Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI KASUS ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,

BEDAH KEPALA DAN LEHER

TRAKEOSTOMI ATAS INDIKASI INTUBASI LAMA

Disusun Oleh:
Helen Widjaja (01073190146)
Stevanie Budianto (01073190108)

Pembimbing:
dr. Reno Hardoyo Kelan, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 25 MEI – 6 JUNI 2020
TANGERANG
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 46 Tahun
Tanggal Lahir : 6 Febuari 1974
Lokasi Rumah Sakit : Rumah Sakit Umum Siloam
Tanggal Pemeriksaan : 30 Mei 2020
No. Rekam Medis : 55 – 51 – xx – 31

1.2. Anamnesis
Data pasien diperoleh berdasarkan data yang tersedia dikarenakan pasien tidak
dalam kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan anamnesis.

Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak sejak 1 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 bulan SMRS. Keluhan disertai
dengan batuk dan demam. Pasien dirujuk dari salah satu RS Swasta lain di
Tangerang ke Rumah Sakit Siloam dengan confirmed Covid-19 (+) didapatkan dari
hasil swab nasofaring pada tanggal 11, 16 dan 21 Mei. Pasien dirawat selama 3
minggu di bangsal, sebelum mengalami perburukan di ruangan. Terdapat penurunan
saturasi menjadi 88%. Pasien mengalami pneumonia Covid-19, sepsis dan AKI on
HD. Pasien kemudian dipindahkan ke ICU, diintubasi dan dipasangkan ke ventilator.
Pasien telah dipasangkan dengan ventilator selama 16 hari.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 160/75
Nadi : 152
Laju pernapasan : 18
1
Suhu : dbn

Pemeriksaan Thorax
- Inspeksi : Pernapasan simetris kedua lapang dada, massa (-)
- Palpasi : Pengembangan dada simetris, JVP dalam batas normal
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Ronki (+/+), S1/S2 resguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan lain tidak dilakukan.

1.4. Pemeriksaan Penunjang


2.1.1. Laboratorium
o R1 (27/05/2020)
o R2 (28/05/2020)
Test R1 R2 Unit Ref. Range
Full Blood Count
Haemoglobin 8.20 9.00 g/dL 14.0 – 17.5
Hematocrit 24.50 26.20 % 40 – 52
Ratio HCT/HB 3.0 2.9 RNF
Erythrocyte (RBC) 2.92 3.13 106/µL 4.4 – 5.9
White Blood Cell (WBC) 20.07 20.42 103/µL 3.8 – 10.6
Differential Count
Basophil 0 0 % 0–1
Eosinophil 0 0 % 0–4
Band Neutrophil 3 6 % 2–6
Segment Neutrophil 89 87 % 50 – 70
Lymphocyte 3 3 % 20 – 40
Monocyte 5 4 % 2–8
Neutrophil Lymphocyte 29.67 29.00 < 3.13
Rat
Platelet Count 265.00 210.00 103/µL 150 – 440
RDW 16.5 16.0 % 14.0 – 16.0
ESR 44 mm/hour 0 – 15
MCV, MCH, MCHC
MCV 83.90 83.70 fL < 200
MCH 28.10 28.80 Pg 26 – 34
MCHC 33.50 34.40 g/dL 32 – 36
PT-APTT
Prothrombin Time
Control 9.40 9.30 Seconds 5 – 50
Patient 31.60 29.60 Seconds 0.6 – 1.1

2
INR 2.77 2.61 0.8 – 1.1
A.P.T.T
Control 35.30 35.00 Seconds 27.1 – 36.7
Patient 69.30 65.60 Seconds 28.7 – 42.6
D-dimer 6.63 µg/mL 0.00 – 0.3
Albumin 2.55 2.50 g/dL 3.50 – 5.00
Ureum-Creatinin
Ureum 165.0 120.3 mg/dL < 50
Blood Urea Nitrogen 77.1 56.2 mg/dL < 23.3
Creatinine
Creatinine 4.62 3.22 mg/dL 0.67 – 1.17
Height cm RNF
eGFR 14.1 21.9 ml/min
Electrolyte
Sodium (Na) 132 132 mmol/L 135 – 147
Potasium (K) 5.0 3.9 mmol/L 3.5 – 5.0
Chloride (Cl) 95 92 mmol/L 98 – 107
Blood Gas Analysis (28/05/2020 at 06:08)
Temperature 36.4 36.5 Celcius
pH 7.318 7.337 7.350 – 7.450
pO2 102.0 91.0 mmHg 83.0 – 108.0
pCO2 32.6 41.5 mmHg 32.0 – 48.0
HCO3 (-) 16.7 22.3 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 17.7 23.5 mmol/L 24.0 – 30.0
Base Excess (BE) -9.0 -4.0 mmol/L (-)2.4 – (+)2.3
O2 Saturation 97.0 96.0 % 95.0 – 98.0
CRP 102.8 93.9 mg/L 0–6
Procalcitonin (PCT) 109.7 ng/mL
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
1.5. Resume
Tn. S, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas selama 1 bulan SMRS.
Keluhan disertai dengan batuk dan demam. Pasien dirujuk dari rumah sakit swasta
lain dengan diagnosis Covid-19 (+). Hasil swab menunjukkan positif (tes positif
pada tanggal 11, 16, dan 21 Mei). Tanda-tanda vital pasien menunjukkan tekanan
darah 160/75 mmHg, nadi 152x/menit, laju nafas 18x/menit dengan suhu dalam
batas normal. Pada pemeriksaan bagian paru-paru, terdapat rhonci (+/+).
Pemeriksaan laboratorium, dimulai dari full blood count ditemukan hemoglobin,
hematokrit, dan eritrosit menurun, sel darah putih meningkat. Pada differential count
terdapat neutrofil segment meningkat, limfosit menurun, RDW dan ESR meningkat.
Terdapat pula peningkatan pada prothrombin time dan D-dimer, namun penurunan
akan albumin. Adanya peningkatan pada creatinine dan ureum. Hasil tes elektrolit
terdapat penurunan sodium dan chloride. Pada analisis gas darah ditemukan

3
penurunan pada pH (7.3), HCO3 (-), Total CO2, Base Excess. CRP meningkat.
Pasien telah dipasang dengan ventilator selama 16 hari.

1.6. Diagnosis
Prolonged Intubation, Pneumonia et causa COVID-19

1.7. Tatalaksana
Trakeostomi post intubasi

1.8. Follow up
Laporan Operasi (30/05/2020 jam 14.30. Dokter bedah dr. Niken, Sp. THT-KL)
1. Pasien dalam posisi terlentang dengan GA
2. Asepsis dan antisepsis pada area lapang operasi
3. Infiltrasi pehacaine pada area lapang operasi
4. Insisi dengan Blade No. 15 pada jaringan kutis & subkutis
5. Jaringan Fascia, Strap muscle, Tiroid disingkap, perdarahan dikontrol dengan
kauter
6. Identifikasi cricoid & trakea ring I & II
7. Insisi trakea bjork flap dengan Blade No. 11 pada ring trakea 1-2
8. Kanul trakeostomi No. 8 diinsersi, insersi kanul dalam, cuff dikembangkan
9. Perdarahan dikontrol dengan kauter
10. Kanul difiksasi. Operasi selesai

4
Gambar 1.1 Pipa Trakeostomi terpasang pada pasien

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tenggorok


2.1.2. Faring1
Faring adalah ruang fibromuskular yang berbentuk seperti corong yang
menghubungkan rongga mulut dan hidung ke laring dan esofagus. Pada umumnya,
faring disebut sebagai tenggorokan dan berfungsi sebagai jalur umum untuk makanan
dan udara. Dinding faring terbentuk dari selaput lendir, fascia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fascia bukofaringeal. Lokasi faring dimulai dari
pangkal tengkorak hingga tulang rawan krikoid (setinggi vertebra C6). Faring dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu nasofaring (nasopharynx), orofaring (oropharynx) dan
laringofaring (laryngopharynx).

Gambar 2.1 Anatomi faring

Nasofaring
Nasofaring merupakan bagian yang memiliki batas superior dasar tengkorak atau
dasar dari corpus ossis sphenoidalis, batas inferior palatum molle, batas anterior
rongga hidung dan batas posterior vertebra servikal. Fungsi dari nasofaring
diantaranya adalah sebagai jalan nafas (respiratori), ventilasi kavum timpani, tempat
keluar sekret dari kavum timpani dan sebagai resonator box. Batas-batas pada
nasofaring sebagai berikut:

6
- Batas superior: dasar dari corpus ossis sphenoidalis
- Batas inferior: palatum molle (soft palate)
- Batas anterior: rongga hidung (nasal cavity)
- Batas posterior: vertebra servikal
- Batas lateral: bukaan tuba eustachius

Orofaring
Orofaring merupakan bagian tengah dari faring, berlokasi diantara soft palate dan
batas superior dari epiglotis, yang memiliki peranan terhadap fase volunter dan
involunter pada proses menelan. Batas-batas pada orofaring sebagai berikut:
- Batas superior: palatum molle (soft palate)
- Batas inferior: tepi atas epiglotis
- Batas anterior: rongga mulut
- Batas posterior: dinding faring yang menutupi columna vertebralis servikalis

Terdapat beberapa struktur, diantaranya:


- 1/3 bagian posterior lidah
- Tonsil lingual (jaringan limfoid di pangkal lidah)
- Tonsil palatina (jaringan limfoid di fossa tonsilar)
- Otot konstriktor superior

Gambar 2.2 Bagian-bagian orofaring

7
Gambar 2.3 Cincin Waldeyer

Gabungan antara pasangan tonsil palatina, adenoid dan lingual membentuk


suatu cincin jaringan limfoid, disebut sebagai cincin Waldeyer. Cincin ini terbentuk di
naso dan orofaring.

Laringofaring
Bagian yang paling dalam dari faring adalah laringofaring atau disebut juga
sebagai hipofaring. Terletak diantara batas superior dari epiglotis dan batas inferior
dari tulang rawan krikoid (setinggi vertebralis C6), yang kemudian kontinue secara
inferior ke esofagus. Batas-batas pada laringofaring, yaitu:
- Batas superior: tepi atas epiglotis
- Batas inferior: esofaus
- Batas anterior: laring
- Batas posterior: dinding faring yang menutupi columna vertebralis servikalis

2.1.3. Laring2
Laring terletak pada bagian anterior di leher, dengan lokasinya antara C3
hingga C6. Laring menghubungkan faring dengan trakea.
Fungsi utama dari laring adalah untuk proteksi terhadap jalan napas bawah
dengan cara merangsang refleks batuk sehingga mengurangi resiko masuknya
benda asing kedalam paru-paru. Laring juga berfungsi dalam respiratorik sebagai
jalan napas (secara pasif) dan mengatur lebar rima glottidis (secara aktif),
menghasilkan suara (fonasi) dan berperan dalam proses menelan.

8
Laring terbentuk dari beberapa tulang kartilago yang dihubungkan dengan
beberapa jaringan membran dan ligamen. Otot-otot laring berperan dalam fungsi
fonasi dan respiratori. Secara anatomis, kavitas internal laring dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:

Supraglottis
Terletak dari permukaan inferior epiglotis hingga vestibular folds (false vocal
cords).

Glottis
Glottis memiliki true vocal cords (pita suara). Bukaan pita suara disebut
sebagai rima glottidis, dimana ukurannya ditentukan oleh otot-otot fonasi.

Subglottis
Terletak dari batas inferior glottis hingga batas inferior dari kartilago krikoid
(tulang rawan krikoid).

Gambar 2.4 Anatomi Laring sisi midsagital

9
Gambar 2.5 Anatomi laring

2.1.4. Trakea
Trakea memiliki bentuk seperti tabung yang semifleksibel, dengan lebar 1.5 –
2 cm dan panjang 10 – 13 cm, dimulai dari bagian bawah laring (setinggi C6/C7)
hingga setinggi T4/T5 dimana trakea akan bifurkasi menjadi 2 bronchi paru-
paru. Dinding trakea terdiri dari 20 cincin hyaline cartilage membentuk anterior
dan lateral circumference, smooth muscle pada bagian posterior.
Fungsi trakea diantaranya adalah menghubungkan laring dengan bronchi,
sehingga udara bisa masuk dan lewat trakea ke paru-paru. Trakea juga berfungsi
untuk mengeluarkan benda asing yang mungkin masuk ke jalan napas, guna
inhibisi masuknya kedalam paru-paru. Tracheobronchial glands memproduksi
mucin-rich secretion yang akan membentuk protektive barrier dari epitelium dan
lingkungannya. Mucus secretion ini dapat mengkoleksi debris atau
mikroorganisme yang kemudian dikeluarkan bersamaan saat ekspirasi atau
refleks batuk.3

10
Gambar 2.6 Anatomi Trakea

2.2. Prolonged Intubation


Endotracheal Intubation (ETI) merupakan cara yang cepat, simpel, dan aman
serta bukan teknik pembedahan yang mengatasi jalur pernafasan, mempertahankan
patensi jalur nafas, melindungi paru dari aspirasi dan kebocoran pada saat mekanikal
ventilasi dan merupakan salah satu prosedur standart untuk management jalur
pernafasan. Tetapi ETI dapat menimbulkan beberapa komplikasi dan bisa menjadi
life-threatening sehingga harus disadari dan dicegah agar tidak terjadi komplikasi.
Komplikasi yang dapat terjadi bisa dibagi menjadi beberapa fase diantaranya:4
1. Komplikasi yang terjadi langsung setelah intubasi (immediately)
 Post intubasation prolonged voice hoarseness
 Arytenoid dislocation
 Cervical Spine dan spinal cord injuries
 Traumatic dental injury
2. Komplikasi yang terjadi saat pasien pada mekanikal ventilator (early)
 mucosal/dermal pressure ulcer
 vocal cord paralysis
 ventilator-associated pneumonia (VAP)
 Sinusitis
 Tracheomalacia
 Laryngeotracheal stenosis

11
3. Komplikasi yang terjadi setelah beberapa hari – minggu intubasi (late)
 Obstructive fibrinous tracheal pseudomembrane formation
 Post intubation tracheal stenosis
 laryngeal stenosis
 Tracheomalacia
 Tracheoesophageal fistula
 Tracheoarterial fistula
Prolonged intubation merupakan intubasi yang melebihi dari 7 hari dan dari berbagai
studi ditemukan memiliki risiko untuk menjadi komplikasi.

2.3. Komplikasi Prolonged Intubation


Upper Airway Stenosis: Subglottic Stenosis
2.3.1. Definisi
Stenosis jalan napas atas merupakan penyempitan dari jalan napas yang dapat
menyebabkan scarring trakea, subglottis, glottis dan supraglottis yang dapat
berujung pada obstruksi pernapasan. Stenosis dapat terbatas pada terbentuknya
jaringan parut lunak dan fibrosis, melibatkan remodeling kartilaginosa, ataupun
kombinasi keduanya.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada kualitas hidup pasien,
karena dapat menyebabkan obstruksi pernapasan dan perubahan suara.

2.3.2. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab stenosis jalan napas, diantaranya dapat dilihat
pada tabel berikut.

12
Tabel 2.1 Etiologi Stenosis jalan nafas atas

Trauma
Penyebab paling sering yang dapat menyebabkan stenosis jalan napas adalah
trauma, lebih spesifik adalah post-intubation. Mayoritas pasien dengan stenosis
glottis dan subglottis disebabkan oleh prolonged intubation (setidaknya 48 – 72
jam atau lebih). Resiko terjadinya airway stenosis juga meningkat setelah
intubasi jangka lama, sekiranya lebih dari 10 hari. Endotracheal tube (ETT)
dapat menyebabkan posterior glottis stenosis (PGS) sedangkan ujung distal dari
ETT dapat menyebabkan stenosis subglottis.5
Endotracheal tube (ETT) dapat menyebabkan kerusakan pada 2 tingkat, yaitu
pada glotis dikarenakan dinding tabung yang kaku dan kerusakan pada trakea
karena tekanan dari cuff (manset). ETT memiliki potensi untuk menyebabkan
kerusakan sirkumsial pada trakea. Hal ini dapat berasal dari abrasi langsung pada
mukosa atau adanya penurunan perfusi sistemik dan perfusi pada tulang
kartilago trakea yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan cuff. Adanya
keadaan seperti penyempitan arteri di jantung atau keadaan vaskulopati sistemik
seperti diabetes, juga dapat berkontribusi terhadap penurunan perfusi lokal pada
tulang kartilago trakea. Jika keadaan ini berlangsung lama, iskemia jaringan akan
terjadi. Iskemia jaringan akan berlanjut pada kongesti, edema dan ulserasi.
Ulserasi kemudian menyebabkan chondritis (inflamasi tulang kartilago) dan

13
nekrosis. Daerah nekrotik yang mengalami perbaikan kemudian akan
membentuk jaringan parut.6
Kejadian stenosis jalan napas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan ETT. Beberapa diantaranya adalah ukuran dari selang ETT,
durasi intubasi, tingkat tekanan cuff dan trauma langsung pada saat intubasi.7

2.3.3. Klasifikasi
Berdasarkan posisi anatomisnya, terdapat stenosis supraglottis, stenosis glottis
dan stenosis subglottis dan trakea.

Stenosis Subglottis
Ruang subglottis yang ada setinggi tulang krikoid merupakan bagian tersempit
dari jalan napas. Stenosis subglottis dimulai ketika iskemia dan ulserasi pada mukosa
mulai mengalami penyembuhan (healing), terbentuknya jaringan parut (fibrous scar)
inilah yang menyebabkan stenosis atau penyempitan.
Penyebab tersering terjadinya stenosis subglottis adalah post-intubation injury.
Hal ini didukung jika durasi intubasi lama (prolonged intubation) karena kebutuhan
akan ventilatory support. Penyebab lainnya dapat berupa trauma pada jalan napas,
inhalation burns, irradiation ataupun idiopatik.8
Kondisi ini memiliki gejala dari suara serak hingga dyspnea berat. Manifestasi
klinis yang ditunjukkan oleh pasien tergantung dari tingkat stenosis yang diderita.
Adapun tingkat stenosis dapat dilihat berdasarkan Cotton-Meyer Staging System,
sebagai berikut:9

Tabel 2.2 Klasifikasi subglottis stenosis

14
Gambar 2.7 Ilustrasi Klasifikasi subglottis stenosis

Gambar 2.8 Penampakan laringoskopi klasifikasi subglottis stenosis

15
Tampilan dari stenosis bervariasi, dimulai dari stenosis jaringan fibrosa tipis
(gambar 2.9), stenosis jaringan fibrosa yang tebal (gambar 2.10) dan stenosis dengan
tampilan “corkscrew” (gambar 2.11).

Gambar 2.9

Gambar 2.10

16
Gambar 2.11

Tatalaksana pada stenosis subglottis:


 Endoscopic Management
Prosedur ini merupakan tatalaksana inisial pada subglottis stenosis. Terdiri
dari injeksi steroid, insisi stenosis dengan laser, dilatation dan aplikasi
mitomycin-C. Dilatation dapat dilakukan dengan rigid bronchoscope, Jackson
tracheal dilators atau balloon dilators. Mitomycin-C merupakan agen
antiproliferatif dan antineoplastik yang berfungsi untuk menekan respons
inflamatori, sehingga akan menginhibisi formasi jaringan parut dengan cara
inhibisi fibroblast proliferation. Sekarang ini tindakan ini sering digunakan hanya
pada stenosis jaringan fibrosa tipis atau untuk stabilisasi stenosis sebelum
tindakan operasi. Dilakukan juga pada pasien dengan kondisi tidak
memungkinkan untuk operasi.
 Cricotracheal Resection
Tindakan ini dilakukan ketika endoscopic management sudah tidak lagi
memberikan hasil yang diinginkan. Cricotracheal resection (CTR) merupakan
tindakan paling umum untuk rekonstruksi terbuka jalan napas. Akan
diindikasikan ketika ada kerusakan sirkumferensial pada subglottis. Bagian yang
menyempit karena stenosis akan diambil, kemudian bagian voice box dan trakea
akan disambungkan kembali. Pada kebanyakan kasus bagian anterior krikoid

17
merupakan bagian satu-satu nya yang diambil namun dapat juga dilakukan
pembuangan semua bagian (anterior krikoid, inferior thyroid cartilage dan
posterior cricoid inferior to cricoarytenoid joints).

Gambar 2.12 Crycotracheal Resection

2.4. Trakeostomi
2.4.1. Definisi
Trakeostomi merupakan tindakan pembedahan pembukaan dari trakea.
Trakeostomi pertama kali dilakukan pada 2000 BC. pada tahun 1800s
trakeostomi merupakan cara untuk mengobati pasien dengan difteri. ada 2 cara
untuk melakukan trakeostomi yaitu pertama dengan metode “high” dimana
trakea masuk melalui laring biasanya membagi krikoid kartilago. metode kedua
yaitu “low” trakeostomi dengan cara masuk langsung ke trakea. pada metode
kedua lebih sulit untuk membagi glandula tiroid untuk mengakses ke trakea dan
lebih digunakan metode pertama. ada masalah yang bisa ditimbulkan dari
metode ini seperti laringeal stenosis dan tingginya angka mortalitas. Trakeostomi
merupakan lubang kecil (stoma) yang dibuat pada bagian depan leher yang
masuk langsung menuju trakea (windpipe) yang merupakan artificial airway
untuk membantu dalam proses pernafasan.10

18
Gambar 2.13 Pipa Trakeostomi

2.4.2. Prosedur
Trakeostomi dapat di pasang bisa melalui prosedur pembedahan atau
perkutaneus. keduanya memiliki kesamaan yaitu membutuhkan anastesi,
analgesic, posisi, dan teknik steril. Posisi pasien juga sama dengan leher
ekstensi. Prosedur pembedahan trakeostomi dilakukan pada ruangan operasi dan
memakai anastesi general. Pasien akan diposisikan dan kemudian diberikan
tanda pada thyroid notch, sternal notch, dan krikoid kartilago. Prosedur
dilakukan dengan membuat 2-3 cm insisi horizontal atau vertical diantara sternal
notch dan thyroid cartilage.25
Prosedur trakeostomi perkutaneus merupakan cara yang digunakan pada
kondisi kritis dan dilakukan secara cepat, biasanya dilakukan pada pasien dengan
intubasi dan dapat dilakukan dengan memvisualisasi langsung dari trakea.
Tetapi, bronkoskopi dapat digunakan untuk mengkonfirmasi penempatan dari
pipa trakeostomi. Prosedur dilakukan dengan cara memberikan insisi 2 cm pada
leher dibawah krikoid kartilago biasanya pada cincin trakea level 2, dilakukan
diseksi vertikal diikuti dengan tracheal puncture, kemudian dimasukan guidewire
diikuti dengan needle removal dan dilation. Trakeostomi masuk seiring dengan
dilator dan guidewire, kemudian keluarkan dilator dan guidewire, cuff
trakeostomi inflasikan, ventilator terkoneksi dan pipa endotrakeal dikeluarkan.25
Jalur pernafasan akan memerlukan waktu 7-10 hari untuk kembali seperti semula
setelah dilakukannya prosedur perkutaneus dibandingkan dengan prosedur
pembedahan memerlukan waktu 2-4 hari.

19
2.4.3. Indikasi
Indikasi trakeostomi11,12,26,27
- Kelainan kongenital pada saluran pernafasan
- obstruksi mekanikal saluran nafas atas, contoh : benda asing atau edema
dari jaringan lunak. kerusakan pada saluran nafas atas bisa disebabkan
karena inhalasi kemikal
- Pasien yang membutuhkan perpanjangan artifisial ventilasi : perpanjangan
endo-tracheal intubasi memiliki risiko yang tinggi untuk merusak jaringan
mulut, faring, dan trakea. Pasien sulit untuk berbicara dan meningkatkan
kerja dari pernafasan dengan cara melebarkan dead space. Trakeostomi
mengurangi risiko untuk kerussakan jaringan, dan mengurangi kerja
pernafasan dengan cara mengecilkan dead space.
- Pasien yang tidak dapat mempertahankan jalur nafas secara independen.
Pasien dengan pengurangan fungsi saraf kranial V, VII, IX, X, atau XII
dengan adanya kerusakan pada batang otak, tidak sadar sulit untuk
mempertahankan jalur nafas atau untuk memproteksi jalur nafas dari
aspirasi makanan, minuman, dan air liur. Pada keadaan ini trakeostomi
bisa digunakan pada keadaan jangka pendek maupun jangka panjang
- Pasien dengan retensi sputum merupakan kegagalan untuk membersihkan
sekresi dari cabang bronkial, biasanya terjadi setelah operasi paru.
Produksi sekresi di paru keadaan normal membutuhkan batuk secara
efektif. Retensi merupakan penyebab utama sekresi jalur nafas yang bisa
mengakibatkan pada obstruksi bronkopulmonari dan atelektasis sehingga
diperlukan trakeostomi untuk mencegah menuju komplikasi lain.
- Pasien yang melakukan tindakan operasi pada bagian jalur pernafasan atas
prosedur maxilla-facial atau ENT dibutuhkan untuk melindungi jalur
pernafasan pasien tanpa merusak pada bagian mulut atau faring.
- Indikasi laringectomy merupakan pengangkatan larynx dan diversi bagian
bawah trakea menjadi permanent stoma pada leher bawah.
- Elektif trakeostomi, contoh pada saat operasi kepala dan leher trakeostomi
membantu untuk akses surgical dan fasilitasi ventilasi

20
- Pneumonia aspirasi menyebabkan pasien kesulitan bernafas dan dapat
berkembang menjadi komplikasi kegagalan respiratori, pada keadaan
emergensi harus menstabilkan jalan nafas dari pasien, dengan menilai
oksigenasi, status mental, dan tanda peningkatan kerja nafas atau menuju
kegagalan respiratori dapat dilakukan trakeostomi

2.4.4. Pipa Trakeostomi3,4

Gambar 2.14 Pipa trakeostomi

21
Pipa Trakeostomi dapat dibuat dari berbagai material, ukuran, dan bentuk. contoh
material yang digunakan untuk pipa trakeostomi diantaranya :

Metal (Stainless Steel / Silver-palated)


biasanya digunakan pada pasien dengan permanen trakeostomi
dan tidak membutuhkan ventilator. pipa ini biasanya dapat
digunakan kembali.

Plastik (Polyvinyl Chloride-PVC)


merupakan salah satu material yang paling banyak digunakan.
Penggunaan material inti dapat diganti setiap 2-4 minggu
tergantung rekomendasi. Pipa ini ada yang kaku (rigid) atau
flexible dapat disertai atau tanpa cuffs.

Silicone
merupakan salah satu material yang paling lembut. Pipa silicon
dapat digunakan untuk hampir semua pasien trakeostomi. pipa
silicon dapat dibersihkan dan digunakan kembali. dan juga
dapat disertai atau tanpa cuffs.

Pipa Cuffed dan Uncuffed


Pipa trakeostomi dapat menjadi dua jenis yaitu Cuffed dan Uncuffed. jenis cuff
merupakan bentuk seperti balon didekat penghujung pipa dan ketika mengembang (inflated)
mengurangi atau mencegah udara masuk ke mulut atau hidung sehingga jalur pernafasan
hanya melewati pipa trakeostomi. Ada berbagai macam material untuk cuff dan semuanya
berfungsi sama yaitu untuk mencegah udara keluar di sekitar cuff dan diluar paru-paru serta
mencegah cairan menuju ke paru.13,14

22
Gambar 2.15 Pipa Cuffed dan Uncuffed

Untuk mengurangi risiko kerusakan trakea, penggunaan cuff harus hati-hati


saat inflasi untuk minimal occlusion volume (MOV) yang diikuti dengan
memonitor volum inflasi dan tekanan cuff. tekanan cuff diseimbangkan antara
25-43 cmH2O tetapi lebih baik pada range terendah. Diperlukannya monitor
secara berkala pada tekanan cuff setiap 8-12 jam. Beberapa penyebab yang
menyebabkan tekanan cuff berlebihan diantaranya Ukuran pipa yang terlalu
kecil, posisi pipa yang kurang baik, dan inflasi yang berlebihan pada cuff serta
berkurangnya komplien pada paru.
Pipa uncuffed biasanya digunakan pasien untuk melindungi jalur pernafasan,
pasien masih mempunyai reflex batuk yang adekuat dan dapat mengatur
sekresinya. Gunanya untuk mengurangi risiko kerusakan trakea yang disebabkan
oleh inflasi dari cuff, dapat menelan, dan komunikasi dengan penggunaan pipa
bicara. Tetapi pada pipa untuk bicara hanya dapat digunakan pada pasien yang
memiliki jalur pernafasan melalui faring menuju ke hidung dan mulut.
Trakeostomi uncuffed biasanya digunakan pada pasien yang berada pada
komunitas atau pasien yang berada di rumah sakit.

Dimensi Pipa Trakeostomi


Panjang dan diameter trakea berbeda-beda setiap individual. Pipa trakeostomi dapat
dipilih tergantung dari diameter luar dan diameter dalam serta panjang dari pipa. Pengukuran
menggunakan millimeter (mm). Pada diameter dalam ukuran yang biasanya digunakan untuk

23
dewasa berkisar antara 6-10 mm. Pada diameter luar untuk perempuan dewasa 10mm dan
laki-laki 11mm.15

Tabel 2.3 Dimensi pipa trakeostomi

2.4.5. Pemasangan Trakeostomi


Waktu pemasangan trakeostomi
Waktu yang tepat untuk melakukan trakeostomi pada pasien yang memerlukan
prolonged mechanical ventilation masih kontroversial. Beberapa studi retrospektif dan
prospektif dilakukan untuk mengevaluasi hal ini. waktu yang tepat untuk dilakukannya
trakeostomi yaitu 7-10 hari dari penggunaan ventilasi mekanikal untuk mengurangi risiko
ventilator-associated pneumonia dan meningkatkan survival rate dari pasien. Menurut
American College of Chest Physicians guidelines (ACCP) tahun 1989 untuk pasien dengan
ventilasi mekanikal lebih dari 21 hari dipertimbangkan untuk pemasangan trakeostomi.16
Menurut beberapa studi secara internasional waktu yang tepat untuk melakukan
trakeostomi 7-15 hari setelah dilakukan intubasi, tetapi pemasangan trakeostomi early dengan
late berbeda-beda tiap studi. Beberapa jurnal membagi sebelum dan sesudah 7 hari tetapi
pada studi yang dilakukan oleh Cochrane pada tahun 2015 mengelompokan early trakeostomi
kurang dari 10 hari dan late lebih dari 10 hari. Penelitian yang dilakkan oleh Amar, dkk
dengan sampel 67 pasie ICU dewasa dan dibagi untuk grup early (1-10 hari) dan grup late
(11-21 hari) setelah dilakukan intubasi didapatkan hasil grup early memiliki keuntungan dari
penggunaan ventilasi mekanikan yang lebih singkat, mengurangi masa sedasi, meminimalisir
weaning failure.

Pemasangan Trakeostomi
Pembedahan dapat dilakukan dengan anastesi lokal atau general. Pada pasien dengan
keadaan deviasi trakea karena masa pada leher atau abnormal pada pembuluh darah atau

24
etaksia bisa dilihat dulu melalui x-ray lalu baru memutuskan untuk lokasi serta prosedur yang
akan digunakan.17

Preparasi dan posisi


Pasien dalam keadaan posisi supinasi, posisi leher ekstensi, bahu simetris sehingga
struktur pada leher terlihat dan tidak menuju ke satu sisi saja. Lokal antiseptik digunakan dan
kondisi steril harus dipertahankan selama prosedur. IV antibiotik diberikan seusai prosedur.
Kunci utama untuk memberikan tanda pada kulit pada bagian yang akan di insisi adalah pada
bagian tengah diantara border bawah dari kriokoid dan suprasternal notch. Kemudian
masukan 5-10 mL dari 0.25% bupivacaine solution dicampur dengan 1:200.000 adrenaline
dan pilih pipa yang sesuai.14,17

Gambar 2.16 Leher keadaan extensi

Pembedahan dan Pemasangan


Berikan insisi pada kulit dibuat sebagian diantara inferior border dari krikoid kartilago
dan sternal notch. Ukuran biasanya ± 3 cm tetapi bisa lebih besar tergantung dari posisi
anatomis dan kondisi pasien. Ketika bagian kulit sudah terinsisi, lalu pada bagian lemak
subkutaneus. identifikasi bagian patysma fiber dan superficial investing layer pada cervical
fascia dan otot strap kemudian gunakan retraktor. Harus hati-hati jangan sampai mengenai
pada anterior jugular veins yang biasanya pada bagian lateral. Diseksi pada midline melewati
linea alba dan otot strap diretraksi secara lateral menggunakan langenbeck retraktor. Thyroid
isthmus terlihat dan bervariasi posisi serta ukurannya. dapat dilihat menggunakan clamps dan
transfixion sutures atau menggunakan monopolar atau bipolar diathermy. Anterior dinding
trakea akan diidentifikasi, sangat penting untuk mengidentifikasi kriokoid kartilago sehingga

25
mudah untuk jalur masuk untuk trakeostomi. Trakeotomi biasanya dilakukan pada cincin
trakea ketiga atau keempat dan area ditandai dengan bipolar diathermy. Pipa trakeostomi
dicek dan dikonfirmasi kembali untuk ukurannya dan dilihat apakah ada kebocoran. lalu
masukan trokar plastik kedalam pipa dan pastikan semua peralatan ada, amankan jalur
trakeotomi dan kontrol dengan penggunaan tracheal dilator atau dengan cricoid hook. Ujung
dari pipa dan trokar di lubrikasi dan masukan pipa perlahan dari posisi lateral kemudian
putar. inflasi cuff dengan udara dan pipa bagian dalam dimasukan jika diperlukan, konektor
sterik digunakan untuk menghubungkan pipa trakeostomi dengan mesin anastesi. Tutup jalur
dengan jahitan dan pastikan konektor dalam posisi yang benar.12,17

Gambar 2.17 insisi kulit dan diseksi


2.4.6. Gambar 2.18 Identifikasi thyroid
melewati jaringan subkutaneus. isthmus. Haemostastis dan diseksi
2.4.7. identifikasi otot strap isthmus menggunakan bipolar
2.4.8. diathermy

Gambar 2.19 Thyroid isthmus dibagi Gambar 2.20 Lihat trakea. Retraktor
pada bagian tengan menggunakan digunakan untuk visualisasi setiap
diarthermy setelah diseksi gunakan sisi 26
surgical clip
Gambar 2.21 Jendela trakeostomi Gambar 2.22 Setelah jendela dibuat
dibuat pada level 3 atau 4 pada dan meticulous haemostasis di
cincin trakea menggunakan blade pastikan menggunakan bipolar
15. Anastesi monitor udara yang diathermy. Endotrakeal tube terlihat
bocor dan mempersiapkan dari jendela.
pergantian pipa

Gambar 2.23 Mengecek pipa Gambar 2.24 Masukan Pipa dan


trakeostomi. Ukuran dikonfirmasi amankan jendela trakeotomi dan
dan cuff diinflasi dan dicek control menggunakan trakea dilator
kebocoran. Plastik trocar masuk atau blunt cricoid hook. Ujung pipa
kedalam pipa dan pastikan dan trocar dilubrikasi, masukan
peralatan terpasang perlahan dari arah lateral dan putar
masuk

27
Gambar 2.25 Posisi akhir dari pipa, Gambar 2.26 kulit ditutup
cuff diinflasi dengan udara dan tuba menggunakan jahitan, pipa
bagian dalam dimasukkan jika diamankan pada posisi.
diperlukan

2.4.9. Komplikasi Trakeostomi18,19,20


Early complications : saat dilakukan prosedur trakeostomi atau langsung setelah
dilakukannya prosedur.
- pendarahan
- pneumothorax
- pneumomediastinum
- emfisema subkutaneus
- kerusakan pada esofagus
- kerusakan pada saraf laringeal
- pipa trakeostomi dapat di blok oleh clot, mucus.

Later complications : muncul ketika pipa sudah masuk


- accidental decannulation
- infeksi pada trakea dan sekitar pipa trakeostomi
- windpipe mengalami kerusakan, ditambah tekanan dari pipa bakteri dapat
menyebabkan infeksi pada jaringan atau disebabkan karena gesekan yang terlalu
banyak

Delayed complications : muncul setelah pipa sudah lama di tanam


- Penipisan (erosi) pada trakea karena pipa tergesek (tracheomalacia)

28
- pembentukan lubang dari trakea (windpipe) ke esofagus (swallowing tube)
yang disebut tracheo-esophageal fistula
- pembentukan jaringan granulasi yang membutuhkan pengangkatan sebelum
dekanulasi muncul
- Mengecilnya jalur pernafasan pada bagian atas dari tempat trakeostomi dan
membutuhkan tindakan operasi untuk memperbaiki
- ketika trakeostomi di keluarkan, tidak dapat menutup dengan sendirinya

2.4.9. Home management Trakeostomi21,22,23

Sebelum pulang kerumah dari rumah sakit akan diberikan penjelasan mengenai cara untuk
penggunaan dan pemberishan dari pipa trakeostomi. ada beberapa bahan yang akan diberikan
diantaranya yaitu :

1. sikat trakeostomi
2. hydrogen peroksida
3. normal saline
4. gunting
5. Q-tips
6. sabun cair
7. 2 buah mangkok
8. trach ties
9. gauze
10. Pinset

Untuk kegiatan sehari-hari diperlukan peralatan diantaranya :

1. pelindung shower
2. humidifier
3. pipa untuk berbicara
4. extra pipa
5. tarch bib
6. oksigen (jika dibutuhkan)
7. enteral feeding (jika dibutuhkan)

29
Saat pulang kerumah cara merawat untuk trakeostomi menggunakan “clean technique”
dimana tidak memerlukan sarung tangan saat membersihkan tetapi sangat penting untuk
mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pembersihan pipa.

 Membersihkan sekresi dari pipa trakeostomi


Pembersihan pipa dilakukan dengan cara menarik nafas dalam sembari menutup
mulut dan kemudian batukan untuk mengeluarkan sekresi dan akan keluar melalui
pipa atau mulut. menggunakan Kleenex untuk mengelap sekresi. Jika bisa secara
adekuat mengeluarkan sekresi tidak memerlukan suction pada pipa.

 Suctioning
Dilakukan jika tidak dapat batuk untuk mengeluarkan sekresi. untuk melakukan ini
menggunakan mesin suction, kateter suction, mangkuk bersih, normal saline, sarung
tangan non-steril.
- Cuci tangan sampai bersih
- Kemudian siapkan mesin dengan kateternya
- Tuangkan normal saline ke mangkuk
- Posisi duduk Memakai sarung tangan
- Taruh pipa suction pada control vent piece dari suction kateter
- Tangan non-dominan pegang bagian ujung kateter suction dimana ada kontrol
vent kemudian taruh ibu jari pada suction kateter seperti membuat vacuum.
dengan tangan dominan pegang suction sekitar 5-7 cm dari ujung, taruh ujung
suction kateter pada normal saline (untuk mengetes mesin suction)
- Perlahan masukan kateter suction ke pipa trakeostomi sampai merasa batuk. Tarik
kateter perlahar sebelum suction. taruh ibu jari pada suction kateter untuk
membentuk vacuum dan mulai suction.
- Tarik suction kateter dengan gerakan melingkar dan tetap ibu jari pada suction
kateter trap selama 10-15 detik.
- Bilas suction kateter dengan saline water.

 Membersihkan kanula dalam

30
kanula dalam dari pipa trakeostomi perlu dibersihkan 2x sehari (pagi dan malam) atau
lebih sering jika diperlukan, jaga pipa agar tetap bersih dan bebas dari sekresi. Bahan
yang diperlukan diantaranya sikat trakeostomi, sabun cair, hydrogen peroxide (jika
butuh), 2 mangkuk bersih, normal saline, air
- mencuci tangan terlebih dahulu kemudian taruh air dan sabun cair kedalam
mangkuk 1 (jika sekresi lengket dan tebal tambahkan ½ cup hydrogen peroxide ke
mangkuk), tuang normal saline ke mangkuk ke 2
- satu tangan memegang bagian luar kanula dan memegang menggunakan ibu jari
dan telunjuk
- tangan dominan membuka kanula dalam dengan cara memutar searah jarum jam
- keluarkan kanula dalam dengan cara ditarik perlahan keluar dan mengarah
kebawah posisinya
- taruh kanula dalam ke mangkuk berisi air dan sabun cair
- sikat trakeostomi bersihkan pada bagian dalam dan luar dari kanula dalam dan
bersihkan mucus
- bilas kanula dalam ke mangkuk yang berisi saline
- pastikan pipa bersih
- perlahan gerakan kanula dalam untuk sedikit mengeringkan, jangan sampai kering
sepenuhnya, sedikit cairan akan memudahkan untuk memasukkan kanula kembali
kedalam
- pegang ujung bagian luar kanula dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan non-
dominan
- masukkan bagian dalam kanula dengan tangan dominan dan putar searah jarum
jam untuk mengunci
- cuci tangan kembali

 Memberishkan Stoma
Membersihkan stoma, area kulit sekitar kanula luar minimal 2x sehari. jika
menggunakan tarch dressing dibawah stoma, harus diganti minimal 1x sehari. Alat
yang dibutuhkan adalah tarch dressing (jika dibutuhkan), kaca dan pencahayaan yang
tepat, handuk muka, Q-tips atau pinset, air
- mencuci tangan, dan mencari posisi yang nyaman, pencahayaan yang baik dan
duduk didepan kaca

31
- basahkan handuk dengan air dan perlahan bersihkan kanula luar dan kulit di area
sekitar. Q-tips atau pinset untuk membantu area yang sulit dibuka jika
menggunakan tarch plate
- keringkan area dan perlahan dibuka
- lihat pada area stoma apakah ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan,
pembengkakan, sakit, panas, bau tidak sedap, nanah pada area
- taruh dressing baru
- cuci tangan kembali

 Penggantian tali trakeostomi


Untuk mengganti tali trakeostomi dibutuhkan bantuan. alat yang dibutuhkan adalah
tali trakeostomi, gunting.
- gunting tali trakeostomi dengan melingkarkan 2x tali pada leher
- tali yang lama dibiarkan terlebih dahulu dan masukan satu persatu tali
- Tarik kedua akhir tali keluar dari tarch plate
- kemudian ikat pada ujung tali di satu sisi
- ukuran yang tepat yaitu 2 jari fit didalam tali
- gunting dan keluarkan tali yang lama

2.4.10 Trakeostomi pada pasien Covid-1924

Tindakan trakeostomi pada pasien Covid-19 perlu dilakukan dengan pertimbangan


yang baik dan penuh hati-hati. Persiapan trakeostomi dimulai dari:

32
33
34
BAB III
PEMBAHASAN

Trakeostomi seringkali dilakukan pada berbagai kasus perawatan di rumah sakit,


beberapa diantaranya sebagai perawatan untuk obstruksi mekanikal saluran nafas atas, untuk
pasien yang memerlukan perpanjangan dukungan ventilasi, hingga membantu dalam tindakan
operasi yang memiliki potensial mengganggu jalur pernafasan. Indikasi pada prosedur ini
sangatlah luas. Tindakan ini dapat dilakukan untuk menangani pada keadaan emergensi
maupun mencegah untuk menjadi suatu komplikasi dari penggunaan intubasi dan ventilator
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penekanan dibuatnya kasus ini bertujuan untuk
memahami kepentingan perlunya dokter umum mengetahui indikasi-indikasi trakeostomi
pada kasus-kasus perawatan di rumah sakit yang perlu dikonsultasikan ke dokter spesialis
THT-KL.

Pasien laki-laki, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak sejak 1 bulan SMRS.
Keluhan disertai dengan batuk dan demam. Pasien sudah terkonfirmasi Covid-19 (+)
berdasarkan hasil swab nasofaring pada tanggal 11, 16 dan 21 Mei. Pasien dirawat selama 3
35
minggu di bangsal, yang kemudian mengalami perburukan hingga saturasi oksigen terakhir
sebelum dipindahkan ke ICU adalah 88%. Pasien dikatakan mengalami pneumonia Covid-19,
AKI on HD dan sepsis. Pada saat ini, pasien mengalami penurunan kesadaran. 

Pneumonia Covid-19 yang dialami oleh pasien menyebabkan pasien memerlukan


bantuan ventilator. Virus covid-19 yang masuk kedalam sistem respiratori. Saat mencapai
alveoli, virus menempel pada pneumocyte type 2 (berfungsi untuk produksi surfaktan). Hal
ini nantinya akan mengakibatkan vasodilatasi endothelial vessel, cairan terakumulasi di
interstitial space dan dapat masuk ke dalam alveoli. Sehingga, pada kasus ini tindakan yang
dilakukan pada pasien adalah intubasi dan dipasangkan ke ventilator untuk menopang sistem
pernapasan pasien. Pasien telah dipasang ke ventilator dan intubasi selama 16 hari. Menurut
American College of Chest Physicians guidelines (ACCP)  tahun 1989 untuk pasien dengan
ventilasi mekanikal lebih dari 21 hari dipertimbangkan untuk pemasangan trakeostomi, dan
berdasarkan studi internasional pemasangan trakeostomi dapat dilakukan 7-15 hari setelah
dilakukan intubasi. Waktu dari pemasangan trakeostomi sangat bervariasi setiap studi namun
dalam kasus ini pasien sudah terintubasi selama 16 hari sehingga dapat dilakukan
trakeostomi. Hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi maka dilakukannya
trakeostomi. 

Berdasarkan studi kasus, intubasi yang melebihi dari 7 hari masuk kedalam kategori
prolonged intubation. Prolonged intubation dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dimana
komplikasi yang muncul dapat secara langsung ataupun beberapa hari hingga minggu setelah
dilakukannya intubasi. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan
prolonged intubation adalah upper airway stenosis, sebagai salah satu contohnya subglottic
stenosis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, airway stenosis merupakan penyempitan
jalan napas yang dapat berujung pada obstruksi pernapasan karena adanya jaringan parut
(scarring) yang menutupi airway. Mekanisme terjadinya stenosis dimulai dari abrasi
langsung oleh ETT pada mukosa jalan nafas sehingga dapat menyebabkan penurunan perfusi
sistemik dan lokal pada tulang kartilago trakea (pada umumnya disebabkan oleh tekanan cuff
yang tinggi). Jika hal ini berlangsung lama, iskemia jaringan terjadi, dilanjutkan dengan
kongesti, edema dan ulserasi. Ulserasi kemudian akan menyebabkan chondritis (inflamasi
pada tulang kartilago) dan nekrosis. Daerah nekrotik yang mengalami perbaikan kemudian
akan membentuk jaringan parut, yang nanti nya jaringan parut tersebutlah yang menutupi

36
jalan nafas pasien. Untuk melihat adanya subglottic stenosis dapat dilakukan trakeoskopi,
namun pada pasien ini tidak dilakukan karena keadaan pasien dengan Covid-19. 

Trakeostomi berguna untuk meningkatkan mekanik respiratori, nutrisi, kenyamanan


pasien, dan pembersihan sekresi, mengurangi ulserasi laryngeal, dan meningkatkan mobilitas,
berbicara, dan dapat ditangani di luar ICU. Beberapa studi mengatakan bahwa pada grup
yang  menggunakan trakeostomi memiliki keuntungan yaitu durasi artifisial ventilasi dan
intensive care, penurunan trakeal aspirasi, ventilator weaning yang menyebabkan
berkurangnya alveolar aggression karena mekanikal ventilasi. Pasien dengan intubasi juga
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya laryngo-tracheal injury. Trakeostomi juga mengurangi
angka mortalitas dari pasien.  Penggunaan trakeostomi terdapat 3 bahan, yaitu bahan silikon,
plastik dan metal. Pada umumnya, bahan plastik lebih disukai karena cukup kaku untuk dapat
mempertahankan jalan nafas, namun cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan traumatik
pada jaringan atau mukosa. Pada pasien ini digunakan pipa dengan cuff, dimana suction
tekanan udara dalam cuff dapat dipertahankan dalam 20-25 mmHg agar tidak menekan
kapiler dan mencegah terjadinya iskemia mukosa dan stenosis trakea. Sebagian besar balon
(cuff) yang digunakan juga berbentuk barel dengan volume tinggi dan tekanan rendah,
sehingga dapat mengurangi ulserasi, nekrosis jaringan ataupun stenosis.

Pada pasien ini memiliki tekanan darah yang cukup tinggi yang disebabkan karena
AKI on hemodialisa setiap harinya, apabila pasien memiliki tekanan darah tinggi akan
menimbulkan berbagai macam risiko saat dilakukannya tindakan pembedahan. Maka dari itu
sebelum dilakukan tindakan pembedahan diperlukannya tekanan darah yang stabil sehingga
pasien diberikan obat antihipertensi seperti beta blocker, tetapi obat seperti ACE inhibitor
atau angiotensin receptor blocker penggunaannya diberhentikan dahulu selama 24 jam
sebelum dilakukan pembedahan. Penggunaan diuretik juga harus dihentikan selama 2-3 hari
sebelum dilakukan pembedahan untuk menghindari volume depletion, intraoperative
hypotension yang akan memperberat kerja ginjal. Pada saat dilakukan tindakan pembedahan
anestesi harus memastikan tekanan darah, nadi, laju nafas tetap stabil. Saat dilakukan
pembedahan dan tekanan darah naik disebabkan karena aktivitas dari saraf simpatetik karena
pada saat itu anestesi sedang bekerja dan merupakan fenomena yang normal. Untuk
mengatasi hal ini anesthesiologist akan memberikan antihipertensi melalui intravena. Pada
keadaan lainnya jika terjadi pendarahan saat dilakukannya pembedahan dan tekanan darah
turun dapat diberikan cairan atau transfusi darah jika diperlukan. Pada pasien ini saat

37
dilakukan pembedahan terjadi pendarahan yang cukup banyak sehingga diberikan cairan pada
saat pembedahan. 

Setelah dilakukan trakeostomi, pasien diberikan beberapa obat-obatan seperti


ketorolac 3 x 30 mg, antibiotik sesuai dengan arahan dari bidang respiratori. Setelah pasien
dapat pulang setelah menerima tindakan trakeostomi, pasien akan diberikan edukasi terlebih
dahulu mengenai perawatan pipa trakeostomi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Joshi AS. Pharynx Anatomy [Internet]. 2013 [cited 2020 May 30]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview

2. Vashista R. Larynx Anatomy [Internet]. 2017 [cited 2020 May 30]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview

3. Brand-Saberi BEM, Schäfer T. Trachea: Anatomy and physiology. Thorac Surg Clin.
2014;24(1):1–5.
4. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation. J
Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
5. Chapters R. Glottic and Subglottic Stenosis: Evaluation and Surgical Planning. Oper Tech
Laryngol. 2008;37–42.
6. Liu J, Zhang CP, Li Y, Dong S. Post-intubation tracheal stenosis after management of
complicated aortic dissection: A case series. J Cardiothorac Surg. 2015;10(1):1–4.
7. Goyena R, Fallis A. Bailey’s Head & Neck Surgery: Otolaryngology. J Chem Inf Model.
2019;53(9):1689–99.
8. D’Andrilli A, Venuta F, Rendina EA. Subglottic tracheal stenosis. J Thorac Dis.
2016;8(Suppl 2):S140–7.
9. Myer CM, O’connor DM, Cotton RT. Proposed grading system for subglottic stenosis
based on endotracheal tube sizes. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103(4):319–23.
10. Ruíz AAB. Tracheostomy [Internet]. Vol. 3. 2015. 54–67 p. Available from:
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
11. Durbin CG. Tracheostomy: Why, when, and how? Respir Care. 2010;55(8):1056–68.
12. Tube T, Appearance P. Tracheostomy Booklet.
13. Higgs A, McGrath BA, Goddard C, Rangasami J, Suntharalingam G, Gale R, et al.
Guidelines for the management of tracheal intubation in critically ill adults. Br J
Anaesth [Internet]. 2018;120(2):323–52. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.bja.2017.10.021
14. Walts PA, Murthy SC, DeCamp MM. Techniques of surgical tracheostomy. Clin Chest
Med. 2003;24(3):413–22.
15. Scanlon K. Tracheostomy care. Nursing (Lond). 1983;13(8):6–7.
16. Young D. Timing of tracheostomy - Reply. JAMA - J Am Med Assoc.
2013;310(12):1287.

39
17. Muscat K, Bille A, Simo R. A guide to open surgical tracheostomy. Shanghai Chest.
2017;1(2):4–4.
18. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation.
J Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
19. https://www.intechopen.com/books/tracheal-intubation/long-term-complications- of-
tracheal-intubation
20. https://www.hopkinsmedicine.org/tracheostomy/about/complications.html
21. Ave EH. A Caregiver Guide for Tracheostomy Care at Home. (888):1–22.
22. Patton J. Tracheostomy care. Br J Nurs. 2019;28(16):1060–2.
23. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation.
J Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
24. Jacob T, Walker A, Mantelakis A, Gibbins N, Keane O. A framework for open
tracheostomy in COVID-19 patients. Clin Otolaryngol. 2020;
25. https://tracheostomyeducation.com/tracheostomy-basic-information/
26. Bonde P, Papachristos I, McCraith A, Kelly B, Wilson C, McGuigan JA, et al. Sputum
retention after lung operation: Prospective, randomized trial shows superiority of
prophylactic minitracheostomy in high-risk patients. Ann Thorac Surg. 2002;74(1):196–
203.
27. Wang H, Shen Z, Yao Z, Qiu H. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zhi. 2003;17(12):732-
733

40

Anda mungkin juga menyukai