Disusun Oleh:
Helen Widjaja (01073190146)
Stevanie Budianto (01073190108)
Pembimbing:
dr. Reno Hardoyo Kelan, Sp. THT-KL
1.2. Anamnesis
Data pasien diperoleh berdasarkan data yang tersedia dikarenakan pasien tidak
dalam kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan anamnesis.
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak sejak 1 bulan SMRS.
Pemeriksaan Thorax
- Inspeksi : Pernapasan simetris kedua lapang dada, massa (-)
- Palpasi : Pengembangan dada simetris, JVP dalam batas normal
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Ronki (+/+), S1/S2 resguler, murmur (-), gallop (-)
2
INR 2.77 2.61 0.8 – 1.1
A.P.T.T
Control 35.30 35.00 Seconds 27.1 – 36.7
Patient 69.30 65.60 Seconds 28.7 – 42.6
D-dimer 6.63 µg/mL 0.00 – 0.3
Albumin 2.55 2.50 g/dL 3.50 – 5.00
Ureum-Creatinin
Ureum 165.0 120.3 mg/dL < 50
Blood Urea Nitrogen 77.1 56.2 mg/dL < 23.3
Creatinine
Creatinine 4.62 3.22 mg/dL 0.67 – 1.17
Height cm RNF
eGFR 14.1 21.9 ml/min
Electrolyte
Sodium (Na) 132 132 mmol/L 135 – 147
Potasium (K) 5.0 3.9 mmol/L 3.5 – 5.0
Chloride (Cl) 95 92 mmol/L 98 – 107
Blood Gas Analysis (28/05/2020 at 06:08)
Temperature 36.4 36.5 Celcius
pH 7.318 7.337 7.350 – 7.450
pO2 102.0 91.0 mmHg 83.0 – 108.0
pCO2 32.6 41.5 mmHg 32.0 – 48.0
HCO3 (-) 16.7 22.3 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 17.7 23.5 mmol/L 24.0 – 30.0
Base Excess (BE) -9.0 -4.0 mmol/L (-)2.4 – (+)2.3
O2 Saturation 97.0 96.0 % 95.0 – 98.0
CRP 102.8 93.9 mg/L 0–6
Procalcitonin (PCT) 109.7 ng/mL
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
1.5. Resume
Tn. S, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas selama 1 bulan SMRS.
Keluhan disertai dengan batuk dan demam. Pasien dirujuk dari rumah sakit swasta
lain dengan diagnosis Covid-19 (+). Hasil swab menunjukkan positif (tes positif
pada tanggal 11, 16, dan 21 Mei). Tanda-tanda vital pasien menunjukkan tekanan
darah 160/75 mmHg, nadi 152x/menit, laju nafas 18x/menit dengan suhu dalam
batas normal. Pada pemeriksaan bagian paru-paru, terdapat rhonci (+/+).
Pemeriksaan laboratorium, dimulai dari full blood count ditemukan hemoglobin,
hematokrit, dan eritrosit menurun, sel darah putih meningkat. Pada differential count
terdapat neutrofil segment meningkat, limfosit menurun, RDW dan ESR meningkat.
Terdapat pula peningkatan pada prothrombin time dan D-dimer, namun penurunan
akan albumin. Adanya peningkatan pada creatinine dan ureum. Hasil tes elektrolit
terdapat penurunan sodium dan chloride. Pada analisis gas darah ditemukan
3
penurunan pada pH (7.3), HCO3 (-), Total CO2, Base Excess. CRP meningkat.
Pasien telah dipasang dengan ventilator selama 16 hari.
1.6. Diagnosis
Prolonged Intubation, Pneumonia et causa COVID-19
1.7. Tatalaksana
Trakeostomi post intubasi
1.8. Follow up
Laporan Operasi (30/05/2020 jam 14.30. Dokter bedah dr. Niken, Sp. THT-KL)
1. Pasien dalam posisi terlentang dengan GA
2. Asepsis dan antisepsis pada area lapang operasi
3. Infiltrasi pehacaine pada area lapang operasi
4. Insisi dengan Blade No. 15 pada jaringan kutis & subkutis
5. Jaringan Fascia, Strap muscle, Tiroid disingkap, perdarahan dikontrol dengan
kauter
6. Identifikasi cricoid & trakea ring I & II
7. Insisi trakea bjork flap dengan Blade No. 11 pada ring trakea 1-2
8. Kanul trakeostomi No. 8 diinsersi, insersi kanul dalam, cuff dikembangkan
9. Perdarahan dikontrol dengan kauter
10. Kanul difiksasi. Operasi selesai
4
Gambar 1.1 Pipa Trakeostomi terpasang pada pasien
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nasofaring
Nasofaring merupakan bagian yang memiliki batas superior dasar tengkorak atau
dasar dari corpus ossis sphenoidalis, batas inferior palatum molle, batas anterior
rongga hidung dan batas posterior vertebra servikal. Fungsi dari nasofaring
diantaranya adalah sebagai jalan nafas (respiratori), ventilasi kavum timpani, tempat
keluar sekret dari kavum timpani dan sebagai resonator box. Batas-batas pada
nasofaring sebagai berikut:
6
- Batas superior: dasar dari corpus ossis sphenoidalis
- Batas inferior: palatum molle (soft palate)
- Batas anterior: rongga hidung (nasal cavity)
- Batas posterior: vertebra servikal
- Batas lateral: bukaan tuba eustachius
Orofaring
Orofaring merupakan bagian tengah dari faring, berlokasi diantara soft palate dan
batas superior dari epiglotis, yang memiliki peranan terhadap fase volunter dan
involunter pada proses menelan. Batas-batas pada orofaring sebagai berikut:
- Batas superior: palatum molle (soft palate)
- Batas inferior: tepi atas epiglotis
- Batas anterior: rongga mulut
- Batas posterior: dinding faring yang menutupi columna vertebralis servikalis
7
Gambar 2.3 Cincin Waldeyer
Laringofaring
Bagian yang paling dalam dari faring adalah laringofaring atau disebut juga
sebagai hipofaring. Terletak diantara batas superior dari epiglotis dan batas inferior
dari tulang rawan krikoid (setinggi vertebralis C6), yang kemudian kontinue secara
inferior ke esofagus. Batas-batas pada laringofaring, yaitu:
- Batas superior: tepi atas epiglotis
- Batas inferior: esofaus
- Batas anterior: laring
- Batas posterior: dinding faring yang menutupi columna vertebralis servikalis
2.1.3. Laring2
Laring terletak pada bagian anterior di leher, dengan lokasinya antara C3
hingga C6. Laring menghubungkan faring dengan trakea.
Fungsi utama dari laring adalah untuk proteksi terhadap jalan napas bawah
dengan cara merangsang refleks batuk sehingga mengurangi resiko masuknya
benda asing kedalam paru-paru. Laring juga berfungsi dalam respiratorik sebagai
jalan napas (secara pasif) dan mengatur lebar rima glottidis (secara aktif),
menghasilkan suara (fonasi) dan berperan dalam proses menelan.
8
Laring terbentuk dari beberapa tulang kartilago yang dihubungkan dengan
beberapa jaringan membran dan ligamen. Otot-otot laring berperan dalam fungsi
fonasi dan respiratori. Secara anatomis, kavitas internal laring dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
Supraglottis
Terletak dari permukaan inferior epiglotis hingga vestibular folds (false vocal
cords).
Glottis
Glottis memiliki true vocal cords (pita suara). Bukaan pita suara disebut
sebagai rima glottidis, dimana ukurannya ditentukan oleh otot-otot fonasi.
Subglottis
Terletak dari batas inferior glottis hingga batas inferior dari kartilago krikoid
(tulang rawan krikoid).
9
Gambar 2.5 Anatomi laring
2.1.4. Trakea
Trakea memiliki bentuk seperti tabung yang semifleksibel, dengan lebar 1.5 –
2 cm dan panjang 10 – 13 cm, dimulai dari bagian bawah laring (setinggi C6/C7)
hingga setinggi T4/T5 dimana trakea akan bifurkasi menjadi 2 bronchi paru-
paru. Dinding trakea terdiri dari 20 cincin hyaline cartilage membentuk anterior
dan lateral circumference, smooth muscle pada bagian posterior.
Fungsi trakea diantaranya adalah menghubungkan laring dengan bronchi,
sehingga udara bisa masuk dan lewat trakea ke paru-paru. Trakea juga berfungsi
untuk mengeluarkan benda asing yang mungkin masuk ke jalan napas, guna
inhibisi masuknya kedalam paru-paru. Tracheobronchial glands memproduksi
mucin-rich secretion yang akan membentuk protektive barrier dari epitelium dan
lingkungannya. Mucus secretion ini dapat mengkoleksi debris atau
mikroorganisme yang kemudian dikeluarkan bersamaan saat ekspirasi atau
refleks batuk.3
10
Gambar 2.6 Anatomi Trakea
11
3. Komplikasi yang terjadi setelah beberapa hari – minggu intubasi (late)
Obstructive fibrinous tracheal pseudomembrane formation
Post intubation tracheal stenosis
laryngeal stenosis
Tracheomalacia
Tracheoesophageal fistula
Tracheoarterial fistula
Prolonged intubation merupakan intubasi yang melebihi dari 7 hari dan dari berbagai
studi ditemukan memiliki risiko untuk menjadi komplikasi.
2.3.2. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab stenosis jalan napas, diantaranya dapat dilihat
pada tabel berikut.
12
Tabel 2.1 Etiologi Stenosis jalan nafas atas
Trauma
Penyebab paling sering yang dapat menyebabkan stenosis jalan napas adalah
trauma, lebih spesifik adalah post-intubation. Mayoritas pasien dengan stenosis
glottis dan subglottis disebabkan oleh prolonged intubation (setidaknya 48 – 72
jam atau lebih). Resiko terjadinya airway stenosis juga meningkat setelah
intubasi jangka lama, sekiranya lebih dari 10 hari. Endotracheal tube (ETT)
dapat menyebabkan posterior glottis stenosis (PGS) sedangkan ujung distal dari
ETT dapat menyebabkan stenosis subglottis.5
Endotracheal tube (ETT) dapat menyebabkan kerusakan pada 2 tingkat, yaitu
pada glotis dikarenakan dinding tabung yang kaku dan kerusakan pada trakea
karena tekanan dari cuff (manset). ETT memiliki potensi untuk menyebabkan
kerusakan sirkumsial pada trakea. Hal ini dapat berasal dari abrasi langsung pada
mukosa atau adanya penurunan perfusi sistemik dan perfusi pada tulang
kartilago trakea yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan cuff. Adanya
keadaan seperti penyempitan arteri di jantung atau keadaan vaskulopati sistemik
seperti diabetes, juga dapat berkontribusi terhadap penurunan perfusi lokal pada
tulang kartilago trakea. Jika keadaan ini berlangsung lama, iskemia jaringan akan
terjadi. Iskemia jaringan akan berlanjut pada kongesti, edema dan ulserasi.
Ulserasi kemudian menyebabkan chondritis (inflamasi tulang kartilago) dan
13
nekrosis. Daerah nekrotik yang mengalami perbaikan kemudian akan
membentuk jaringan parut.6
Kejadian stenosis jalan napas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan ETT. Beberapa diantaranya adalah ukuran dari selang ETT,
durasi intubasi, tingkat tekanan cuff dan trauma langsung pada saat intubasi.7
2.3.3. Klasifikasi
Berdasarkan posisi anatomisnya, terdapat stenosis supraglottis, stenosis glottis
dan stenosis subglottis dan trakea.
Stenosis Subglottis
Ruang subglottis yang ada setinggi tulang krikoid merupakan bagian tersempit
dari jalan napas. Stenosis subglottis dimulai ketika iskemia dan ulserasi pada mukosa
mulai mengalami penyembuhan (healing), terbentuknya jaringan parut (fibrous scar)
inilah yang menyebabkan stenosis atau penyempitan.
Penyebab tersering terjadinya stenosis subglottis adalah post-intubation injury.
Hal ini didukung jika durasi intubasi lama (prolonged intubation) karena kebutuhan
akan ventilatory support. Penyebab lainnya dapat berupa trauma pada jalan napas,
inhalation burns, irradiation ataupun idiopatik.8
Kondisi ini memiliki gejala dari suara serak hingga dyspnea berat. Manifestasi
klinis yang ditunjukkan oleh pasien tergantung dari tingkat stenosis yang diderita.
Adapun tingkat stenosis dapat dilihat berdasarkan Cotton-Meyer Staging System,
sebagai berikut:9
14
Gambar 2.7 Ilustrasi Klasifikasi subglottis stenosis
15
Tampilan dari stenosis bervariasi, dimulai dari stenosis jaringan fibrosa tipis
(gambar 2.9), stenosis jaringan fibrosa yang tebal (gambar 2.10) dan stenosis dengan
tampilan “corkscrew” (gambar 2.11).
Gambar 2.9
Gambar 2.10
16
Gambar 2.11
17
merupakan bagian satu-satu nya yang diambil namun dapat juga dilakukan
pembuangan semua bagian (anterior krikoid, inferior thyroid cartilage dan
posterior cricoid inferior to cricoarytenoid joints).
2.4. Trakeostomi
2.4.1. Definisi
Trakeostomi merupakan tindakan pembedahan pembukaan dari trakea.
Trakeostomi pertama kali dilakukan pada 2000 BC. pada tahun 1800s
trakeostomi merupakan cara untuk mengobati pasien dengan difteri. ada 2 cara
untuk melakukan trakeostomi yaitu pertama dengan metode “high” dimana
trakea masuk melalui laring biasanya membagi krikoid kartilago. metode kedua
yaitu “low” trakeostomi dengan cara masuk langsung ke trakea. pada metode
kedua lebih sulit untuk membagi glandula tiroid untuk mengakses ke trakea dan
lebih digunakan metode pertama. ada masalah yang bisa ditimbulkan dari
metode ini seperti laringeal stenosis dan tingginya angka mortalitas. Trakeostomi
merupakan lubang kecil (stoma) yang dibuat pada bagian depan leher yang
masuk langsung menuju trakea (windpipe) yang merupakan artificial airway
untuk membantu dalam proses pernafasan.10
18
Gambar 2.13 Pipa Trakeostomi
2.4.2. Prosedur
Trakeostomi dapat di pasang bisa melalui prosedur pembedahan atau
perkutaneus. keduanya memiliki kesamaan yaitu membutuhkan anastesi,
analgesic, posisi, dan teknik steril. Posisi pasien juga sama dengan leher
ekstensi. Prosedur pembedahan trakeostomi dilakukan pada ruangan operasi dan
memakai anastesi general. Pasien akan diposisikan dan kemudian diberikan
tanda pada thyroid notch, sternal notch, dan krikoid kartilago. Prosedur
dilakukan dengan membuat 2-3 cm insisi horizontal atau vertical diantara sternal
notch dan thyroid cartilage.25
Prosedur trakeostomi perkutaneus merupakan cara yang digunakan pada
kondisi kritis dan dilakukan secara cepat, biasanya dilakukan pada pasien dengan
intubasi dan dapat dilakukan dengan memvisualisasi langsung dari trakea.
Tetapi, bronkoskopi dapat digunakan untuk mengkonfirmasi penempatan dari
pipa trakeostomi. Prosedur dilakukan dengan cara memberikan insisi 2 cm pada
leher dibawah krikoid kartilago biasanya pada cincin trakea level 2, dilakukan
diseksi vertikal diikuti dengan tracheal puncture, kemudian dimasukan guidewire
diikuti dengan needle removal dan dilation. Trakeostomi masuk seiring dengan
dilator dan guidewire, kemudian keluarkan dilator dan guidewire, cuff
trakeostomi inflasikan, ventilator terkoneksi dan pipa endotrakeal dikeluarkan.25
Jalur pernafasan akan memerlukan waktu 7-10 hari untuk kembali seperti semula
setelah dilakukannya prosedur perkutaneus dibandingkan dengan prosedur
pembedahan memerlukan waktu 2-4 hari.
19
2.4.3. Indikasi
Indikasi trakeostomi11,12,26,27
- Kelainan kongenital pada saluran pernafasan
- obstruksi mekanikal saluran nafas atas, contoh : benda asing atau edema
dari jaringan lunak. kerusakan pada saluran nafas atas bisa disebabkan
karena inhalasi kemikal
- Pasien yang membutuhkan perpanjangan artifisial ventilasi : perpanjangan
endo-tracheal intubasi memiliki risiko yang tinggi untuk merusak jaringan
mulut, faring, dan trakea. Pasien sulit untuk berbicara dan meningkatkan
kerja dari pernafasan dengan cara melebarkan dead space. Trakeostomi
mengurangi risiko untuk kerussakan jaringan, dan mengurangi kerja
pernafasan dengan cara mengecilkan dead space.
- Pasien yang tidak dapat mempertahankan jalur nafas secara independen.
Pasien dengan pengurangan fungsi saraf kranial V, VII, IX, X, atau XII
dengan adanya kerusakan pada batang otak, tidak sadar sulit untuk
mempertahankan jalur nafas atau untuk memproteksi jalur nafas dari
aspirasi makanan, minuman, dan air liur. Pada keadaan ini trakeostomi
bisa digunakan pada keadaan jangka pendek maupun jangka panjang
- Pasien dengan retensi sputum merupakan kegagalan untuk membersihkan
sekresi dari cabang bronkial, biasanya terjadi setelah operasi paru.
Produksi sekresi di paru keadaan normal membutuhkan batuk secara
efektif. Retensi merupakan penyebab utama sekresi jalur nafas yang bisa
mengakibatkan pada obstruksi bronkopulmonari dan atelektasis sehingga
diperlukan trakeostomi untuk mencegah menuju komplikasi lain.
- Pasien yang melakukan tindakan operasi pada bagian jalur pernafasan atas
prosedur maxilla-facial atau ENT dibutuhkan untuk melindungi jalur
pernafasan pasien tanpa merusak pada bagian mulut atau faring.
- Indikasi laringectomy merupakan pengangkatan larynx dan diversi bagian
bawah trakea menjadi permanent stoma pada leher bawah.
- Elektif trakeostomi, contoh pada saat operasi kepala dan leher trakeostomi
membantu untuk akses surgical dan fasilitasi ventilasi
20
- Pneumonia aspirasi menyebabkan pasien kesulitan bernafas dan dapat
berkembang menjadi komplikasi kegagalan respiratori, pada keadaan
emergensi harus menstabilkan jalan nafas dari pasien, dengan menilai
oksigenasi, status mental, dan tanda peningkatan kerja nafas atau menuju
kegagalan respiratori dapat dilakukan trakeostomi
21
Pipa Trakeostomi dapat dibuat dari berbagai material, ukuran, dan bentuk. contoh
material yang digunakan untuk pipa trakeostomi diantaranya :
Silicone
merupakan salah satu material yang paling lembut. Pipa silicon
dapat digunakan untuk hampir semua pasien trakeostomi. pipa
silicon dapat dibersihkan dan digunakan kembali. dan juga
dapat disertai atau tanpa cuffs.
22
Gambar 2.15 Pipa Cuffed dan Uncuffed
23
dewasa berkisar antara 6-10 mm. Pada diameter luar untuk perempuan dewasa 10mm dan
laki-laki 11mm.15
Pemasangan Trakeostomi
Pembedahan dapat dilakukan dengan anastesi lokal atau general. Pada pasien dengan
keadaan deviasi trakea karena masa pada leher atau abnormal pada pembuluh darah atau
24
etaksia bisa dilihat dulu melalui x-ray lalu baru memutuskan untuk lokasi serta prosedur yang
akan digunakan.17
25
mudah untuk jalur masuk untuk trakeostomi. Trakeotomi biasanya dilakukan pada cincin
trakea ketiga atau keempat dan area ditandai dengan bipolar diathermy. Pipa trakeostomi
dicek dan dikonfirmasi kembali untuk ukurannya dan dilihat apakah ada kebocoran. lalu
masukan trokar plastik kedalam pipa dan pastikan semua peralatan ada, amankan jalur
trakeotomi dan kontrol dengan penggunaan tracheal dilator atau dengan cricoid hook. Ujung
dari pipa dan trokar di lubrikasi dan masukan pipa perlahan dari posisi lateral kemudian
putar. inflasi cuff dengan udara dan pipa bagian dalam dimasukan jika diperlukan, konektor
sterik digunakan untuk menghubungkan pipa trakeostomi dengan mesin anastesi. Tutup jalur
dengan jahitan dan pastikan konektor dalam posisi yang benar.12,17
Gambar 2.19 Thyroid isthmus dibagi Gambar 2.20 Lihat trakea. Retraktor
pada bagian tengan menggunakan digunakan untuk visualisasi setiap
diarthermy setelah diseksi gunakan sisi 26
surgical clip
Gambar 2.21 Jendela trakeostomi Gambar 2.22 Setelah jendela dibuat
dibuat pada level 3 atau 4 pada dan meticulous haemostasis di
cincin trakea menggunakan blade pastikan menggunakan bipolar
15. Anastesi monitor udara yang diathermy. Endotrakeal tube terlihat
bocor dan mempersiapkan dari jendela.
pergantian pipa
27
Gambar 2.25 Posisi akhir dari pipa, Gambar 2.26 kulit ditutup
cuff diinflasi dengan udara dan tuba menggunakan jahitan, pipa
bagian dalam dimasukkan jika diamankan pada posisi.
diperlukan
28
- pembentukan lubang dari trakea (windpipe) ke esofagus (swallowing tube)
yang disebut tracheo-esophageal fistula
- pembentukan jaringan granulasi yang membutuhkan pengangkatan sebelum
dekanulasi muncul
- Mengecilnya jalur pernafasan pada bagian atas dari tempat trakeostomi dan
membutuhkan tindakan operasi untuk memperbaiki
- ketika trakeostomi di keluarkan, tidak dapat menutup dengan sendirinya
Sebelum pulang kerumah dari rumah sakit akan diberikan penjelasan mengenai cara untuk
penggunaan dan pemberishan dari pipa trakeostomi. ada beberapa bahan yang akan diberikan
diantaranya yaitu :
1. sikat trakeostomi
2. hydrogen peroksida
3. normal saline
4. gunting
5. Q-tips
6. sabun cair
7. 2 buah mangkok
8. trach ties
9. gauze
10. Pinset
1. pelindung shower
2. humidifier
3. pipa untuk berbicara
4. extra pipa
5. tarch bib
6. oksigen (jika dibutuhkan)
7. enteral feeding (jika dibutuhkan)
29
Saat pulang kerumah cara merawat untuk trakeostomi menggunakan “clean technique”
dimana tidak memerlukan sarung tangan saat membersihkan tetapi sangat penting untuk
mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pembersihan pipa.
Suctioning
Dilakukan jika tidak dapat batuk untuk mengeluarkan sekresi. untuk melakukan ini
menggunakan mesin suction, kateter suction, mangkuk bersih, normal saline, sarung
tangan non-steril.
- Cuci tangan sampai bersih
- Kemudian siapkan mesin dengan kateternya
- Tuangkan normal saline ke mangkuk
- Posisi duduk Memakai sarung tangan
- Taruh pipa suction pada control vent piece dari suction kateter
- Tangan non-dominan pegang bagian ujung kateter suction dimana ada kontrol
vent kemudian taruh ibu jari pada suction kateter seperti membuat vacuum.
dengan tangan dominan pegang suction sekitar 5-7 cm dari ujung, taruh ujung
suction kateter pada normal saline (untuk mengetes mesin suction)
- Perlahan masukan kateter suction ke pipa trakeostomi sampai merasa batuk. Tarik
kateter perlahar sebelum suction. taruh ibu jari pada suction kateter untuk
membentuk vacuum dan mulai suction.
- Tarik suction kateter dengan gerakan melingkar dan tetap ibu jari pada suction
kateter trap selama 10-15 detik.
- Bilas suction kateter dengan saline water.
30
kanula dalam dari pipa trakeostomi perlu dibersihkan 2x sehari (pagi dan malam) atau
lebih sering jika diperlukan, jaga pipa agar tetap bersih dan bebas dari sekresi. Bahan
yang diperlukan diantaranya sikat trakeostomi, sabun cair, hydrogen peroxide (jika
butuh), 2 mangkuk bersih, normal saline, air
- mencuci tangan terlebih dahulu kemudian taruh air dan sabun cair kedalam
mangkuk 1 (jika sekresi lengket dan tebal tambahkan ½ cup hydrogen peroxide ke
mangkuk), tuang normal saline ke mangkuk ke 2
- satu tangan memegang bagian luar kanula dan memegang menggunakan ibu jari
dan telunjuk
- tangan dominan membuka kanula dalam dengan cara memutar searah jarum jam
- keluarkan kanula dalam dengan cara ditarik perlahan keluar dan mengarah
kebawah posisinya
- taruh kanula dalam ke mangkuk berisi air dan sabun cair
- sikat trakeostomi bersihkan pada bagian dalam dan luar dari kanula dalam dan
bersihkan mucus
- bilas kanula dalam ke mangkuk yang berisi saline
- pastikan pipa bersih
- perlahan gerakan kanula dalam untuk sedikit mengeringkan, jangan sampai kering
sepenuhnya, sedikit cairan akan memudahkan untuk memasukkan kanula kembali
kedalam
- pegang ujung bagian luar kanula dengan ibu jari dan telunjuk dengan tangan non-
dominan
- masukkan bagian dalam kanula dengan tangan dominan dan putar searah jarum
jam untuk mengunci
- cuci tangan kembali
Memberishkan Stoma
Membersihkan stoma, area kulit sekitar kanula luar minimal 2x sehari. jika
menggunakan tarch dressing dibawah stoma, harus diganti minimal 1x sehari. Alat
yang dibutuhkan adalah tarch dressing (jika dibutuhkan), kaca dan pencahayaan yang
tepat, handuk muka, Q-tips atau pinset, air
- mencuci tangan, dan mencari posisi yang nyaman, pencahayaan yang baik dan
duduk didepan kaca
31
- basahkan handuk dengan air dan perlahan bersihkan kanula luar dan kulit di area
sekitar. Q-tips atau pinset untuk membantu area yang sulit dibuka jika
menggunakan tarch plate
- keringkan area dan perlahan dibuka
- lihat pada area stoma apakah ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan,
pembengkakan, sakit, panas, bau tidak sedap, nanah pada area
- taruh dressing baru
- cuci tangan kembali
32
33
34
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, 46 tahun, datang dengan keluhan sesak sejak 1 bulan SMRS.
Keluhan disertai dengan batuk dan demam. Pasien sudah terkonfirmasi Covid-19 (+)
berdasarkan hasil swab nasofaring pada tanggal 11, 16 dan 21 Mei. Pasien dirawat selama 3
35
minggu di bangsal, yang kemudian mengalami perburukan hingga saturasi oksigen terakhir
sebelum dipindahkan ke ICU adalah 88%. Pasien dikatakan mengalami pneumonia Covid-19,
AKI on HD dan sepsis. Pada saat ini, pasien mengalami penurunan kesadaran.
Berdasarkan studi kasus, intubasi yang melebihi dari 7 hari masuk kedalam kategori
prolonged intubation. Prolonged intubation dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dimana
komplikasi yang muncul dapat secara langsung ataupun beberapa hari hingga minggu setelah
dilakukannya intubasi. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan
prolonged intubation adalah upper airway stenosis, sebagai salah satu contohnya subglottic
stenosis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, airway stenosis merupakan penyempitan
jalan napas yang dapat berujung pada obstruksi pernapasan karena adanya jaringan parut
(scarring) yang menutupi airway. Mekanisme terjadinya stenosis dimulai dari abrasi
langsung oleh ETT pada mukosa jalan nafas sehingga dapat menyebabkan penurunan perfusi
sistemik dan lokal pada tulang kartilago trakea (pada umumnya disebabkan oleh tekanan cuff
yang tinggi). Jika hal ini berlangsung lama, iskemia jaringan terjadi, dilanjutkan dengan
kongesti, edema dan ulserasi. Ulserasi kemudian akan menyebabkan chondritis (inflamasi
pada tulang kartilago) dan nekrosis. Daerah nekrotik yang mengalami perbaikan kemudian
akan membentuk jaringan parut, yang nanti nya jaringan parut tersebutlah yang menutupi
36
jalan nafas pasien. Untuk melihat adanya subglottic stenosis dapat dilakukan trakeoskopi,
namun pada pasien ini tidak dilakukan karena keadaan pasien dengan Covid-19.
Pada pasien ini memiliki tekanan darah yang cukup tinggi yang disebabkan karena
AKI on hemodialisa setiap harinya, apabila pasien memiliki tekanan darah tinggi akan
menimbulkan berbagai macam risiko saat dilakukannya tindakan pembedahan. Maka dari itu
sebelum dilakukan tindakan pembedahan diperlukannya tekanan darah yang stabil sehingga
pasien diberikan obat antihipertensi seperti beta blocker, tetapi obat seperti ACE inhibitor
atau angiotensin receptor blocker penggunaannya diberhentikan dahulu selama 24 jam
sebelum dilakukan pembedahan. Penggunaan diuretik juga harus dihentikan selama 2-3 hari
sebelum dilakukan pembedahan untuk menghindari volume depletion, intraoperative
hypotension yang akan memperberat kerja ginjal. Pada saat dilakukan tindakan pembedahan
anestesi harus memastikan tekanan darah, nadi, laju nafas tetap stabil. Saat dilakukan
pembedahan dan tekanan darah naik disebabkan karena aktivitas dari saraf simpatetik karena
pada saat itu anestesi sedang bekerja dan merupakan fenomena yang normal. Untuk
mengatasi hal ini anesthesiologist akan memberikan antihipertensi melalui intravena. Pada
keadaan lainnya jika terjadi pendarahan saat dilakukannya pembedahan dan tekanan darah
turun dapat diberikan cairan atau transfusi darah jika diperlukan. Pada pasien ini saat
37
dilakukan pembedahan terjadi pendarahan yang cukup banyak sehingga diberikan cairan pada
saat pembedahan.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Joshi AS. Pharynx Anatomy [Internet]. 2013 [cited 2020 May 30]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview
2. Vashista R. Larynx Anatomy [Internet]. 2017 [cited 2020 May 30]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview
3. Brand-Saberi BEM, Schäfer T. Trachea: Anatomy and physiology. Thorac Surg Clin.
2014;24(1):1–5.
4. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation. J
Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
5. Chapters R. Glottic and Subglottic Stenosis: Evaluation and Surgical Planning. Oper Tech
Laryngol. 2008;37–42.
6. Liu J, Zhang CP, Li Y, Dong S. Post-intubation tracheal stenosis after management of
complicated aortic dissection: A case series. J Cardiothorac Surg. 2015;10(1):1–4.
7. Goyena R, Fallis A. Bailey’s Head & Neck Surgery: Otolaryngology. J Chem Inf Model.
2019;53(9):1689–99.
8. D’Andrilli A, Venuta F, Rendina EA. Subglottic tracheal stenosis. J Thorac Dis.
2016;8(Suppl 2):S140–7.
9. Myer CM, O’connor DM, Cotton RT. Proposed grading system for subglottic stenosis
based on endotracheal tube sizes. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103(4):319–23.
10. Ruíz AAB. Tracheostomy [Internet]. Vol. 3. 2015. 54–67 p. Available from:
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
11. Durbin CG. Tracheostomy: Why, when, and how? Respir Care. 2010;55(8):1056–68.
12. Tube T, Appearance P. Tracheostomy Booklet.
13. Higgs A, McGrath BA, Goddard C, Rangasami J, Suntharalingam G, Gale R, et al.
Guidelines for the management of tracheal intubation in critically ill adults. Br J
Anaesth [Internet]. 2018;120(2):323–52. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.bja.2017.10.021
14. Walts PA, Murthy SC, DeCamp MM. Techniques of surgical tracheostomy. Clin Chest
Med. 2003;24(3):413–22.
15. Scanlon K. Tracheostomy care. Nursing (Lond). 1983;13(8):6–7.
16. Young D. Timing of tracheostomy - Reply. JAMA - J Am Med Assoc.
2013;310(12):1287.
39
17. Muscat K, Bille A, Simo R. A guide to open surgical tracheostomy. Shanghai Chest.
2017;1(2):4–4.
18. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation.
J Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
19. https://www.intechopen.com/books/tracheal-intubation/long-term-complications- of-
tracheal-intubation
20. https://www.hopkinsmedicine.org/tracheostomy/about/complications.html
21. Ave EH. A Caregiver Guide for Tracheostomy Care at Home. (888):1–22.
22. Patton J. Tracheostomy care. Br J Nurs. 2019;28(16):1060–2.
23. Hamelberg W, Welch CM, Siddall J, Jacoby J. Complications of endotracheal intubation.
J Am Med Assoc. 1958;168(15):1959–62.
24. Jacob T, Walker A, Mantelakis A, Gibbins N, Keane O. A framework for open
tracheostomy in COVID-19 patients. Clin Otolaryngol. 2020;
25. https://tracheostomyeducation.com/tracheostomy-basic-information/
26. Bonde P, Papachristos I, McCraith A, Kelly B, Wilson C, McGuigan JA, et al. Sputum
retention after lung operation: Prospective, randomized trial shows superiority of
prophylactic minitracheostomy in high-risk patients. Ann Thorac Surg. 2002;74(1):196–
203.
27. Wang H, Shen Z, Yao Z, Qiu H. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zhi. 2003;17(12):732-
733
40