Disusun Oleh:
Pembimbing:
SANATORIUM DHARMAWANGSA
TANGERANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat-Nya yang
telah diberikan kepada saya untuk menyelesaikan referat ini.
Terimakasih atas doa dan bimbingan dari banyak pihak kepada saya dalam proses
pengerjaan referat ini, yaitu kepada:
1. Dosen Pembimbing Dr. dr. Agnes Tineke Waney R., Sp.KJ, yang telah memberikan
masukan kepada penulis
2. Orang tua dan teman-teman satu kelompok yang telah mendukung dan memberi
semangat selama proses penulisan referat ini
3. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat bermanfaat bagi penulis untuk
perbaikan kedepannya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi
semua yang membaca.
Penulis
(Stevanie Budianto)
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Akhir tahun 2019 lalu, terdapat sejumlah kasus pneumonia dengan karakteristik berupa
demam, batuk kering, letih dan gejala gastrointestinal di Wuhan, China. Pada Januari 2020,
diketahui bahwa severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan
agen kausatif dari penyakit ini. World Health Organization (WHO) menamakan penyakit ini
sebagai “COVID-19” pada 11 Februari 2020 dan menyatakan status pandemi ketika penularan
COVID-19 sudah mencapai hingga 114 negara, dengan lebih dari 118.000 kasus dan 4.000
kematian per tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan 1.528 kasus
terkonfirmasi COVID-19 dengan 136 kasus meninggal per tanggal 31 Maret 2020. Angka-
angka ini terus meningkat dengan laporan terbarunya terdapat sebanyak 1.024.298 kasus
terkonfirmasi COVID-19, 28.855 kasus meninggal dan 831.330 kasus sembuh per tanggal 27
Januari 2021.1,2,3,4
Pada studi cross-sectional oleh Wang dkk yang melakukan evaluasi tentang dampak
psikologis seperti depresi, ansietas dan stres pada awal mula pandemi COVID-19, memberikan
hasil 16.5% depresi, 28.8% ansietas dan 8.1% stres. Selain itu, salah satu survey kesehatan
mental yang dilakukan online secara mandiri (self-examination) oleh Persatuan Mental
Indonesia Dokter Spesialis Kedokteran (PDSKJI) 23 April 2020, pada 1.552 responden
mengenai kecemasan, depresi dan trauma menunjukkan hasil bahwa 63% dari responden
mengalami kecemasan dan 66% mengalami depresi yang disebabkan oleh pandemi COVID-
1
19. Pada survey ini, gejala-gejala kecemasan dijelaskan sebagai kekhawatiran yang berlebihan
akan hal-hal buruk, mudah tersinggung dan kesulitan menjadi rileks. Survey yang sama
kemudian dilakukan pada 2.364 responden berbeda dan memberikan hasil 68% respondennya
mengalami kecemasan, 67% depresi dan 77% mengalami trauma psikologi. Data ini
menunjukkan bahwa kesehatan mental akibat pandemi merupakan masalah serius yang banyak
dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini.6,7
Dengan itu, referat ini ditulis dengan tujuan untuk membahas lebih lanjut bagaimana
gangguan psikologis terkhususnya gangguan ansietas atau kecemasan selama masa pandemi
COVID-19.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
Rasa cemas dalam jumlah tertentu pada umumnya merupakan hal yang normal
dan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa situasi, kecemasan
bahkan diperlukan dalam menghindari bahaya. Respon ansietas normal dikatakan
sebagai respon “fight or flight”, dimana respon inilah yang mendorong individu untuk
melawan atau melarikan diri dari bahaya. Setiap kali respon “fight or flight” teraktivasi,
hal ini mengarah pada perubahan tiga aspek, yaitu kognitif (cara berpikir), fisik
(bagaimana repon tubuh terhadap ansietas) dan perilaku (cara bertindak terhadap
ansietas). Perubahan ketiga aspek sistem ini bervariasi tergantung dari individu dan
konteksnya. Pada aspek kognitif, perhatian dan pikiran akan bergeser segera dan
otomatis pada potensi ancaman. Efeknya pada masing-masing individu berbeda,
bervariasi dari kekhawatiran hingga teror yang ekstrim. Aspek fisik yang muncul
terhadap ansietas berupa jantung berdebar-debar atau nadi meningkat, pernafasan
dangkal, gemetar, berkeringat, pusing, merasa lemah, kedinginan, otot terasa tegang,
mual hingga sesak nafas. Pada aspek perilaku, manifestasi pada masing-masing
individu berbeda-beda dalam upaya melindungi diri sendiri dari kecemasan. Misalnya,
menghindari jalan-jalan tertentu setelah hari gelap ataupun mengambil kelas
pertahanan diri. Setiap individu pasti pernah mengalami kecemasan, namun secara
umum hal ini terjadi sesekali dan memiliki durasi yang pendek, serta tidak
menimbulkan masalah atau gangguan. Tetapi ketika gejala kecemasan berlangsung
lama dan cukup parah, ansietas tersebut dapat menyebabkan masalah atau gangguan
pada kualitas hidupnya. Hal ini dapat berpengaruh buruk hingga mempengaruhi
kemampuan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti bekerja atau belajar,
mengatur tugas sehari-hari hingga bersosialisasi.8
Patofisiologi ansietas dikaitkan dengan neurotransmitter seperti Serotonin,
Gamma-Aminobutyric Acid (GABA), Dopamin dan Neuroepinefrin. Keempat
neurotransmitter tersebut memiliki perannya masing-masing dalam regulasi
kecemasan. Serotonin berperan dalam pengaturan suasana hati, agresi, impuls, tidur,
nafsu makan, suhu tubuh dan rasa sakit. Norepinefrin terlibat dalam respon melawan
3
atau melarikan diri, dan dalam regulasi tidur, suasana hati serta tekanan darah. Pada
individu dengan ansietas, terutama pada gangguan panik, pelepasan norepinefrin tidak
diatur secara baik. GABA berperan untuk menimbulkan relaksasi dan tidur, serta
mencegah overeksitasi. Disfungsi pada berbagai neurotransmitter dan reseptor di otak
berdampak pada terjadinya ansietas. Tiga neurotransmitter utama yang berdampak
terhadap terjadinya ansietas adalah GABA, serotonin (5-HT) dan noradrenalin.
Glukokortikoid mengaktifkan locus caerulus, yang berperan dalam mengatur ansietas,
yaitu dengan aktivasi dari pelepasan norepinefrin dan merangsang sistem saraf simpatik
dan parasimpatik. GABA bekerja dengan inhibisi berbagai rangsangan yang ada pada
sistem saraf pusat. Selain itu, jalur serotonergik yang timbul dari nukleus raphe di
batang otak mempersarafi berbagai macam struktur yang dianggap terlibat dalam
gangguan ansietas, termasuk korteks frontal, amigdala, hipotalamus dan hipokampus.
Pada bagian serotonin, aktivasi 5-HT1A (reseptor serotonin) akan meningkatkan aliran
kalium dan menghambat aktivitas adenilat siklase. Noradrenalin, memodulasi
mekanisme rangsangan otonom, termasuk peningkatan denyut jantung dan pernapasan.
Hal ini mengarah pada kaskade fisiologis yang mengakibatkan gejala panik. 26
4
Kriteria dignostik F40 Gangguan Anxietas Fobik (gangguan fobia) menurut
PPDGJ III:
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar
individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan.
o Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti adanya
perasaan takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan
akan perubahan bentuk badan (dismorfofobia) yang tidak
realistik dimasukkan kedalam klasifikasi F45.2 (gangguan
hipokondrik).
Sebagai akibatnya objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi
dengan rasa terancam.
Secara subjektif, psikologik dan tampilan perilaku, anxietas fobik tidak
berbeda dari anxietas lainnya dan dapat dalam bentuk ringan sampai
berat (serangan panik).
Anxietas fobik seringkali muncul bersamaan dengan depresi.
Pembuatan diagnosis tergantung dari gejala yang jelas timbul lebih dulu
dan lebih dominan pada saat pemeriksaan.
Agorafobia merupakan ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta
adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Pasien umumnya
menghindari situasi pada saat sulit untuk mendapatkan bantuan, lebih suka
ditemani oleh teman atau anggota keluarga ditempat tertentu (contohnya,
jalan/toko yang ramai, ruang/kendaraan tertutup), hingga keluar rumah. Pada
keadaan parah, pasien menolak keluar rumah jika tidak ada yang dapat
mendampingi mereka saat diluar rumah, serta takut akan menjadi gila.
5
b. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah
dan bepergian sendiri
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”)
*Karakter kelima, F40.00 adalah tanpa gangguan panik, sementara F40.01
adalah dengan gangguan panik.
Menurut DSM-IV, kriteria diagnostiknya sebagai berikut:
300.22 Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik
A. Kehadiran Agorafobia terkait dengan rasa takut berkembang menjadi
gejala panik (misalnya pusing atau diare)
B. Kriteria tidak pernah terpenuhi untuk gangguan panik
C. Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis
umum
D. Jika kondisi medis terkait hadir, ketakutan dijelaskan dalam kriteria A jelas
melebihi dari yang biasanya dikaitkan dengan kondisinya.
Fobia sosial adalah ketakutan irasional pada situasi sosial tertentu. Contohnya,
takut atau cemas saat tampil didepan orang-orang yang belum dikenal atau
dihadapkan pada situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau
menjadi pusat perhatian, merasa takut bahwa ia akan berperilaku
memalukan/menampakan gejala anxietas atau bersikap yang dapat merendahkan
dirinya.
Kriteria diagnostik F40.1 Fobia sosial menurut PPDGJ III:
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi sekunder dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif
b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi
sosial tertentu (outside the family circle), dan
6
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia (F40.0)
Kriteria diagnostik 300.23 Fobia Sosial menurut DSM-IV:
A. Ketakutan yang nyata dan terus menerus terhadap satu atau lebih terhadap
situasi sosial, dimana individu tersebut dihadapkan kepada orang yang
tidak dikenal atau kemungkinan pada pengawasan orang lain. Individu takut
bahwa ia akan bertindak dengan cara yang memalukan (atau menunjukkan
gejala kecemasan). (pada anak-anak, kecemasan harus terjadi dalam
lingkup teman sebaya, tidak hanya dalam interaksi dengan orang dewasa).
B. Paparan terhadap situasi sosial yang ditakuti hampir selalu
memprovokasi kecemasan, yang mungkin berbentuk seperti serangan
panik karena situasi tertentu. (pada anak-anak dapat diekspresikan dengan
tangisan, kemarahan, kedinginan atau kelekatan)
C. Individu tersebut menyadari bahwa ketakutan itu berlebihan atau tidak
masuk akal
D. Situasi sosial yang ditakuti akan dihindari atau dihadapi dengan
kecemasan yang intens
E. Penghindaran, antisipasi cemas, atau kesulitan dalam situasi yang ditakuti
mengganggu rutinitas normal, pekerjaan (atau akademis), aktivitas atau
hubungan sosial.
F. Individu dibawah 18 tahun, durasi minimal 6 bulan
G. Ketakutan atau penghindaran tidak disebabkan oleh efek fisiologis
langsung dari substansi dan gangguan mental lain.
H. Jika kondisi medis atau gangguan mental lain hadir, ketakutan dalam
kriteria A tidak ada hubungannya dengan hal tersebut.
7
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
b. Anxietas harus harus terbatas pada adanya objek atau situasi
fobik tertentu (highly specific situations), dan
c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak
seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.
Kriteria diagnostik 300.29 Fobia Khas/Spesifik menurut DSM-IV:
A. Ketakutan berlebih atau tidak masuk akal, yang ditunjukkan oleh
kehadiran atau antisipasi objek/situasi tertentu (misalnya: terbang,
ketinggian, hewan, menerima suntikan, melihat darah)
B. Paparan terhadap stimulus fobia hampir selalu memprovokasi respons
kecemasan segera, yang mungkin berbentuk seperti serangan panik
karena situasi tertentu. (pada anak-anak dapat diekspresikan dengan
tangisan, kemarahan, kedinginan atau kelekatan)
C. Individu tersebut menyadari bahwa ketakutan itu berlebihan atau tidak
masuk akal
D. Situasi fobia dihindari atau dihadapi dengan kecemasan yang intens
E. Penghindaran, antisipasi cemas, atau kesulitan dalam situasi yang ditakuti
mengganggu rutinitas normal, pekerjaan (atau akademis), aktivitas atau
hubungan sosial.
F. Individu dibawah 18 tahun, durasi minimal 6 bulan
G. Kecemasan, serangan panik atau penghindaran fobia yang terkait dengan
objek atau situasi tertentu tidak disebabkan oleh gangguan mental lain,
seperti: gangguan obsesif-kompulsif, PTSD, atau separation anxiety
disorder, fobia sosial, gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia
tanpa riwayat gangguan panik.
Tipe:
- Binatang tertentu
- Lingkungan alam tertentu (contoh: ketinggian, petir, air)
- Luka injeksi/suntik
- Situasi tertentu (contoh: didalam pesawat, lift, tempat tertutup)
8
- Lainnya (contoh: takut badut, suara besar)
2. Gangguan Panik
Gangguan panik ditandai dengan serangan panik berulang. Serangan panik
umumnya terjadi secara tiba-tiba atau spontan dan tidak terduga, disertai dengan
gejala otonomik yang kuat terutama sistem kardiovaskular dan pernafasan. Durasi
selama 20-30 menit. Gejala yang muncul pada saat serangan umumnya mirip
dengan gejala gangguan jantung, seperti rasa nyeri di dada, berdebar-debar,
keringat dingin hingga perasaan seperti tercekik. Kondisi ini dapat berulang hingga
membuat penderitanya khawatir akan kejadian yang serupa berulang. Hal ini
disebut sebagai anticipatory anxiety, dimana penderita berusaha untuk
mendapatkan pertolongan berulang kali, contohnya pergi ke RS terdekat. Gejala
pernafasan yang muncul pada saat serangan adalah pernafasannya cepat dan
pendek atau disebut juga sebagai suffocation false alarm. Berbeda dengan
abnormalitas kardiovaskular, pernafasan biasanya tidak stabil pada serangan panik.
Manifestasi yang dapat terlihat secara obyektif saat serangan berlangsung adalah
takikardia, palpitasi, dispnea dan berkeringat. Namun, perlu diketahui bahwa
serangan panik tidak selalu disertai dengan pengukuran obyektif dari hiperventilasi
atau disfungsi kardiovaskular.
Gejala mental yang dirasakan pasien umumnya rasa takut yang hebat akan
ancaman kematian atau bencana. Pasien juga akan merasa bingung dan sulit
berkonsentrasi. Pada saat pemeriksaan status mental, pasien dapat mengalami
kesulitas bicara seperti gagap dan adanya gangguan memori. Hal lain yang dapat
dialami berupa depresi, derealisasi dan depersonalisasi.
Kriteria diagnostik F41.0 gangguan panik (Anxietas Paroksismal Episodik)
menurut PPDGJ III:
Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40.-)
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali
serangan anxietas berat dalam masa kira-kira 1 bulan:
a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara obyektif tidak
ada bahaya
9
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya (unpredictable situation)
c. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada
periode diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian,
umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik” yaitu
anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang
mengkhawatirkan akan terjadi)
Menurut DSM-IV, gangguan panik dapat disertai atau tanpa agorafobia. Berikut
kriteria diagnostiknya.
300.01 Gangguan Panik Tanpa Agorafobia
A. Keduanya (1) dan (2):
(1) Serangan panik tak terduga yang berulang
(2) Setidaknya 1 serangan telah diikuti oleh salah satu dibawah ini selama
1 bulan:
a. Kekhawatiran terus-menerus tentang serangan tambahan
b. Khawatir tentang implikasi dari serangan tersebut atau
konsekuensinya (misalnya: kehilangan kendali, mengalami
serangan jantung, “menjadi gila”)
c. Perubahan signifikan dalam perilaku yang terkait dengan
serangan tersebut
B. Tidak adanya agorafobia
C. Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis umum
(misalnya: hipertiroid)
D. Serangan panik tidak disebabkan oleh gangguan mental lain, seperti: fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif-kompulsif, PTSD, atau separation
anxiety disorder.
10
b. Khawatir tentang implikasi dari serangan tersebut atau
konsekuensinya (misalnya: kehilangan kendali, mengalami
serangan jantung, “menjadi gila”)
c. Perubahan signifikan dalam perilaku yang terkait dengan
serangan tersebut
B. Adanya agorafobia
C. Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis umum
(misalnya: hipertiroid)
D. Serangan panik tidak disebabkan oleh gangguan mental lain, seperti: fobia
sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif-kompulsif, PTSD, atau separation
anxiety disorder.
11
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free-floating” atau “mengambang”)
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung
tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai)
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing,
mulut kering, dsb)
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang
yang menonjol
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa
hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama GAD,
selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif (F32.-), gangguan ansietas fobik (F40.-), gangguan panik
(F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).
12
D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan Axis I,
misalnya serangan panik, fobia sosial, gangguan obsesif-kompulsif,
separation anxiety disorder, anorexia nervosa, gangguan somatisasi,
hipokondriasis atau PTSD.
E. Kecemasan, kekhawatiran atau gejala fisik menyebabkan kesulitan atau
gangguan sigifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau bidang penting
lainnya.
F. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis umum
(misalnya: hipertiroid) dan tidak terjadi secara eksklusif selama gangguan
mood, gangguan psikotik atau pervasive developmental disorder.
4. Gangguan Obsesif-Kompulsif
Obsesi merupakan aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang
berulang dan intrusif. Sedangkan kompulsi adalah pola perilaku tertentu yang
berulang dan disadari seperti contohnya menghitung, memeriksa dan menghindar.
Tindakan kompulsi merupakan usaha untuk meredakan kecemasan yang
berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil untuk meredakan
kecemasan. Maka itu dapat disimpulkan bahwa gangguan obsesif-kompulsif
digambarkan sebagai pikiran dan tindakan berulang yang menghabiskan waktu
atau menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna. Sebagian besar gangguan
ini dimulai pada usia remaja atau dewasa muda, namun dapat terjadi pula pada
masa kanak. Umumnya obsesi dan kompulsi memiliki gambaran tertentu, seperti:
Adanya ide/impuls yang terus menerus menekan kedalam kesadaran
individu.
Perasaan cemas/takut akan ide/impuls yang aneh.
Obsesi dan kompulsi egoalien.
Pasien mengenali obsesi dan kompulsi merupakan sesuatu yang abstrak
dan irasional.
Individu yang menderita obsesi kompulsi merasa adanya keinginan kuat
untuk melawan.
Ada 4 pola gejala utama pada gangguan obsesif-kompulsif, yaitu:
1. Kontaminasi
13
Pola kontaminasi merupakan pola yang paling sering dijumpai pada
gangguan ini. Umumnya bermanifestasi sebagai perilaku mencuci dan
membersihkan atau menghindari obyek yang dicurigai terkontaminasi.
2. Sikap ragu-ragu yang patologik
Pola kedua dari yang sering dijumpai. Obsesinya merupakan sikap ragu-
ragu yang diikuti dengan tindakan kompulsi mengecek/memeriksa. Tema
obsesi seringkali adalah tentang situasi berbahaya atau kekerasan
(contohnya, lupa mematikan kompor atau tidak mengunci pintu rumah).
3. Pikiran yang intrusif
Pola ini biasanya jarang ditemukan, dimana terdapat obsesi pikiran yang
intrusif namun tidak disertai dengan tindakan kompulsi (contohnya, pikiran
berulang tentang sexual atau tindakan agresif).
4. Simetri
Obsesi bertema kebutuhan untuk simetri dan ketepatan, sehingga pasien
bertindak lamban (contohnya, makan yang memerlukan waktu berjam-jam,
mencukur kumis atau janggut). Pola lainnya: obsesi bertemakan keagamaan,
trichotilomania dan menggigit-gigit jari.
14
o Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif sering menunjukkan
gejala depresif, sebaliknya menunjukkan hal yang sama (penderita
gangguan depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan gejala obsesif
selama episode depresif-nya). Meningkat/menurunnya gejala depresif
umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutamakan dari gejala-gejala yang timbul terlebih dahulu. Diagnosis
obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif
pada saat gejala obsesif-kompulsif timbul. Bila dari keduanya tidak
ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai
diagnosis primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan
pada gejala yang paling bertahan saat gejala lain menghilang.
Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette atau gangguan mental organik, harus dianggap
sebagai bagian dari kondisi tersebut.
Menurut PPDGJ III, F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif diklasifikasikan lagi
menjadi:
F42.0 Predominan pikiran obsesif/pengulangan, kriteria diagnotik-nya:
Keadaan ini dapat berupa: gagasan, bayangan pikiran, atau impuls
(dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien)
Meskipun isi pikiran berdeda-beda, umumnya hampir selalu
menyebabkan penderitaan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif, kriteria diagnostik-nya:
Ummnya tindakan kompulsif berkaitan dengan: kebersihan (khususnya
mencuci tangan), memeriksa berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa
situasi yang dianggap berpotensi berbahaya tidak terjadi, atau masalah
kerapihan atau keteraturan.
o Hal ini dikarenakan perasaan takut terhadap bahaya yang
mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan
15
ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif
untuk menghindari bahaya tersebut.
Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai
beberapa jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan
ketidakmampuan mengambil keputusan dan kelambanan.
F42.2 Campuran pikiran dan tindakan obsesif, kriteria diagnostik-nya:
Kebanyakan penderita memperlihatkan pikiran obsesif dan tindakan
kompulsif. Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut sama-
sama menonjol.
Apabila hanya salah satu yang lebih dominan, sebaiknya dinyatakan
dalam diagnosis F42.0 atau F42.1
F42.8 Gangguan obsesif-kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif-kompulsif YTT
16
(2) Perilaku atau tindakan tersebut ditujukan untuk mencegah atau
mengurangi kecemasan atau mencegah terjadinya peristiwa atau
situasi yang ditakuti. Namun, tindakan tersebut dinilai tidak realistis
atau berlebihan.
B. Pada suatu waktu tertentu selama gangguan, individu yang mengalaminya
menyadari bahwa obsesi atau kompulsi berlebihan atau tidak masuk
akal. (tidak berlaku untuk anak-anak)
C. Obsesi atau kompulsi menyebabkan gangguan bermakna, dapat
menghabiskan waktu lebih dari 1 jam dalam satu hari, atau secara
signifikan mengganggu rutinitas normal seseorang, pekerjaan (atau
akademis) atau kegiatan dan hubungan sosial pada umumnya.
D. Jika terdapat Axis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas pada
gangguan ini. (contoh: gangguan makan, trikotilomnia, gangguan dismorfik
tubuh, gangguan penggunaan zat, hipokondriasis, paraphilia, major
depressive disorder)
E. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis
umum.
17
berikut dapat terlihat depresi, ansietas, kemarahan , kecewa,
overaktif dan 45 penarikan diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala
tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang
lama
b. Pada kasus yang dapat dialhkan dari lingkup stressornya, gejala-
gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam)dalam
hal dimana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan
gejala –gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya
hapir menghilang setelah 3 hari.
Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan
mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan
gangguan psikiatrik lainnya.
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang
peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
18
C. Peristiwa traumatis terus-menerus dialami kembali setidaknya di salah satu
cara berikut: gambar berulang, pikiran, mimpi, ilusi atau kilas balik
episode, perasaan hidup kembali disaat peristiwa traumatis tersebut,
kesulitan untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut.
D. Penghindaran yang signifikan terhadap rangsangan yang
membangkitakan ingatan trauma (misalnya pikiran, perasaan, percakapan,
aktivitas, tempat dan orang).
E. Gejala kecemasan meningkat (misalnya kesulitan tidur, mudah
tersinggung, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, mudah terkejut,
kegelisahan motorik).
F. Gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan/hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
G. Gangguan tersebut berlangsung minimal 2 hari dan maksimal selama 4
minggu, dan terjadi dalam 4 minggu setelah peristiwa traumatis.
H. Gangguan ini bukan karena efek fisiologis langsung dari substansi
(misalnya: penyalahgunaan obat atau pengobatan) atau kondisi medis
umum.
19
Terpapar oleh kejadian luar biasa sebelumnya, yang dirasakan secara
subyektif oleh individu berangkutan dan menyebabkan penderitaan bagi
dirinya
Tipe kejadian cenderung dapat meningkatkan angka kejadian PTSD, dimana
dapat dikategorikan menjadi:
Tindak kekerasan interpersonal
Kecelakaan/bencana alam yang mengancam nyawa
Trauma berulang dan bersifat kronik.
Menurut DSM-IV, ada beberapa jenis kejadian berpotensi menyebabkan PTSD,
seperti kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik, perampokan),
penculikan, penyanderaan, serangan militer, serangan teroris, penyiksaan, ditahan
dalam penjara sebagai tahanan politik/perang, bencana alam baik alamiah/buatan
manusia, kecelakaan lalu lintas berat dan didiagnosis penyakit berat yang
mengancam nyawa.
Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami dapat pula mempengaruhi
reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti:
Durasi dan intensitas stresor yang dialami
Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
Berat ringannya kehilangan sesuatu (baik material ataupun personal)
Perilaku korban yang selamat pada waktu peristiwa traumatik (contoh:
apakah korban menyelamatkan diri sendiri atau orang lain)
Gambaran klinis umumnya berupa adanya ingatan-ingatan akan peristiwa
traumatik yang pernah dialami, serta mendesak timbul ke alam sadar, disertai
dengan mimpi-mimpi buruk. Individu juga secara sadar sengaja menghindari
berbagai situasi yang akan mengingatkannya terhadap peristiwa traumatik tersebut.
Biasanya pasien datang bukan dengan gejala-gejala diatas, melainkan dengan
gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya,
kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat lainnya serta berbagai keluhan fisik
lainnya (contohnya, nyeri kronik atau IBS). Pasien dengan gangguan ini seringkali
dijumpai dengan adanya penurunan taraf kesehatan secara umum.
Kriteria diagnostik F43.1 Gangguan Stres Pasca Trauma menurut PPDGJ III:
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang
20
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui 6 bulan)
o Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal manifestasi klinisnya khas dan
tidak terdapat alternatif kategori diagnosis lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-
bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara
berulang (flashback).
Gangguan otonomik, afek dan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas.
Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
21
(4) Adanya distres psikologis jika dihadapkan dengan simbol/hal-hal
berkaitan dengan peristiwa traumatik
(5) Adanya reaksi fisiologis jika dihadapkan dengan simbol/hal-hal
berkaitan dengan peristiwa traumatik
C. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik, disertai dengan respon emosi yang
membeku secara keseluruhan, ditunjukkan 3/lebih dari gejala ini:
(1) Adanya usaha untuk menghindari pikiran/perasaan/pembicaraan yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik
(2) Adanya usaha untuk menghindari aktivitas/tempat/orang-orang yang
membangkitkan ingatan tentang peristiwa traumatik
(3) Kesulitan untuk mengingat aspek penting yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik
(4) Penurunan bermakna terhadap ketertarikan/partisipasi dalam aktivitas
(5) Merasa asing/terpisah dari lingkungan/orang disekitarnya
(6) Ekspresi afektif terbatas (contoh: tidak dapat merasa lagi perasaan
dicintai)
(7) Kehilangan motivasi untuk membina masa depan (contoh:
mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh anak/kehidupan
sehari-hari)
D. Gejala menetap akan peningkatan kewaspadaan, ditandai 2/lebih dari
gejala ini:
(1) Kesulitan untuk memulai atau saat tidur
(2) Iritabilitas/mudah marah
(3) Sulit berkonsentrasi
(4) Hypervigilance
(5) Respons kacau dan tidak terkendali
E. Durasi dari gejala kriteria 2, 3, 4 berlangsung lebih dari 1 bulan
F. Gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan/hendaya dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau fungsi lainnya
Akut: durasi gejala <3 bulan
Kronik: durasi gejala 3 bulan atau lebih
Awitan lambat: jika terjadi paling lambat 6 bulan setelah mengalami
peristiwa traumatik
22
Berikut diagram untuk mempermudah diagnosis gangguan kecemasan.
23
1) SSRI atau venlafaxine (SNRI) + CBT
2) Moclobemide
3) Benzodiazepine (untuk relief)
4) Farmakologi SSRI, venlafaxine atau moclobemide
dilakukan selama 12 bulan
Panik 1) Anti-panik SSRI atau venlafaxine (SNRI)
2) Anti-panik Trisiklik (Imipramine/Clomipramine)
3) Benzodiazepine (Alprazolam) tapered &
withdrawn dalam 4 minggu
4) CBT
GAD 1) SSRI atau venlafaxine (SNRI) + CBT
2) Trisiklik (Imipramine)
3) Benzodiazepin tidak boleh untuk jangka panjang
4) Pengobatan selama 32 minggu
Obsesif-Kompulsif 1) SSRI trial selama 10-12 minggu + CBT
2) Trisiklik (Clomipramine) – jika SSRI tidak adekuat
3) Venlafaxine (SNRI)
4) Jika respon baik dengan obat anti-depresi, pengobatan
dilanjutkan selama 12 bulan
PTSD 1) SSRI atau venlafaxine (SNRI) + CBT
2) Mirtazapine
3) Amitriptiline/Imipramine
Tabel 2.1 Rekomendasi Farmakoterapi pada Gangguan Kecemasan13
24
Gambar 2.2 Acuan Dosis Obat-obatan untuk Gangguan Kecemasan14
2.4.2 Transmisi
Virus corona dapat ditularkan melalui berbagai rute. Transmisi utama virus
ini adalah melalui droplets dari sistem pernapasan dan kontak langsung maupun
tidak langsung. Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui
droplets yang keluar saat batuk atau bersin, dengan jarak kurang lebih 1 meter.
Kontak langsung dengan individu yang telah terinfeksi dan kontak tidak
langsung dengan permukaan benda yang telah terkontaminasi juga merupakan
rute lain dari penularannya. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan
25
bahwa virus corona lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam).15,16
26
sehingga pada tahap ini pasien sudah mengalami gejala ringan. Sekitar 4-7 hari
setelah timbul gejala awal pasien masih akan mengalami demam, mulai terasa
sesak, lesi paru memburuk dan kadar limfosit menurun. 8-12 hari setelah onset
awal, penderita memiliki risiko untuk mengalami inflamasi. Jika hal ini tidak
diatasi, maka inflamasi akan semakin tidak terkontrol dan menyebabkan badai
sitokin dan berujung pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan berbagai komplikasi lainnya.15,20
2.4.5 Pencegahan
Kunci pencegahan meluasnya COVID-19 adalah pemutusan rantai
penularan. Memutus mata rantai penularan SARS-CoV-2 dapat dilakukan
dengan isolasi diri, deteksi dini dan melakukan proteksi dasar. Isolasi diri harus
dilakukan ketika seorang individu melakukan kontak dengan pasien terinfeksi.
Isolasi diri yang dimaksud adalah menghindari kerumunan atau banyak orang
(physical distancing) dan melakukan pemantauan suhu tubuh dan ada tidaknya
gejala pernapasan selama 14 hari, serta mencari pertolongan jika keluhan
memberat. Pada tingkat masyarakat, dihimbau untuk membatasi aktivitas
berpergian dan kumpul massa pada acara besar. Pemerintah Indonesia sendiri
juga telah memberlakukan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka
percepatan penanganan COVID-19. Adapun kegiatan terkait peraturan ini
diantaranya meliburkan jam kerja, jam sekolah, tempat ibadah dan kegiatan
27
masyarakat yang menghadirkan kerumunan dengan tujuan semua kegiatan
tersebut dapat dilakukan di rumah.
Proteksi dasar yang dianjurkan oleh WHO berupa cuci tangan secara rutin
dengan air dan sabun, menjaga jarak dengan individu yang memiliki gejala
batuk atau bersin (dengan rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah 1 meter),
melakukan etika batuk atau bersin, selalu menggunakan masker ketika
meninggalkan rumah dan berobat ke fasilitas kesehatan jika memiliki keluhan
yang mengarah pada COVID-19.21,22,23
28
tekanan ekonomi. Kekhawatiran dan kecemasan masyarakat berpacu pada ketakutan
akan kurangnya sumber penghasilan, dimana dapat menghambat dan mengganggu
stabilitas kehidupan keluarga.24
Pandemi COVID-19 tampaknya memberikan pengaruh gangguan kecemasan
yang berbeda pada kelompok populasi tertentu. Penduduk lansia termasuk dalam
kelompok yang paling terkena dampak pandemi COVID-19, baik dari segi keparahan
terhadap kesehatan fisik maupun mortalitas, serta kemungkinan yang lebih tinggi untuk
mengalami dampak psikologis selama periode ini. Kerentanan lansia disebabkan oleh
proses degeneratif yang menyebabkan turunnya imunitas tubuh, sehingga lansia rentan
untuk terinfeksi penyakit, tidak terkecuali virus corona. WHO dan CDC melaporkan
bahwa pada usia pra-lansia (50-59 tahun) angka kematian hampir 2%, usia 60-69 tahun
4% dan diatas 70 tahun angka kematian diantara 8-15%. Kematian paling banyak terjadi
pada penderita COVID-19 yang berusia 80 tahun keatas dengan persentase mencapai
21.9%. Ditengah kondisi pandemi yang penuh ketidakpastian, lansia mudah dihinggapi
perasaan cemas berlebihan yang kemudian berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
fisik dan kualitas hidup. Isolasi mandiri atau physical distancing lansia dengan anggota
keluarga dapat memberikan efek negatif terhadap kesehatan mental. Lansia bergantung
pada individu dewasa muda untuk kehidupan sehari-hari mereka, sehingga ketika
mereka dihadapkan pada kondisi diharuskannya hidup terpisah dengan anggota
keluarganya, rasa cemas berlebihan tersebut dapat timbul.
Tak hanya lansia, pandemi COVID-19 juga memberikan dampak terhadap
kesehatan mental individu dewasa muda. Pada beberapa penelitian tentang kesehatan
mental individu dengan usia diatas 18 tahun dan COVID-19, menunjukkan tingkat
depresi 22.6-43.7% dan kecemasan 18.9-37.4%. Dikatakan bahwa umumnya,
kecemasan akan tertular dengan virus corona menyebabkan timbulnya gangguan
kecemasan. Pada studi lainnya, dikatakan bahwa dengan meningkatnya usia, maka
tingkat kecemasan dan depresi akan semakin meningkat pula. Hal ini berkaitan dengan
trend bahwa orang dewasa cenderung menggunakan media sosial lebih sering daripada
remaja muda, sehingga mereka akan lebih sering terekspos pada informasi terkait
COVID-19. Informasi yang berlebihan dapat memberikan tekanan yang lebih besar
terhadap orang dewasa sehingga menimbulkan rasa cemas yang berlebihan. 25
Tenaga medis yaitu dokter, perawat dan paramedis yang bekerja sebagai
pasukan garis depan untuk memerangi wabah COVID-19 mungkin lebih rentan untuk
memiliki gangguan kecemasan selama pandemi. Hal ini disebabkan oleh beberapa
29
alasan, seperti kekhawatiran dan ketakutan akan tertular penyakit, jam kerja yang lebih
panjang, tidak tersedianya alat pelindung yang memadai, pasien yang semakin banyak,
tidak tersedianya obat COVID-19 yang efektif, kematian rekan kerja setelah terpapar
COVID-19, terpisahnya dari keluarga dan teman kerabat hingga situasi pekerjaan yang
dapat menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan mentalnya. Hal ini tentunya dapat
menyebabkan efisiensi kinerja menurun secara bertahap seiring dengan meluasnya
pandemi.5
30
BAB III
KESIMPULAN
Pandemi COVID-19 merupakan suatu stresor baru yang memberi kontribusi terhadap
kesehatan mental masyarakat Indonesia. Kondisi yang berubah begitu cepat, dalam waktu yang
tidak dapat ditentukan lamanya, serta beberapa faktor lainnya menyebabkan perubahan pada
kesehatan mental, dimana paling sering terjadi adalah gangguan kecemasan. Sebagai dokter
umum, sangat perlu untuk dapat mengenali gejala-gejala kecemasan, mendiagnosis gangguan
kecemasan serta memberikan penanganan yang sesuai.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Wu, Y., Chen, C. and Chan, Y., 2020. The outbreak of COVID-19: An
overview. Journal of the Chinese Medical Association, 83(3), pp.217-220.
2. Di Gennaro, F., Pizzol, D. and Marotta, C., 2020. Coronavirus Diseases (COVID-19)
Current Status and Future Perspectives: A Narrative Review. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 17(8), p.2690.
3. Setiati, S. and K Azwar, M., 2020. Acta Med Indones - Indones J Intern Med. COVID-
19 and Indonesia, 52(1), p.85.
4. Cdn.who.int. 2021. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situation Report - 40.
[online] Available at: <https://cdn.who.int/media/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/external-situation-report-40_27-january-
2021.pdf?sfvrsn=3ff6229f_5> [Accessed 25 February 2021].
5. Javed, B., Sarwer, A., Soto, E. and Mashwani, Z., 2020. The coronavirus (COVID‐19)
pandemic's impact on mental health. The International Journal of Health Planning and
Management, 35(5), pp.993-996.
6. Fardin, M., 2020. COVID-19 and Anxiety: A Review of Psychological Impacts of
Infectious Disease Outbreaks. Archives of Clinical Infectious Diseases, 15(COVID-
19), pp.1-3.
7. Winurini, S., 2020. INFO Singkat - A brief study of actual and strategic issues. Mental
Health Problems Due to COVID-19 Pandemic, XII(15), p.14.
8. Rector, N., Bourdeau, D., Kitchen, K. and RN, L., 2008. Anxiety disorders: An
information guide. Canada: Centre for Addiction and Mental Health, pp.4-7.
9. Maslim, R., 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-
5. 2nd ed. Jakarta: PT. Nuh Jaya, pp.70-79.
10. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders : DSM-IV. 4th ed.
American Psychiatric Association, pp.393-444.
11. 2010. Buku Ajar Psikiatri. 2nd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
pp.253-277.
12. Barton S, Karner C, Salih F, et al. Clinical effectiveness of interventions for treatment-
resistant anxiety in older people: a systematic review. Southampton (UK): NIHR
Journals Library; 2014 Aug. (Health Technology Assessment, No. 18.50.) Appendix 1,
32
Diagnostic criteria for anxiety disorders set out in DSM-IV and ICD-10 classification
systems. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK262332/
13. Lim, L., Chan, H. and Chew, P., 2015. Ministry of Health Clinical Practice Guidelines:
Anxiety Disorders. Singapore Medical Journal, 56(06), pp.310-316.
14. Cerebral Aging, 2002. Psychopharmacology of anxiety disorders. 4(3), pp.271-285.
15. Susilo A, Rumende C, Pitoyo C, Santoso W, Yulianti M, Herikurniawan H et al.
Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. 2020.
16. WHO.Modes of transmission of virus causing COVID-19: implications for IPC
precaution recommendations [Internet]. Apps.who.int. 2020 [cited 9 March 2021].
Available from: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/331601/WHO-2019-
nCoV-Sci_Brief-Transmission_modes-2020.1-eng.pdf
17. Zhou P, Yang X-L, Wang X-G, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al. A pneumonia outbreak
associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature. 2020;579(7798):270-
3.
18. Adhikari S, Meng S, Wu Y, Mao Y, Ye R, Wang Q et al. Epidemiology, causes, clinical
manifestation and diagnosis, prevention and control of coronavirus disease (COVID-
19) during the early outbreak period: a scoping review. Infectious Diseases of Poverty.
2020;9(1).
19. Rothan H, Byrareddy S. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease
(COVID-19) outbreak. Journal of Autoimmunity. 2020;109:102433.
20. Chen J, Qi T, Liu L, Ling Y, Qian Z, Li T, et al. Clinical progression of patients with
COVID-19 in Shanghai, China. J Infect. 2020; published online March 19. DOI:
10.1016/j.jinf.2020.03.004.
21. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman Kesiapsiagaan
Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) Maret 2020. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
22. World Health Organization. Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public
[Internet]. 2020 [cited 2021 March 9]. Available from:
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public.
23. Zamroni, M., 2020. CARA INDONESIA MENANGGULANGI CORONA VIRUS
DISEASE-19 MELALUI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Suloh Jurnal
Program Studi Magister Hukum, p.128.
24. Setyaningrum, W. and Yanuarita, H., 2020. Pengaruh Covid-19 Terhadap Kesehatan
Mental Masyarakat Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 4(4), pp.2-7
33
25. Nearchou, F., Flinn, C., Niland, R., Subramaniam, S. and Hennessy, E., 2020.
Exploring the Impact of COVID-19 on Mental Health Outcomes in Children and
Adolescents: A Systematic Review. International Journal of Environmental Research
and Public Health, 17(22), p.8479.
26. Azzahra, F., Oktarlina, R. and Hutasoit, H., 2020. Farmakoterapi Gangguan Ansietas
dan Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Efikasi Antiansietas. JIMKI, 8(1), pp.1-8.
27. Salari, N., Hosseinian-Far, A. and Jalali, R., 2020. Prevalence of stress, anxiety,
depression among the general population during the COVID-19 pandemic: a systematic
review and meta-analysis. Globalization and Health, 16(1).
34