Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH DENGAN PASIEN CEDERA KEPALA

Dosen pembimbing : Arfah Maysyarah, S.Kep,Ns,M.Kep.


disusun :
 Ade Muliana Lestari 17.11.002
 Raise Delsa 17.11.146
 Sundari 17.11.186
 Clara Herlina Debora Bagariang 17.11.029
 Ayu Astari Gultom 17.11.019
 Daniel Abet Nego 17.11.030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRALUBUK PAKAM
T.A.2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
“MAKALAH DENGAN CEDERA KEPALA’’ ini dengan lancar dan tepat pada
waktunya, Penulisan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Keperawatan.
Dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak ,
kami ucapkan terimakasih khususnya pada ibu dosen yang telah memberikan
pembelajarannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul”
MAKALAH DENGAN CEDERA KEPALA’’ atas kerja kerasnya mengumpulkan
data informasi dan menyusunnya menjadi sebuah makalah yang baik dan pihak pihak
lain yang telah membantu kami ucapkan terimakasih..
Kami selaku penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat  bagi
kita semua dan dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi kami selaku penulis
dan bagi pembaca.
Lubuk Pakam, Februari 2021

Penyusu

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................3
2.1. Cedera Kepala.............................................................................................................3
2.2. Epidemiologi Cedera Kepala......................................................................................3
2.3. Pathofisiologi Cedera Kepala.....................................................................................4
2.4. Morfologi Cedera Kepala..........................................................................................6
2.5. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Cedera Kepala.......................................9
2.6. Faktor Risiko Klinis Pada Cedera Kepala..............................................................10
BAB III..................................................................................................................................17
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA....................................17
BAB IV..................................................................................................................................29
PENUTUP.............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.(Muttaqin, 2008), cedera kepala
biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan.Sedangkan
akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian.
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik
maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala
memegang peranan penting terutama dalam pencegahan
komplikasi.Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi,
perdarahan.Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh
kematian akibat trauma-trauma.Cedera kepala merupakan keadaan yang
serius.Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan
akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak
optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita
semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala
berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan,
cedera kepala sedang dan cedera kepala berat.Adapun penilaian klinis
untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien 2
cedera kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma
Scale) (Wahjoepramono, 2005).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia
kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012).
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit.Dua per tiga dari kasus ini berusia
di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita.Lebih
dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer, 2002).

1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Ny. A Dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di Instalasi Gawat Darurat ?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala sedang ( CKS) di IGD
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mengetahui dan mampu:
a. Melakukan pengkajian gawat darurat pada Ny. A dengan cedera kepala
sedang.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan gawat darurat pada Ny. A dengan
cedera kepala sedang.
c. Menyusun intervensi keperawatan gawat darurat pada Ny. A dengan
cedera kepala sedang.
d. Melakukan implementasi keperawatan gawat darurat pada Ny. A
dengan cedera kepala sedang.
e. Melakukan evaluasi keperawatan gawat darurat pada Ny. A dengan
cedera kepala sedang.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala


Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan
gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).
Pada saat ini klasifikasi cedera kepala secara luas berdasarkan Glasgow
coma scale (GCS) karena kriterianya bisa dielavuasi dan mudah diterima dalam
berbagai kondisi, cukup obyektif, sederhana dan dapat dipercaya. Klasifikasi ini
diperkenalkan oleh Easdale dan Jennet di tahun 1974 dengan menilai tingkatan
kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon membuka mata,
motorik, dan verbal.
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai
3 berarti penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun
sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh.Penilain GCS dilakukan pasca
resusitasi setelah trauma.
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian / kelumpuhan pada usia
dini (Osborn, 2003). Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan skala
koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48
jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999).
2.2. Epidemiologi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007).Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000
diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).

3
Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada
anak-anak dan orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat
menjadi faktor penyebab peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih
tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus
cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah
sakit, 80% 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk
cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis
trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).Kasus trauma terbanyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan
olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.Angka kejadian cedera
kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat.
2.3. Pathofisiologi Cedera Kepala
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada
asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang
lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat
permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
2.3.1. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat
langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan
laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak
hingga batang otak. 13 2.4.2.Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder (COS)
yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel
otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera
setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma.
Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan
utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang
terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan
sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati
dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam
atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder.

4
Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan
kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera.
Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa
proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/subdural/Intracerebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.Sel
terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel
leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang
memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi
waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear,
makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses
fagositosis gambar 2.1 (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan
dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi
perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra
Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai
kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam
mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal
bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-
senyawa ini akan memacu terjadinyacedera lebih lanjut. Makrofag juga
mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak
(Hergenroeder, 2008).

5
Trauma

COP Baik

Proses berlanjut Resusitasi Sembuh

+ Eritrosit Jelek

+ Neurotransmiter Gangguan

/Bahan-bahan spasmogen Sirkulasi + Pernapasan

+ Reaksi inflamasi

+ Asidosis O2 menurun

+ Opioid endogen ADO Menurun

+ Radikal bebas
Metabolisme Anaerob
+ Hormonal

Edema Sitotosik
Edema vasogenik

Sitotoksik

COS
Gambar 2.1 Patofisiologi cedera kepala (Willy, 2009).
2.4. Morfologi Cedera Kepala
Secara Morfologi cedera kepala dibagi menjadi atas: (Peter,2009)
2.4.1. Laserasi Kulit Kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue, apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium.
Diantara galea 16 aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini.
2.4.2. Faktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:

6
1. Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis
tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh
ketebalan tulang kepala.
2. Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang
kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat.
3. Fraktur kominutif Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala
yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan
dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi jika tabula 17 eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5. Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak.Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign
(Fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur
kranii fossa media).
2.4.3. Cedera Otak Fokal dan Difus
Tobing (2011) mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak difus.
Cedera otak fokal meliputi:
1. Perdarahan Epidural atau epidural hematom (EDH).EDH adalah adanya
darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan duramater.EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran,
adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH). 18 Perdarahan
SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (3-6
hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri.
3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik. SDH kronik adalah
terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3 minggu setelah

7
trauma.SDH kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang
sedikit-sedikit.
4. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematomn (ICH). Intra
cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,
tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu
di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
5. Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH). Perdarahan subarahnoid
diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun
vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoid.
Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang
menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera
kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan 19
translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap
parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan
adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya
sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai
cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera
kepala difus dikelompokkan menjadi:
1. Cedera akson difus ( Difuse aksonal injury ) Difus axonal injury adalah
keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan
otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang
menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan.
2. Kontusio Cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak
yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme
lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gaya coup dan
countercup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang
sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh
tulang dan cairan otak yang begitu kompak.
3. Edema Cerebri 20 Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler
akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan
parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang

8
mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode
hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
4. Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke
bagian otak berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung
lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degenerative
pembuluh darah otak .
2.5. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Cedera Kepala
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap
pasien dengan cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat
diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala
(French, 1987). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya
adalah X ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah
(Willmore, 2002).
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam
sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas.
Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan
tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai
penampangpenampang melintang dari objeknya. Dengan CT-Scan isi kepala
secara anatomis 21 akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya
(Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala
adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma
kepala jika dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan
hasil CT Scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi
Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera
kepala yaitu deibedakan menjadi enam kategori,pembagiannya dapat dilihat pada
tabel 2.1.

9
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang
didapatkan dari gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya
gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly,
2007).

Tabel 2.1 Klasifikasi Marshall berdasarkan CT Scan pada Cedera Kepala

Category Definition
No visible intra-cranial pathology seen on CT Scan
Diffuse Injury I (no visible
pathology
Diffusi Injury II Cisterns are present with midline shift < 5 mm and or
lesion densities present No high or mixed density lesion >
25 ml, may include bone fragments and foreign bodies

Diffusy Injury III Cisterns compressed or absent with midline shift 0-5 mm
No high or mixed density lesion > 25 ml
Diffusy Injury IV Midline shift > 5 mm No high or mixed density lesion >
25 ml
Excuated mass lesion Any lesion surgically evacuated

Non-Evacuated mass High or mixed density > 25 ml, not surgically evacuated
lesion

2.6. Faktor Risiko Klinis Pada Cedera Kepala


Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival
meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan
keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain
menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan Intra Cranial Pressure (ICP)
tidak terkontrol 23 meninggal dan berbeda dengan penelitian besar lainnya
dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat sedang (Moulton, 2005).
Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut
berdasarkan penilaian klinis terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan
salah satu faktor terhadap faktor lain dalam peranannya terhadap prognosis pasien
cedera kepala juga masih diperdebatkan. Hal ini yang masih menjadi acuan bahwa
faktor-faktor prognosis tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya variabel dalam
keberhasilan menentukan keputusan pengobatan.Namun, tidak bisa tidak, faktor-
faktor tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan
penanganan pasien (Bahloul, 2009; Kan, 2009).

10
2.6.1. Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Saboori, Lee, dan Latip menunjukkan
hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak. Hal ini karena pada usia
tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein
pada usia tua (Narayan, 2000).
2.6.2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala.Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala.Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi 24 berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004).Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30 %
dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera
kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik;
sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular
di medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderitapenderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa
hipotensi sistemik.
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera
iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral.Hipotensi yang ditemukan
mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor
utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-
satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu
episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan
morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospectivenya menemukan bahwa
hipotensi intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan
kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi
dengan 25 peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi
90% pasien cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat ischemic
(Stieffel, 2005).

11
2.6.3. Hypoxia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51%
mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari
penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena
pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Van Putten (2005) pada sekolompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian
edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan
oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis
ion.
2.6.4. Skor Glasgow Coma Scale
Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada
tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk
menilai beratnya cedera pada cedera kepala.Glasgow coma scale seharusnya telah
diperiksa pada penderita – penderita pada awal cedera terutama sebelum
mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal
GCS (Chessnut, 2000; Sastrodiningrat, 2006).Derajat kesadaran tampaknya
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan
penyembuhan.Glasgow coma scale juga meupakan faktor prediksi yang kuat
dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera
berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan Cunningham, 1984).
Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk,
melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau lebih,
dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately
disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe disability.
Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara
penderita– penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama
setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability.
Diantara penderita– penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat,
87% akan meninggal.

12
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif
terhadap outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber
dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan
penyembuhan 27 fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran
selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam
aktifitas kehidupan sehari – hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan
terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun
dengan fungsi batang otak yang baik.
2.6.5. Diameter Pupil Dan Reaksi Cahaya
Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak
langsung terhadap adanya herniasi dan cedera brainstem.Secara umum, dilatasi
dan fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran
dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera brainstem yang
irreversible.Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami
dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf
ketiga intrakranial atau disertai cedera brainstem (Chessnut, 2000).
Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil
telah dilakukan dalam berbagai metodologi.Sebagian penelitian tersebut meneliti
ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya.Sebagian penelitian tersebut hanya
mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008;
Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons
motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya
memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews, 1989;
Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang dilakukan
Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau
pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena
kompresi 28 terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak
bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap
153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai
penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk
dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang
baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi
bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat
penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks – refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu.Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%)
penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu subdural
hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional.Seelig dkk, melaporkan

13
hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional.Dengan demikian, gangguam gerakan ekstraokular dan
refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk
(Sastrodiningrat, 2006).
Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter
yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis.Di dalam mengevaluasi
pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi
sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering dilakukan
setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual, 2008; Moulton, 2005; Volmerr,
1991).
2.6.6. Gambaran Awal CT Scan Kepala
Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit
kepala akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau
dengan GCS> 14 ( Haydel,Preston,Mils,2000). Lobato 1983),mengelompokkan
hasil CT scan berdasarkan bentuk anatomi menjadi 8 ke;lompok.
Pengelomppokan ini memperlihatkan hasil prediksi yang kuat table 2.2.
Tabel 2.2Classification of CT Lesions and Outcome (Lobato, 1983)

CT Findings
No Lesions
Extracerebral Hematoma
Extracerebral Hematoma and Swelling
Bilateral Swelling
Single Brain Contusion
Multiple Unilateral Contusion
Multiple Bilateral Contusion
Diffuse Axonal Injury

Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan


dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak
atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma
subdural 30 dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita.SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2006).

2.6.7. Patah Tulang Kepala

14
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma.Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor risiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar risiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan
kepala (Ibanez, 2004).
Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang
kepala terdapat lesi dibawahnya.Hal ini disebabkan karena impaCT yang besar
pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis
patahan (Willmore, 1998).
2.6.8. Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit
Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan
tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan
iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang
menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling
banyak terjadi dalam 31 periode ini (Ratnaningsih, 2008).Penelitian yang
dilakukan Oleh Boto (2005) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat,
20% meninggal dunia pada awal kedatangan.
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Singh (2007)
terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat kecelakaan.Dari 129 orang
56, 6% mengalami cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan
hidup sampai 6 jam pertama.
2.6.9. Faal hemostasis
Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin
Time), tes aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes TT (Thrombin
Time).Ada beberapa sistem yang berperanan dalam sistem hemostasis yaitu
system vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi adalah proses
komplek pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan terdapatnya
kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel.Trombosit kemudian
membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut hemostasis
primer.Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam
plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang
memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007).
Dalam penelitian Baroto (2007) disebutkan juga bahwa koagulopati adalah
proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk
menghentikan dan mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat

15
ditemukan koagulopati secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera
jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala
karena 32 pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di
jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke
peredaran darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah.
Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien cedera
kepala disertai koagulopati adalah penurunan jumlah trombosit darah tepi,
pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial
teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma.
Pemanjangan PT, APTT, dan TT merupakan akibat dari faktor jaringan yang
keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur
ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah.Stein menyebutkan bahwa risiko
terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala meningkat 85% jika tes koagulasi
abnormal.Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya dengan pemanjangan PT.

16
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Tempat/tgl lahir : Pasaman/ 15 july 1996
Jenis kelamin : Belum kawin
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kampung Parik Korong Gakoro Pasaman
Diagnosa Medis : CK
No. Rm :
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. T
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kampung Parik Korong Gakoro Pasaman
Hubungan : Ibu kandung
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran 6 jam
sebelum masuk RS, sebelumnya pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas sepeda motor, pasien
mengalami muntah dan keluar darah dari telinga
b) Riwayat Kesehatan Dahulu
keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki
penyakit bawaan ataupun penyakit keturunan dan
pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit
sebelumnya
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan ada salah satu anggota
keluarga yaitu kakak ibu pasien yang memiliki
riwayat penyakit hipertensi dan tidak pernah dirawat
di rumah sakit sebelumnya.

17
d. Pola Aktivitas Sehari-hari (ADL)
1) Pola Nutrisi
Pasien diberi diit MC 3x sehari dan minum 200-400 cc sehari
2) Pola Eliminasi
Pasien terpasang kateter dengan BAK sebanyak 200 – 600
cc/hari dan BAB pasien 1 x/hari.
3) Pola Tidur dan Istirahat
Pasien banyak menghabiskan waktunya dengan tidur
dikarenakan pasien mengalami penurunan kesadaran.
4) Pola Aktivitas dan Latihan Pasien hanya terbaring diatas
tempat tidur, pasien tidak bisa menjalankan peran dan tugasnya
sehari-hari karena kelemahan.
E. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
a) Keadaan Umum : Keadaan umum pasien lemah, tingkat
kesadaran delirium, GCS10, E2 V3 M5
b) Tanda-tanda vital : tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 114 x/
menit, suhu 36,8 0C, respirasi 24 x/ menit.
2) Head to toe
a) Kepala :Tampak ada lesi, bengkak pada kepala, rambut kasar
dan tidak mudah rontok
b) Wajah : Wajah pasien tampak sembab dan tampak ada memar
pada wajah.
c) Mata : Simetris kiri dan kanan, penglihatan terganggu, tampak
edema dan ada nyeri saat ditekan
d) Hidung : Hidung bersih, tidak ada pembengkakan polip,
Pernapasan 24 x/i
e) Telinga : Telinga tampak simetris, ada bekas darah yang sudah
mengeras.
f) Bibir, mulut dan gigi : Mukosa mulut kering, bibir pucat, kulit
kering.
g) Leher : Leher tidak ada pembesaran kelenjar thirot dan tidak ada
massa.
f. Data Psikologis
1) Status Emosional
Status Emosional : Pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran.
2) Kecemasan : Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran.
3) Pola koping : Dukungan dari keluarga pasien baik tentang
kondisi yang dialami pasien
4) Gaya komunikasi : Pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran.

18
g. Data Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari pasien rukun dengan masyarakat
dan pasien bekerja sebagai seorang petani dan membantu-bantu
orang lain untuk memenuhi kebutuhan Ekonominya.
h. Pasien beragama islam, dengan mengerjakan sholat 5 waktu
sehari semalam dalam keadaan sehat, dan pada keadaan sakit
pasien tidak bisa lagi mengerjakan sholat 5 waktu
i. Tanggal 30 Mei 2017 jam 01.35 WIB di dapatkan hasil labor
yaitu : Hb 14,0 ( 14-18 g/dl), Leukosit 17.610 (5.000-10.000
/mm3 ), Trombosit 299.000 (150.000-400.000 /mm3 ),
Hematokrit 40 (40-48 %), PT 10,7 (9,2-12,4 detik), APTT 35,5
(28,2-38,1 detik). Pemeriksaan CTscan didapatkan pasien
mengalami hematoma serebral.
j. Terapi pengobatan yang diberikan pada Tn. J yaitu :
Cefriaxon 2x1 gr, Ranitidine 2x1 amp, PCT 3x1 tab, Luminal
2x1 amp, Manitol 200-150-150 cc, PCT infus 3x1 amp, NACL
0,9% 28 tetes/menit.

2. ANALISA DATA KEPERAWATAN


Data Masalah Penyebab
DS : - Ketidakefektifan Trauma kepala
DO : : Keadaan umum perfusi jaringan
pasien lemah, tingkat serebral
kesadaran delirium,
GCS10, E2 V3 M5.
Terdapat bekas memar
pada kepala dan wajah
pasien, tanda-tanda
vital TD 160/90
mmhg, Nadi 114 x/i,
Suhu 36,8 C, pasien
muntah proyektil.

19
DS : - Ketidakefektifan pola Kerusakan neurologis
D0 : nafas
Pasien mendapatkan
oksigen 6 L/i,
pernapasan pasien 24
x/i, akral teraba dingin,
Mukosa mulut kering,
bibir pucat, kulit
kering.
Pada perut ada bekas
goresan. Leukosit
17.610 (5.000-
10.000 /mm3 ). Pasien
mendapatkan obat
luminal

DS : - Gangguan persepsi penurunan fungsi


DO : Pasien dalam sensori indra pendengaran dan
keaadan sadar. Telinga penglihatan
tampak simetris, ada
bekas darah yang
sudah mengeras dan
pendengaran
terganggu. Penglihatan
pasien tidak jelas,
tampak edema dan ada
nyeri saat ditekan.

DS : Pasien Nyeri aku Agen cidera fisik


mengatakan kepalanya
terasa sakit seperti
tertusuktusuk, sakitnya
terasa hilang timbul.

20
DO : Pasien tampak
gelisah, dan meringis
kesakitan skala nyeri 4
(dari 1-10)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
trauma kepala
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan
neurologis
3) Resiko infeksi berhubungan dengan hematoma serebral
4) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan fungsi
indra pendengaran dan penglihatan
5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.

21
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
N Diagnosa Intervensi
O Keperawatan NOC NIC
1 Ketidakefektifan Circulation status a) Pertahankan
perfusi jaringan baik Perfusi jalan napas
serebral jaringan serebral yang paten
berhubungan dengan normal. Kriteria b) Pertahankan
trauma kepala hasil : posisi pasien
a.Tekanan darah c) Berikan O2
dalam rentang sesuai
normal kebutuhan
b.tidakada d) Berikan obat
tandatanda manitol bila
peningkatan perlu
tekanan darah e) Monitor
intracranial tekanan perfusi
c.bekomunikasi serebral
dengan jelas dan f) Catat respon
sesuai kemampuan, pasien terhadap
tingkat kesadaran stimulasi
membaik g) Monitor
tekanan
intrakranial
pasien dan
respon
neurologi
terhadap
aktifitas
h) Monitor intake
dan output
cairan
i) Posisikan
pasien pada
posisi semi
fowler
j) Minimalkan
stimulasi dari
lingkungan
k) Monitor TD,
nadi, suhu, dan
RR
l) Monitor

22
sianosis perifer
m) Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)

2 Ketidakefektifan Respiratory Status: Manajemen jalan nafas


pola nafas Ventilation a. Buka jalan nafas
berhubungan dengan Respiratory Status : dengan teknik
Kerusakan Airway Patency chin lift atau jaw
neurologis. Kriteria hasil : thrust
a.Frekuensi b. Posisikan pasien
pernafasan dalam untuk
batas normal memaksimalkan
b.Irama pernafasan ventilasi
normal c. Lakukan
c.Tidak ada fisioterapi dada
penggunaan otot jika perlu
bantu pernafasan d. Buang sekret
d.Tidak ada retraksi dengan cara
dinding dada batuk efektif atau
e.Tidak ada suara suction
nafas tambahan e. Instruksikan cara
batuk efektif
f. Auskultasi suara
nafas

Terapi oksigen
a.Pertahankan
kepatenan jalan nafas
b. Berikan oksigen
tambahan sesuai
kebutuhan
c.Memonitor respirasi
dan status O2
d.Monitor aliran O2
e.Monitor efektifitas
terapi oksigen

23
f.Amati tanda-tanda
hipoventialsi induksi
oksigen
g.Konsultasi dengan
tenaga kesehatan lain
mengenai penggunaan
oksigen tambahan
selama kegiatan dan
atau tidur
3 Resiko infeksi Immune status. Infection control
berhubungan dengan Knowledge (kontrol infeksi) :
hematoma serebral infection control a.Bersihkan
Risk control lingkungan setelah
Kriteria hasil : dipakai pasien lain.
a.Klien bebas dari b.Pertahankan teknik
tanda dan gejala isolasi.
infeksi. c.Lakukan perawatan
b.Mendeskripsikan luka pasien
proses penularan d.Pantau
penyakit, faktor perkembangan
yang kesembuhan luka
mempengaruhi pasien
penularan serta e.Batasi pengunjung
penatalaksanaannya bila perlu.
c.Menunjukkan f.Intruksikan pada
kemampuan untuk pengunjung untuk
mencegah mencuci tangan saat
timbulnya infeksi. berkunjung dan setelah
d.Jumlah leukosit berkunjung.
dalam batas g.Gunakan sabun
normal. antimikroba untuk cuci
e.Menunjukkan tangan.
perilaku hidup h.Cuci tangan setiap
sehat. sebelum dan sesudah
melakkan tindakan
keperawatan.
i.Gunakan alat
pelindung diri sebagai
pelindung.
j.Pertahankan
lingkungan aseptik
selama pemasangan

24
alat.
k.Tingkatkan intake
nutrisi.
l.Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian antibiotik
bila perlu.
m.Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan lokal.
4 Gangguan persepsi Sensori function Exercise Therapy
sensori berhubungan hearing Sensori a.Tentukan batasan
dengan penurunan function vision pergerakan sendi dan
fungsi indra Sensori function efek dari fungsi
pendengaran dan taste and smell b.Monitor lokasi
penglihatan Kriteria hasil : ketidak nyamanan
a.Menunjukan selama pergerakan
tanda dan gejala c.Dukung ambulasi
persepsi dan Circulatory Care
sensori baik a.Evaluasi terhadap
b.Penglihatan baik edema dan nadi
c.Pendengaran baik b.Inspeksi kulit
d.Makan, dan terhadap ulser
minum baik. c.Dukung pasien untuk
e.Mampu latihan sesuai toleransi
mengungkapkan d.Kaji derajat ketidak
fungsi persepsi dan nyamanan atau nyeri
sensori dengan e.Turunkan ekstremitas
tepat untuk memperbaiki
sirkulasi arterial

5 Resiko kelebihan Pain Level Pain Manajemen nyeri


volume cairan Control Comfort a.Lakukan pengkajian
Berhubungan Level Kriteria nyeri secara
dengan gangguan hasil: kompehensif yang
mekanisme regulasi a.Mengenali kapan meliputi lokasi,
nyeri terjadi karakteristik, frekuensi
b.Menggambarkan durasi, kualitas,
faktor penyebab intensitas atau beratnya
c.Menggunakan nyeri
tindakan b.Observasi adanya
pencegahan petunjuk nonverbal

25
d.Menggunakan mengenal
analgesik yang ketidaknyamanan
digunakan terutama pada mereka
e.Melaporkan yang tidak dapat
gejala yang tidak berkomunikasi secara
terkontrol pada efektif
profesional c.Gunakan strategi
kesehatan komunikasi terapeutik
f.Nyeri yang untuk mengetahui
dilaporkan tidak pengalaman nyeri dan
ada g.Mengerang sampaikan penerimaan
dan menangis tidak pasien terhadap nyeri
ada h.Iritabilitas d.Gali bersama pasien
tidak ada fa
i.Bisa beristirahat ktor-faktor yang bisa
j.Tidak ada memperingan nyeri
ketegangan otot atau memperberat
k.Tidak ada nyeri
ekspresi nyeri pada e.Ajarkan penggunaan
wajah teknik non farmakologi
(seperti, terapi musik,
pijatan, relaksasi dan
nafas dalam)
f.Gali penggunaan
farmakologi yang
dipakai pasien saat ini
untuk menurunkan
nyeri g.Berikan
individu penurun nyeri
yang optimal dengan
peresepan analgesik
h.Dukung pasien untuk
istirahat yang adekuat
untun menurunkan rasa
nyeri i. Monitor
kepuasan pasien
terhadap manajemen
nyeri dalam interval
yang spesifik
Pemberian analgesik
a.Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas

26
dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
pasien b.Cek perintah
pengobatan meliputi
obat, dosis, dan
frekuensi obat
analgesik yang
diresepkan
c. Cek adanya riwayat
alergi obat
d.Tentukan pilihan
obat analgesik
berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
e. Monitor tanda vital
sebelum dan sesudah
memberikan analgesik
f.Berikan kebutuhan
kenyamanan dan
aktifitas lain yang
dapat membantu
relaksasi untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri
g.Berikan analgesik
sesuai waktunya,
terutama pada nyeri
yang berat

h.Dokumentasikan
respon terhadap
analgesik dan adanya
efek samping

27
BAB IV

PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006). Pada saat ini klasifikasi cedera
kepala secara luas berdasarkan Glasgow coma scale (GCS) karena kriterianya bisa
dielavuasi dan mudah diterima dalam berbagai kondisi, cukup obyektif, sederhana
dan dapat dipercaya. Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Easdale dan Jennet di

28
tahun 1974 dengan menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis
yaitu respon membuka mata, motorik, dan verbal.

29
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/091402810
6-3-BAB%2520II.pdf&ved=2ahUKEwjT-
_zyy_3uAhXZAnIKHaDAAmEQFjAKegQIBhAC&usg=AOvVaw2glVmHuONc
F00tlNAzaquR
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.ichrc.org/934-cedera-
kepala&ved=2ahUKEwip2ISgzP3uAhUxGaYKHdAVAPg4ChAWMAJ6BAgHE
AI&usg=AOvVaw0WN2iCkslm-zHx6hBCShjy
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar-_-Trauma-
Kepala.pdf&ved=2ahUKEwjUo4uxzP3uAhVIbysKHRzXAiAQFjABegQIGRAC
&usg=AOvVaw1ZSPHJOKwWPWnIdHNLWIIg
https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.umm.ac.id/41729/3/jiptummpp-gdl-
cantikmaha-48503-3-
babii.pdf&ved=2ahUKEwjUo4uxzP3uAhVIbysKHRzXAiAQFjAJegQIGBAC&u
sg=AOvVaw3hU_K6MJaZ6Xx5iY2A8YLl

30

Anda mungkin juga menyukai