Oleh:
1. Novarina Aisha Tresnantina ( 200151602867 )
2. Nurul Hidayah ( 200151603005 )
3. Oky Rahmatullah ( 200151602873 )
4. Pirda Amelia Nur Vita ( 200151602978 )
KELAS A5F
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRA SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar
yang dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Oleh
karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena membantu
pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam diri pebelajar, dengan kondisi
ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
memperlancar atau menghambat proses belajar.
Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang
dapat diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat
meningkatkan pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori
tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar
yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot,
padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan
pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon
jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan
proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima,
mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.
BAB II
KAJIAN TEORI
Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar
yang dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Dalam
belajar, pebelajar yang lebih penting sebab tanpa pebelajar tidak ada proses belajar. Oleh
karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena membantu
pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam diri pebelajar, dengan kondisi
ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
memperlancar atau menghambat proses belajar.
Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang dapat
diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat meningkatkan
pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokkan menjadi empat golongan atau
aliran yaitu:
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dengan kata lain,
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah
lakunya.
Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa stimulus
dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara
stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak
dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja
yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan
semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi,
penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
1. Thorndike
Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Dan
perubahan tingkah laku merupakan akibat dari kegiatan belajar yang berwujud konkrit yaitu
dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati. Teori ini juga disebut
sebagai aliran koneksionisme (connectinism).
2. Watson
Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan
dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai
faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental
dalam bentuk benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
3. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori ini mengatakan
bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh bagian manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat bermacam-macam bentuknya.
4. Edwin Guthrie
Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun ia
mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan
biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya
lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang
berhubungan dengan respon tersebut.
5. Skinner
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda
dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-
mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning.
Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan
praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Karena aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi
dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini
tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai
di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Teori ini memandang bahwa sebagai
sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur, sehingga siswa atau orang
yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian
keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu
jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajarnya.
B. Teori Belajar Kognitif
Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses belajar
dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan
dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan
suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek
kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks.
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem
syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel
syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa
daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi,
dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi).
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa
tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua,
yaitu preoperasional dan intuitif.
Anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada
kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-
kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara
simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini
adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas,
anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
6) Teori belajar menurut Bruner
Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan yang telah
dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya
pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur
kognitif yang telah dimiliki siswa.
Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan
dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau dengan kata
lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku
yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang
dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi
baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki seseorang.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran
humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk
meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman,
berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan
manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut
dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang
sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan
merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah
satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat
keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan
yang menitikberatkan kognisi.
Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi
sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai
campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah
satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia,
bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang
dimiliki binatang.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar
lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri
mereka.
Berikut adalah para tokoh dalam aliran psikologi humanistik. 3 tokoh aliran humanistik
akan disinggung, namun demikian tokoh humanistik yang menjadi fokus dalam paper ini
adalah Carl Rogers.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang
dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya.
Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran
(besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi
diri dan lingkungan besar adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari
persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
Carl Ransom Rogers (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8 Januari
1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah
pertanian diusianya yang ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar
pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union
Theology Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di
sebuah gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher College
yang bertetangga dengan seminarinya.
Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child Guindance dan mengunakan
psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud.
Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan John Dewey yang
memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkannya justru membuatnya
menemukang benang merah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak.
Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya
tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor, Rogers menjadi profesor psikologi di
Universitas Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan
akademik membuat Rogers mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini
dia lebih senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan
memakai istilah pasien. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1) Kognitif (kebermaknaan)
2) Experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog, Rogers pindah ke
California tahun 1964 dan bergabung dengan Western Behavioral Science Institute. Ia lalu
mengembangkan teorinya ke bidang pendidikan. Selain itu ia banyak
memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan ke eks Uni
Soviet. Rogers wafat pada tanggal 4 Februari 1987.
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun
keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers
pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person
centered), non-directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-
centered), teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person).
Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus
asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia
seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia
karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai
dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan
cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada
kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih
kecil.
Kecenderungan aktualisasi
Struktur Kepribadian
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian berubah dan berkembang, dan
ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya: Organisme, Medan fenomena,
dan self.
1. Organisme
a. Mahkluk Hidup
organisme adalah mahkluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya dan
merupakan tempat semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat,
yakni persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia eksternal
b. Realitas Subyektif
Oranisme menganggap dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah
persepsi yang sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.
c. Holisme
Organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan
berpengaruh pada bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yaitu
tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
2. Medan Fenomena
3. Diri
Konsep diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan pengalaman
membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan identitas dirinya begitu
bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau buruk, apa ia merasa nyaman atau tidak. Jika
struktur diri itu sudah terbentuk, maka aktualisasi diri mulai terbentuk. Aktualisasi diri adalah
kecenderungan untuk mengaktualisasikan sang diri sebagai mana yang dirasakan dalam
kesadaran. Sehingga kecenderungan aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman
organik individual, sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan ketidak-
sadaran, psikis dan kognitif.
Kesadaran
Tanpa adanya kesadaran, maka konsep diri dan diri ideal tidak akan ada. Ada 3 tingkat
kesadaran.
Pengalaman yang dirasakan dibawah ambang sadar akan ditolak atau disangkal.
Pengalaman yang dapat diaktualisasikan secara simbolis akan secara langsung diakui
oleh struktur diri.
Pengalaman yang dirasakan dalam bentuk distorsi. Jika pengalaman yang dirasakan
tidak sesuai dengan diri (self), maka dibentuk kembali dan didistorsikan sehingga
dapat diasimilasikan oleh konsep diri.
Kebutuhan
Pemeliharaan
Pemeliharaan tubuh organismik dan pemuasannya akan makanan, air, udara, dan
keamanan , sehingga tubuh cenderung ingin untuk statis dan menolak untuk berkembang.
Peningkatan diri
Meskipun tubuh menolak untuk berkembang, namun diri juga mempunyai kemampuan
untuk belajar dan berubah.
Begitu kesadaran muncul, kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang
lain.
Asal kata konstruktivisme adalah “to construct” yang artinya membangun atau
menyusun. Menurut Carin (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa teori konstruktivisme adalah
suatu teori belajar yang menenkankan bahwa para siswa sebagai pebelajar tidak menerima
begitu saja pengetahuan yang mereka dapatkan, tetapi mereka secara aktif membengun
pengetahuan secara individual. Menurut Von Glasersfeld (dalam Anggriamurti, 2009) bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur
konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya. Istilah konstruktivisme
sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark
Baldwinyang secara lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep Piaget ini
disebarluaskan di Amerika utara (Meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernst von
Glaserfeld. Namun, konsep terkait dengan kontruktivisme (walau saat ini belum
dipergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattista Vico pada
tahun 1710 yang menyatakan bahwa makna “mengetahui berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru
jika dia dapat menjelaskan unsure-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya dia
pernah mengalami sesuatu itu, mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur
kognitifnya, sebagai hasil proses berpikirnya (process of mind) tentang apa sesungguhnya
sesuatu itu.
Jadi sesuatu itu telah diketahui karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya.
Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa konstruktivisme sebagai salah satu
bentuk pragmatism, oleh sebab itu dapat dimaklumi jika tokoh pragmatism, John Dewey
yang terkenal dengan konsep belajar dengan melakukan (Learning by doing) dikategorikan
sebagai ahli pendukung Kontruktivisme.
1. Piaget
Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun
struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “Skema” atau konsep jejaring
untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya.
Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli linguistic,
psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami
adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap terhadap proses
pemahaman.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses
tersebut meliputi:
a. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan
terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan
rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
b. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan
konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
c. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak
cocok lagi.
d. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses
perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium
melalui asimilasi dan akomodasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya adalah siswa harus
memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat.
2. Vygotsky
Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi kontruktivisme. Vygotsky lebih
suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi social (Social
cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentuan
utama bagi pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas dunia
ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri dan setiap anak manusia berkembang
dalam konteks kebudayaannya sendiri. Oleh karenbanya perkembangan pembelajaran anak
dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaanya, termasuk budaya dari lingkungan
keluarganya, dimana dia berkembang.
Perbedaan Teori konstruktivisme menurut Piaget (Kontruktivistik Kognitif) dengan
Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky (Konstruktivistik Sosial)
Aspek Konstruktivistik Kognitif Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan Dibangun secara individual dan internal. Dibangun dalam konteks sosial sebelum
Sistem pengetahuan secara aktif menjadi bagian pribadi individu
dibangun oleh pebelajar berdasarkan
struktur yang sudah ada
Belajar Proses asimilasi dan akomodasi aktif Integrasi siswa ke dalam komunitas
pengetahuan-pengetahuan baru ke dalam pengetahuan. Kolaborasi informasi baru
struktur kognitif yang sudah ada untuk meningkatkan pemahaman
Strategi belajar Experience based & discovery oriented Sharing & Cooperative learning
Peran guru Minimal & lebih membiarkan siswa Penting dalam membantu (scaffolding)
menemukan sendiri ide sehingga posisi siswa mencapai kemandirian melalui
guru sebagai pengajar menjadi kabur interaksi sosial.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan adalah sebagai
berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain
itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi
sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Prinsip-prinsip kontruktivisme, secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang
diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar
c. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
d. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
e. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
f. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
g. Mencari dan menilai pendapat siswa
h. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa
yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat
penemuan.
Berdasarkan teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik maka ada beberapa
penerapan dalam bimbingan dan konseling yaitu:
1. Bimbingan kelompok
Menurut Romlah (2006) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang
diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk
mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Ada beberapa
teknik yang biasa digunakan dalam pelaksanaan bimbingan kelompok antara lain: pemberian
informasi (ekspositori), diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem solving), penciptaan
suasana kekeluargaan (home room), permainan peranan (role playing), karyawisata, dan
permainan simulasi.
1. Konseling kelompok
Menurut Romlah (2006) konseling kelompok adalah usaha bantuan yang diberikan
kepada individu dalam situasi kelompok dalam rangka memberikan kemudahan atau
kelancaran dalam perkembangan individu yang bersifat perbaikan dan pencegahan.
2. Konseling Teman Sebaya (Peer Konseling)
Konseling teman sebaya sebagai suatu ragam tingkah laku membantu secara
interpersonal yang dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha membantu
orang lain. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-
keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian
dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja. Konseling sebaya
memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para
remaja yaitu respect.
3. Konseling Postmodern
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Teori-teori Belajar
1. Definisi Belajar
2. Definisi Pembelajaran
2. Classical Conditioning
lvan Pavlov
Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu
perilaku atau respon terhadap sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam
tertentu, kebiasaan belajar dan lain-lain dapat terbentuk karena pengkondisian.
5. Operant Conditioning
B.F. Skinner
Teori ini dilandasi oleh adanya penguatan. Bedanya dengan teori pengondisian
klasik pavlov, kalau pada teori Pavlov yang diberi kondisi adalah stimulus (S)nya,
maka pada teori operant conditioning yang diberi kondisi adalah respon (R)nya.
Misalnya, karena seorang anak belajar dengan giat maka dia akan diberi hadiah
sehingga dia akan belajar lebih giat lagi.
A. Piaget
Menurut Piaget (Uno, 2006: 10-11), salah seorang penganut aliran kognitif
yang kuat, proses belajar sebenarnya terjadi dari tiga tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbang).
B. Bruner
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan melalui
contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
C. David P.Ausubel
Siswa berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya, maka baik proses maupun
hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna
sama sekali baginya. Karenanya Ausubel menyatakan “Jelaslah bahwa
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan bermakna
tidaknya suatu proses pembelajaran. Belajar hafalan (rote learning) akan terjadi
jika para siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang lama.”
1. Guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang
mudah dalam proses berpikirnya.
2. Guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks
3. Guru menciptakan pembelajaran yang bermakna
4. Guru memerhatikan perbedaan individual siswa untuk mencaoai
keberhasilan siswa
Oleh sebab itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba
memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin mengubah
perilakunya, guru harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang
ada.
Maslow
Teori Maslow didasärkan pada asumsí bahwa diri dalam di individu ada dua
hal, yaitu:
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh, baik dilakukan sendiri
maupun melalui stimulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks.
Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi
siswa. Misalnya, guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah,
guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.murid dipandang pasif, perlu
motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid
hanya mendengar dengan tertib penjelasan guru dan menghafal apa yang di dengar dan
dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari
oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk
menertibkan siswa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
e. Teori-teori belajar dan implikasinya dalam pendidikan sekolah dasar memiliki peran
yang sangat penting dalam mendukung proses pembelajaran yang berlangsung. Dalam
berlangsungnya proses pembelajaran di sekolah dasar, banyak teori pembelajaran
yang bisa diterapkan, seperti Teori Belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif,
Teori Belajar Humanistik, Teori Belajar Konstruktivisme, seluruh teori itu memiliki
bentuk implikasi yang berbeda pada masing-masing situasi dan kondisi tempat
dimana pembelajaran dilangsungkan, kelengkapan sarana dan pra sarana juga
menentukan teori apakah yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran sekolah
dasar. Keserasian antara teori dan implikasinya akan menghasilkan pendidikan
sekolah dasar yang mencapai tujuan dan berjalan dengan baik tanpa adanya halangan
atau hambatan yang mempersulit tersampainya ilmu pengetahuan dari tenaga
pendidik pada peserta didik.
B. Saran
Melalui penulisan makalah ini, saran yang dapat penulis berikan untuk perkembangan
ke depannya antara lain:
https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik
Harjun, dan Tri Novita Sari. (2017). “RingkasanMakalah ” Psikologi Pendidikan (TEORI
BELAJAR HUMANISTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN). Diakses
pada 28 Oktober 2020, dari https://www.slideshare.net/harjunode/teori-belajar-humanistik-
dan-implikasinya-dalam-pembelajaran
Info Pendidikan. “Teori Belajar Konstruktivitik”. Diakses pada 28 Oktober 2020, dari
https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik/teori-belajar-
kognitif/teori-belajar-konstruktivistik
Realita Kehidupan. (2017, 26 april). “Teori Belajar Behavioristik”. Diakses pada 28 Oktober
2020, dari http://durrotunnaima.blogspot.com/2017/04/teori-belajar-behavioristik.html
Sutarto. (2017). Teori Kognitif dan Implikasinya Dalam Pembelajaran. Vol 1, No 2. Diakses
pada 28 Oktober 2020, dari http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/JBK/article/view/331/pdf