Anda di halaman 1dari 29

HASIL PENELITIAN TERKAIT MASALAH TRAUMA

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 13

1. Amalia Dwi Zhahri (17.11.215)


2. Fitri Alhazhar (16.11.024)
3. Mustapa Ali (17.11.119)
4. Nurul Ayu kartika (17.11.137)
5. Radifa Sofiyani (17.11.145)
6. Rika Syafira (17.11.156)

Dosen :Arfah May Syara S.Kep, Ns, M. Kep.

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)


FAKULTAS KEPERAWATAN & FISIOTERAPI
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA
LUBUK PAKAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan limpahan serta rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “HASIL PENELITIAN TERKAIT TRAUMA “
dengan baik yang di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Manajamen
Keperawatan” jurusan Ilmu Keperawatan di Institute Kesehatan Medistra Lubuk
Pakam.

Dalam penulisan makalah ini tentunya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing
mata kuliah ini yang telah membimbing, memotivasi penyusun dalam pembelajaran.Kami
menyadari bahwa sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi kalimat maupun penyusunannya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan
kekurangan dari makalah ini.

Demikian makalah ini kami susun, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang sudah turut serta dalam penyusunan makalah, dan semoga makalah ini dapat
memberikan banyak manfaat serta pembelajaran bagi kita semua.

Lubuk Pakam,23 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................2
1.3 Tujuan...........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1. Trauma Kepala.......................................................................3
2.1.1 Definisi………………...................................................3
2.1.2 Etiologi ................................................................................3
2.1.3 Epidemiologi........................................................................4
2.1.4 Manifestasi Klinis................................................................5
2.1.5 Klasifikasi & Patofisiologi………………………..............6
2.1.6 Diagnosis..……………… …………...............................9
2.1.7 Tatalaksana..................................................................12
2.1.8 Komplikasi……………… …………..............................16
2.2 Trauma Multipel………………………………………………...16
2.3 Kerangka Teori...........................................................................18
2.4 Kerangka Konsep........................................................................19
BAB III HASIL PENELITIAN DAN LANDASAN................................20
3.1 Hasil Penelitian
3.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian............................................20
3.1.2 Distribusi Karakteristik Responden Penelitian..................21
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...........................................................25
4.2 Saran......................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah trauma yang paling
umum ditemui di unit gawat darurat. Banyak pasien dengan trauma kepala berat
meninggal sebelum sampai di Rumah Sakit, faktanya hampir 90% kematian
akibat trauma pra-rumah sakit menyangkut trauma kepala. Pasien yang pernah
mengalami trauma kepala biasanya mengalami gangguan neuropsikologis yang
berakibat kecacatan sehingga berpengaruh pada pekerjaan dan aktivitas sosial
mereka (ATLS, 2018).
Trauma dapat terjadi di satu atau lebih bagian tubuh. Trauma yang terjadi
pada minimal 2 bagian tubuh dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS >
16) disebut dengan trauma multipel (Pratama, 2015). Trauma multipel atau sering
disebut politrauma adalah kondisi dimana terdapat 2 atau lebih kecederaan secara
fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satu kecederaan tersebut
mengakibatkan kematian ataupun berdampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane et al., 2013).
Dalam satu tahun, insidensi trauma multipel di Jerman sebanyak 50.000 pasien
dengan skor ISS ≥ 50 dialami oleh 3265 pasien (Rüden et al., 2013). Pada tahun
2013 di Indonesia, prevalensi kejadian trauma kepala sebesar 8,2% dengan urutan
penyebab cedera terbanyak adalah jatuh 40,9%, kecelakaan sepeda motor 40,6%,
cedera akibat benda tajam dan tumpul 7,3%, transportasi darat lainnya 7,1% dan
kejatuhan 2,5 % (Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan RI, 2013).
Di negara miskin dan negara berkembang terjadi peningkatan mobilisasi yang
bergantung pada kendaraan transportasi untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Namun tidak terjadi peningkatan kuantitas serta kualitas infrastruktur penunjang,
seperti ketersediaan jalan, regulasi transportasi yang baik, fasilitas keamanan
suatu kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata cara berlalu lintas yang baik
dan benar (Pratama, 2015).

1
Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2010 jumlah penderita trauma kepala
adalah 1627 penderita, yang terdiri atas 1021 penderita cedera kepala ringan
(CKR),444 penderita cedera kepala sedang (CKS), dan 162 penderita cedera
kepala berat (CKB) (Data Departemen Bedah Saraf FK USU, 2010).
Berdasarkan latar belakang dan data yang didapatkan, penulis tertarik untuk
membuat karya tulis ilmiah dengan judul “Prevalensi Kejadian Trauma Kepala
dengan Trauma Multipel di RSUP Haji Adam Malik tahun 2015-2017.”

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa tujuan dari penelitian terkait masalah trauma?

2. Apa manfaat dari penelitian terkait masalah trauma?

3. Bagaimana peran dari hasil penelitian terkait masalah trauma bagi perawat?

1.3 Tujuan

1. Meningkatakan pengetahuan dan wawasan mengenai hasil penelitian terkait masalah


trauma.
2. Memberikan gambaran yang teoritis mengenai hasil penelitian terkait masalah trauma.
3. Menambah wawasan perawat, pasien, keluargadan masyarakat umum mengenai hasil
penelitian terkait masalah trauma.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kepala

2.1.1 Definisi

Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi
ketika tubuh manumur secara tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah
yang melebihi ambang batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu
atau lebih komponen penting seperti oksigen (WHO, 2014).
Cedera dapat terjadi disatu atau lebih bagian tubuh manumur termasuk kepala.
Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah cedera mekanik yang
mengenai kepala secara langsung atau tidak langsung dan menyebabkan luka pada
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan otak, serta dapat mengganggu fungsi neurologis (Manarisip et al., 2014).

2.1.2 Etiologi
Pada Cedera kepala dapat terjadi karena beberapa mekanisme, namun
penyebab paling umum kejadian trauma kepala adalah sebagian berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 ayat 1,
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa dijalan yang tidak
disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau
tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban manumur atau
kerugian harta benda.
2. Jatuh
KBBI mendefinisikan jatuh sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih dl gerakan
turun maupun sesudah sampai ke tanah dan sebagainya).

3
3. Tindak kekerasan
Menurut kamus sosiologi, kekerasan adalah ekspresi yang dilakukan
seseorang atau sekelompok secara fisik ataupun verbal orang yang
mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau
martabat seseorang.
4. Cedera olahraga
Pada tahun 2006, Fuller mendefinisikan cedera olahraga sebagai cedera
yang timbul akibat berolahraga, baik sebelum selama maupun sesudah
berolahraga.
5. Trauma kepala tembus
Trauma kepala tembus adalah luka dimana proyektil menembus tengkorak
tetapi tidak keluar (Vinas, 2015).

Kecelakaan lalu lintas dapat berupa tabrakan antara kendaraan, pejalan kaki
ditabrak oleh kendaraan bermotor, ataupun kecelakaan sepeda. Di Amerika dan di
daerah pinggiran kota / pedesaan, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
kejadian trauma kepala yang paling sering. Namun, di kota-kota dengan populasi
lebih dari 100.000 orang, tindak kekerasan, jatuh, dan trauma kepala tembus
adalah etiologi yang lebih umum. Rasio kejadian trauma kepala pada laki-laki
dibanding perempuan hampir 2:1 dan trauma kepala lebih sering dialami orang
yang berumur dibawah 35 tahun (Ainsworth, 2015). Penyebab kejadian trauma
kepala di Indonesia akibat jatuh sebesar 40,9%, akibat kecelakaan sepeda motor
sebesar 40,6%, akibat cedera akibat benda tajam dan tumpul sebesar 7,3%,
transportasi darat lainnya sebesar 7,1% dan sebesar 2,5 % oleh karena kejatuhan
(Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan RI, 2013).

2.1.3 Epidemiologi
Insidensi kejadian cedera kepala di dunia tidak diketahui. Di Amerika pada
tahun 2002 – 2006 sebesar 579 per 100.000 atau kira-kira 1,7 juta kasus per tahun
(Faul et al., 2010). Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and

4
Prevention (CDC), dari 1,7 juta orang di Amerika yang mengalami cedera
kepala setiap tahun, 1,4 juta orang yang ditangani di unit gawat darurat, ada
5,3 juta orang yang hidup dengan kecacatan akibat cedera kepala, 275.000 orang
memerlukan rawat inap, dan 52.000 orang mengalami cedera fatal (Roozenbeek,
2013). Pasien cedera kepala yang dirawat inap di Eropa pada data meta analisis
tahun 1990an sampai 2000an sebesar 235 per 100000 orang (Tagliaferri et al.,
2005). Sementara itu pada tahun 2006 – 2007 di Ontario dan Kanada, pasien
cedera kepala yang dirawat inap telah dihitung sebesar 22 per 100000 orang untuk
wanita dan 52 per 100000 orang untuk laki-laki (Colantonio et al., 2010). 3
tingkat insiden kira-kira berkisar antara 47,3 hingga 694 per 100.000 penduduk
per tahun, dan angka kematian kasar berkisar 9-28,10 per 100.000 penduduk per
tahun dalam penelitian Eropa (Essentials of Neuroanesthesia, 2017).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Pasien dengan cedera kepala mempunyai beberapa tanda dan gejala. Cedera
kepala dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan manifestasi klinis, yaitu (Wong, D.L.
et al., 2009):
1. Cedera Kepala Ringan
Dapat menimbulkan kehilangan kesadaran, periode konfusi (kebingungan)
transien, somnolen, gelisah, iritabilitas pucat dan juga muntah (satu kali
atau lebih) dengan perubahan status mental memuncaknya agitasi, muncul
tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang
tampak jelas sebagai tanda-tanda progestivitas.
2. Cedera Kepala Berat
Tanda-tanda peningkatan TIK, perdarahan retina, paralisis ekstraokular
(terutama saraf kranial VI), hemiparesis, kuadriplegia, peningkatan suhu
tubuh, cara berjalan yang goyah, papiledema (anak yang lebih besar) &
perdarahan retina. Cedera ini dapat juga disertai tanda-tanda seperti cedera
kulit (daerah cedera pada kepala), cedera lainnya (misalnya pada
ekstremitas).
2.1.5 Klasifikasi & Patofisiologi
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, morfologinya, dan
beratnya. Menurut mekanismenya cedera kepala dibagi menjadi trauma tumpul
dan trauma tembus. Menurut morfologinya cedera kepala dikelompokan menjadi
fraktur tulang tengkorak (dasar dan atap tengkorak) dan lesi intracranial (lesi fokal
dan difus). Sedangkan menurut beratnya dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan (GCS 14-15), sedang (GCS 9-13) dan berat (GCS 3-8) (Mahadewa, 2017).
Cedera kepala merupakan suatu proses yang progresif sehingga dapat
diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan progresivitasnya, yaitu (Satyanegara,
2014):
1. Cedera Primer
Cedera primer adalah cedera pada otak akibat efek mekanik dari luar
menyebabkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson
pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak (Arifin, 2002).
Cedera ini disebabkan oleh adaanya perdarahan intrakranial yang berupa
epidural hematom, subdural hematom ataupun intracranial hematom,
terdapat kontusio cerebri atau diffuse axonal injury (Nangoi, 2015).
Epidural hematom (EDH) merupakan penimbunan darah di antara tulang
tengkorak dengan duramater. Subdural hematom (SDH) merupakan
penimbunan darah di antara lapisan duramater dan lapisan araknoid.
Sedang Intrakranial hematom adalah penimbunan darah di dalam jaringan
otak (Partogi et al., 2016). Dengan kata lain, cedera primer dapat berupa:
a. Fraktur tulang kepala
 Fraktur linear
Fraktur yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala dan
berbentuk garis tunggal / stellate pada tulang tengkorak.
 Fraktur diastasis
Fraktur yang menyebabkan melebarnya sutura-sutura tulang
kepala.

6
 Fraktur kominutif
Fraktur dengan fragmen tulang lebih dari satu dalam satu
area fraktur.
 Fraktur impresi
Fraktur akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala di area yang kecil dan dapat
menekan atau laserasi durameter jaringan otak.
 Fraktur basis kranii
Fraktur pada dasar tulang tengkorak yang disertai robekan
pada durameter yang lengket pada dasar tengkorak
b. Cedera fokal
 Perdarahan epidural / epidural hematoma (EDH)
Terdapatnya darah di ruang epidural, yaitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengokorak dan duramater.
 Perdarahan subdural akut / subdural hematoma (SDH) akut
Menumpuknya darah di ruang subdural selama 6 jam – 3
hari.
 Perdarahan subdural kronik / subdural hematoma (SDH)
kronik
Menumpuknya darah di ruang subdural lebih dari 3 minggu
pasca trauma.
 Perdarahan intra serebral / intra cerebral hematoma (ICH)
Daerah perdarahan yang sama dan konfluen di dalam
parenkim otak.
c. Cedera difus
Cedera difus menggambarkan kelainan yang tersebar merata di
permukaan otak dan substansia alba karena gaya percepatan dan
perlambatan, dan gaya rotasi dan translasi yang menggeser
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah
dalam akibat perbedaan massa jenis dan kepadatan antar inti di

7
permukaan dan serabut subkortikal dan inti yang ada di bagian
dalam atau profundal.
Berdasarkan gambaran morfologi pencitraan cedera difus dapat
dikelompokan menjadi:
 Cedera akson difus
Rusaknya serabut subkortikal (penghubung inti permukaan
otak dengan inti profunda otak), serabut penghubung inti-
inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut penghubung
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura).
 Kontusio serebri
Rusaknya parenkimal otak akibat efek gaya percepatan dan
perlambatan serta gaya coup dan countercoup.
 Edema serebri
Gangguan vaskuler akibat trauma kepala yang tidak
menunjukkan kerusakan parenkimal otak namun
menunjukkan perdorongan hebat pada daerah yang
mengalami edemal; atau hilangnya system ventrikel, ruang
subarahnoidal dan sulkus otak jika edem dikedua sisi.
 Iskemia serebri
Kurang atau berhentinya persediaan aliran darah ke bagian
otak tertentu karena penyakit degeneratif pembuluh darah
otak yang berlangsung lama.
 Perdarahan subarahnoidal traumatika
Pecahnya pembuluh darah kortikal dalam jumlah tertentu
akibat trauma yang memasuki ruang subarahnoidal.
d. Trauma tembak
Trauma akibat terjadinya penetrasi atau persentuhan anak peluru
secara cepat dengan tubuh, sehingga menembus kulit, masuk
kedalam tubuh serta merusak jaringan tubuh di dalamnya.

2. Cedera Sekunder

8
Weisberg et al. (1989) mendefinisikan cedera sekunder sebagai lanjutan
cedera primer yang terjadi akibat gangguan proses metabolisme dan
homeostatis ion-ion sel otak, hemodinamika intrakranial, dan
kompartemen cairan serebrospinalis (CSS) serta berbagai proses patologik
seperti perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan,
iskemia. dan perubahan neurokimiawi yang dimulai setelah terjadinya
trauma namun tidak langsung tampak secara klinis pasca trauma.
Penanganan secara komprehensif harus segera dilakukan agar cedera otak
sekunder tidak terjadi. Apabila terdapat perdarahan seperti epidural
hematom, subdural hematom atau intracranial hematom, dan
menimbulkan gejala, dilakukan tindakan evakuasi dalam 2-4 jam (Awaloei
et al., 2016).
3. Secondary Brain Insults
Peristiwa sistemik pasca trauma kepala yang berpotensi memperparah
kerusakan sel saraf, akson, dan pembuluh darah otak, seperti hipoksia,
hipotensi, hipekarbia, hiperpireksia, hiperglikemia, kejang dan
ketidakseimbangan elektrolit (Satyanegara, 2014)

2.1.6 Diagnosis
Mendiagnosis cedera otak dan menentukan tingkat keparahan cedera adalah
dua hal yang berbeda. Dalam kasus di mana cedera lebih parah, biasanya telah
terjadi beberapa jenis cedera otak jelas dari gejala individu sedangkan cedera otak
ringan atau sedang, penilaian lebih lanjut sering diperlukan untuk mendiagnosis
cedera otak. Maka, untuk menegakan diagnosis cedera kepala dapat melalui satu
atau lebih tes yang menilai cedera fisik seseorang, otak dan fungsi saraf, dan
tingkat kesadaran, yaitu (NIH,2016):
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS mengukur fungsi seseorang dalam tiga area:
a. Cedera dianggap ringan jika tidak sadarkan diri atau tidak sadar
selama kurang dari 30 menit, kehilangan memori berlangsung
kurang dari 24 jam dan skor GCS adalah 14 hingga 15.

9
b. Cedera dianggap sedang jika tidak sadarkan diri selama lebih dari
30 menit dan hingga 24 jam, kehilangan memori berlangsung dari
24 jam hingga 7 hari dan skor GCS adalah 9 hingga 13.
c. Cedera dianggap berat jika tidak sadarkan diri selama lebih dari 24
jam, kehilangan memori berlangsung lebih dari 7 hari dan skor
GCS adalah 8 atau lebih rendah.

Tabel 2.1 Skala Koma Glasgow

Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang 3
suara Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 2 – 15

2. Measurements for Level of TBI


a. Cedera dianggap ringan jika tidak sadarkan diri atau tidak sadar
selama kurang dari 30 menit, kehilangan memori berlangsung
kurang dari 24 jam dan skor GCS adalah 14 hingga 15.
b. Cedera dianggap sedang jika tidak sadarkan diri selama lebih dari
30 menit dan hingga 24 jam, kehilangan memori berlangsung dari
24 jam hingga 7 hari dan skor GCS adalah 9 hingga 13.

10
c. Cedera dianggap berat jika tidak sadarkan diri selama lebih dari 24
jam, kehilangan memori berlangsung lebih dari 7 hari dan skor
GCS adalah 8 atau lebih rendah.
3. Speech and Language Test
Evaluasi formal kemampuan berbicara dan bahasa, termasuk evaluasi
motor mulut terhadap kekuatan dan koordinasi otot-otot yang
mengontrol ucapan, pemahaman dan penggunaan tata bahasa dan kosa
kata, serta membaca dan menulis.
4. Cognition and Neuropsychological Tests
Kognisi menggambarkan proses berpikir, penalaran, pemecahan
masalah, pemrosesan informasi, dan memori. Kebanyakan pasien
cedera berat menderita cacat kognitif, termasuk kehilangan banyak
keterampilan mental tingkat tinggi. Tes neuropsikolog adalah tes untu
memperoleh informasi tentang kemampuan kognitif, perilaku,
motorik, dan eksekutif individu dan memberikan informasi mengenai
kebutuhan untuk layanan rehabilitatif. dengan mengevaluasi tugas
berorientasi khusus dari hubungan otak-perilaku manumur,
mengevaluasi fungsikognitif yang lebih tinggi serta proses sensorik-
motorik dasar.
5. Tests for Assessing TBI in Military Settings
Cedera yang parah dapat terlihat jelas dalam situasi militer, tetapi cedera
yang lebih ringan mungkin tidak mudah diidentifikasi. Maka harus
dilakukan penilaian dengan cepat untuk menilai apakah pasien mengalami
kehilangan kesadaran, masalah memori, dan gejala neurologis, seperti
kebingungan atau koordinasi yang buruk.
6. Imaging Test
a. CT Scan
Computerized tomography scan (CT Scan) biasa digunakan untuk
pasien dengan nyeri kepala menetap atau muntah -muntah yang
tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan
analgesia/antimuntah, pasien kejang – kejang, jenis kejang fokal

11
lebih bermakna terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan
kejang general, pasien dengan GCS menurun lebih dari 1 dimana
faktor – faktor ekstrakranial seperti syok, febris, dan sebagainnya
telah disingkirkan, terdapat fraktur impresi dengan lateralisasi yang
tidak sesuai, terdapat luka tembus akibat benda tajam dan peluru,
serta pasien yang sudah dirawat selama 3 hari namun GCS tidak
membaik.
b. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien
dengan abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT Scan, terutama
dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

2.1.7 Tatalaksana
Menurut Neurotrauma Guideline (2014), cedera kepala dapat ditatalaksana
dengan beberapa langkah yaitu:
1. Perlindungan umum / general precaution
a. Informed to Consent dan Informed Consent
b. Perlindungan diri
Mencuci tangan dengan antiseptik, memakai alat pelindung diri,
menjaga kebersihan alat dan lingkungan, hindari benda tajam, dan
menjauhkan pasien dari kemungkinan kontaminasi.
c. Persiapan alat dan sarana pelayanan
2. Survei Primer
Tabel 2.2 Survei primer pasien cedera otak.
Perhatikan, catat, dan
Pemeriksaan Evaluasi
perbaiki
Patensi saluran napas?
Airway Obstruksi?
Suara tambahan?
Rate dan
Apakah oksigenasi depth Gerakan
Breathing
efektif? dada Air entry
Sianosis
Circulation Apakah perfusi Pulse rate dan volume

12
adekuat? Warna kulit
Capilarry
return
Perdarahan
Tekanan darah
Tingkat kesadaran
menggunakan
sistem
Disability Apakah ada kecacatan GCS atau AVPU.
( status neurologis ) neurologis? Pupil (besar, bentuk,
reflek cahaya,
bandingkan kanan-
kiri)
Jejas, deformitas, dan
Exposure gerakan ekstremitas.
(buka seluruh Cedera organ lain? Evaluasi respon
pakaian) terhadap perintah atau
rangsang nyeri

3. Survei Sekunder
Survei Sekunder meliputi pemeriksaan status umum terdiri dari anamnesa
dan pemeriksaan fisik seluruh organ
a. Anamesis
Identitas pasien, keluhan utama, mekanisme trauma, waktu dan
perjalanan trauma, pernah pingsan atau sadar setelah trauma,
apakah terjadi amnesia retrograde atau antegrade, keluahan
tambahan, riwayat penyakit dan obat-obatan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
 Pemeriksaan kepala
Jejas di kepala, tanda patah dasar tengkorak, tanda patah
tulang wajah, tanda trauma pada mata, dan auskultasi
karotis untuk melihat apakah ada bruit yang berhubungan
dengan diseksi karotis.
 Pemeriksaan leher dan tulang belakang

13
Jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik
pada pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera
pada medula spinalis.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
a. Tingkat Kesadaraan
Pemeriksaan dilakukan berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
dan setelah ABC stabil.
b. Saraf Kranial
Saraf II-III, yaitu pemeriksaan besar & bentuk, reflek cahaya,
reflek konsensuil pupil serta melihat tanda-tanda lesi saraf VII
perifer.
c. Fundoskopi dicari
Mencari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris
Membandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda
lateralisasi.
e. Autonomis
Bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.
5. Observasi
Menggunakan lembar observasi umum (tanda vital: tensi, nadi,
pernafasan, dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah
saraf.
6. Pemeriksaan Foto Polos Kepala
7. Pemeriksaan CT Scan
Setelah melakukan langkah-langkah diatas, selanjutnya dilakukan
tatalaksana medikamentosa pada pasien cedera kepala agar tidak terjadi
cedera kepala sekunder. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut

14
dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi medikamentosa pada
pasien cedera kepala adalah sebagai berikut (Japardi, 2017):
a. Cairan Intravena
Pemberian larutan Ringer Laktat atau garam fisiologis untuk
mempertahankan keadaan normovolemia.
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi bertujuan untuk mengurangi tekanan intrakranial
pada pasien dengan perburukan neurologis akibat hematoma
intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi emergensi
dapat dilakukan. Hiperventilasi dilakukan secara selektif dan hanya
dalam batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada
35 mmHg.
c. Manitol
Manitol berguna untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK)
yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan
konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan) dan dosis 1
gram/kg BB bolus IV.
d. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan
akan meningkatkan diuresis dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB
bolus IV.
e. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), namun
tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi dan fase akut
resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah.
f. Antikonvulsan
Fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka
insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak
bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma.

15
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang paling umum pada pasien cedera kepala
adalah gangguan kognitif, gangguan integritas sensorik, kejang segera,
hidrosefalus, kebocoran cairan serebrospinal (CSF), cedera saraf vaskular atau
kranial, tinnitus, kegagalan organ, dan politrauma. Politrauma termasuk disfungsi
paru, kardiovaskular, gastrointestinal, ketidakseimbangan cairan dan hormon,
trombosis vena dalam, pembekuan darah yang berlebihan, dan cedera saraf.
Pasien trauma kepala biasanya memiliki peningkatan laju metabolisme, yang
mengarah ke jumlah panas yang berlebihan yang diproduksi di dalam tubuh.
Pembengkakan otak terjadi akibat trauma kepala dan berkontribusi terhadap
peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat dari vasodilatasi serebral dan
peningkatan aliran darah otak. Komplikasi jangka panjang yang terkait dengan
trauma kepala termasuk penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, demensia
pugilistika, dan epilepsi pasca trauma (Ahmed, 2017).

2.2 Trauma Multipel

Trauma Multipel atau politrauma adalah kondisi dimana seseorang telah


mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar
yang serius. Trauma multipel adalah terdapat dua atau lebih kecederaan secara
fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satu trauma tersebut
menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P et al., 2010).
Untuk menentukan apakah pasien dikatakan trauma multipel dilakukan
penilaian yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan Injury Severity Score
(ISS), bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih besar (Nerida E et al., 2013).
Untuk menilai anatomis, terdapat beberapa scoring system, antara lain
Abbreviated Injury Score (AIS), Injury Severity Score (ISS), New Injury Severity
Score (NISS) (Chawda M N et al., 2004).
1. Abbreviated Injury Score
Dasar dari ISS dan menjelaskan suatu cedera namun tidak memprediksi
outcome.

16
Tabel 2.3 Abbreviated Injury Score
Injury Score
Minor 1
Moderate 2
Serious 3
Severe 4
Critical 5
Unsurvival 6

2. Injury Severity Score

Jumlah kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang
mengalami cedera terparah. ISS mempunyai rentang antara 1-75 dan
dikatakan trauma multipel apabila nilai ISS lebih dari atau sama dengan 16.
Dalam penghitungan ISS, sering terjadi underscoring karena jumlah dari
cedera yang diperhitungkan hanya tiga region dengan cedera yang terparah.
ISS hanya menghitung data anatomis tanpa menghitung data fisiologi

Tabel 2.4 Injury Severity Score


Top three
Body region Injury AIS
AIS score
squared
Head/Neck No injury 0
Face No injury 0
Thorax Flail chest 4 16
Abdomen No injury 0
Extremity Femur fracture 3 9
External Contusio 1 1
Total ISS 26

3. New Injury Severity Score


Jumlah kuadrat dari nilai AIS score dari tiga cedera terparah pada pasien
tanpa mempertimbangkan regio tubuh lokasi cedera tersebut (Chawda M N
et al., 2004).

17
2.3 Kerangka Teori

Mekanisme Trauma Kepala

Akselerasi Rotasi - Strangulasi


Deselerasi

Trauma Kepala + Multipel

Servikal Abdomen

Maksilofasial Ekstremitas

Thorax

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

18
2.4 Kerangka Konsep

Prevalensi

Trauma Kepala

Trauma Multipel

Maksilofasial Abdomen Ekstremitas Thorax

Servikal

Jenis Kelamin
Gambar
Um ur Kerangka Konsep Penelitian
2.2
Pe idikan
nd

19
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik yang terletak di Jalan Bunga
Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan dengan
jarak sekitar 12 km dari Universitas Sumatera Utara. Luas wilayah lebih kurang
21,58km2. Berdasarkan Surat Keputusan Menkes RI No. HK.02.03/I/0913/2015
tanggal 27 Maret 2015, RSUP H. Adam Malik Medan memiliki izin operasional
sebagai Rumah Sakit Umum Kelas A dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan
yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan,
juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang
meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau.
Dalam rangka melayani kesehatan masyarakat umum, RSUP H. Adam Malik
Medan didukung oleh 1.995 orang tenaga yang terdiri dari 790 orang tenaga
medis dari berbagai spesialisasi dan sub spesialisasi, 604 orang paramedis
perawatan, 298 orang paramedik non perawatan dan 263 orang tenaga non medis
serta ditambah dengan Dokter Brigade Siaga Bencana (BSB) sebanyak 8 orang.
RSUP H. Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari
pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat
darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi
diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi
medik, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi
gizi, farmasi, Central Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik,
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) ), dan pelayanan non
medis (instalasi tata usaha pasien, teknik sipil pemulasaraan jenazah).
Bagian Rekam Medis terletak di lantai dasar tepat di belakang Poliklinik
Obstetrik dan Ginekologik RSUP H. Adam Malik Medan.

20
3.1.2 Distribusi Karakteristik Responden Penelitian

Responden penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami trauma kepala
dengan trauma multiple di RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 2015-2017.
Penelitian ini menggunakan metode total sampling dengan jumlah sampel yang
terlibat adalah 236 orang. Berdasarkan data responden, karakteristik yang
diperoleh meliputi trauma multipel, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir dan
penyebab trauma kepala.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan jenis kelamin.


Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
(n) (%)
Laki-laki 206 87,3
Perempuan 30 12,7
Total 236 100

Pada tabel 4.1 di atas, diperoleh hasil pasien yang terbanyak menderita
trauma kepala dengan trauma multipel berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak
206 orang (87,3%) sedangkan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak
30 orang (12,7%).
Hasil ini menunjukkan angka yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Zamzami et al., (2013) di RS. Hasan Sadikin Bandung tahun 2008-2010
dengan prevalensi penderita trauma kepala pada laki-laki (79,8%) lebih tinggi
dibandingkan perempuan (20,2%).
Penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2010) di RSUP Haji Adam Malik
Medan pada tahun 2009 menunjukan prevalensi penderita trauma kepala pada
laki-laki (79,2%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,8%).
Pada penelitian yang dilakukan Habibie et al., (2016) di Manado didapatkan
pasien laki-laki (76,3%) dan pasien perempuan (23,7%).

21
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan umur.

Frekuensi Persentase
Umur
(n) (%)
<18 tahun 3 1,3
18-35 tahun 130 55,1
36-45 tahun 39 16,5
46-65 tahun 33 14
>65 tahun 31 13,1

Total 236 100

Pada tabel 4.2 di atas, diperoleh pasien trauma kepala dengan trauma
multipel pada rentang umur < 18 tahun sebanyak 3 orang (1,3%), rentang umur
18-35 tahun sebanyak 130 orang (55,1%), rentang umur 36-45 tahun sebanyak 39
orang (16,5%), rentang umur 46-65 tahun sebanyak 33 orang (14%), rentang
umur >65 tahun sebanyak 31 orang (13,1%).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok umur produktif antara
15-44 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Zamzami et
al., (2013) mendapati prevalensi umur tertinggi antara 18-45 tahun (59,9%) dan
umur 21-40 tahun (39,6%) merupakan prevalensi tertinggi pada penelitian Ilyas,
(2010).

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan pendidikan terakhir.


Frekuensi Persentase
Pendidikan Terakhir
(n) (%)
Tidak Bersekolah 13 5,5
SD 26 11
SMP 55 23,3
SMA 137 58,1
Perguruan Tinggi 5 2,1

Total 236 100

22
Pada tabel 4.3 di atas, diperoleh pasien trauma kepala dengan trauma
multipel dengan pendidikan akhir perguruan tinggi sebanyak 5 orang (2,1%),
SMA sebanyak 137 orang (58,1%), SMP sebanyak 55 orang (23,3%), SD
sebanyak 26 orang (11%) dan tidak bersekolah sebanyak 13 orang (5,5%).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kawengian et al.,
(2017) prevalensi tertinggi berdasarkan pendidikan terakhir yaitu SMA (61,3%)
sementara yang paling sedikit adalah pendidikan terakhir Perguruan Tinggi
(2.2%) dan prevalensi pendidikan terakhir berdasarkan penelitian Habibie et al.,
yaitu pendidikan terakhir tertinggi yaitu SMA (50%) dan terendah yaitu
Perguruan Tinggi (10,5%).

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan penyebab.

Frekuensi Persentase
Penyebab Trauma
(n) (%)
Kecelakaan Lalu Lintas
Motor 119 50,4
Mobil 64 27,1
Tidak Diketahui 34 14,4
Bukan Kecelakaan Lalu Lintas 19 8,1
Total 236 100

Pada tabel 4.4 di atas, diperoleh pasien trauma kepala dengan trauma
multipel dengan penyebab kecelakaan tertinggi akibat kecelakaan lalu lintas
sebanyak 183 orang (77,5%), bukan kecelakaan lalu lintas sebanyak 19 orang
(8,1%), dan tidak diketahui penyebabnya sebanyak 34 orang (14,4%).
Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Lumandung et al., (2014)
didapati 84 pasien (76%) trauma kepala dari 110 pasien Kecelakaan Lalu Lintas.
Pada penelitian Nasution, (2015) juga didapatkan pasien trauma kepala akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebesar 72,89% dan Bukan Kecelakaan Lalu Lintas
sebesar 27,11%

23
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan trauma multipel lain.

Frekuensi Persentase
Trauma Multipel Lain
(n) (%)
Maksilofasial 97 41,1
Ekstermitas Atas 47 19,9
Ekstremitas Bawah 44 18,6
Thorax 28 11,9
Sevikal 13 5,5
Abdomen 7 3
Total 236 100

Pada tabel 4.5 di atas, diperoleh hasil pasien yang menderita trauma kepala
dengan trauma maksilofasial sebanyak 97 orang (41,1%), trauma servikal
sebanyak 13 orang (5,5%), trauma thorax sebanyak 28 orang (11,9%), trauma
abdomen sebanyak 7 orang (3%), trauma ekstremitas atas sebanyak 47 orang
(19,9%) dan ekstremitas bawah sebanyak 44 orang (18,6%).
Sedangkan pada penelitian Kristanto et al., (2009) 8 pasien trauma kepala, 6
mengalami trauma thorax, 5 mengalami trauma abdomen dan 8 orang mengalami
trauma ekstremitas. Pasien diatas yang mengalami trauma pada satu bagian selain
kepala sebanyak 1 orang dan 7 orang lainnya mengalami trauma pada dua bagian
atau lebih. Namun pada penelitian Nasution, (2015) hanya didapati 64 pasien
trauma maksilofasial dengan trauma kepala dari 276 pasien trauma maksilofasial.
Pada penelitian Arifin, (2011) didapatkan 14 pasien (3,95%) trauma servikal dari
354 pasien trauma kepala.
Keterbatasan dalam penelitiaan ini adalah data sekunder yaitu rekam medis
yang tidak memuat data Abbreviated Injury Score sehingga dalam penelitian
penulis hanya melihat diagnosa hasil foto rontgen pasien serta beberapa rekam
medis tidak memuat penyebab terjadinya trauma kepala.

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUP Haji Adam
Malik Medan tahun 2015 - 2017 dengan total sampel sebanyak 236 orang, maka
kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan umur sampel, didapatkan prevalensi sampel berumur 18-35 tahun
sebesar 55,1%, 36-45 tahun sebesar 16,5%, 46-65 tahun sebesar 14%, > 65
tahun 13,1% dan < 18 tahun sebesar 1,3%.
2. Berdasarkan jenis kelamin sampel, didapatkan prevalensi sampel berjenis
kelamin laki-laki sebesar 87,3% dan perempuan sebesar 12,7%.
3. Berdasarkan tingkat pendidikan sampel, didapatkan prevalensi sampel dengan
pendidikan terakhir SMA sebesar 58,1%, SMP sebesar 23,3%, SD sebesar
11%, tidak bersekolah sebesar 5,5%, dan perguruan tinggi sebesar 2,1%.
4. Berdasarkan penyebab trauma kepala, didapatkan prevalensi sampel akibat
kecelakaan lalu lintas yaitu motor sebesar 50,4%, mobil sebesar 27,1%, bukan
kecelakaan lalu lintas sebesar 8,1% dan tidak diketahui penyebabnya sebesar
14,4%.
5. Berdasarkan lokasi trauma multipel lain, didapatkan prevalensi sampel dengan
trauma maksilofasial sebesar 41,1%, trauma leher sebesar 5,5%, trauma thorax
sebesar 11,9%, trauma abdomen sebesar 3%, trauma ekstremitas atas sebesar
19,9% dan trauma ekstremitas bawah sebesar 18,6%.

4.2 Saran
Mahasiswa diharapkan lebih banyak menggali kembali informasi tentang hal yang terkait
dengan itu untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang lebih dalam lagi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S., Venigalla, H., Mekala, H. M., Dar, S., Hassan, M., & Ayub, S.
2017, ‘Traumatic brain injury and neuropsychiatric complications’,
Indian journal of psychological medicine, vol 39, no. 2, pp. 114.
Ainsworth, C. 2015. ‘Head Trauma: Background, Epidemiology, Etiology’.
[online] Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/433855-overview#a6 [Accessed
20 May 2018].
American College of Surgeons 2018, Advanced Trauma Life Support, 10th ed,
Elsevier, Chicago.
Arifin, M. 2002. Peranan oksigen reaktif pada cedera kepala berat pengaruhnya
pada gangguan fungsi enzim akinitase dan kondisi asidosis primer otak:
Penelitian Observasional Laboratoris. Disertasi. Universitas Airlangga.
Surabaya
Arifin, M. Z., & Gunawan, W. 2011, ‘Hubungan Cedera Servikal dengan
Fraktur Depresi Tulang Frontal pada Cedera Kepala Ringan’, MKB, vol
43, no. 2, pp. 122-126
Awaloei, A. C., Mallo, N. T., & Tomuka, D. 2016, ‘Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal
RSUP Prof Dr R. D. Kandou Manado, e-CliniC, vol 4, no. 2.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2016, Kamus besar bahasa
Indonesia, 5th edn, Balai Pustaka, Jakarta.
Butcher, N., D’Este, C. & Balogh, Z. 2014, ‘The quest for a universal definition
of polytrauma’. Journal of Trauma and Acute Care Surgery, vol 77, no.
4, pp. 620-623.
Chawda, M., Hildebrand, F., Pape, H. and Giannoudis, P. 2004, ‘Predicting
outcome after multiple trauma: which scoring system?’, Injury, vol 35,
no. 4, pp. 347-358.

26

Anda mungkin juga menyukai