Anda di halaman 1dari 37

PAPER TEORI – TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Pendidikan Sekolah Dasar
Dosen Pengampu : Alif Murdiono, S.Pd, M.Pd

Oleh:
1. Novarina Aisha Tresnantina ( 200151602867 )
2. Nurul Hidayah ( 200151603005 )
3. Oky Rahmatullah ( 200151602873 )
4. Pirda Amelia Nur Vita ( 200151602978 )

KELAS A5F
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRA SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar
yang dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Oleh
karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena membantu
pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam diri pebelajar, dengan kondisi
ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
memperlancar atau menghambat proses belajar.

Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang
dapat diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat
meningkatkan pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.

Teori-teori belajar bermunculan seiring dengan perkembangan teori psikologi. Salah


satu diantara teori belajar yang terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya
B.F. Skinner, Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil
eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan
timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.

Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori
tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar
yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti  kinerja mesin atau robot,
padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan
pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon
jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan
proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima,
mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.
BAB II

KAJIAN TEORI

Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar
yang dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Dalam
belajar, pebelajar yang lebih penting sebab tanpa pebelajar tidak ada proses belajar. Oleh
karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena membantu
pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam diri pebelajar, dengan kondisi
ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
memperlancar atau menghambat proses belajar.
Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang dapat
diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat meningkatkan
pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.

Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokkan menjadi empat golongan atau
aliran yaitu:

a. Teori Belajar Behavioristik


b. Teori Belajar Kognitif
c. Teori Belajar Humanistik
d. Teori Belajar Konstruktivisme

A. Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dengan kata lain,
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah
lakunya.

Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa stimulus
dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara
stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja
yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan
semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi,
penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.

Tokoh-tokoh aliran behavioristik diantaranya:

1. Thorndike 

Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Dan
perubahan tingkah laku merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud konkrit yaitu
dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati. Teori ini juga disebut
sebagai aliran koneksionisme (connectinism).
2. Watson

Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan
dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai
faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental
dalam bentuk benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.

3. Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori ini mengatakan
bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh bagian manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat bermacam-macam bentuknya.

4. Edwin Guthrie

Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun ia
mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan
biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya
lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang
berhubungan dengan respon tersebut.

5. Skinner 

Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli


konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara
lebih komprehensif. Menurutnya, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini,


diantaranya:

a. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-


hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit),
dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan
semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila
jarang atau tidak dilatih.

b. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :

1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

c. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

d. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda
dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-
mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning.
Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar


behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip
kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan
Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan
Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard
dengan teori pengurangan dorongan.

Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.

Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan
praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Karena aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi
dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai
di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Teori ini memandang bahwa sebagai
sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, sehingga siswa atau orang
yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.

Berdasarkan uraian di atas, Inti dari teori belajar behavioristik, adalah :

1) Belajar adalah perubahan tingkah laku.


2) Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku.
3) Pentingnya masukan atau input  yang berupa stimulus dan keluaran yang berupa
respon .
4) Sesuatu yang terjadi  diantara stimulus dan respon tidak dianggap penting  sebab tidak
bisa diukur dan diamati.
5) Yang bisa di amati dan diukur hanya stimulus dan respon.
6) Penguatan adalah faktor penting dalam belajar.
7) Bila penguatan ditambah maka respon akan semakin kuat , demikian juga jika respon
dikurangi maka respon juga menguat.

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian
keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu
jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajarnya.
B. Teori Belajar Kognitif

Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses belajar
dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan
dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan
suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks.

Prinsip umum teori Belajar Kognitif antara lain:

1) Lebih mementingkan proses belajar daripada hasil


2)  Disebut model perseptual
3) Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya
4) Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
5) Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran  menjadi komponen-
komponen yang kecil-kecil dan memperlajarinya secara terpisah-pisah, akan
kehilangan makna.
6) Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
7) Belajar merupakan  aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
8) Dalam praktek pembelajaran  teori ini tampak pada tahap-tahap perkembangan(J.
Piaget), Advance organizer (Ausubel), Pemahaman konsep (Bruner), Hierarki belajar
(Gagne), Webteaching (Norman)
9) Dalam kegiatan pembelajaran keterlibatan siswa aktif amat dipentingkan
10) Materi pelajaran disusun dengan  pola dari sederhana  ke komplek.
11) Perbedaan individu siswa perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi
keberhasilan siswa belajar.

Beberapa pandangan tentang teori kognitif, diantaranya:

1. Teori perkembangan Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem
syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel
syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa
daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi,
dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi).

a. Tahap sensorimotor  (umur 0 - 2 tahun) 


Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang 
sederhana.  Ciri  pokok  perkembangannya  berdasarkan  tindakan,  dan dilakukan langkah
demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain:

1) Melihat  dirinya  sendiri  sebagai  mahkluk  yang  berbeda  dengan  obyek  di


sekitarnya.
2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.  
4) Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5) Memperhatikan  obyek  sebagai  hal  yang  tetap,  lalu  ingin  merubah tempatnya.  

b. Tahap preoperasional (umur 2- 7/8 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa 
tanda,  dan  mulai  berkembangnya  konsep-konsep  intuitif.  Tahap  ini dibagi menjadi dua,
yaitu preoperasional dan intuitif. 

Preoperasional  (umur  2- 4  tahun),   anak  telah  mampu  menggunakan  bahasa dalam 


mengembangkan  konsepnya,  walaupun  masih  sangat  sederhana.  Maka sering  terjadi   
kesalahan  dalam  memahami  obyek.  Karakteri stik  tahap  ini adalah: 

1) Self counter   nya sangat menonjol.  


2) Dapat  mengklasifikasikan  obyek  pada  tingkat  dasar  secara  tunggal  dan
mencolok. 
3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek -obyek yang berbeda.  
4) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, te rmasuk kriteria yang
benar.  
5) Dapat  menyusun  benda-benda  secara  berderet,  tetapi  tidak  dapat menjelaskan
perbedaan antara deretan. 

c. Tahap  intuitif  (umur  4- 7  atau  8  tahun)

Anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada
kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-
kata. Oleh sebab itu, pada usia ini  anak  telah  dapat  mengungkapkan  isi  hatinya  secara 
simbolik  terutama  bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini
adalah:

1) Anak  dapat  membentuk  kelas-kelas  atau  kategori  obyek,  tetapi  kurang


disadarinya. 
2) Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks. 
3) Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
4) Anak  mampu  memperoleh  prinsip -prinsip  secara  benar.  Dia  mengerti terhadap
sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan masa
pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume pada usia
7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek adalah  tetap  sama  meskipun   obyek 
itu  dikelompokkan  dengan  cara  yang berbeda.  

d. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8- 11 atau 12 tahun) 


Ciri  pokok  perkembangan  pada  tahap  ini  adalah  anak  sudah  mulai menggunakan 
aturan-aturan  yang  jelas  dan  logis,  dan  ditandai  adanya reversible dan kekekalan. Anak
telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda -benda yang bersifat
ko nkrit. Operation adalah suatu tipe  tindakan  untuk  memanipulasi  obyek  atau  gambaran 
yang  ada  di  dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi
informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba
-coba  dan  membuat  kesalahan,  karena  anak  sudah  dapat  berpikir  dengan menggunakan 
model  “kemungkinan”  dalam  melakukan  kegiatan  tertentu.  Ia dapat  menggunakan  hasil 
yang  telah  dicapai  sebelumnya.  Anak  mampu menangani sistem klasifikasi. 

Namun  sungguhpun  anak telah  dapat  melakukan  pengklasifikasian, pengelompokan 


dan  pengaturan  masalah  ( ordering  problems )  ia  tidak sepenuhnya  menyadari  adanya 
prinsip -prinsip  yang  terkandung  di  alamnya. Namun  taraf  berpikirnya  sudah  dapat 
dikatakan  maju.  Anak  sudah  tidak memusatkan  diri  pada  karakteristik  perseptual  pasif. 
Untuk  menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkrit, sehingga ia
mampu menelaah  persoalan.  Sungguhpun  demikian  anak  usia  7-12  tahun  masih
memiliki masalah mengenai berpikir abstrak. 

Adapun beberapa prinsip teori perkembangan Piaget, adalah sebagai berikut:

a) Perkembangan kognitif merupakan suatu proses gentik. Yaitu suatu perkembangan


yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf
b) Semakin bertambah umur maka semakin bertambah kompleks susunan syarafnya dan
akan meningkat pula kemampuannya. Daya pikir anak  yangb berbeda usia akan
berbeda secara kualitatif
c) Proses adaptasi mmepunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan yaitu akomidasi
dan asimilasi
d) Asimilasi adalah proses perubahan apa yang di pahami seseuai denganstruktur
kognitif. (apabila individu menerima infomasi atau pengalaman baru maka informasi
tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan  struktur kognitif yang dipunyai)
e) Akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami
(apabila struktur kognitif yang sudah dimiliki harus disesuaikan dengan informasi
yang diterima).
f) Proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi (penyeimbangan).
g) Asimilasi (proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimiliki individu), Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru), Ekuilibrasi (penyesuaian berkesinambungan  antara asimilasi dan
akomodasi).
h) Seorang anak sudah mempunyai prinsip pengurangan, ketika mempelajri
pembagianmaka terjadi prses intrgtasi antara pengurangan  (telah dikuasai)dan
pembagian (info baru) inilah asimilasi.
i) Jika anak diberi soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya anak
sudah dapat mengaplikasikan  atau memakai prinsip pembagian dalam situasi baru
j) Proses penyesuaian antara ling luar dan struktur kognitif yang ada dlm dirinya disebut
ekuilibrasi
k) Proses belajar akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya.
Tahap sensorimotor (0-2 thn), preoperasional (2-8 thn), operasional konkret(8-11 thn),
operasional formal (12-18 thn).
l) Hanya dengan mengaktifkan pengetahuan dan pengalaman secara optimal asimilasi
dan akomodasi pengatahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran
sebagaimana adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas,
anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
6) Teori belajar menurut Bruner

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan


terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, “free discovery learning” ia mengatakan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan
menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut.

Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng,1989) menjelaskan bahwa


pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Menurutnya, pembelajaran yang
selama ini diberikan di sekolah banyak menekankan pada perkembangan kemampuan
analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif
sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-
konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara
yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif
dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).

Beberapa prinsip teori Bruner adalah:

1) Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi rangsang


2) Peningkatan pengatahun bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realistis
3) Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain
4) Interaksi secara sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak untuk
perkembangan  kognitifnya
5) Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif
6) Perkembangan kognitif ditandai denfgan kecakapan untuk mengemukakan bebrapa
alternatisf secara simultan, memilih tindakan yang tepat.
7) Perkembangan kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu enactive, iconic, symbolic.
8) Enaktif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk
emmahami lingkungan sekitaanya. (gigitan, sentuhan, pegangan)
9) Ikonik, yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal (anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan
perbandingan
10) Simbolik yaitu tahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika.( anak belajar
melalui simbol bahasa, logika, matematika)
11) Model pemahaman dan penemuan konsep
12) Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan memlalui
proses intuitif untuk akhirnya sampai pada kesimpulan (discovery learning)
13) Siswa diberi kekebasan untuk belajar  sendiri  melalui aktivitas menemukan
(discovery)

7) Teori belajar bermakna Ausubel

Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan yang telah
dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya
pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur
kognitif yang telah dimiliki siswa.

Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan
dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau dengan kata
lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku
yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang
dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi
baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki seseorang.

Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah

1) Proses belajar akan terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan  pengetahuan


yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan baru
2) Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap  memperhatikan stimulus, memamahi
makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami
3) Siswa lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif  (konsep advance organizer)

Adapun aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran :

a) Keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan


b) Untuk meningkatkan minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
c) Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks.
d) Perbedaan individu pada siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar.

C. Teori Belajar Humanistik

Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam


dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu
pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What
is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat
dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada
beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-
pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.

Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”


Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut
Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus
pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud.
Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini
yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya
memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.

Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari.

Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran
humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk
meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman,
berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan
manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut
dengan lebih baik?

Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang
sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan
merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah
satu  potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat
keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan
yang menitikberatkan kognisi.

Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi
sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai
campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah
satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia,
bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang
dimiliki binatang.

Hirarki kebutuhan motivasi maslow menggambarkan motivasi manusia yang


berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus
juga menggambarkan motovasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis
dan keamanan.
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih
tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk
berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak
membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi
bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara
fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang
membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai
konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme.

Secara singkatnya, penedekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada


perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal
ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang
ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat.
Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting
dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.

Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri
mereka.

Berikut adalah para tokoh dalam aliran psikologi humanistik. 3 tokoh aliran humanistik
akan disinggung, namun demikian tokoh humanistik yang menjadi fokus dalam paper ini
adalah Carl Rogers.

Tokoh-Tokoh Teori Humanistik:

1. Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian


pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan
materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa
matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan
merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang
dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. 

Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran
(besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi
diri dan lingkungan besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari
persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

2. Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :

a) Suatu usaha yang positif untuk berkembang


b) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi


kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain
seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada
saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila


seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia
dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras
aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi
yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan
dasar si siswa belum terpenuhi.

3. Carl Ransom Rogers

Carl Ransom Rogers  (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8 Januari
1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah
pertanian diusianya yang ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar
pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union
Theology Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di
sebuah gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher College
yang bertetangga dengan seminarinya.

Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child Guindance dan mengunakan
psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud.

Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan John Dewey yang
memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkannya justru membuatnya
menemukang benang merah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak.
Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya
tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor, Rogers menjadi profesor psikologi di
Universitas Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan
akademik membuat Rogers mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini
dia lebih senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan
memakai istilah pasien. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:

1) Kognitif (kebermaknaan)
2) Experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog, Rogers pindah ke
California tahun 1964 dan bergabung dengan Western Behavioral Science Institute. Ia lalu
mengembangkan teorinya ke bidang pendidikan. Selain itu ia banyak
memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan ke eks Uni
Soviet.  Rogers wafat pada tanggal 4 Februari 1987.

Teori Humanistik Carl Rogers

Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun
keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers
pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person
centered), non-directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-
centered),  teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person).
Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.

Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus
asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia
seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia
karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai
dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan
cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada
kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu. 

Asumsi dasar teori Rogers adalah:

 Kecenderungan formatif

Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih
kecil.

 Kecenderungan aktualisasi

Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau


pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk
menyelesaikan masalahnya.

 Struktur Kepribadian
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian berubah dan berkembang, dan
ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya: Organisme, Medan fenomena,
dan self. 

1. Organisme
a. Mahkluk Hidup

organisme adalah mahkluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya dan
merupakan tempat semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat,
yakni persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia eksternal

b. Realitas Subyektif

Oranisme menganggap dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah
persepsi yang sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.

c. Holisme

Organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan
berpengaruh pada bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yaitu
tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.

2. Medan Fenomena

Medan fenomena adalah keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun


eksternal, baik disadari maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh
pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi
subyektifnya.

3. Diri

Konsep diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan pengalaman
membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan identitas dirinya  begitu
bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau buruk, apa ia merasa nyaman atau tidak. Jika
struktur diri itu sudah terbentuk, maka aktualisasi diri mulai terbentuk. Aktualisasi diri adalah
kecenderungan untuk mengaktualisasikan sang diri sebagai mana yang dirasakan dalam
kesadaran. Sehingga kecenderungan aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman
organik individual, sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan ketidak-
sadaran, psikis dan kognitif. 

Diri dibagi atas 2 subsistem :

 Konsep diri yaitu penggabungan seluruh aspek keberadaan dan pengalaman seseorang


yang disadari oleh individual (meski tidak selalu akurat).
 Diri ideal yaitu cita-cita seseorang akan diri.

Terjadinya kesenjangan antara akan menyebabkan ketidak-seimbangan dan kepribadian


menjadi tidak sehat. Menurut Carl Rogers ada bebeapa hal yang mempengaruhi Self, yaitu:

 Kesadaran

Tanpa adanya kesadaran, maka konsep diri dan diri ideal tidak akan ada. Ada 3 tingkat
kesadaran.

 Pengalaman yang dirasakan dibawah ambang sadar akan ditolak atau disangkal.
 Pengalaman yang dapat diaktualisasikan secara simbolis akan secara langsung diakui
oleh struktur diri.
 Pengalaman yang dirasakan dalam bentuk distorsi. Jika pengalaman yang dirasakan
tidak sesuai dengan diri (self), maka dibentuk kembali dan didistorsikan sehingga
dapat diasimilasikan oleh konsep diri.
 Kebutuhan
 Pemeliharaan

Pemeliharaan tubuh organismik dan pemuasannya akan makanan, air, udara, dan
keamanan , sehingga tubuh cenderung ingin untuk statis dan menolak untuk berkembang.

 Peningkatan diri

Meskipun tubuh menolak untuk berkembang, namun diri juga mempunyai kemampuan
untuk belajar dan berubah.

 Penghargaan positif (positive regard)

Begitu kesadaran muncul, kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang
lain.

 Penghargaan diri yang positif (positive self-regard)

Berkembangannya kebutuhan akan penghargaan diri (self-regard) sebagai hasil dari


pengalaman dengan kepuasan atau frustasi. Diri akan menghindari frustasi dengan mencari
kepuasan akan positive self-regard.

D. Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivistik atau kontruktivisme Adalah sebuah filosofi pembelajaran yang


dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun,
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup.

Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang artinya membangun atau
menyusun. Menurut Carin (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa teori konstruktivisme adalah
suatu teori belajar yang menenkankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menerima
begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membengun
pengetahuan secara individual. Menurut Von Glasersfeld (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur
konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya. Istilah konstruktivisme
sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark
Baldwinyang secara lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep Piaget ini
disebarluaskan di Amerika utara (Meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernst von
Glaserfeld. Namun, konsep terkait dengan kontruktivisme (walau saat ini belum
dipergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattista Vico pada
tahun 1710 yang menyatakan bahwa makna “mengetahui berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru
jika dia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya dia
pernah mengalami sesuatu itu, mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur
kognitifnya, sebagai hasil proses berpikirnya (process of mind) tentang apa sesungguhnya
sesuatu itu.
Jadi sesuatu itu telah diketahui karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya.
Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa konstruktivisme sebagai salah satu
bentuk pragmatism, oleh sebab itu dapat dimaklumi jika tokoh pragmatism, John Dewey
yang terkenal dengan konsep belajar dengan melakukan (Learning by doing) dikategorikan
sebagai ahli pendukung Kontruktivisme.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu


tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik
yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya.

Tokoh teori belajar konstruktivisme:

1. Piaget
Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun
struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “Skema” atau konsep jejaring
untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya.
Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli linguistic,
psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami
adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap terhadap proses
pemahaman.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses
tersebut meliputi:
a. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan
terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan
rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
b. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan
konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
c. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak
cocok lagi.
d. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses
perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium
melalui asimilasi dan akomodasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus
memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.

2. Vygotsky
Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi kontruktivisme. Vygotsky lebih
suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi social (Social
cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentuan
utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas dunia
ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri dan setiap anak manusia berkembang
dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenbanya perkembangan pembelajaran anak
dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaanya, termasuk budaya dari lingkungan
keluarganya, dimana dia berkembang.
Perbedaan Teori konstruktivisme menurut Piaget (Kontruktivistik Kognitif) dengan
Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky (Konstruktivistik Sosial)
Aspek Konstruktivistik Kognitif Konstruktivistik Sosial

Pengetahuan Dibangun secara individual dan internal. Dibangun dalam konteks sosial sebelum
Sistem pengetahuan secara aktif menjadi bagian pribadi individu
dibangun oleh pebelajar berdasarkan
struktur yang sudah ada

Pandangan Menimbulkan disequilibration yang Meningkatkan pemahaman yang telah


terhadap interaksi mendorong individu mengadaptasi ada sebelumnya dari hasil interaksi
skema-skema yang ada

Belajar Proses asimilasi dan akomodasi aktif Integrasi siswa ke dalam komunitas
pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam pengetahuan. Kolaborasi informasi baru
struktur kognitif yang sudah ada untuk meningkatkan pemahaman

Strategi belajar Experience based & discovery oriented Sharing & Cooperative learning

Peran guru Minimal & lebih membiarkan siswa Penting dalam membantu (scaffolding)
menemukan sendiri ide sehingga posisi siswa mencapai kemandirian melalui
guru sebagai pengajar menjadi kabur interaksi sosial.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai
berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain
itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi
sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Prinsip-prinsip kontruktivisme, secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang
diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar
c. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
d. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
e. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
f. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
g. Mencari dan menilai pendapat siswa
h. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa
yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat
penemuan.
Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa
penerapan dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1. Bimbingan kelompok 
Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang
diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk
mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa
teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian
informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem solving), penciptaan
suasana kekeluargaan (home room), permainan peranan (role playing), karyawisata, dan
permainan simulasi.
1. Konseling kelompok  
Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan
kepada individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau
kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
2. Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara
interpersonal yang dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha membantu
orang lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-
keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian
dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja.  Konseling sebaya
memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para
remaja yaitu respect.
3. Konseling Postmodern

Konstruktivisme sosial adalah perspektif terapeutik dalam pandangan postmodern, yang


menekankan realitas klien apakah akurat atau rasional (Weishaar 1993 dalam Corey 2005).
Pada dasarnya semua pengetahuan bersifat relatif karena dia selalu ditentukan oleh konstruk,
budaya, bahasa atau teori yang kita terapkan pada suatu fenomen tertentu. Pendekatan
konseling postmodern adalah Solution Focused Brief Therapy (SFBT) dan naratif. Dalam
beberapa literatur SFBT disebut Terapi Konstruktivis (Constructivist Therapy).

BAB 2

PEMBAHASAN
A. Teori-teori Belajar

1. Definisi Belajar

Ada beberapa definisi belajar menurut para ahli. Diantaranya yaitu:

 “Belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan


keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar.” Dimyati dan Mudjiono
(2006:6)
 “Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku.” Sanjaya (2010:112)
 “Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan.”
Djamarah, Syaiful dan Zain (2006:11)

Berdasarkan definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar


adalah proses perubahan tingkah laku seseorang setelah berinteraksi dengan
lingkungannya.

2. Definisi Pembelajaran

Selain belajar, beberapa ahli juga mengungkapkan definisi dari pembelajaran.


Diantaranya yaitu:

 “Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan


maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.”Syaiful
(2003:61)
 “Pembelajaran adalah suatu system artinya suatu keseluruhan yang terdiri dari
komponen-komponenyang berinteraksi antara satu dengan lainnya dan dengan
keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan
sebelumnya. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi tujuan pendidikan
dan pengajaran, peserta didik dan siswa, tenaga kependidikan khususnya guru,
perencanaan pengajaran, strategi pengajaran, media pengajaran, dan evaluasi
pengajaran.” Hamalik (2007:77)
 “Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruk-
sional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada
penyediaan sumber belajar.” Dimyati dan Mudjiono (2006:17)
 “Pembelajaran sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.”
Coney (dalam Sagala, 2005:61)

Dari teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu


proses yang dilakukan oleh guru yang telah diprogram dalam rangka membelajarkan
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sesuai dengan
petunjuk kurikulum yang berlaku.

3. Teori Belajar Behavioristik


Aliran behaviorisme sangat menekankan kepada perlunya perilaku yang dapat
diamati. Ada beberapa ciri dari teori ini, yaitu:
a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil
b. Bersifat mekanistis
c. Menekankan peranan lingkungan,
d. Mementingkan pembentukan respon
e. Menekankan pentingnya latihan

Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah


laku sebagai hasil dari pengalaman yang merupakan akibat dari adanya interaksi
antara stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah rangsangan yang berupa
serangkaian kegiatan yang bertujuan agar mendapatkan respon belajar dari objek
penelitian. Sedangkan Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar yang dapat berupa pikiran, perasaan, atau tindakan.

4. Teori-Teori Belajar dalam Aliran Behavioristik

1. Connectionism (S-R Bond)


Edward Lee Thorndike
Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain merupakan hubungan antara
stimulus (perangsang) merupakan respon (jawaban, tanggapan, reaksi),
diistilahkan S-R bond. Belajar adalah pembentukan S-R sebanyak-banyaknya.

Edward Lee Thorndike juga mengungkapkan beberapa hukum belajar yaitu:

 Law of Effect (Hukum Efek)


“Jika sebuah respon (R), menghasilkan efek yang memuaskan, maka
ikatan antara S (stimulus) dengan R (respon) akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai melalui respon,
maka semakin lemah pula ikatan yang terjadi antara S.R. Artinya belajar
akan lebih bersemangat apabila mengetahui akan mendapatkan hasil yang
baik.”

 Law of Readiness (Hukum kesiapan)


“Maknanya, suatu kesiapan (readiness) terjadi berlandaskan asumsi
bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan
pengantar (conduction unit), unit-unit inilah yang menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Pada implementasinya, belajar akan lebih berhasil bila
individu memiliki kesiapan untuk melakukannya.”

 Law of Exercise (Hukum Latihan)


“Hubungan antara S denganR akan semakin bertambah erat jika sering
dilatih dan akan semakin berkurang bila jarang dilatih. Dengan demikian,
belajar akan berhasil apabila banyak latihan atau ulangan-ulangan.”

2. Classical Conditioning
lvan Pavlov
Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu
perilaku atau respon terhadap sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam
tertentu, kebiasaan belajar dan lain-lain dapat terbentuk karena pengkondisian.

lvan Pavlov juga mengungkapkan beberapa hukum belajar yaitu:

 Law of Respondent Conditioning (hukum pembiasaan yang dituntut)


“Jika dua macam stimulus dihadirkan secara serentak (dengan salah
satunya berungsi sebagai reinforcer) maka retlek dan stimulus lainnya
akan meningkat.”

 Law of Respondet Extinction (hukum pemusnahan yang dituntut)


“Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondet coditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya
akan menurun.”

3. Teori Belajar Menurut


Edwin Guthrie
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara. Oleh karena itu
dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agra
hubungan antara S dan R bersifat lebih kuat dan menetap. Saran utama dari teori
ini guru harus mampu mengasoiasi stimulus-respon secara tepat. Siswa harus di
bimbing melakukan apa-apa-apa yang perlu dipelajari, jangan mengabaikan siswa.

4. Teori Belajar Menurut


Clark Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu, kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia.

5. Operant Conditioning
B.F. Skinner
Teori ini dilandasi oleh adanya penguatan. Bedanya dengan teori pengondisian
klasik pavlov, kalau pada teori Pavlov yang diberi kondisi adalah stimulus (S)nya,
maka pada teori operant conditioning yang diberi kondisi adalah respon (R)nya.
Misalnya, karena seorang anak belajar dengan giat maka dia akan diberi hadiah
sehingga dia akan belajar lebih giat lagi.

B.F. Skinner juga mengungkapkan beberapa hukum belajar yaitu:


 Law of Operant Conditioning
“Jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku terebut akan meningkat”

 Law of Operant Extinction


“Jika timbulnya perilaku operant yang telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan akan
menghilang.”

Berbeda dengan pendapat Guthrie , Skinner tidak sependapat dengan konsep


hukuman sebagai alat pembelajaran, antara lain karena :

1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku amat bersifat


semesntara,
2. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi menjadi bagian
dari jiwa si terhukum, bila hukuman berlangsung lama,
3. Hukuman bahkan pendorong si terhukum untuk mencari cara lain, walau
salah , agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal
lain, bahkan lebih buruk dari pada kesalahan yang pernah dilakukannya.

6. Teori Belajar Sosial


(Social Learning)
Albert Bandura
Teori belajar soaial disebut juga teori pembelajaran observasional,
dikembangkan oleh Albert Bandura. Berbeda dengan para behavioris lain,
Bandura memandang bahwa perilaku individu tidak semata-mata reflek otomatis
terhadap stimulus (S-R Bond), antara lingkungin dengan skema kognitif individu
itu sendiri itu sendiri.
Dalam hal ini belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling) melalui pemberian reward and punishment.
Tahapan Proses Modeling :
1. Atensi (perhatian)
2. Retensi (ingatan)
3. Produksi
4. Motivasi
Prinsip-prinsip panduan yang melatarbelakangi pembelajaran sosial atau
pembelajaran observasional :

1. Pengamat akan mencontoh perilaku model jika model memiliki karakteristik


seperti talenta, kecerdasan, kekuatan, penampilanyang baik, alau popularitas,
yang diinginkan atau menarik perhatian siswa pengamat.
2. Pengamat akan bereaksi sesuai dengan cara model diperlakukan dan
menirukan perilaku model.
3. Ada perbedaan dari perilaku yang didapat pengamat dengan perilaku yang
dilakukan pengamat. Melalui observasi, pengamat dapat menerima perilaku
tanpa harus melakukannya.
4. Atensi dan pengingatan berkaitan dengan penerimaan pembelajaran dari
perilaku model, sedangkan produksi dan motivasi akan mengontrol kinerja.
5. Perkembangan manusia merefleksikan interaksi kompleks antarpribadi,
perilaku seseorang dan lingkungannya. Hubungan antarunsur-unsur ini
disebut determinisme resiprokal, penentuan timbal-balik (reciprocal
determinism). Kecakapan kognitil seseorang, karakteristik fisik, kepribadian,
kepercayaan, dan sikap berpengaruh terhadap perilaku dan lingkungannya.

5. Teori Belajar Kognitif


Teori kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, teori ini membahas munculnya
dan diperolehnya skemata atau skema Bagaimana seseorang memersepsikan
lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan dan saat seseorang memperoleh
cara baru dalam mempresentasikan informasi secara mental.

Menurut teori kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.


Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dengan
pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk
struktur kognitif.

Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada


perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain :
 Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu
apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.
 Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks.
 Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal
tanpa pengertian penyajian.

6. Teori Belajar Dalam Aliran Kognitif Menurut Beberapa Pakar

A. Piaget
Menurut Piaget (Uno, 2006: 10-11), salah seorang penganut aliran kognitif
yang kuat, proses belajar sebenarnya terjadi dari tiga tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbang).

1. Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke


struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2. Proses akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang
baru.
3. Proses ekulibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.

Perkembangan kognitif seorang anak juga dipengaruhi oleh kematangan dari


otak sistem saraf anak, interaksi anak dengan objek-objek di sekitarnya (pengalaman
fisik), kegiatan mental anak dalam menghubungkan pengalamannya kerangka kognitif
nya (pengalaman fisik), kegiatan mental anak dalam menghubungkan pengalamannya
dengan kerangka kognitifnya (pengalaman logico-mathematics), dan interaksi anak
dengan orang-orang disekitarnya.

B. Bruner
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan melalui
contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.

Menurut Bruner, perkembangan kognititf seseorang terjadi melalui tiga tahap


yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu sebagai berikut :
 Tahap Enaktif
 Tahap Ikonik
 Tahap Simbolik

C. David P.Ausubel
Siswa berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya, maka baik proses maupun
hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna
sama sekali baginya. Karenanya Ausubel menyatakan “Jelaslah bahwa
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan bermakna
tidaknya suatu proses pembelajaran. Belajar hafalan (rote learning) akan terjadi
jika para siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang lama.”

7. Aplikasi Teori Kognitif dalam Pembelajaran

Pengaplikasian teori-teori kognitif dalam pembelajaran yaitu:

1. Guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang
mudah dalam proses berpikirnya.
2. Guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks
3. Guru menciptakan pembelajaran yang bermakna
4. Guru memerhatikan perbedaan individual siswa untuk mencaoai
keberhasilan siswa

8. Teori Belajar Humanistik

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan


manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia
mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.

9. Tokoh Penting dalam Teori Belajar Humanistik

Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967), mereka mencurahkan banyak


perhatian pada dunia pendidikan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu.
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi
yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka.

Oleh sebab itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba
memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin mengubah
perilakunya, guru harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang
ada.
Maslow

Teori Maslow didasärkan pada asumsí bahwa diri dalam di individu ada dua
hal, yaitu:

1. Suatu usaha yang positif untuk berkembang


2. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis.

10. Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah integrasi prinsip yang diekplorasi melalui teori chaos,


network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar adalah proses yang
terjadi dalam lingkungan samar-samar dari peningkatan elemen-elemen inti, tidak
seluruhnya dikontrol oleh individu.

Prinsip-prinsip konstruktivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens


(2005) adalah:

 Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.


 Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting)sumber-sumber
informasi tertentu.
 Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia.
 Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting dari
pada apayang diketahui sekarang.
 Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk
memfasilitasi belajar berkelanjutan.
 Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep
merupakan inti keterampilan.
 Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari semua
aktivitas belajar konektivistik.
 Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa yang dipelajari dan
makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita yang ada.

B. Implikasi Teori-Teori Belajar

1. Implikasi Teori Belajar Behavioristik


Menurut Suprijono (2009:21), implikasi prinsip-prinsip behaviorisme pada kegiatan
pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan belajar adalah kegiatan figuratife.
b. Belajar menekankan perolehan informasi dan penambahan informasi.
c. Belajar merupakan proses dialog imperative, bukan dialog interaktif.
d. Belajar bukan proses organik dan konstruktif, melainkan proses mekanik.
e. Aktivitas belajar di dominasi oleh kegiatan menghafal dan latihan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut.

a. Mementingkan pengaruh lingkungan.


b. Mementingkan bagian-bagian.
c. Mementingkan peranan reaksi.
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respons.
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.

Sebagai konsekuensi teori ini, para guru menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi  instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh, baik dilakukan sendiri
maupun melalui stimulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks.

Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi
siswa. Misalnya, guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung  satu arah,
guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.murid dipandang pasif, perlu
motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid
hanya mendengar dengan tertib penjelasan guru dan menghafal apa yang di dengar dan
dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari
oleh para tokoh behavioristik  justru dianggap metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.

A. Kelebihan Teori Belajar Behavioristik


a. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi
belajar
b. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar
mandiri. Jika menemukan kesulitan, baru ditanyakan kepada guru yang
bersangkutan.
c. Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapatkan penguatan
positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif yang
didasari pada perilaku yang tampak.
d. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam bidang tertentu, akan lebih dapat
dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang
berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
B. Kekurangan Teori Behavioristik
a. Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap.
b. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
c. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif.
d. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik
justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
e. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan guru.
2. Implikasi Teori Belajar Kognitif 
A. Jean Pigget
Ada beberapa hal penting yang diambil terkait teori kognitif sebagaimana
dikemukakan oleh Piaget, diantaranya adalah :
a) Individu dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri
Yang menjadi titik pusat dari teori belajar kognitif Piaget ialah individu
mampu mengalami kemajuan tingkat perkembangan kognitif atau
pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi. Maksudnya adalah pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap individu dapat dibentuk dan dikembangkan oleh
individu sendiri melalui interaksi dengan lingkungan yang terus-menerus
dan selalu berubah. Dalam berinteraksi dengan lingkungan tersebut, individu
mampu beradaptasi dan mengorganisasikan lingkungannya, sehingga terjadi
perubahan dalam struktur kognitifnya, pengetahuan, wawasan dan
pemahamannya semakin berkembang. Atau dengan kata lain, individu dapat
pintar dengan belajar sendiri dari lingkungannya.
Walaupun demikian, pengetahuan yang diperoleh individu melalui interaksi
dengan lingkungan, adakalanya tidak persis sama dengan apa yang diperoleh
dari lingkungan itu. Individu mampu mengembangkan pengetahuannya
sendiri, mampu memodivikasi pengalaman yang diperoleh dari lingkungan,
sehingga melahirkan pengetahuan atau temuan-temuan baru. Hal ini terbukti
banyak ilmuwan yang menghasilkan temuan-temuan baru yang selama ini
tidak dipelajari di bangku sekolah. Oleh karena itu, proses pendidikan bukan
hanya sekedar transfer of knowledge, tetapi juga bagaimana merangsang
struktur kognitif inadividu sehingga mampu melahirkan pengetahuan dan
temuan-temuan baru.
b) Individualisasi dalam pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, perlakuan terhadap individu harus didasarkan
pada perkembangan kognitifnya. Atau dengan kata lain, dalam proses
pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan individu.
Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Hal ini disebabkan karena setiap tahap perkembangan
kognitif memiliki karakteristik berbeda-beda. Susunan saraf seorang akan
semakin kompleks seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini
memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam
proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan
tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarki, yaitu
melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat
mempelajari sesuatu yang di luar kemampuan kognitifnya.
Tingkat perkembangan peserta didik harus dijadikan dasar pertimbangan
guru dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam
kurikulum. Hunt (dalam Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono)
mempraktekkan di dalam program pendidikan TK yang menekankan pada
perkembangan sensorimotoris dan praoperasional. Misalnya: belajar
menggambar, mengenal benda, menghitung dan sebagainya. Seorang guru
yang bila tidak memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif,
maka akan cenderung menyulitkan siswa. Contoh lain, mengajarkan konsep-
konsep abstrak tentang shalat kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa
adanya usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsep tersebut, tidak hanya
sia-sia, tetapi justru akan lebih membingungkan siswa.
Dalam proses pembelajaran juga harus memperhatikan tingkat
perkembangan peserta didik. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan
orang dewasa. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru harus
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
B. Jerome S.Bruner
Pada prinsipnya teori Kognitif sebagaimana dikemukakan oleh Bruner
merupakan pengembangan dari teori kognitif Piaget. Bruner lebih menekankan
bagaiman mengeksplrorasi potensi yang dimiliki oleh individu. Ada beberapa hal
yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pembelajaran terkait dengan teori
Kognitif Bruner, diantaranya adalah:
1) Partisipasi aktif individu dan mengenal perbedaan
Dalam proses pembelajaran harus menekankan pada cara individu
mengorganisasikan apa yang telah dialami dan dipelajari. Sehingga dengan
demikian individu mampu menemukan dan mengembangkan sendiri konsep,
teori-teori dan prinsip-prinsip melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam
kehidupannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus diciptakan lingkungan
yang mendukung individu untuk melakukan eksplorasi dan menemukan
gagasan-gagasan baru.
Oleh karena itu tujuan pembelajaran bukan sepenuhnya untuk memperoleh
pengetahuan semata. Tetapi yang terpenting adalah melatih kemampuan
intelek atau kognitif siswa, merangsang keinginan tahu, dan memotivasi
siswa. Tujuan pembelajaran hanya diuraikan secara garis besar dan dapat
dicapai dengan cara-cara yang tidak perlu sama oleh siswa yang mengikuti
pelajaran yang sama. Atau dengan kata lain, tujuan pembelajaran hanya
diuraikan secara garis besar. Untuk mendalami, merinci dan mempertajam
tujuan pembelajaran tersebut diperlukan peran aktif siswa disesuaikan dengan
potensi dan tingkat perkembangan siswa.
Walaupun demikian, pembelajaran terhadap individu tidak harus menunggu
individu mencapai tahap perkembangan tertentu. Individu dapat mempelajari
sesuatu meskipun umurnya belum memadai, asalkan materi pembelajaran
disusun berdasarkan urutan isi dan disesuaikan dengan karakteristik
kognitifnya.
2) Guru sebagai tutor, fasilitator, motivator dan evaluator
Menurut hemat penulis, dalam belajar penemuan (Discovery Learning),
terjadi perubahan paradigma terhadap peran guru. Guru bukan lagi sebagai
pusat pembelajaran, tetapi guru memiliki peran sebagai berikut :
(1) Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat
pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
(2) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para
siswa untuk memecahkan masalah. Materi pelajaran itu diarahkan pada
pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan. Guru mulai dengan
sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru
mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi
konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam
keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu
kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu,
menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep
atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
(3) Guru harus memperhatikan tiga cara penyajian, yaitu cara enaktif
(melakukan aktifitas), cara ikonik (dengan gambar atau visualisasi), dan
cara simbolik. Dengan kata lain, perkembangan kognitif individu dapat
ditingkatkan dengan cara menata strategi pembelajaran sesuai dengan isi
bahan akan dipelajari dan karakteristik kognitif individu.
(4) Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis,
guru berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru jangan
mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari,
tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada
waktu yang tepat Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan
dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tergantung pada
pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor
itu.
(5) Pènilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-
prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk
menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini
bentuk tes dapat berupa tes objektif, tes essay, penilaian autentik dan
penilaian performance.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa guru berperan sebagai tutor,
fasilitator, motivator dan evaluator. Dengan kata lain, guru tidak harus
mengendalikan proses pembelajaran. Guru hendaknya mengarahkan pelajaran
pada penemuan dan pemecahan masalah. Penilaian hasil belajar meliputi tentang
konsep dasar dan penerapannya pada situasi yang baru.
Selain itu, dalam belajar penemuan, teman dan siswa memiliki perang yang
sangat penting. Sebagaimana diuraikan di atas, dalam teori Bruner, lebih
menekankan agar siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran, dan
memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, guru harus mengupayakan agar setiap siswa
berpartisipasi aktif, motivasi dan minatnya perlu ditingkatkan, kemudian perlu
dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses pembelajaran, siswa
dapat saling bertukar informasi terhadap apa yang dipelajari dan ditemukan
sendiri. Untuk mengoptimalkan proses pembelajaran penemuan ini, teori ini
dapat juga disajikan dalam bentuk diskusi kelas, demonstrasi, kegiatan
laboratorium, kertas kerja siswa, dan evaluasi-evaluasi.
Pada diskusi, guru harus merumuskan lebih dahulu yang akan dicapai, mengenai
konsep-konsep, prinsip-prinsip atau kemampuan apa saja yang dapat
dikembangkan siswa. Prinsip-prinsip itu diusahakan tersaji dalam bentuk
masalah. Siswa diharapkan dapat merumuskan, mengolah, kemudian
memecahkannya, sehingga dapat menemukan sendiri konsep- konsep atau
prinsip-prinsip sesuai dengan yang telah direncanakan guru.
C. David p. Ausubel
Bebarapa catatan penting terkait dengan pembelajaran, diantaranya adalah :
1) Kunci keberhasilan dalam belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar
yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa.
Oleh karena itu dalam proses pembelajaran guru harus mampun memberikan
sesuatu yang bermakna bagi siswa. Sesuatu yang bermakna itu bukan hanya
dapat diperoleh melalui belajar penemuan, tetapi dapat diperoleh melalui
banyak cara. Belajar dengan menghafal dan ceramah pun dapat menemukan
sesuatu yang bermakna, asal dilakukan secara sistematis, menjelaskan dan
menghubungkan antara konsep yang satu dengan konsep lainnya,
menguhubungkan konsep yang baru dengan konsep yang telah dimiliki oleh
siswa. Sebaliknya, belajar penemuan akan menjadi kurang bermakna, apa bila
dilakukan dengan coba-coba dan tidak sistematis.
Untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna ini, guru sangat dituntut
untuk mempu menggali dan mengeksplorasi segala potensi yang dimiliki oleh
siswa dengan berbagai macam strategi, model, metode dan pendekatan
pembelajaran. Sehingga siswa terbantu dalam memperoleh informasi, ide,
keterampilan, cara berfikir dan mengekspresikan dirinya guna
memendapatkan sesuatu yang bermakna dari proses pembelajaran.
2) Belajar bermakna akan berhasil apabila ada motivasi intrinsik dari dalam
diri siswa
Menurut Ausubel, belajar bermakna akan terjadi apabila siswa memiliki minat
dan kesiapan untuk belajar. Minat dan kesiapan erat kaitannya dengan
motivasi. Motivasi menurut M. Ngalim Purwanto merupakan dorongan yang
menggerakkan individu untuk bertingkahlaku.Motivasi yang terpenting
adalah motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datang dari dalam diri individu.
Dengan adanya motivasi intrinsik ini akan menumbuhkan minat dalam diri
individu, dan menggerakkan individu untuk mempersiapkan diri untuk
belajar, baik mempersiapkan diri secara fisik maupun psikis.
Motivasi intrinsik ini sesungguhnya dapat dibetuk melalui motivasi ekstrinsik,
yaitu motivasi yang datang dari luar diri individu. Seperti dorongan dari orang
tua, guru, teman dan sebagainya. Oleh karena itu, guru dan orang tua
memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan motivasi intrinsik
dalam diri siswa. Dorongan, perhatian dan kasih sayang orang tua dan guru
merupakan salah satu faktor yang akan menumbuhkan motivasi intrinsik
dalam diri sisiwa terkaitdengan belajar.
3. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para
peserta didik sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada
peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan
pembelajaran.Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai
kualitas fasilitator, yaitu:
1) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas.
2) Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan
perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3) Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk
melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan
pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4) Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang
paling luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu
mencapai tujuan mereka.
5) Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6) Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan
menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba
untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi
kelompok.
7) Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat
berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang
anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu,
seperti peserta didik yang lain.
8) Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta
didik.
9) Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10) Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Dakir, 1993: 65).
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
a) Merespon perasaan peserta didik
b) Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang
c) Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
d) Menghargai peserta didik
e) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan 6. Menyesuaikan isi kerangka
berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari
peserta didik)
f) Tersenyum pada peserta didik. (Syaodih, 2007: 152)
4. Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme
a) Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang
sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.
b) Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan ide-ide  atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali
ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
c) Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan  tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai interpretasi.
d) Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya  merupakan suatu usaha
yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
e. Teori-teori belajar dan implikasinya dalam pendidikan sekolah dasar memiliki peran
yang sangat penting dalam mendukung proses pembelajaran yang berlangsung. Dalam
berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah dasar, banyak teori pembelajaran
yang bisa diterapkan, seperti Teori Belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif,
Teori Belajar Humanistik, Teori Belajar Konstruktivisme, seluruh teori itu memiliki
bentuk implikasi yang berbeda pada masing-masing situasi dan kondisi tempat
dimana pembelajaran dilangsungkan, kelengkapan sarana dan pra sarana juga
menentukan teori apakah yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran sekolah
dasar. Keserasian antara teori dan implikasinya akan menghasilkan pendidikan
sekolah dasar yang mencapai tujuan dan berjalan dengan baik tanpa adanya halangan
atau hambatan yang mempersulit tersampainya ilmu pengetahuan dari tenaga
pendidik pada peserta didik.

B. Saran
Melalui penulisan makalah ini, saran yang dapat penulis berikan untuk perkembangan
ke depannya antara lain:

Di Indonesia, pengembangan teori dan implikasi teori belajar di sekolah dasar


memang sudah terstruktur dan terencana dengan sanat baik, namun nyatanya dalam
realisasinya di masyarakat, proses penerapan teori dan implikasi teori belajar di
seluruh jenjang termasuk sekolah dasar belum merata di setiap daerah. Hal ini
dikarenakan kondisi Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan berbagai macam
suku budaya yang memiliki beragam perbedaan, namun hal ini bukanlah alasan
mengapa proses penerapan teori dan implikasi teori belajar tidak merata. Para tenaga
pendidik khususnya harus pandai-pandai memanfaatkan fasilitas yang ada termasuk
perkembangan IPTEK yang pesat agar di seluruh Indonesia, semua peserta didik
mendapatkan kesempatan dan kualitas pembelajaran yang merata.
Daftar Pustaka

https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik

Abdur, Rohim. 2013. Teori-Teori Belajar dan Implikasinya.


http://rohimabdur.blogspot.com/2013/09/teori-teori-belajar-dan-implikasinya.html . Diakses
pada tanggal 30 Oktober 2020.

Mulyana, Aina. 2020. Teori Belajar Kognitif. http://ainamulyana.blogspot.com/2012/08/teori-


belajar-kognitif.html. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020.

Suprobo, Novina. 2008. Teori Belajar Humanistik.


https://novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/ . Diakses pada
tanggal 30 Oktober 2020.

Idayoce. 2016. Teori Belajar Konstruktivisme. http://idayoce.blogspot.com/2016/07/teori-


belajar-konstruktivisme.html. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020.

Harjun, dan Tri Novita Sari. (2017). “RingkasanMakalah ” Psikologi Pendidikan (TEORI
BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN). Diakses
pada 28 Oktober 2020, dari https://www.slideshare.net/harjunode/teori-belajar-humanistik-
dan-implikasinya-dalam-pembelajaran

Info Pendidikan. “Teori Belajar Konstruktivitik”. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari
https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik/teori-belajar-
kognitif/teori-belajar-konstruktivistik

Realita Kehidupan. (2017, 26 april). “Teori Belajar Behavioristik”. Diakses pada 28 Oktober
2020, dari http://durrotunnaima.blogspot.com/2017/04/teori-belajar-behavioristik.html

Sutarto. (2017). Teori Kognitif dan Implikasinya Dalam Pembelajaran. Vol 1, No 2. Diakses
pada 28 Oktober 2020, dari http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/JBK/article/view/331/pdf

Anda mungkin juga menyukai