Anda di halaman 1dari 4

RENCANA AMANDEMEN UUD 1945 KELIMA YANG PERLU KITA KAWAL

Jakarta - Pembahasan soal rencana amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun


1945 dilanjutkan anggota MPR periode ini. Sebelumnya, amandemen ini sudah mengemuka
di MPR periode sebelumnya lantaran ada hal-hal penting yang menjadi sorotan.
Dihimpun detikcom hingga Rabu (9/10/2019), hal-hal penting perihal amandemen konstitusi
ini terkait penghidupan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN), isu MPR menjadi
lembaga tertinggi kembali, juga soal model amandemen itu sendiri.

Berikut adalah isu penting terkait pembahasan amandemen UUD 1945 yang perlu dikawal
oleh publik:

1. Amandemen UUD 1945 ini digulirkan untuk menghidupkan kembali GBHN.

Sebagai panduan dalam pembangunan, GBHN lain dengan konsep Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional berjangka waktu 20 tahun atau Rencana Pembangunan
Jangka Menengan (RPJM) Nasional berjangka waktu 5 tahun.

Sebagaimana diketahui, GBHN merupakan produk MPR era Orde Baru yang sudah tak ada
lagi sejak adanya UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Memang apa bedanya GBHN dengan RPJP dan RPJM?

Bedanya, GBHN dibikin MPR alias anggota dewan, sedangkan RPJP dan RPJM dibikin oleh
pemerintah eksekutif yang berada di bawah Presiden. Di era ini, GBHN akan dihidupkan lagi
namun dalam bentuk yang berbeda.

“Menurut hemat saya, kandungan GBHN cukuplah berisi pedoman-pedoman dasar (guiding
principles) atau arahan-arahan dasar (directive principles) yang dapat memandu para
penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan di
segala bidang. Oleh karena itu, kandungan GBHN tidak perlu terlalu mendetail sebagaimana
kita temukan dalam GBHN pada masa lalu," kata Ketua MPR periode 2014-2019 Zulkifli
Hasan, 27 Oktober 2015.

Kata Zulkifli yang merupakan politikus PAN ini, GBHN yang kini MPR inginkan tidak sama
dengan GBHN era Orde Baru. Yang sama adalah ide dasarnya. "Hanya model GBHN, apa itu
GBHN? Itu filosofis saja. Bisa pembangunan orientasi pemerataan seluruh rakyat Indonesia,
gitu saja isinya," tutur Zulkifli, 23 Agustus 2019.
Anggota Badan Pengkajian MPR 2014-2019 Bambang Sadono menjelaskan, GBHN yang
akan dihidupkan kembali akan bernama 'Haluan Negara'. Isinya sekitar 10 halaman
mencakup program pembangunan jangka panjang 25 tahun hingga 50 tahun dan mengikat
semua lembaga.

2. Amandemen terbatas

MPR meyakinkan publik bahwa amandemen konstitusi yang hendak dijalankan adalah
amandemen terbatas. Fokusnya dalah menghidupkan kembali GBHN. Dia berjanji tak akan
melebar ke mana-mana.

"Makanya amandemen terbatas mengenai GBHN, titik, nggak boleh yang lain," kata Zulkifli,
18 Agustus 2019.

amandemen terbatas itu bukan hanya menjadi keinginan Zulkifli seorang diri, melainkan
sudah menjadi kesepakatan bersama semua fraksi di parlemen. Dia menjamin bahwa
amandemen tak akan melebar ke mana-mana.

"Semua (fraksi di DPR sepakat amandemen terbatas UUD 1945), termasuk DPD," kata
Zulkifli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat 26 Agustus 2019.

Ahmad Muzani yang saat itu merupakan Wakil Ketua MPR juga menyampaikan hal serupa.
"Harus ada komitmen yang kuat dari pimpinan parpol dan anggota MPR bahwa amandemen
itu terbatas untuk hal dimaksud saja, yaitu GBHN saja," ujar Muzani.

3. MPR jadi lembaga tertinggi lagi?

Bila GBHN hidup lagi dalam bentuk seperti Orde Baru, maka presiden harus menaati GBHN
bikinan MPR tersebut. Presiden sebagai mandataris MPR bertanggung jawab ke MPR. Bila
tidak bisa melaksanakan GBHN, presiden bisa kena pemakzulan.

Kekhawatiran bahwa MPR bakal menjadi lembaga tertinggi lagi muncul lewat penalaran
logis posisi GBHN dalam ketatanegaraan era Orde Baru. Pakar hukum tata negara Profesor
Yusril Ihza Mahendra justru setuju GBHN era Orde Baru dihidupkan lagi. Namun
konsekuensinya, MPR perlu menjadi lembaga tertinggi negara lagi. Dengan begitu, arah
pertanggung jawaban presiden bakal lebih konkret.
Kalau sudah demikian keadaannya, maka kembali harus bertanggungjawab kepada MPR,
bukan seperti sekarang, Presiden tidak jelas bertanggungjawab kepada siapa," kata Yusril.,"
kata Yusril kepada wartawan, 17 Agustus 2019.

Meski berkeinginan menghidupkan GBHN, namun MPR menjamin tak akan menjadi
lembaga tertinggi negara lagi.

"Ya memang nggak ada (rencana kembalikan MPR jadi lembaga tertinggi), yang mau siapa?
Yang ada itu baru disepakati amandemen terbatas," kata Zulkifli, 23 Agustus 2019.

4. Pilpres langsung terancam dihapus?

Sejak 2004 hingga saat ini, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden digelar secara
langsung. Namun kekhawatiran muncul seiring bergulirnya rencana amandemen UUD 1945,
Pilpres langsung terancam dihapus.

"Itu rumit lagi, berisiko. Banyak perubahan yang rakyat belum tentu setuju. Contoh, presiden
dipilih MPR karena lembaga tertinggi. Maka dia berhak memilik presiden. Kalau gitu lain
lagi soal," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, 13
Agustus 2019.

“adi visi-misi presiden tetap, presiden dipilih langsung tetap. Nggak ada yang berubah," kata
Zulkilfi, 23 Agustus 2019.

JK juga khawatir dengan adanya GBHN maka Presiden dan Wakil Presiden menjadi tak
punya visi-misi sendiri, melainkan diberi visi-misi dari MPR saja. Namun Zulkifli Hasan saat
itu kemudian menjelaskan secara terpisah, amandemen UUD 1945 akan digulirkan secara
terbatas. Perkara Pilpres langsung dan isu-isu lainnya tak akan disentuh.

Pembahasan dilanjut di MPR periode 2019-2024

Kini lewat rekomendasi MPR periode 2014-2019, amandemen UUD 1945 dilanjutkan ke
MPR periode 2019-2024. Meski sudah ada jaminan bahwa amandemen bakal digulirkan
terbatas untuk GBHN saja, namun kekhwatiran masih menggelayut.

Bukannya tak mungkin, pembahasan amandemen melebar ke pasal-pasal lain dalam


konstitusi itu. Proses politik bakal menentukan seperti apa jalannya amandemen ke-5 UUD
1945. Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani menjelaskan soal hal ini, bahwa diubahnya satu
pasal bakal berpotensi mengubah pasal lainnya.
"Sebagai sebuah kemungkinan atau kekhawatiran bahwa itu bisa melebar ke kanan ke kiri
saya kira bisa, karena istilahnya begitu GBHN diamendemen menjadi sebuah ketetapan MPR
dan masuk dalam UUD, maka kemudian ada sisi lain yang harus dipertimbangkan," kata
Muzani, Senin (7/10/2019).

Anda mungkin juga menyukai