Anda di halaman 1dari 26

APPENDISITIS AKUT

Oleh:
dr. Citra Anggraeny

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
2016
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
- Nama : Ny. U
- No.Reg : 01055048
- Jenis Kelamin : Wanita
- Umur : 33 tahun
- Tinggi/BB : 154cm /50 kg
- Status : Menikah
- Asuransi : BPJS

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak semalam SMRS
 Keluhan tambahan
- Mual muntah
- Demam
 Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien Ny. U (33 tahun) datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak semalam (pukul 21.00). Nyeri awalnya dirasakan dari perut bagian tengah yang
hilang timbul dan menetap di kanan bawah dengan VAS 8. Selain itu pasien merasakan
demam & sempat muntah 2 kali saat dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Isi muntahan
berisi apa yang dimakan, tidak ada lendir ataupun darah. Buang air kecil, buang besar,
buang angin tidak ada keluhan. Makan dan minum seperti biasa. Riwayat menstruasi
tidak ada keluhan, saat ini pasien tidak sedang datang bulan.

1
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang lain (DM, Hipertensi, atau pun kelainan
pembekuan darah.)
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit serupa (DM, Hipertensi, atau pun
kelainan pembekuan darah.)
 Riwayat Kebiasaan

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital : - Tekanan Darah : 120/80 mmHg

- Frekuensi Nadi : 98 x/menit

- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit

- Suhu : 38˚ C

Status Generalis

Pemeriksaan Hasil

Kepala Normocephali, rambut hitam,

Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+, refleks


cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-

Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani intak +/+

Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -

Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang T1/T1,
hiperemis -

2
Leher KGB tidak teraba membesar

Toraks Normochest

Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -

Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,

shifting dullnes (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar tidak
teraba membesar, Lien tidak teraba membesar

Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -

Status Lokalis Abdomen

Pemeriksaan Hasil

Inspeksi Bentuk simetris, tampak lemas lembut,

massa (-)

Auskultasi Bising usus (+) normal

Perkusi Tidak dilakukan karena pasien mengeluh kesakitan

Palpasi Nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah

(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan bawah (+),
Rovsing sign (+)

defans muscular (-)

Psoas sign Positif

Obturator sign Positif

Rectal toucher Tidak dilakukan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

3
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hb 13.6 12 -15 g/dL

Ht 41.9 35 - 49 %

Leukosit 14.900 4.500-11.500/ul

Trombosit 271.000 150.000-450.000/ul

Eritrosit 5.0 4.0 juta-5.4 juta/ ul

MCV 83.3 80,0-94.0 fl

MCH 27.0 26,0 – 32,0 pg

MCHC 32.5 32.0-36.0 g/Dl

RDW-CV 13.6 11.5-14.5 %

FAAL HEMOSTASIS

Waktu Perdarahan 3.00 menit 1-6

Waktu pembekuan 12.00 menit 5 - 15

ELEKTROLIT

Natrium 144 135 – 155

Kalium 4.3 3.6 – 5.5

KIMIA DARAH

GDS 87 < 110

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

URINE

1. MAKROSKOPIS

- Warna Kuning Kuning

- Kejernihan Jernih Jernih

4
2. KIMIAWI

- Berat Jenis 1.015 1.005-1.030

- Leukosit Negative Negative

- Nitrit Negative Negative

- pH 8.0 4.6-8

- Protein Negative Negative

- Glukosa Negative Negative

- Keton + Negative

- Urobilinogen 0.2 0.1 - 1

- Bilirubin Negative Negative

- Darah Negative Negative

3. SEDIMEN

- Leukosit 1–2 <5 LPB

- Eritrosit 0–2 <2 LPB

- Silinder Negative Negative

- Epitel + Positive

- Kristal Negative Negative

- Lain-lain Negative 0.00-4.00

HCG Urine Negative

E. DIAGNOSIS KERJA
 Appendisitis Akut

F. PENATALAKSANAAN
- IVFD Asering 20 tetes / menit
- Ondancentron 8 mg i.v
- Ranitidine 50 mg i.v

5
- Konsul dokter spesialis bedah  Appendectomy cito 14.00

Terapi Post Appendectomy

Non Medikamentosa Medikamentosa

- Rawat di ruang biasa - Ceftriaxone 2 x 2 gram i.v


- Posisi head up 30˚ - Ketorolak 3 x 1 gram i.v
- Diet lunak - Metronidazole 2 x 500 mg

G. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam

H. FOLLOW UP HARIAN

6
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN

24-08-2016 S : Nyeri di luka operasi, mual, sakit - IVFD Asering 20


kepala tetes/menit
O : KU: sakit sedang, compos - Ceftriaxone 2 x 2 gram i.v
mentis - Ketorolak 3 c x 1 gram i.v
TD 110/80 mmHg, N 84 x/menit, - Metronidazole 2 x 500
RR 20 x/menit, S 36.8◦ C mg
Abdomen : BU (+), supel, timpani, - Diet lunak
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut post opertion day
0 (POD 0)

25-08-2016 S : Nyeri di luka operasi, sudah bisa - IVFD asering 20


berjalan ke toilet , BAK BAB Normal tetes/menit
O : KU: sakit sedang, compos - Ceftriaxone 2 x 2 gram i.v
mentis - Ketorolak 3 x 1 gram i.v
TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, - Metronidazole 2 x 500
RR 20 x/menit, S 36◦ C mg
Abdomen : BU (+), supel, timpani, - Ganti verbant
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut, post opertion day
1 (POD 1)

26-08-2016 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - IVFD Asering 20


mual terkadang, berjalan (+) tetes/menit
O : KU: sakit ringan, compos mentis - Ceftriaxone 2 x 2 gram i.v
TD 110/70 mmHg, N 81 x/menit, - Ketorolak 3 x 1 gram i.v
RR 20 x/menit, S 36.2◦ C - Metronidazole 2 x 500
Abdomen : BU (+), supel, timpani, mg i.v
luka operasi baik - Rencana Pulang besok
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut, post opertion day
2 (POD 2)
7
27-08-2016 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - Boleh Pulang
mual terkadang, berjalan (+) - Ciprofloxasin 2 x 500 mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah


penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen,
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah kondisi dimana
infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi
banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika
umbai cacing yang terinfeksi hancur.

B. Epidemiologi

Appendisitis merupakan salah satu kegawat daruratan bedah. Insiden appendicitis


akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Di Amerika Serikat, 250.000
kasus appendisitis dilaporkan setiap tahun. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya turun secara bermakna. Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada
tahun 2006, appendisitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah dispepsia,
gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040. Selain itu, pada
tahun 2008, insidensi appendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainnya.

Appendisitis dapat ditemukan pada semua usia, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun dan menurun
pada usia diatas usia tersebut. Insiden appendisitis pada laki-laki 8.6% dan perempuan 6.7%.

C. Etiologi
Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen appendix.
Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan feses yang keras (fecalith),

8
hiperplasia jaringan limfoid, tumor appendix, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Diantara penyebab obstruksi lumen
yang telah disebutkan, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab
obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis
adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan  kebiasaan mengkonsumsi makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit appendisitis. Feses yang
keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendix
dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semua ini akan mempermudah
timbulnya appendisitis.

D. Klasifikasi

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinik patologis adalah sebagai berikut

A. Appendisitis akut

1) Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis )


Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan oleh obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendix dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendix jadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis
cataral terjadi leukositosis dan appendix terlihat normal, hiperemia, edema, dan
tidak ditemukan eksudat serosa.
2) Appendisitis akut purulent (supurative appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendix dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada appendix. Mikroorganisme
yang ada di kolon berinvasi ke dalam dinding appendix menimbulkan infeksi
9
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
appendix dan mesoappendix terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc.Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum
3) Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendix mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendix berwarna
ungu hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

B. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses peradangan appendix yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, ileum, caecum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan
masa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

C. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan,
lateral dari caecum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.

D. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendix yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendix tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

10
E. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten
akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap
lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendix secara
makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendix menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada
sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

E. Patofisiologi

Perkembangan penyakit appendisitis didahului oleh keadaan obstruksi pada lumen


apendiks yang dihasilkan dari faktor pencetus. Pencetus yang sering dianggap berpengaruh
terhadap obstruksi lumen apendiks antara lain : fecalith, hiperplasia limfoid, corpus alienum,
neoplasma, dan striktur akut (kinking) yang disebabkan dari fibrosis pada peradangan
selanjutnya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap obstruksi apendiks adalah : isi lumen,
derajat obstruksi, sekresi mukosa dan inelastisitas dinding. Patofisiologi terjadinya appendisitis
akut dibagi menjadi 4 stadium. Stadium 1 disebut sebagai stadium appendisitis akut fokal
(kataral), dimana proses dimulai dengan adanya obstruksi pada lumen apendiks disertai dengan
sekresi mukus pada lumen yang terjadi terus menerus menyebabkan jumlah mukus dalam
lumen apendiks meningkat menghasilkan tekanan intralumen meningkat sehingga terjadi
distensi lumen apendiks. Adanya obstruksi pada lumen apendiks menimbulkan perkembangan
bakteri yang memicu inflamasi. Inelastisitas dinding apendiks dikombinasi dengan tekanan
intralumen apendiks yang meningkat serta proses inflamasi menghasilkan hambatan aliran
limfe yang memibulkan edema pada apendiks (appendiceal edema). Selain itu terjadi juga
diapedesis bakteri seperti E.coli ataupun pseudomonas dan ulserasi mukosa. Gejala klinis yang
ditimbulkan pada stadium ini adalah timbulnya nyeri epigastrium (periumbilikal) akibat
merangsang persarafan plx. coeliacus, mual muntah dan kembung.
Apabila penyakit berlanjut maka akan masuk kedalam stadium II yang disebut stadium
appendisitis supuratif akut (phlegmous appendicitis). Proses berlanjut akibat sekresi cairan

11
semakin banyak dan proses inflamasi yang terjadi maka tekanan intralumen apendiks
bertambah tinggi dan menyebabkan obstruksi vena (kongesti vaskular). Obstruksi akibat
kongesti ini membuat trombosis dan memperparah edema pada apendiks. Keadaan ini
memudahkan terjadinya translokasi bakteri dan membuat perluasan peradangan. Gejala yang
ditimbulkan pada stadium II ini antara lain : nyeri perut kanan bawah, peritonitis lokal, defens
muskuler lokal, nyeri tekan dan nyeri lepas, serta pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan
nyeri pada jam 9 (sebelah kanan).
Stadium III yang disebut sebagai appendisitis gangrenosa, dengan perjalanan penyakit
yang berlanjut sehingga menimbulkan disfungsi sirkulasi lokalis (aliran darah arteri terganggu).
Obstruksi arterial akibat infark antara junction dan membuat aliran darah inadekuat ini
mengarahkan kepada keadaan infark apendiks (iskemi) yang pada akhirnya menjadi gangren
apendiks (gangrenous appendicitis). Gejala pada stadium ini masih berupa nyeri perut kanan
bawah dengan tanda-tanda peritonitis lokal yang semakin kuat disertai dengan keluhan mual
dan muntah hebat. Stadium IV, stadium terakhir disebut sebagai appendisitis perforata dimana
akibat dinding apendiks yang nekrotik, lama kelamaan terjadi kerapuhan sehingga rentan
terjadi perforasi. Apabila sudah sampai ke tahap ini, gejala klinis yang ditimbulkan sebagai
akibat dari isi perut yang keluar ke rongga abdomen adalah nyeri perut menyeluruh, dengan
defens muskular difus. Hal ini merupakan kejadian peritonitis umum yang memerlukan
penanganan laparotomi segera.
Apabila proses peradangan yang terjadi lambat, disertai sistem imun dan keadaan
umum yang baik maka proses peradangan ini dengan mobilisasi omentum serta usus halus
sebagai mekanisme proteksi alamiah (barrier) akan membungkus apendiks yang terinflamasi
sebagai usaha untuk mencegah penyebaran infeksi dengan cara mengisolasi organ yang
terinflamasi dari organ-organ lain di dalam rongga abdomen menimbulkan keadaan yang
disebut sebagai infiltrat apendikularis / periappendicular (appendiceal mass : massa
periapendikuler). Massa pada appendicitis infiltrat ini berkembang 48 jam setelah barrier
berhasil dan tidak ditemukan perforasi. Massa ini berisikan campuran dari apendiks yang
terinflamasi serta jaringan granulasi. Namun jika barrier ini tidak dapat menahan inflamasi
sehingga apendiks perforasi maka massa apendikuler yang timbul disebut dengan phlegmon.

12
Obstuksi pada lumen rentan menyebabkan perforasi apendiks yang diikuti dengan iskemik,
nekrosis dan gangren dinding apendiks.

F. Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga
nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi
n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika
timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38, C.
Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut
bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh
dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:

A. Anamnesis
 Nyeri/sakit perut
Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-
point). Mula-mula nyeri dirasakan pada daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc
Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak
nyeri, karena bersifat somatik.

Perasaan nyeri pada appendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin
lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi
appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena tarikan dinding appendix yang
mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya
hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan
13
sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena appendix dan illeum mempunyai
persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah
epigastrium (selama 4-6 jam) dan periumbilikal. Seterusnya akan menetap di kuadran
kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri terlokalisir.

 Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi N. Vagus.


Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
Gejala disuria timbul apabila peradangan appendix dekat dengan vesika urinaria.

 Obstipasi, karena penderita takut mengejan.


Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa
nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak
appendix pelvikal yang merangsang daerah rectum.

 Panas (infeksi akut), bila timbul komplikasi.


Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5° –
38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Penderita berjalan dengan posisi bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak
kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. Pada appendisitis akut sering
ditemukan adanya abdominal swelling,  sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut.

2. Palpasi

14
Dengan palpasi di daerah titik Mc.Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:

Titik McBurney garis antara umbilicus dengan SIAS dextra kemudian dibagi 3. 1/3
lateral adalah letak appendiks (kuadran kanan bawah)
 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri di abdomen
kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dari peritoneum.
Disebut juga nyeri tekan kontralateral. Sering positif pada appendicitis namun tidak
spesifik.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan ke

15
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan appendiks mengalami
peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.

 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan
sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium
saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks,
abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak retrocaecal, atau
adanya hernia obturatoria.

 Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis, untuk menentukan letak appendix, apabila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka
kemungkinan appendix yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada pemeriksaan
didapat tonus musculus sfingter ani baik, ampula kolaps, nyeri tekan pada daerah jam
09.00-12.00, serta terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses). Pada

16
appendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

3. Perkusi

Perkusi abdomen pada appendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada peritonitis
umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang. Pada appendisitis
retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau angulus
kostovertebralis punggung.

4. Auskultasi
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik dapat tidak
ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

Selain itu untuk menegakkan diagnosis appendisitis juga dapat digunakan Alvarado score,
yaitu:

ALVARADO SCORE

 Dinyatakan appendisitis akut apabila nilai


> 7 poin.
 Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1 – 4 Dipertimbangkan appendisitis akut,
diperlukan observasi.
5 – 6 Possible appendicitis, tidak perlu
operasi. Terapi antibiotik.
7–
10
Appendisitis akut, perlu operasi dini.

G. Pemeriksaan Penunjang

17
a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm 2, biasanya didapatkan
pada keadaan akut. Appendisitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift
to the left, diagnosis appendicitis akut harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel
darah putih lebih dari 18.000/mm2 pada appendisitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel
darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi
appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendisitis infiltrat, LED akan ditemukan
meningkat.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari


saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi
urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun
pada appendisitis akut dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen
usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam
menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah
rongga panggul.

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis


appendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai
bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua
penegakan diagnosis appendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif
dalam bertindak.

H. Diagnosis Banding

18
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam dan
leukositosis kurang menonjol.
2. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis sangat mirip dengan
appendicitis akut.
3. Kolik Traktus Urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
4. Peradangan Pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang kedua organ
ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau adneksitis. Didapatkan
riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini. Suhu biasanya lebih tinggi daripada
appendicitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan
keputihan pada wanita. Pada colok vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus
diayunkan.
5. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba
atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di
daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan
didapatkan darah.
6. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan
hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat.

7. Kista Ovarium Terpuntir

19
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga
pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat menetukan diagnosis.

8. Endometriasis Eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

I. Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis
akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya
telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter
ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik
konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks.

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara
bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan
bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya
antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik.

J. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang
terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

20
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 

 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke rongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

K. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat menurunkan tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas terutama bila telah terjadi komplikasi. Serangan berulang juga
dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya sempat mengalami nyeri perut
di daerah periumbilical yang dirasakan hilang timbul dan kemudian berpindah ke perut kanan
bawah yang dirasakan terus menerus Perpindahan nyeri perut dari daerah periumbilical ke
perut kanan bawah ini sangat khas pada kasus appendisitis. Nyeri perut yang dirasakan di
daerah periumbilical merupakan nyeri viseral akibat rangsangan pada peritoneum viseral. Pada

21
saat terjadi distensi apendiks akibat peningkatan tekanan intralumen maka peritoneum viseral
akan teregang dan memberikan sensasi rasa nyeri. Nyeri dari organ-organ yang berasal dari
midgut (jejenum hingga kolon transversum) akan dirasakan di daerah periumbilical. Nyeri
selanjutnya dirasakan di perut kanan bawah merupakan nyeri somatik akibat proses
peradangan pada apendiks yang berlanjut ke peritoneum parietal.

Penjalaran nyeri pada apendisitis akut

Pada pasien juga ditemukan adanya keluhan mual, muntah, dan demam yang umumnya
ditemukan pada pasien dengan apendisitis akut. Diagnosis banding berupa kelainan pada
sistem saluran kemih dan sistem saluran gastrointestinal lainnya dapat disingkirkan karena dari
anamnesis didapat BAK dan BAB pasien normal. Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat
kondisi pasien dalam keadaan normal. Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya
nyeri tekan di titik McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney menunjukkan bahwa pasien
mengalami apendisitis akut. Selain itu juga ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign), adanya Rovsing Sign
dapat membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

22
didapatkan adanya leukositosis (14.900). Pada kasus appendisitis akut tanpa komplikasi
umumnya dapat ditemukan adanya leukositosis sedang antara 10.000-18.000. Pada pasien
tidak dilakukan foto polos abdomen dengan alasan foto polos abdomen hanya dilakukan jika
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik meragukan untuk menegakkan diagnosis appendisitis
akut. Untuk membantu menegakkan diagnosis appendisitis akut pada pasien dengan nyeri
perut kanan bawah dapat digunakan Alvarado score. Nilai Alvarado score di atas tujuh
menunjukkan bahwa kemungkinan besar pasien mengalami appendisitis akut. Berdasarkan
hasil perhitungan maka didapatkan nilai delapan pada pasien sehingga kemungkinan besar
pasien mengalami appendisitis akut dan membutuhkan tindakan operasi.

BAB IV

KESIMPULAN

Appendistis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendistis merupakan


kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor predisposisi dan etiologinya bisa
bermacam-macam, namun obstruksi lumen adalah penyebab utamanya.

Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney disertai nyeri
epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu. Dapat dijumpai mual,

23
muntah, anoreksia, dan demam. Dapat dilakukan manuver Rovsing’s sign, Blumberg sign,
Illiopsoas sign, dan Obturator test dalam membantu penegakan diagnosis.

Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis akut. Dari hasil pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah cukup terpenuhi. Penatalaksanan pada pasien
ini sesuai dengan teori. Kondisi pasien saat pulang telah dalam keadaan stabil. Prognosis pada
pasien ini adalah ad bonam.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC. 1995. Hal 490-499


2. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC. 2010. Hal 756-762
3. Widjaja IH. Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC. 2008. Hal 87-94
4. Snell RS. Clinical Anatomy by Regions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. P 229-
231

24
5. Craig S. Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a2.
2015
6. Schwartz’s. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill. 2011. P. 1241-
1257
7. Zhang SX. An Atlas of Histology. Lexington. Springer. 1999. P. 234-236
8. Hardin M. Acute Appendisitis: Review and Update. The American Academy of Family
Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple,
Texas .http://www.aafg.org. 1999
9. Mescher AL. The Male Reproductive System In Junqueira’s Basic Histology Text and
Atlas, 12th Edition. USA. Mc-Graw-Hill. 2010. P. 383-385.

10. Hugh, A.F.Dudley. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 1992

25

Anda mungkin juga menyukai