Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

JAMINAN MUTU DAN KENDALI MUTU RADIOLOGI

REGULASI DAN REKOMENDASI NASIONAL MAUPUN


INTERNASIONAL TERKAIT JAMINAN DAN KENDALI
MUTU DI BIDANG RADIOLOGI

Disusun untuk tugas Mata Kuliah Jaminan Mutu dan Kendali Mutu Radiologi

Diampu oleh Ibu Mayarani, S.Si., M.KKK.

Disusun Oleh :

Kelompok 3

CAROLINA HANANYA JOULINA L P21140219011

CLARICIA ALAMANDA KARENINA P21140219012

DEA FADILA P21140219013

DEBY ANGGARA P21140219014

DEDE SAEFULLOH P21140219015

D3 2A TEKNIK RADIOLOGI

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II


KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan


rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulisan Makalah Jaminan Mutu dan
Kendali Mutu Radiologi tentang “Regulasi dan Rekomendasi Nasional maupun
Internasional Terkait Jaminan dan Kendali Mutu di Bidang Radiologi” ini dapat
terselesaikan sebagaimana mestinya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas yang diberikan.
Disadari bahwa makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan kerja
sama yang baik dari berbagai pihak, dan penulis menyadari sepenuhnya tanpa
adanya bantuan dan dukungan tersebut makalah ini mungkin tidak akan dapat
diselesaikan tepat waktu.
Terkait dengan semua itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini
penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Ibu Mayarani, S.Si., M.KKK. selaku dosen mata kuliah Jaminan Mutu
dan Kendali Mutu Radiologi yang telah mendidik dan menempa kami, semoga
jerih payah Ibu akan tercatat sebagai amal ibadah di sisi Allah SWT Amin.

Jakarta, 25 November 2020


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada Makalah “Regulasi dan
Rekomendasi Nasional maupun Internasional Terkait Jaminan dan Kendali
Mutu di Bidang Radiologi” pada Jaminan Mutu dan Kendali Mutu
Radiologi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana arah regulasi jaminan dan kendali mutu Kementerian


Kesehatan?,
2. Bagaimana arah regulasi jaminan dan kendali mutu Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (BAPETEN)?,
3. Bagaimana regulasi jaminan dan kendali mutu di bidang Radioterapi?,
4. Bagaimana regulasi jaminan dan kendali mutu di bidang
Radiodiagnostik dan Kedokteran Nuklir?.

1.3 Tujuan Pembahasan


Adapun tujuan pembahasan pada Makalah “Regulasi dan
Rekomendasi Nasional maupun Internasional Terkait Jaminan dan Kendali
Mutu di Bidang Radiologi” pada Jaminan Mutu dan Kendali Mutu
Radiologi adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui arah regulasi jaminan dan kendali mutu


Kementerian Kesehatan,
2. Untuk mengetahui arah regulasi jaminan dan kendali mutu Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
3. Untuk mengetahui regulasi jaminan dan kendali mutu di bidang
Radioterapi,
4. Untuk mengetahui regulasi jaminan dan kendali mutu di bidang
Radiodiagnostik dan Kedokteran Nuklir.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Regulasi Jaminan dan Kendali Mutu Kementerian Kesehatan


Jaminan dan kendali mutu di bidang radiologi merupakan salah
satu cara dalam menjaga sistem pelayanan kesehatan di bidang radiologi.
Penjaminan mutu pelayanan kesehatan di bidang radiologi berfungsi
sebagai untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan yang pada
akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup individu dan
derajat kesehatan masyarakat.

Dengan pentingnya penjaminan mutu pelayanan kesehatan, maka


dibuat dan dibentuk suatu kebijakan jaminan dan kendali mutu pelayanan
kesehatan di bidang radiologi yang akan menjadi pedoman bagi semua
pihak dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
mengatasi berbagai hambatan serta kendala dalam pelayanan kesehatan.
Kebijakan penjaminan mutu pelayanan kesehatan di bidang radiologi salah
satunya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

2.1.1 Pelayanan Kesehatan


Menurut ISO 2000 mengenai mutu yaitu mutu diartikan
sebagai “degree to which a set of inherent characteristics fulfills
requirements”. Mutu adalah sesuatu untuk menjamin pencapaian
tujuan atau luaran yang diharapkan, dan harus selalu mengikuti
perkembangan pengetahuan professional terkini (consist with
current professional knowledge). Untuk itu mutu harus diukur
dengan derajat pencapaian tujuan.

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh berbagai


sarana atau unit pelayanan kesehatan haruslah dipandang sebagai
suatu kegiatan yang menghasilkan produk dalam bentuk
“pelayanan”’. Pelayanan yang berorientasi pada pasar (market
driven) harus dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan
(client satisfaction) yang dapat terdiri dari pasien, keluarga,
masyarakat, pemberi pelayanan, pemasok, atau pihak
berkepentingan lainnya.

Kebijakan dalam menjamin mutu pelayanan kesehatan, mencakup:

a. Peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan kesehatan


melalui pengembangan dan pemantapan jejaring pelayanan
kesehatan dan rujukannya serta penetapan pusat-pusat unggulan
sebagai pusat rujukan (top referral),
b. Penetapan dan penerapan berbagai standar dan pedoman
dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terkini dan standar internasional,
c. Peningkatan mutu sumber daya manusia diarahkan pada
peningkatan profesionalisme mencakup kompetensi, moral dan
etika,
d. Penyelenggaraan Quality Assurance untuk mengendalikan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan disertai dengan
Evidence-based Parcipitatory Continuous Quality
Improvement,
e. Percepatan pelaksanaan aktreditasi yang diarahkan pada
pencapaian akreditasi untuk berbagai aspek pelayanan
kesehatan,
f. Peningkatan public – private mix dalam mengatasi berbagai
problem pelayanan kesehatan,
g. Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak
yang berkepentingan dalam peningkatan mutu pelayanan
kesehatan,
h. Peningkatan peran serta masyarakat termasuk swasta dan
organisasi profesi dalam penyelenggaraan dan pengawasan
pelayanan kesehatan.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat, maka perlu dilaksanakan berbagai
upaya. Upaya ini harus dilakukan secara sistematik, konsisten dan
terus menerus. Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan
mencakup:

a. Penataan Organisasi
Penataan organisasi menjadi organisasi yang efisien, efektif
dengan struktur dan uraian tugas yang tidak tumpang tindih,
dan jalinan hubungan kerja yang jelas dengan berpegang pada
prinsip Organization Through The Function.
b. Regulasi dan Peraturan Perundangan
Pengkajian secara komprehensif terhadap berbagai peraturan
perundangan yang telah ada dan diikuti dengan regulasi yang
mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut di atas.
c. Pemantapan Jaringan
Pengembangan dan pemantapan jejaring dengan pusat
unggulan pelayanan dan sistem rujukannya akan sangat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan,
sehingga dengan demikian akan meningkatkan mutu
pelayanan.
d. Standarisasi
Standarisasi merupakan kegiatan penting yang harus
dilaksanakan, meliputi standar tenaga baik kuantitatif maupun
kualitatif, sarana dan fasilitas, kemampuan, metode, pencatatan
dan pelaporan dan lain-lain. Luaran yang diharapkan juga harus
distandarisasi.

2.1.2 Upaya yang Telah dan Akan Dilakukan dalam Peningkatan


a. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan secara
berkelanjutan dan berkesinambungan untuk menghasilkan
sumber daya manusia yang profesional, yang kompeten dan
memiliki moral dan etika, mempunyai dedikasi yang tinggi,
kreatif dan inovatif serta bersikap antisipatif terhadap berbagai
perubahan yang akan terjadi baik perubahan secara lokal
maupun global.
b. Quality Assurance (QA)
Berbagai komponen kegiatan quality assurance harus segera
dilaksanakan dengan diikuti oleh perencanaan dan pelaksanaan
berbagai upaya perbaikan dan peningkatan untuk mencapai
peningkatan mutu pelayanan.
Data dan informasi yang diperoleh dianalysis dengan cermat
(root cause analysis) dan dilanjutkan dengan penyusunan
rancangan tindakan perbaikan yang tepat dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan. Semuanya ini dilakukan
dengan pendekatan “tailor’s model“ dan Plan- Do- Control-
Action (PDCA).
c. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan
dengan membangun kerjasama dan kolaborasi dengan pusat-
pusat unggulan baik yang bertaraf lokal atau dalam negeri
maupun internasional. Penerapan berbagai pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut harus dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek pembiayaan.
d. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dan Organisasi Profesi
Peningkatan peran organisasi profesi terutama dalam
pembinaan anggota sesuai dengan standar profesi dan
peningkatan mutu sumber daya manusia.
e. Peningkatan Kontrol Sosial
Peningkatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap
penyelenggaraan pelayanan kesehatan akan meningkatkan
akuntabilitas, transparansi dan mutu pelayanan.
2.1.3 Kebijakan Jaminan Mutu Pelayanan Radiologi
Seperti pada pelayanan kesehatan umumnya, pelayanan di
bidang radiologi yang merupakan pelayanan penunjang kesehatan
juga perlu menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya.
Pelayanan radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang
menggunakan sinar pengion ataupun bahan radioaktif sehingga
penggunaan bahan tersebut mempunyai dua sisi yang saling
berlawanan, yaitu dapat berguna bagi penegakan diagnosa dan
terapi penyakit dan di sisi lain akan sangat berbahaya bila
penggunaannya tidak tepat dan tidak terkontrol. Untuk itu, setiap
pengguna ataupun pelaksana pelayanan radiologi harus senantiasa
merjamin mutu pelayanannya yaitu harus tepat dan aman baik bagi
pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat sekitarnya.
Kebijakan dan upaya peningkatan mutu pelayanan radiologi pada
dasarnya juga sama seperti kebijakan pelayanan kesehatan
umumnya.

Berbagai upaya yang menjadi prioritas utama saat ini yang perlu
segera dilaksanakan antara lain :

a. Regulasi perizinan penyelenggaraan radiologi,


b. Pemantapan jejaring pelayanan radiologi,
c. Penyelenggaraan Quality Assurance (QA),
d. Penetapan dan penerapan berbagai stándar pelayanan radiologi,
e. Pemenuhan persyaratan dalam standar,
f. Pelaksanaan akreditasi pelayanan radiologi (radiodiagnostik
dan radioterapi),
g. Peningkatan pengawasan pelaksanaan pelayanan radiologi baik
oleh pusat yang dilakukan oleh Depkes dan BAPETEN
maupun oleh daerah,
h. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan radiologi


harus dilakukan baik untuk kepentingan diagnostik maupun untuk
pengobatan, agar dengan demikian selain dapat memberikan mutu
pelayanan yang tepat dan teliti, sekaligus dapat meminimalkan
“Interpersonal Discrapancies” dan “intrapersonal disagreement”
serta dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap
keselamatan pasien, petugas dan lingkungan.

2.2 Regulasi Jaminan dan Kendali Mutu BAPETEN


Di Indonesia, pemanfaatan radiasi untuk bidang kesehatan, untuk
terapi maupun diagnostik, menjadi semakin luas dan penting. Berbagai
jenis peralatan sinar-X diagnostik seperti CT-Scan dan C-Arm telah
dimanfaatkan di berbagai kota kecil. Dalam kedokteran nuklir diagnostik,
perangkat PET Scan akan segera terwujud di beberapa kota besar seperti
Jakarta dan Bandung. Pada beberapa tahun terakhir, pemasanagan atau
rencana pemasangan LINAC untuk radioterapi juga berkembang.

Kontribusi penyembuhan berbagai jenis penyakit keganasan


melalui radioterapi di banyak negara maju sangatlah nyata. Namun,
dengan mempertimbangkan bahwa radiasi memiliki efek-efek negatif
tertentu dan sifat-sifat penyakit keganasan itu sendiri, suatu pengendalian
harus dilakukan. Seperti diketahui, radiasi yang ditujukan untuk
menghancurkan sel-sel tumor berpotensi pula untuk merusak jaringan
sehat lainnya. Di sisi lain, dosis radiasi yang tidak diberikan secara akurat
dan terencana temponya kepada sel-sel tumor tidak dapat menghentikan
laju keganasannya atau bahkan dapat berakibat fatal terhadap organ tubuh
lainnya. Dalam kedokteran nuklir dan radiologi, pengendalian juga harus
dilakukan mengingat (terutama) efek stokastik dan deterministik dari
radiasi.

Dengan demikian, jelas dibutuhkan suatu mekanisme atau sistem


untuk memberikan jaminan efektivitas, efisiensi, mutu maupun
keselamatan dalam pemanfaatan radiasi di bidang kesehatan. Hal tersebut
dapat dilakukan melalui penetapan dan pelaksanaan program jaminan
mutu (PJM) dan kendali mutu, atau sistem manajemen mutu. Paper ini
ingin menjelaskan kebijakan pengawasan BAPETEN dan hal-hal terkait
dengan jaminan mutu untuk pemanfatan dalam bidang kesehatan.
Diuraikan pula contoh yang cukup rinci dalam pemanfaatan radioterapi.

2.2.1 Aspek Legal


Pengawasan jaminan mutu, termasuk untuk bidang
kesehatan, tertuang dalam PP No 63 tahun 2000 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi
Pengion (PP 63/2000).

2.2.2 Instansi Berdampak Radiologi Tinggi


Pasal 26 dari PP 63/2000 menjelaskan bahwa Pemanfaat
dengan dampak radiologi tinggi wajib menyusun Program Jaminan
Kualitas. Program tersebut harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan BAPETEN sebelum dilaksanakan, demikian pula
apabila dokumen direvisi. Ketentuan penyusunan diatur lebih jauh
dengan Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN. Kemudian, Pasal 27
PP yang sama mengatur bahwa BAPETEN melakukan inspeksi
dan audit PJK untuk memastikan efektivitas pelaksanaannya.
Pada saat ini, konsep final revisi atas PP ini sedang diproses
pada tahap akhir. Terdapat banyak perubahan yang diajukan.
Dalam bidang jaminan mutu ini, sesuai dengan BSS-115, PJM
seharusnya ditetapkan, diimplementasikan, dievaluasi dan
dikembangkan oleh semua jenis pemanfatan radisi, bukan hanya
oleh yang berdampak radiologi tinggi. Kedalam penerapan hanya
perlu diatur, disesuaikan dengan ukuran fasilitas dan kegiatannya
serta tingkat risiko yang ditimbulkan.
2.2.3 Monitor Perorangan
Keselamatan pekerja radiasi secara tidak langsung
ditentukan oleh laporan hasil evaluasi monitor perorangan (film
badge atau TLD) yang wajib digunakannya. Laporan ini
menjelaskan dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi pada setiap
periode tertentu. Dengan demikian, adalah sangat penting bagi
BAPETEN untuk memastikan mutu evaluasi yang dilakukan oleh
pengevaluasi tersebut.
Pasal 10 dari PP yang sama menjelaskan bahwa monitor
perorangan harus dievaluasi oleh laboratorium yang telah
terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN. Akreditasi tentu
dilakukan oleh instansi yang berwenang, yaitu Komite Akreditasi
Nasional (KAN). Penunjukan dilakukan oleh BAPETEN untuk
menjamin keselamatanbagi pekerja pada laboratorium
pengevaluasi tersebut dan masyarakat umum, serta perlindungan
terhadap lingkungan hidup; dan yang tak kalah pentingnya adalah
keselamatan pekerja yang menggunakan monitor perorangan itu
sendiri. Untuk itu, salah satu persyaratan yang diberikan
BAPETEN kepada laboratorium pengevaluasi adalah memiliki
sistem mutu. Agar memudahkan, laboratorium dapat memilih
standar mutu sebagaimana yang dipersyaratakan untuk
mendapatkan akreditasi, yaitu SNI 19-17025.
Pada saat ini, Departemen Kesehatan mengoperasikan
empat BPFK untuk melayani permintaan evaluasi film badge
fasilitas kesehatan. Keempat balai tersebut berlokasi di Medan,
Jakarta, Surabaya dan Makassar. Keempat BPFK telah mengajukan
permohonan penunjukan dari BAPETEN dan telah diproses pada
tahap akhir.

2.2.4 Kalibrasi
Kalibrasi yang diatur dalam PP 63/2000, yaitu, Kalibrasi
alat ukur radiasi (AUR) dan kalibrasi keluaran radioterapi.
Kalibrasi AUR secara langsung menentukan keselamatan pekerja
radiasi yang terlibat. Dengan AUR yang terkalibrasi baik, pekerja
radiasi dapat menentukan tindakan yang tepat: menentukan laju
dosis di tempat bekerja dan memperkirakan dosis yang bakal ia
terima dengan memperhatikan niai batas dosis (NBD) sesuai
dengan aturan yang ditentukan. Kalibrasi keluaran radioterapi, di
sisi lain, berhubungan langsung dengan keselamatan pasien.
Kedua jenis kalibrasi di atas memiliki fungsi yang sangat
kritis dari segi keselamatan. Sehingga, senada dengan Pasal 10,
maka Pasal 30 mengatur bahwa kalibrasi Alat Ukur Radiasi dan
kalibrasi keluaran radioterapi harus dilakukan oleh laboratorium
yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN. Saat ini
keempat BPFK yang dimiliki Kementerian Kesehatan sedang
mempersiapkan kompetensi mereka untuk dapat memberikan
pelayanan kalibrasi ini.
Sementara itu, laboratorium kalibrasi PTKMR BATAN,
satu-satunya laboratorium yang beroperasi memberi pelayan kedua
jenis kalibrasi, telah melayangkan permohonan penunjukan kepada
BAPETEN, dan masih dalam proses.

2.2.5 Pembuangan Zat Radioaktif


Pada pemanfaatan kedokteran nuklir terapi, sesalu ada
limbah radioaktif yang harus dibuang ke lingkungan. Buangan zat
radioaktif ke lingkungan tidak boleh melebihi nilai batas
radioaktivitas yang ditentukan. Pengusaha instalasi harus
melakukan pemantauan tingkat radioaktivitas buangan zat
radioaktif secara terus-menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu.
Pasal 16 PP 63/2000, mengatur bahwa bila Pengusaha tidak
melakukan pemantauan tersebut, maka, sejalan dengan Pasal 10
dan Pasal 30, ia dapat meminta bantuan dari instansi yang telah
terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN.
2.2.6 Status Saat Ini
Perka yang memberi pedoman penetapan dan pelaksanaan
PJM dibidang kesehatan, sebagaimana diatur dalam PP 63/2000
tadi, untuk saat ini adalah SK No 21/Ka-BAPETEN/XII-02 tentang
Program Jaminan Kualitas Instalasi Radioterapi (PJKIR) yang
diterbitkan tahun 2002. Dengan demikian, bab brikut akan
membahas lebih jauh mengenai SK tersebut dan metode
penerapannya.

2.3 Regulasi Jaminan dan Kendali Mutu di Bidang Radioterapi


Jaminan dan kendali mutu di bidang radioterapi didefinisikan
sebagai suatu rangkaian kegiatan yang sistematik untuk memastikan
bahwa dosis radiasi dan sasaran yang diberikan akurat, dapat memastikan
sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan
sehat di sekitarnya. Dalam bidang radioterapi eksternal, jaminan dan
kendali mutu juga merupakan kepatuhan total terhadap resep yang
diberikan dan ketegasan dalam pelaksanaannya dengan menggunakan
segala cara yang tersedia.

2.3.1 Persyaratan Minimum


Pasal 7 pada keputusan yang sama dan rinciannya diuraikan
pada Lampiran IV mengatur tentang desain dan perlengkapan
minimum instalasi radiologi. Fasilitas terapi berkas eksternal
disyaratkan memiliki komponen-komponen yaitu, kamar
pemeriksaaan, kamar simulator, kamar perencanaan pengobatan,
kamar cetak molding, kamar pengobatan, dan area ruang tunggu.
Desain dari kamar simulator, kamar perencanaan pengobatan dan
kamar pengobatan harus dikonsultasikan dengan pembuatnya.
Persyaratan daya, sistem pendingin udara dan sistem kedaruratan
haruslah diperhatikan. Perlengkapan yang dibutuhkan dalam hal ini
yaitu, Simulator, sistem perencanaan pengobatan (TPS),
perlengkapan pengobatan seperti Unit Co-60, perlengkapan
jaminan kualitas seperti sistem dosimetri ionometrik, dan
perlengkapan keselamatan radiasi.

Untuk brakiterapi laju dosis rendah (LDR) menggunakan


perlengkapan manual atau remote afterloading kecuali pada
beberapa kondisi (implan tetap, implan mata). Apapun jenis
peralatan yang digunakan, alat itu akan membutuhkan kamar
persiapan dan penyimpanan sumber, kamar operasi, kamar
perencanaan pengobatan dan kamar pasien. Fasilitas-fasilitas ini
harus tidak terlalu jauh terpisahkan untuk mengurangi jarak yang
harus ditempuh oleh pasien dan sumber. Kedekatan relatif dari
fasilitas-fasilitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi
efisiensi dan alur prosedur. Desain fasilitas harus menggabungkan
fitur-fitur untuk menghindari pemindahan pasien yang badannya
mengandung sumber radioaktif melalui lift. Fasilitas sterilisasi
aplikator juga akan diperlukan. Proses sterilisasi harus memadai
untuk menghindari kerusakan aplikator. Perlengkapan yang
dibutuhkan dalam sistem brakiterapi, LDR maupun HDR, dibagi
ke dalam lima kategori utama, yaitu:

a. Pencitraan, perencanaan pengobatan


b. Sumber radiasi
c. Penyimpanan sumber
d. Transportasi dan aplikator
e. Jaminan kualitas dan keselamatan radiasi
f. Penanganan sumber.

Untuk memastikan unjuk kerjanya, Pasal 2 13 BSS-115


mempersyaratkan bahwa perlengkapan instalasi radioterapi seperti
generator radiasi dan yang berisi sumber radiasi terbungkus yang
dibutuhkan untuk paparan medis haruslah:
a. Sesuai dengan standar Internasional Electrotechnical
Commission (IEC) yang berlaku dan International Standard
Organization (ISO) atau standar-standar lain yang dianggap
setara,
b. Spesifikasi unjuk kerja, instruksi operasi dan pemeliharaan,
termasuk instruksi proteksi dan keselamatan, tersedia dalam
bahasa utama dunia yang mudah dipahami oleh pengguna dan
sesuai dengan standar IEC atau ISO berkenaan dengan
dokumen yang menyertainya, dan informasi ini harus
diterjemahkan dalam bahasa setempat apabila dibutuhkan. Pada
saat peralatan yang dibuat dalam satu negara akan diekspor ke
negara lainnya dengan bantuan IAEA, bukti-bukti dokumen
(seperti salinan) dari standar nasional harus tersedia dengan
penawaran harga untuk mengkaji apakah standar nasionalnya
telah sesuai dengan standar ISO dan IEC.

2.3.1 Sistem Manajemen Mutu


Dalam sistem manajemen mutu, dokumentasi dibagi
sekurang-kurangnya menjadi 3 level, yaitu sebagai berikut:

a. Level 1
Tersedia Program Jaminan Mutu (PJM) atau Manual Mutu
sebagai dokumen acuan utama, yang berisi Pernyataan
Kebijakan Mutu sebagai perwujudan dari tekad manajemen dan
karyawan untuk memandang masalah mutu sebagai hal utama
yang ingin terus ditingkatkan. Sebagaiamana disebutkan dalam
Pasal 3, Pengusaha Instalasi wajib menyusun PJKIR untuk
mendapat persetujuan BAPETEN sebelum ditindak-lanjuti.

b. Level 2
Terdiri atas prosedur manajemen dan prosedur teknis. Prosedur
kendali dokumen dan rekaman, prosedur kendali ketidak-
sesuaian (non-conformance) dan tindakan korektif, prosedur
audit dan pengkajian, serta prosedur pengendalian kualifikasi
SDM adalah contoh-contoh prosedur manajemen yang harus
disediakan. Sedangkan prosedur operasi dan prosedur
kedaruratan adalah bagian dari prosedur teknis.
c. Level 3
Terdapat petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan yang
diturunkan dari setiap prosedur yang dibuat, termasuk blanko
checklist pemeriksaan perlengkapan secara rutin (tahunan,
bulanan, mingguan dan harian). Himpunan data dan dokumen
acuan, lembar resep dan form permintaan adalah dokumentasi
yang dibutuhkan selama masa pelaksanaan dan rekamannya
harus dikendalikan. Kegiatan kendali kualitas yang diuraikan
secara rinci pada Keputusan Kepala BAPETEN ini
membutuhkan banyak form checklist yang harus
didokumentasikan secara rutin. Dari aspek klinis, dokumentasi
harus memasukkan pula hasil diskusi kasus klinis (clinical
cases conference) yang diselenggarakan setiap pagi, rencana
dan pelaksanaan tindak lanjut klinis dan kajian statistik
terutama mengenai efektivitas pengobatan.

2.3.1 Kesempatan dan Ancaman


Keputusan Kepala BAPETEN tentang PJKIR memberi
banyak peluang bagi peningkatan efektivitas radioterapi melalui
pelaksanaan yang sistematis dan terencana. Pedoman-pedoman
yang menjadi lampiran Keputusan tersebut menguraikan secara
lengkap mengenai format dan isi dokumen PJKIR, pedoman
pelaksanaan melalui aspek klinis maupun fisik dan aspek lainnya,
rincian kendali kualitas, uraian persyaratan desain dan
perlengkapan, serta kualifikasi personil.

Mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam


Keputusan tersebut akan secara teknis maupun administratif
mempermudah sebagian besar proses akrediatasi RS maupun
apabila pihak RS ingin mendapatkan sertifikasi keluarga ISO 9000.
Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hubungan antara bab-
bab dalam PJKIR dengan klausul-klausul ISO 9001-2001 atau SNI
19-9001-2001:

Tabel 1. Perbandingan antara isi PJKIR dengan ISO 9001:2000


(SNI 19-9001-200)

ISO 9001-2002 atau SNI 19-


PJKIR
9001-2001

BAB I Pendahuluan 0 Pendahuluan


Definisi 3 Istilah dan defines
Pernyataan Kebijakan Kualitas 5.3 Kebijakan mutu
BAB II Struktur Organisasi 5 Tanggungjawab manajemen
6 Pengelolaan sumber daya,
BAB III Pelatihan dan
terutama 6.2.2 Kompetensi,
Kualifikasi
kesadaran dan pelatihan
8 Pengukuran, analisa dan
BAB IV Kendali
perbaikan, terutama 8.3
Ketidaksesuaian dan Tindakan
Pengendalian produk yang
Pembetulan
tidak sesuai, dan 8.5 Perbaikan
4 Sistem manajemen mutu,
BAB V Kendali Dokumen dan terutama 4.2.3 Pengendalian
Rekaman dokumen, dan 4.2.4
Pengendalian rekaman
BAB VI Kerja 7 Realisasi Produk
8 Pengukuran, analisa dan
perbaikan, terutama 8.2
BAB VII Audit dan Pengkajian
pemantauan dan Pengukuran,
Kualitas
8.2.2 Audit internal, dan 8.4
Analisis data.

Pertemuan kerja mengenai jaminan mutu dalam Radioterapi


yang disponsori oleh IAEA dan International Society for Radiation
Oncology pada bulan Mei 1995 di Vienna menghasilkan beberapa
konsensus penting antara lain, untuk menerapkan standar ISO 9000
yang telah terbukti sebagai pedoman yang mudah digunakan dalam
infrastruktur radioterapi. Tetapi hal tersebut dilengkapi dengan dua
catatan, yaitu:

a. Uni Eropa telah mengeluarkan rekomendasi JK (Juni 95) untuk


peralatan dalam rangka melengkapi rekomendasi ISO,
persyaratan dasar lain (CE label) akan diterapkan oleh Uni
Eropa untuk setiap jenis peralatan,
b. Penerapan rekomendasi ISO 9000 per se tidaklah memadai,
sebab hal tersebut tidak dapat memastikan bahwa peralatan
digunakan sebagai mana mestinya oleh staf radioterapi. Dengan
demikian, tiga tahun kemudian IAEA menerbitkan yang
diadopsi menjadi Keputusan Kepala BAPETEN tentang
PJKIR.

Kesempatan lain yang juga didapatkan dengan semangat


keteraturan (sistematik), antisipatif (terencana) dan pencegahan
yang terdapat dalam PJKIR adalah bahwa program kesiapsiagaan
nuklir dengan mudah dapat direncanakan dan disusun. Seperti
diketahui, persyaratan disusunnya prosedur kedaruratan secara
eksplit dinyatakan dalam Pasal 4 Keputusan Kepala BAPETEN
tentang PJKIR.

Hal strategis lain yang juga dapat mengancam


kelangsungan realisasi PJKIR adalah kesulitan, teknis maupun
non-teknis, dalam melaksanakan audit mutu dan pengkajian
efektivitas PJKIR. Kursus Auditor Internal ISO 9000 yang secara
tahunan diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN)
dapat merupakan masukan yang berharga.

Pengkajian efektivitas PJKIR harus dilakukan bersama-


sama seluruh personil yang terlibat dalam PJKIR. Pengkajian dapat
dilakukan melalui diskusi, interview maupun dalam bentuk
kuesioner. Berbagai data statistik harus disediakan, terutama
mengenai hasil-hasil yang dicapai bagi setiap pasien yang
ditangani. Secara non-teknis, audit internal agak sulit dilakukan
apabila masalah senioritas masih diberlaklukan meskipun secara
implisit.

2.4 Regulasi Jaminan dan Kendali Mutu di Bidang Rdiodiagnostik dan


Kedokteran Nuklir

2.4.1 Jaminan Mutu Radiodiagnostik


Pedoman khusus mengenai PJM radiodiagnostik belum
diterbitkan, maka pembahasan dapat kita lakukan secara umum.
Meniru pola radioterapi, PJM dapat diusulkan terdefinisi kurang
lebih sebagai suatu rangkaian yang sistematik dan terencana yang
dibutuhkan untuk memastikan bahwa dosis radiasi bahwa dosis
radiasi yang diberikan kepada pasien adalah efektif (menghasilkan
citra diagnostik yang optimal) dan minimum bagi pasien (tidak
melebihi dosis panduan) maupun bagi jaringan di sekeliling objek
pemeriksaan. Pengulangan radiodiagnostik (retaking) harus
dicegah. Apabila tetap terjadi, frekuensi pengulangan harus
dievaluasi dan dicarikan penyelesaiannya. Dengan demikian,
“pengendalian dokumen dan rekaman” dan “pengendalian
ketidaksesuaian dan tindakan korektif” memainkan peran yang
sangat penting.
Sebagaiman telah disinggung sebelumnya, untuk
memastikan kinerja pesawat, biasanya dilakukan pengendalian
mutu secara internal. Di beberapa negara maju, dalam rangkan
jaminan mutu pengusaha diwajibkan melakukan uji kepatuhan
(compliance test) semua peralatan radiodiagnostik kepada pihak
ketiga yang telah ditunjuk oleh badan pengawas atau mendapat
sertifikasi mutu pengujian, biasanya ISO 17025.
Kelulusan uji kepatuhan umumnya menjadi syarat
penerbitan izin. Uji ini biasanya meliputi dan tidak terbatas pada
hal-hal berikut:
a. Kestabilan dan akurasi faktor eksposi: kV, mA dan second atau
mAs,
b. Dosis panduan yang akan diterima permukaan kulit pasien,
c. Kebocoran tabung,
d. Geometri lapangan radiasi yang terbentuk; termasuk kuatnya
lumen cahaya lampu kolimator,
e. Koneksitas elektronika.

2.4.2 Jaminan Mutu Kedokteran Nuklir


Kedokteran nuklir terdiri atas dua kegiatan, yaitu terapi dan
diagnostik. Definisi PJM untuk terapi kedokteran nuklir tentu dapat
dibuat sama dengan PJM Radioterapi. Sedangkan untuk bagian
diagnostiknya, sebagaiaman PJM radiodiagnostik, maka PJM
kedokteran nuklir diagnostik dapat didefinisikan sebagai suatu
rangkaian tindakan sistematik dan terencana yang dibutuhkan
untuk memastikan bahwa dosis radiasi yang diberikan kepada
pasien adalah efektif (menghasilkan citra diagnostik yang optimal)
dan minimum bagi pasien (tidak melebihi dosis panduan) maupun
bagi jaringan di sekeliling objek pemeriksaan.

Dengan demikian, ada tiga hal yang harus dipastikan, yaitu:

a. Citra diagnostik yang dihasilkan haruslah optimum,


b. Dosis kepada pasien adalah minimum,
c. Pengulangan radiodiagnostik harus dicegah, apabila tetap
terjadi, frekuensi pengulangan harus dievaluasi dan dicarikan
penyelesaiannya.
Aspek klinik dari PJM berkaitan dengan diagnose awal dan
penentuan pemberian farmaka radionuklida. Pertimbangan risiko
dan keuntungan klinis pada seorang pasien harus dilakukan oleh
dokter spesialis kedokteran nuklir.

Dalam pembahasan aspek fisik, PJM harus pula mencakup


prosedur pengujian berkala, yang dimaksudkan untuk memperoleh
cukup keyakinan bahwa pemeriksaan dilakukan secara
memuaskan.Program ini juga harus dikaji ulang secara berkala
sekurang-kurangnya setahun sekali. Selain itu, kebijakan dan
prosedur yang berkaitan dengan mutu, pendidikan dan pelatihan,
infection control dan keselamatan juga harus ditetapkan. Uji unjuk
kerja awal harus dilakukan setelah instalasi, sebelum digunakan.
Uji ini lebih komprehensif dibandingkan dengan unjuk kerja
berkala.

Untuk penggunaan Kamera Gamma ataupun PET Scan,


prosedur kerja yang harus tersedia minimal adalah prosedur kerja
yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat. Pengendalian mutu
secara khusus dilakukan untuk attenuation blanks, detector
operation, dan beberapa normalization scan yang diperlukan.
Beberapa hal di bawah ini direkomendasikan untuk dievaluasi
secara berkala setahun sekali, yaitu:

a. In-plane spatial resolution


b. Unjuk kerja laju cacah termasuk faktor koreksi laju cacah yang
hilang:
 Prompt Coincidences
 Random Coincidences
 Background Coincidences
 Net True Coincidences.
c. Sensitivitas (cps/MBq/ml) baik untuk 2 dimensi maupun 3
dimensi,
d. Uniformity,
e. Akurasi kalibrasi attenuation-correction,
f. Linearity of bed motion,
g. Reproducibility of transmission rod motion (extension dan
retraction),
h. Reproducibility of lead septa motion (extension dan retraction),
i. Image contrast dan uji keseluruhan sistem (phantom scan),
j. Maximum co-scan range.

Dengan pembahasan di atas, maka beberapa hal terpenting


dalam penetapan dan pelaksanaan PJM adalah sebagai berikut:

a. Tekad atau komitmen manajemen puncak, seluruh jajaran


manajemen dan staf yang terlibat untuk terus meningkatkan
mutu dan keselamatan. PJM juga harus difokuskan pada
kepuasan pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu setiap
orang atau badan yang memiliki kepentingan atas kinerja suatu
fasilitas,
b. Kualifikasi dan rekualifikasi personil yang terlibat, yaitu:
dokter spesialis kedokteran nuklir, fisikawan medik dan
dosimerist yang dapat merangkap sebagai petugas
pengendalian mutu, perawat kesehatan, pemelihara peralatan,
Petugas Proteksi Radiasi, maupun staf administrasi,
c. Sarana dan prasarana, termasuk semua peralatan proteksi
radiasi yang dibutuhkan, serta perawatan dan kalibrasinya,
d. Sistem dokumentasi, termasuk prosedur dan instruksi kerja
untuk pengoperasian, perawatan, uji pengendalian mutu,
pengaturan administrasi pasien, maupun kesiapsiagaan dan
kedaruratan nuklir.Sistem dokumentasi juga harus menjamin
rekaman penting, seperti rekam medik pasien, terjaga dengan
baik.
BAB III

PENUTUP
3.3 Kesimpulan
3.4 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai