ngik-ngik”.
Pasien juga mengaku mengalami batuk-batuk sejak ± 2 hari yang lalu,
batuk berdahak, warna dahak putih kekuningan, tidak disertai dengan darah.
Keringat pada malam hari tidak ada, penurunan berat badan tidak ada, demam
(-), sakit kepala (-), pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah,
nafsu makan biasa.
Pasien sudah mengalami keluhan sesak nafas sejak usia 20 tahun namun
serangan sesak nafas tersebut jarang kambuh, sehingga pasien tidak rutin

5
berobat dan persediaan obat asma di rumah juga sudah habis. Pasien mengaku
jika timbul sesak baru pasien berobat ke Puskesmas.

1.6 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma (+) sejak usia 20 tahun
 Riwayat diabetes mellitus (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)

1.7 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+) ayah pasien
 Riwayat diabetes dalam keluarga (-)
 Riwayat hipertensi dalam keluarga (-)

1.8 Riwayat Makan, Alergi, Obat Obatan, Perilaku Kesehatan Dll Yang
Relevan
 Pasien mengaku sering mengkonsumsi sayur, namun jarang
mengkonsumsi buah. Pasien juga tidak pernah berolahraga.
 Pasien memiliki alergi terhadap udara dingin (+), alergi makanan dan
obat (-)
 Riwayat merokok sejak usia 17 tahun, dan 2 anaknya juga perokok.

1.9 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Pengukuran Tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/75 mmHg
Nadi : 90 x/menit, cepat, reguler, isi cukup
Suhu : 36,6°C
Respirasi : 28x/menit
Berat Badan : 63 kg

6
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 23,33 kg/m2 (normoweight)

Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala Bentuk : Normocephal
Simetri : Simetris
2. Mata Exopthalmus/enophatlmus : (-)
Kelopak : Normal
Conjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Normal
Pupil lensa : Bulat, isokor,
reflexcahaya +/+
Lensa : Normal, keruh (-)
Gerakan bola mata : Baik
3. Hidung : Deviasi septum(-), sekret (-)
4. Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-)
5. Mulut : Bibir : lembab
Bau pernafasan : berbau (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)
Selapu lendir : normal
Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
6. Leher : Pembesaran KGB (-)
7. Thorax
Bentuk : Simetris,normochest, peleberan sela iga(-), otot
bantu nafas(-)

7
Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV line parasternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultas BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
i

Pulmo (Paru)
Pemeriksaa
Kanan Kiri
n
Inspeksi Gerakan dinding dada Gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-) simetris, retraksi (-)
Palpasi Masa (-), krepitasi (-) Masa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler(+), Wheezing (+), Vesikuler(+), Wheezing (+),
ronkhi (-) rhonki (-)

8. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), venektasi (-).
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+),hepar lien ginjal tidak
teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

9. Ekstremitas:
Superior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), krepitasi genu (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
- Tidak dilakukan pemeriksaan

8
1.10 Pemeriksaan Penunjang Anjuran
 Darah rutin
 Spirometri

1.11 Diagnosa Kerja


Asma Bronkial (J45)

1.12 Diagnosa Banding


 PPOK eksaserbasi (J44.1)
 Bronkitis (J40)

1.13 Manajemen
Promotif :
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan yang bergizi
b. Meningkatkan kebersihan rumah
c. Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika sakit berulang
d. Menjelaskan bahwa penyakit sering berulang
e. Memberi tahu faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit pasien

Preventif :
a. Menghindari alergen seperti asap, debu, bulu binatang, wol dll
b. Menghindari pemakain karpet
c. Jangan memelihara hewan berbulu seperti anjing dan kucing
d. Tidur tidak menggunakan kipas angin yang terlalu kencang
e. Hindari mandi pada malam hari, kalau perlu gunakan air hangat
f. Hindari kerja yang berat dan stress

Kuratif :
Non Farmakologi
 Menghindari alergen seperti asap, debu, bulu binatang, wol dll

9
 Istirahat yang cukup
 Posisikan badan setengah duduk atau posisi nyaman untuk
mengurangi sesak.
 Minum air hangat

Farmakologi
 Salbutamol tab 4mg 3x1
 Retaphyl tab 300mg 1x1
 Berotec Inhaler

Rehabilitatif
 Memantau penyakit pasien secara rutin. Hal ini dilakukan dengan
kerja sama dari pasien tersebut dengan mengikuti saran dokter
untuk datang berobat secara berkala.
 Jika keluhan dirasakan kembali segera berobat ke pelayanan
medis terdekat
 Menyediakan persediaan obat di rumah

10
Resep Puskesmas Resep Ilmiah 1

Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
dr. Noy Parida Yanti dr. Noy Parida Yanti
SIP : G1A219055 SIP : G1A219055
Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota
Baru, Kota Jambi, Jambi 36129 Baru, Kota Jambi, Jambi 36129

Jambi, 2021 Jambi, 2021

R/ Salbutamol tab 4 mg no X R/ Terbutalin tab 2,5mg no X


S 3 d d tab 1 S 3 d d tab 1
R/ Teofilin tab 300 mg no X R/ aminofilin tab 350 mg no X
S 1 d d tab1 S 1 d d tab1
R/ fenoterol hydrobromide no I R/ fenoterol hydrobromide no I
S 2 d d puff 2 S 2 d d puff 2

Pro : Tn M Pro : Tn M
Alamat: RT 11 KAB Alamat: RT 11 KAB

Resep tidak boleh ditukar tanpa Resep tidak boleh ditukar tanpa
sepengetahuan dokter sepengetahuan dokter

11
12
13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai


dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas. Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-
ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas. 1,2

Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan,


mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu
penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa
batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau
dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.2,3

Epidemiologi

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti
hidup.2

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
14

(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab


kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000.3,4

Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.

Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE
orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang
melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas.

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
15

minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting
Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf
otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada
beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya
pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa
yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya


hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan
uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi
zat nonspesifik.1,2,3,4,5

Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.3,5,6

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui


bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
16

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun


iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor


risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu


17

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,


tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih.

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu


juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma
yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan
emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap


rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang
dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia
dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga


tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi


asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti:
musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
18

Klasifikasi Asma2,4

Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.

Klasifikasi Menurut Etiologi

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,


terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat


yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat.

Klasifikasi Menurut Kontrol Asma

Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,


istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan
pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama
dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-
ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna
untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat
penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai
19

faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala


malam hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat
yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Selain klasifikasi derajat asma
berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga
dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Initiative for Asthma
(GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan
tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma
serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini
perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien.
Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma
yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

Diagnosis1,3,6,7
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit / gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator
20

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.

Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
21

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-
3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
2. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk
puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan
penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita
dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
22

1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE  15% setelah inhalasi


bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit ,
3. Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif
tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat
terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
2. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
23

DIAGNOSIS BANDING 4,6


Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik eksaserbasi akut
 Bronkitis kronik
 Bronkiektasis eksaserbasi akut
 Batuk kronik akibat lain-lain
Anak
 Benda asing di saluran napas
 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfe
 Bronkiolitis

Pencegahan 2,5,7
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus
napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan
indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol
dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi.

Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya


bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif
juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu
pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada
keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga
keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid
sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat
berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila
diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama
24

(10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat
kortikosteroid inhaler.

Tatalaksana1,2,4,5,6
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma


dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
25

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus


4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis


segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat
darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah
penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah
sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat
serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal
paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak
diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan
keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem


penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan
variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang
bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai
pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.

Ciri-ciri asma terkontrol:

1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu

2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian

3. Tanpa gejala asma malam


26

4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu

5. Fungsi paru normal atau hampir normal

6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol

1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus
napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan
indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol
dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi.
Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila
menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga
melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu
pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada
keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga
keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid
sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat
berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila
diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama
(10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat
kortikosteroid inhaler.

Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
27

Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :

1. Kortikosteroid inhalasi
2. Kortikosteroid sistemik
3. Sodium kromoglikat
4. Nedokromil sodium
5. Metilsantin
6. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
7. Agonis beta-2 kerja lama, oral
8. Leukotrien modifiers
9. Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

Termasuk pelega adalah :


1. Agonis beta2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
3. Antikolinergik
4. Aminofillin
5. Adrenalin
28

BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Hubungan diagnosis dengan keluarga dan hubungan keluarga:


Di dalam hubungan diagnosis dan aspek psikologis dikeluarga tidak ada
hubungannya dengan penyakit pasien, karena didalam keluarga pasien hubungan
pasien dengan keluarga baik. Namun penyakit ini berhubungan dengan keadaan
keluarga karena ayah pasien mempunyai riwayat menderita penyakit yang sama
dengan pasien. Berdasarkan teori, asma berhubungan dengan adanya riwayat
keturunan.

3.2 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan


lingkungan sekitar:

Pasien dan 2 anaknya sering merokok di dalam rumah. Asap dari rokok
dapat membuat pasien sesak sehingga terdapat hubungan antara penyakit yang
diderita pasien dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

3.3 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada
pasien ini:
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetik asma,
alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Adapun yang
merupakan faktor penjamu pada pasien di kasus ini yaitu genetik, dimana ayah
pasien memiliki riwayat sakit asma.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan


predisposisi untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu polusi udara (asap rokok), alergen, sensitisasi debu,
infeksi pernapasan (virus). Pada kasus ini asma eksaserbasi akut yang terjadi
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu polusi udara (asap rokok).
29

3.4 Analisis untuk mengurangi paparan:


Pasien harus menyadari apa faktor pencetus yang dapat menyebabkan
timbulnya serangan asma pada pasien sehingga pasien dapat menghindari faktor
pencetus, seperti asap rokok, menjaga kebersihan lingkungan rumah dengan
membuka jendela dan membiarkan udara masuk, menggunakan tirai pada pintu
depan rumah agar debu dari jalan tidak masuk kerumah, meningkatkan daya tahan
tubuh dengan makan makanan bergizi, jika batuk segera berobat sehingga tidak
menyebabkan asma, rajin kontrol sehingga dapat mewaspadai serangan asma.

3.5 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga:

- Memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan


pernyakit dan tatalaksananya
- Menjelaskan kepada keluarga tentang apa saja faktor pencetus asma dan
menghindari faktor pencetus tersebut
- Mengedukasi keluarga pasien untuk berhenti merokok atau jika ingin
merokok maka merokok di luar rumah
- Meningkatkan daya tahan tubuh dengan istirahat teratur dan makan-
makanan bergizi
- Kontrol secara teratur untuk memantau perkembangan penyakit, dan
segera ke dokter jika terjadi serangan asma berikutnya
- Minum obat sesuai anjuran dokter
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan Asma di Indonesia


2. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-UI . Lokakarya
Tahunan. Jakarta: 1998
3. National Insititute of Health National Heart, Lung and Blood Institute.
Global Iniative for Asthma. NIH Publication, 2002.
4. Dasawarsa Yayasan Ama Indonesia 1985-1995.
5. Davis DEHolgate ST. Airway Remodelling in Asthma. New Insight. J
Allergy Clin Imunol 2003;111(2) from: www.mosby.com/jaci.
6. Lokakarya tahunan bagian pulmonologi dan respirasi FK-UI . Jakarta:
1998
7. Lazarus, SC. Airway Remodelling in Asthma. American Academi of
Allerghy, Asthma and Immunology 56th Annual Meeting. 2000. Available
from: www. Medscape.com

30
LAMPIRAN
 Kondisi rumah dan lingkungan pasien

31

Anda mungkin juga menyukai