Anda di halaman 1dari 25

LONG CASE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROEMERGENSI

EPILEPSI POST STROKE

Disusun Oleh:
Stevanie Budianto / 01073190108

Pembimbing:
dr. Evlyne Erlyana Suryawijaya, M.Biomed, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROEMERGENSI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 18 JANUARI – 13 FEBUARI 2021
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 66 tahun
Status Perkawinan: Menikah
Agama : Islam
No. RM : RSUS 00-66-46-XX
Tgl masuk RS : 25 Januari 2021 (pk. 22.45 WIB)
Tgl pemeriksaan : 26 Januari 2021 (pk. 11.00 WIB)

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloananmesis dengan suami pasien
pada hari Selasa, 26 Januari 2021 pada pukul 11.00 WIB di bangsal lt 5 RSUS.

Keluhan utama
Kelojotan 3 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan kelojotan 3 jam SMRS. Dikatakan kelojotan terjadi
sebanyak 4 kali SMRS. Kelojotan pertama terjadi pada pukul 20.00/21.00 WIB.
Sebelumnya pasien mengaku sempat mual dan muntah (tidak menyembur), berisikan
makanan, tidak lebih banyak dari 1 gelas aqua. Pasien menyangkal adanya nyeri kepala,
pusing, mata berkunang-kunang/melihat cahaya terang dan mendengar suara/telinga
berdenging sebelum terjadi kelojotan. Suami pasien mengaku bahwa kelojotan yang
dialami istrinya terjadi selama ± 1 menit, diawali dengan seluruh tubuh kaku/tegang
selama beberapa detik, lalu menjadi kelojotan serta kedua mata pasien mendelik keatas.
Terkadang pasien juga mengompol saat kejang. Pasien mengaku tidak ingat jika pernah
mengalami kelojotan, suami pasien pun juga mengaku bahwa pasien tidak sadar ketika
dipanggil. Setelah kejang, pasien tersadar namun tampak bingung dan lemas. Pasien dapat
mendengar dan menjawab ketika dipanggil namun dengan suara yang pelan. Dikatakan
jarak antar kejang ± 15-30 menit. Pasien pernah memiliki riwayat stroke pada tahun 2015.
1
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, dikatakan terjadi 1 kali per tahun
sejak pasien mengalami stroke. Kejang terakhir dialami pasien terjadi pada bulan
Desember 2020. Hingga saat ini pasien juga memiliki penyakit hipertensi, kolesterol dan
diabetes, dimana kedua penyakit tersebut telah ada sebelum pasien mengalami stroke.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat stroke tahun 2015
 Riwayat kejang berulang, 1 kali per tahun (2015-2020)
 Riwayat hipertensi (+)  on Amlodipin 1 x 5 mg
 Riwayat kolesterol (+)  on Simvastatin 1 x 20 mg
 Riwayat diabetes (+)  on Metformin 1 x 500 mg

Riwayat Obat-obatan lainnya


 Eferox 2 x 500 mg
 Topamax 2 x 100 mg
 Fenitoin 3 x 100 mg
 Lansoprazole 2 x 40 mg
 Rebamipide 3 x 1
 Concor 1 x 2.5 mg
 Kalipar 2 x 1
 NaCl caps 3 x 3 gr

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat kejang dalam keluarga disangkal.
 Riwayat penyakit tumor/keganasan dalam keluarga disangkal

Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok, alkohol dan obat-obatan terlarang disangkal.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Kesan umum
- Keadaan umum

2
o Kesan : tampak sakit sedang
o Kesadaran : compos mentis - GCS 15 (E4M6V5)
o Tinggi badan : 160 cm
o Berat badan : 50 kg
o IMT : 19.5 kg/m2 (normoweight)
- Keadaan sirkulasi & pernafasan
o Tekanan darah: 140/60 mmHg
o Nadi : 73 kali/menit, reguler, isi cukup
o Suhu : 37.1 C
o Frekuensi : 18 kali/menit, reguler

Status Generalis
Kepala, Wajah, Leher Kepala: Normosefali, deformitas (-)
Wajah: Normofascies
Mulut: kering, lidah bersih
KGB: tidak teraba
Mata Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
THT Simetris, normotia, otorrhea (-), deviasi septum (-), rhinorrhea
(-/-), edema (-), luka (-)
Paru-paru - Inspeksi: Pergerakan dada simetris, bentuk dada normal,
tidak ada jejas, tidak ada retraksi interkosta
- Palpasi: Taktil fremitus seimbang pada kanan dan kiri
- Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi: Vesikuler +/+, Ronchi -/-, Wheezing -/-
Jantung - Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi: Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi: Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi: Bunyi jantung S1, S2 normal, gallop (-),
murmur (-)
Abdomen - Inspeksi: Datar, bekas luka (-), massa (-)
- Auskultasi: Bising usus (+), frekuensi normal.
- Perkusi: Timpani pada seluruh lapang abdomen , shifting
dullness (-)
- Palpasi: Nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegaly (-),

3
splenomegaly (-)
Ekstremitas - Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-

Status Neurologis
GCS : E4M6V5 (compos mentis)
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk :-
Lasueque : >70 />70
o o

Kernique : >135 />135o o

Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-

Saraf Kranialis
CN Pemeriksaan Kanan Kiri
CN I Gangguan menghidu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
CN II Visus 6/6 6/6
Lapang pandang Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
CN III, Sikap bola mata Ortoforia Ortoforia
IV, VI Celah palpebra Ptosis (-) Ptosis (-)
Pupil
 Ukuran & bentuk Isokor, 3 mm Isokor, 3 mm
 RCL + +

 RCTL + +

 Refleks konvergensi + +

Nistagmus - -

Pergerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah


CN V Motorik
 Inspeksi Simetris Simetris
 Palpasi Normotonus Normotonus

 Membuka mulut Normal Normal

 Gerakan rahang Normal Normal

Sensorik
Normal Normal
 Sensibilitas V1

4
 Sensibilitas V2 Normal Normal
 Sensibilitas V3 Normal Normal

 Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan


CN VII Sikap mulut istirahat Sedikit jatuh ke sisi kiri Sedikit jatuh ke sisi kiri
Angkat alis, kerut dahi, tutup mata Simetris Simetris
kuat Simetris Simetris
Kembung pipi Sudut mulut kiri tertinggal Sudut mulut kiri tertinggal
Menyeringai Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rasa kecap 2/3 anterior lidah
CN VIII Nervus cochlearis
 Suara bisikan/gesekan jari + +
 Rinne + +

 Webber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nervus vestibularis
- -
 Nistagmus
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Romberg
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Berjalan Tandem
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Fukuda stepping test
Normal Normal
 Past pointing test
CN IX, Arkus faring Simetris
X Uvula Intak ditengah
Disfonia -
Disfagia -
Reflex faring Tidak dilakukan
CN XI Sternocleidomastoid Normal Normal
Trapezius Normal Normal

CN XII Sikap lidah dalam mulut


 Deviasi Deviasi ke kanan
 Atrofi -

 Fasikulasi -

 Tremor -
Deviasi ke kiri
 Menjulurkan lidah

5
 Kekuatan lidah Normal

Pemeriksaan Motorik
Kanan Kiri
Inspeksi
Ekstremitas atas
 Atrofi - -
 Fasikulasi - -
Ekstremitas bawah
 Atrofi - -

 Fasikulasi - -
Tonus
Ekstremitas atas Normotonus Normotonus
Ekstremitas bawah Normotonus Normotonus
Kekuatan Otot
Ekstremitas atas 5555 3333
Ekstremitas bawah 5555 3333

Refleks
Kanan Kiri
Fisiologis
Bicep 2+ 3+
Tricep 2+ 3+
Patella 2+ 3+
Achilles 2+ 3+
Patologis
Babinski Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
Chaddok - -

6
Gordon - -
Oppenheim - -

Pemeriksaan Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif
Raba Normal Normal
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif
Posisi sendi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan Koordinasi
 Tes tunjuk hidung : Normal
 Tes tumit lutut : Normal
 Disdiadokinesia : Normal

Fungsi Otonom
 Miksi : Normal
 Defekasi : Normal
 Keringat : Normal

Fungsi Luhur
 MMSE : Tidak dilakukan

1.4 Resume
Pasien wanita, 66 tahun, datang dengan kelojotan 3 jam SMRS. Dikatakan kelojotan
terjadi sebanyak 4 kali SMRS. Pasien sempat mual dan muntah sebelum kejang, tidak
menyembur, berisikan makanan, dan tidak lebih banyak dari 1 gelas aqua. Kejang terjadi
selama ± 1 menit, diawali dengan seluruh tubuh kaku/tegang selama beberapa detik, lalu
menjadi kelojotan serta kedua mata pasien mendelik keatas. Terkadang pasien juga
mengompol saat kejang. Pasien tidak sadar selama kejang berlangsung. Setelah kejang
selesai pasien tersadar namun tampak bingung dan lemas. Jarak antar kejang selama ± 15-
30 menit. Pasien juga mengeluhkan sisi tubuh bagian kiri lemas dan tidak sekuat sisi

7
tubuh kanannya. Terdapat riwayat stroke pada tahun 2015. Terdapat pula riwayat kejang
berulang yang terjadi 1 kali tiap tahunnya dari tahun 2015-2020. Kejang terakhir dialami
pasien terjadi pada bulan Desember 2020. Hingga saat ini pasien memiliki penyakit
hipertensi, kolesterol dan diabetes.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran
compos mentis (E4M6V5). Tanda-tanda vital pasien 140/60 mmHg, nadi 73 kali/menit,
frekuensi pernapasan 18 kali/menit, suhu 37.1ͦ C dan saturasi oksigen 96% room air. Pada
pemeriksaan status neurologis terdapat parese nervus VII sentral, parese nervus XII
sentral, dengan kekuatan motorik atas dan bawah 5555/3333. Refleks fisiologis
ekstremitas atas dan bawah bagian kiri meningkat 3+.

1.5 Diagnosis
 Klinis : Generalized tonic-clonic seizure, Vomitus, Hemiparesis sinistra,
Parese Nervus VII sentral, Parese Nervus XII sentralm, hipertensi, diabetes
 Topis : hemisphere dextra
 Etiologi : Vaskular
 Patologis : Inflamasi kronis, gliosis
 Kerja : Epilepsi post stroke dengan generalized tonic-clonic seizure, Old
CVDNH, T2DM, HT

1.6 Prognosis
 Ad vitam : Dubia ad bonam
 Ad functionam : Dubia
 Ad sanationam : Dubia ad bonam

1.7 Saran Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium: Darah lengkap/FBC, ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, profil lipid,
GDs/GDP/GD2PP, asam urat, albumin, elektrolit, kadar OAE dalam darah
 Lumbal pungsi: evaluasi CSF
 Elektroensefalografi (EEG)
 CT Scan/MRI brain
 CT Lung Low Dose (Screening COVID-19)

8
1.8 Saran Terapi
Medikamentosa
 Fenitoin po 100 mg 3x1
 Diazepam IV 100 mg prn
 Amlodipin po 5 mg 1x1
 Metformin po 500 mg 1x1
 Nacl caps po 3 gr 3x1
 Lansoprazole po 30 mg 2x1
 Concor po 500 mg 1x1

Non-medikamentosa
 Menjelaskan tentang manifestasi hingga tatalaksana kejang di rumah kepada
pasien dan keluarga
 Edukasi keluarga pasien untuk menjaga pasien dari benda-benda tajam atau berat
yang dapat melukai/membahayakan pasien selama kejang, tidak menahan tubuh
pasien atau menaruh sendok kedalam mulut pasien. Dianjurkan untuk
memiringkan tubuh pasien setelah kejang.
 Disarankan untuk keluarga pasien mengambil video dan mencatat waktu mulai
hingga akhir kejang.
 Edukasi minum obat kejang secara teratur dan tidak menghentikan atau mengganti
obat maupun dosis tanpa instruksi dokter
 Kontrol ke dokter secara teratur
 Menjaga pola hidup sehat dan hindari faktor risiko

1.9 Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan


EKG

9
 Rate : 92 x/ menit
 Rhythm : sinus
 Axis : normal axis
 Hypertrophy: - 
 Intervals : normal 
 Block : - 
 Ischemic : T inversi pada lead V1-V4 suggestif Anteroseptal Ischemia

Laboratorium
  Hasil Unit Nilai Normal

Hemoglobin (Hb) 12.80 gr/dL 13.20-17.30 

Hematocrit (Ht) 34.80 % 40.00-52.00

RBC 3.87 106/µL 4.40-5.90

WBC 6.75 103/µL 3.80-10.60

Differential Count

Basophil 0 % 0-1

10
Eosinophil 0 % 1-3

Band Neutrophil 2 % 2-6

Segmented Neutrophil 87 % 50-70

Lymphocyte 7 % 20-40

Monocyte 4 % 2-8

Platelet 223 103/µL 150.00-440.00

ESR PENDING mm/jam 0-15

MCV 89.90 fL 80.00-100.00

MCH 33.10 pg 26.00-34.00

MCHC 36.80 gr/dL 32.00-36.00

Pemeriksaan Biokimia Darah


  Hasil Unit Nilai Normal

Creatinine 0.84 mg/dL 0.5-1.3

Ureum 24 mg/dL <50

eGFR 73 mg/mnt/1.73m2

Gula Darah Sewaktu 118 mg/dL <200.0

Electrolyte Panel

Sodium (Na) 129 mmol/L 137-145

Potassium (K) 3.8 mmol/L 3.6-5.0

Chloride (Cl) 93 mmol/L 98-107

Serologi SARS-COV-2 : Non-Reactive

11
CT Scan Head : Tidak dilakukan

1.10 Follow up
27 Januari 2021
S Kejang (-), mual/muntah (-), nyeri kepala/pusing (-), tangan dan kaki kiri masih
terasa lemas. BAK/BAB: dbn
O GCS: E4M6V5
TTV:
 TD 130/90 mmHg
 HR 72x/menit
 RR 20x/menit
 Suhu 37.1
Status generalis  dbn
Status neurologis:
 Kekuatan motorik atas: 5555/3333
 Kekuatan motorik bawah: 5555/3333
 Reflex fisiologis: 2+/3+
 Reflex patologis: -/-
A Epilepsi post stroke dengan generalized tonic-clonic seizure, Old CVDNH,
T2DM, HT
P  Topamax po 100 mg 2x1
 Fenitoin po 100 mg 3x1
 Diazepam IV 100 mg prn
 Amlodipin po 5 mg 1x1
 Metformin po 500 mg 1x1
 Nacl caps po 3 gr 3x1
 Lansoprazole po 30 mg 2x1
 Concor po 500 mg 1x1

28 Januari 2021
S Kejang (-), mual/muntah (-), nyeri kepala/pusing (-), tangan dan kaki kiri masih
terasa lemas. BAK/BAB: dbn
O GCS: E4M6V5
TTV:

12
 TD 120/90 mmHg
 HR 74x/menit
 RR 18x/menit
 Suhu 36.8
Status generalis  dbn
Status neurologis:
 Kekuatan motorik atas: 5555/3333
 Kekuatan motorik bawah: 5555/3333
 Reflex fisiologis: 2+/3+
 Reflex patologis: -/-
A Epilepsi post stroke dengan focal to generalized tonic-clonic seizure, Old
CVDNH, T2DM, HT
P  Topamax po 100 mg 2x1
 Fenitoin po 100 mg 3x1
 Diazepam IV 100 mg prn
 Amlodipin po 5 mg 1x1
 Metformin po 500 mg 1x1
 Nacl caps po 3 gr 3x1
 Lansoprazole po 30 mg 2x1
 Concor po 500 mg 1x1
-

13
BAB II
ANALISA KASUS

Dasar penegakkan diagnosis pada pasien ini didasari oleh anamnesis, pemeriksaan
fisik umum dan neurologis serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan kepada pasien.
Dari anamnesis pasien, ditemukan bahwa pasien wanita, 66 tahun, datang karena
kelojotan 3 jam SMRS. Dikatakan kelojotan terjadi sebanyak 4 kali dengan durasi per
kejangnya ± 1 menit dengan jarak antara kejang selama ± 15-30 menit. Sebelum terjadinya
kejang pasien sempat mual dan muntah (tidak menyembur). Bentuk kejang diawali dengan
seluruh tubuh kaku/tegang selama beberapa detik, lalu menjadi kelojotan serta kedua mata
pasien mendelik keatas. Terkadang pasien juga mengompol saat kejang. Pasien tidak sadar
selama kejang berlangsung. Setelah kejang selesai pasien tersadar namun tampak bingung
dan lemas. Pasien memiliki riwayat penyakit stroke pada tahun 2015 dan riwayat kejang
berulang sebanyak 1 kali per tahunnya dari 2015-2020. Riwayat kejang terakhir terjadi pada
bulan Desember 2020.
Sebuah kejang dapat dikatakan sebagai epilepsi berdasarkan kondisi tertentu,
diantaranya:
a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya
kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua
bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10 tahun
kedepan (bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh
daktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif dan
somatomotorik).
c. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi.
Pada kasus ini, terdapat riwayat bahwa pasien pernah mengalami serangan stroke
sebelumnya dan pernah mengalami kejang dengan bentuk yang sama dari tahun ke tahun.
Maka itu, keadaan yang diderita pasien dikatakan sebagai epilepsi karenakan pasien sudah
mengalami 4 kali bangkitan tanpa adanya provokasi.
Penyebab atau etiologi terjadinya epilepsi dapat dibagi menjadi:
 Epilepsi idiopatik

14
Kejadian epilepsi idiopatik merupakan yang paling sering terjadi, yaitu sekitar
40% diseluruh dunia. Penyebab abnormalitas neuroanatomi dan neuropatologinya
tidak diketahui. Epilepsi ini dapat terjadi pada penderita dari semua kalangan usia
dengan hasil MRI otak yang normal dan tanpa adanya riwayat kelainan medis
bermakna sebelumnya. Diperkirakan adanya predisposisi genetik, dimana
beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki distribusi autosomal dominan yang
mengakibatkan adanya gangguan pada kanal ion.
 Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik disebabkan karena adanya abnormalitas pada struktur
otak yang mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari.
Kelainan tersebut diantaranya adalah kelainan perkembangan ataupun kongenital
akibat genetik maupun didapat (acquired) dan kondisi-kondisi yang didapat
setelah dewasa. Beberapa contoh diantaranya adalah trauma kepala (perdarahan
subaraknoid, subdural atau intraventrikular), infeksi sistem saraf pusat
(meningitis, ensefalitis), lesi desak ruang (tumor), gangguan peredaran daerah
otak (stroke, malformasi pembuluh darah), toksik (sindrom keracunan obat,
alkohol), metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremi, uremia, keadaan
hiperosmolar, hepatik ensefalopati, hipertensi ensefalopati, hipertermia,
eklampsia, sindrom putus obat) dan kelainan neurodegeneratif.
 Epilepsi kriptogenik
Pada etiologi ini diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih belum
dapat diidentifikasi. Beberapa contoh pada tipe ini diantaranya sindrom west,
sindrom Lennox-Gaustat dan epilepsi mioklonik.
Pada pasien ini, penyebab terjadinya kejang mengarah pada etiologi simptomatik.
Diperkirakan riwayat stroke/gangguan peredaran darah otak yang dimiliki pasien mendasari
hal ini. Selain itu, pada pemeriksaan fisik pasien terdapat defisit neurologis berupa parese CN
VII sentral, parese CN XII sentral, kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah pasien
5555/3333 dan refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah bagian kiri meningkat menjadi
3+. Adanya defisit neurologis fokal maupun global menegakkan diagnosis epilepsi
simptomatik. Penyebab lainnya dapat disingkirkan karena tidak adanya keterangan pada
anamnesis (pasien tidak pernah trauma kepala, tidak ada demam atau sumber infeksi lainnya,
tidak pernah mengalami tumor, tidak minum alkohol). Kejang yang disebabkan karena
gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hiponatremia, uremia dan gangguan hepar, juga

15
dapat disingkirkan. Hal ini merancu pada hasil pemeriksaan laboratorium yang normal pada
gula darah sewaktu serta fungsi hepar dan ginjal. Kemungkinan penyebab infeksi juga dapat
disingkirkan karena tidak ada peningkatan WBC. Pada pasien ini terlihat adanya
hiponatremia (129 mmol/L) namun tidak bermakna karena umumnya manifestasi kejang
yang disebabkan oleh hiponatremi akan muncul jika Na dalam tubuh sudah <120 mmol/L.
Patofisiologi terjadinya epilepsi post stroke diperkirakan memiliki hubungan dengan
hemiparese sisi tubuh kiri pasien. Hal ini disebabkan oleh kerusakan neuron-neuron di
korteks motorik hemisfer dextra, dimana kerusakan tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan antara neuron eksitatori (glutamatergic) dan neuron inhibisi (GABAergic)
yang merupakan dasar patogenesis terjadinya fokus epileptik. Kemudian, neuron-neuron
korteks yang tersisa di area yang rusak akan menjadi sangat peka (hipereksitabilitas) dan
inilah yang akan berkembang menjadi fokus epileptogenik.
Anamnesis memegang peranan penting dalam mengidentifikasi bangkitan epileptik.
Anamnesis dimulai dengan menggali semiologi iktal, antara lain adalah aura, lateralisasi,
kesadaran dan perkembangan bangkitan menjadi umum.
 Aura
Aura adalah gejala yang dirasakan pasien saat masih sadar, terjadi dalam
hitungan detik sebelum pasien kehilangan kesadarannya. Aura dapat menunjukkan
fokus bangkitan.
o Aura sensorik: fokus pada korteks sensorik sesuai homenkulus di lobus
parietal.
o Aura auditorik: lobus temporal lateral.
o Aura visual: lobus temporal/oksipital.
 Lateralisasi (dapat menunjukkan hemisfer yang terlibat)
o Lirikan mata: lirikan mata saat pasien mulai kehilangan kesadaran
menunjukkan keterlibatan hemisfer kontralateral dari arah mata.
o Arah kepala: arah kepala tertarik saat pasien masih sadar menunjukkan
keterlibatan hemisfer ipsilateral.
 Kesadaran (pasca-iktal)
o Kesadaran langsung kembali intak: dapat terjadi pada epilepsi idiopatik
dan lobus frontal.
o Kebingungan: terjadi pada epilepsi lobus temporal.

16
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) 2017, kejang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

Terdapat kejang fokal (sebutan lain: lokal/parsial), kejang umum dan kejang yang
tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum.
1. Kejang fokal
Bentuk kejang yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di otak. Fokus
epileptik berasal dari area fokal di korteks. Penderita kejang fokal dapat
mengalami bangkitan dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, dengan bentuk
kejang yang dibedakan menjadi gejala motorik atau non-motorik. Durasi
umumnya dapat terjadi hingga 5 menit. Kejang fokal diklasifikasikan lebih lanjut
menjadi:
o Kejang fokal sederhana
Kesadaran pasien tidak terganggu. Umumnya manifestasi berupa
gangguan sensorik, motorik, otonomik, dan/atau psikis. Manifestasi
sensorik dapat berupa kesemutan atau baal, psikis/emosi seperti rasa takut
atau marah, otonomik ditandai dengan kulit pucat, merinding dan rasa
mual. Pada umumnya dapat berlangsung selama beberapa detik hingga
menit.
o Kejang fokal kompleks

17
Kesadaran pasien terganggu sehingga pasien tidak ingat peristiwa
kejang. Pada umumnya diawali dengan henti gerak keseluruhan tubuh
sementara (behavioral arrest), dilanjutkan dengan automatisme
(mengunyah, meracau, dll), tatapan kosong, dan kebingungan postiktal.
Biasa terjadi selama 60-90 menit dan diikuti kebingungan postiktal yang
singkat.
o Secondary generalized seizure
Terjadi ketika aura berubah menjadi kejang fokal kompleks kemudian
berubah lagi menjadi kejang tonik-klonik umum, atau aura berubah
langsung menjadi kejang umum tanpa melalui manifestasi kejang fokal
kompleks.
2. Kejang umum (generalized onset)
Dimulai ketika cetusan epileptik terjadi secara bersamaan di kedua hemisfer
serebri. Durasi umumnya 1-2 menit. Kejang umum diklasifikasikan lebih lanjut
menjadi:
o Tonik
Ditandai oleh kontraksi (stiffed/flexed/tegang) seluruh otot (kepala,
batang tubuh dan ekstremitas) yang berlangsung terus menerus selama ± 2-
10 detik hingga beberapa menit, disertai hilangnya kesadaran. Dapat
disertai dengan gejala otonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal
menunjukkan irama cepat dan gelombang paku atau kompleks paku-
ombak frekuensi lambat yang bersifat umum.
o Klonik
Ditandai dengan gerakan kontraksi klonik yang ritmik (kelojotan)
diseluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan. EEG
menunjukkan aktivitas epileptiform umu berupa gelombang paku, paku
multipel, atau kombinasi gelombang irama cepat dan lambat.
o Tonik-klonik
Adanya hilang kesadaran dari awal hingga akhir bangkitan, mata
melotot dan tertarik keatas, seluruh tubuh ekstensi tonik selama beberapa
detik (dapat disertai dengan suara teriakan) diikuti gerakan ritmik klonik
berulang simetris diseluruh tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut berbusa,
serta diikuti dengan mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi

18
hipotonus dan terasa lemah serta pasien tertidur. Terdapat kebingungan
postiktal yang panjang. EEG interiktal didapatkan aktivitas epileptiform
umum berupa kompleks gelombang paku-ombak (spike wave) terutama
pada saat tidur stadium non-REM.
o Mioklonik
Gerakan kontraksi involunter mendadak dan berlangsung sangat
singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran. Biasanya berlangsung
dalam <1 detik. Gambaran EEG menunjukkan gambaran poly-spikes yang
bersifat umum dan singkat.
o Atonik
Ditandai dengan hilangnya tonus otot secara mendadak. Kejang atonik
dapat didahului dengan mioklonik atau tonik. Bentuk bangkitannya dapat
berupa jatuh atau kepala menunduk. Postiktal relatif cepat, biasa sekitar 1-
2 detik. EEG menunjukkan spikes/poly-spikes yang bersifat umum
frekuensi 2-3 Hz dengan gelombang lambat.
o Absans
Episode-episode gangguan kesadaran singkat dengan onset mendadak
dan berhenti mendadak. Bentuk bangkitan dapat berupa hilang kesadaran
atau atau “pandangan kosong”. Dapat juga disertai dengan komponen
motorik yang minimal (mioklonik, atonik, tonik, automatisme).
Automatisme fasial adalah yang tersering terjadi dengan manifestasi
berkedip berulang.
Sesuai dengan anamnesis, pasien ini memiliki tipe kejang generalized tonic-clonic
seizure.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis diantaranya:
1. Elektroensefalografi (EEG): membantu mendukung diagnosis klinis dan
menetapkan jenis/klasifikasi kejang.
2. CT Scan/MRI brain: CT scan brain lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI
kepala diutamakan untuk kasus elektif. Ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan.

19
3. Laboratorium (darah lengkap, ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, profil lipid,
GDP/GD2PP, asam urat, albumin, elektrolit, lumbal pungsi (evaluasi CSF), kadar
OAE dalam darah)
Pemeriksaan ini dilakukan pada:
 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
 Dua bulan setelah pemberin OAE untuk mendeteksi efek samping OAE.
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
 Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitor kepatuhan pasien
4. EKG (tidak rutin)

Tatalaksana
 Pertolongan pertama
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus
dilakukan bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama,
dipastikan pasien aman dari sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda
yang dapat melukai pasien. Kemudian penolong jangan menahan gerakan kejang
pasien dan jangan memasukan benda apapun ke mulut pasien karena akan menambah
cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi pasien supaya mencegah
obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan memberikan makanan atau minuman
sampai kesadaran pasien pulih.
 Prinsip Pemberian OAE
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan dan efek sampingnya
o Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan
ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.

20
Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi bangkitan yang
tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya faktor presipitasi seperti
penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan dosis
mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi
OAE ke dosis yang lebih besar, atau sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki mekansisme kerja
yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka
OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama,
maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus
digantikan dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat
respsons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua
OAE pertama sudah maksimal.

Dosis OAE untuk dewasa:

21
Efek samping OAE

Penghentian OAE
Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25% setelah penghentian OAE
selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian selama 2 tahun. Namun, angka kejadian
kekambuhan setiap tahunnya hanya sekitar 8% pada penghentian OAE selama 2 tahun.
Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang. Syarat lain
penghentian OAE adalah disetujui oleh penyandang dan keluarga, dilakukan secara bertahap
dalam jangka waktu 3-6 bulan, serta bila terapi dengan lebih dari satu OAE maka
penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

22
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:
- Semakin tua usia
- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Pengunaan lebih dari satu OAE
- Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan
dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

Edukasi
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus dilakukan
bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman
dari sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien.
Kemudian penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda
apapun ke mulut pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk
memiringkan posisi pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan
memberikan makanan atau minuman sampai kesadaran pasien pulih.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Xiang, X., Fang, J. and Guo, Y., 2019. Differential diagnosis between epileptic
seizures and psychogenic nonepileptic seizures based on semiology. Acta
Epileptologica, 1(1).
2. Kristanto, A., 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Directory of Open Access Journals, 8(1), pp.69-73.
3. Ikra, V., Neilan, R., Lisiswanti, R. and Faisal, I., 2017. Epilepsi Post Stroke. J
Medula Unila, 6(1), pp.172-176.
4. 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 5th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR, pp.19-34.

24

Anda mungkin juga menyukai