TRAUMA ABDOMEN
Oleh
HAMIDATUN ANISA’
P17211173015
I. DEFINISI
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2002).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang
dari 44 tahun. Penyalahgunaan alcohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada
trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat,1998).
II. ETIOLOGI
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,
deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka
tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,
deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka
tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
III. KLASIFIKASI
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari:
1. Kontusio dinding abdomen
Disebabkan trauma non penetrasi. Pada kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi
Terjadi karena luka penetrasi dan jika luka pada dinding abdomen yang
menembus rongga abdomen harus di eksplorasi. Trauma abdomen yang
menyebabkan kerusakan pada organ abdomen dapat menyebabkan perubahan
fisiologis sehingga menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme, kelainan
imunologi, dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen (Suddarth & Brunnerr, 2002) terdiri dari:
a. Perforasi organ visceral intra peritoneum
Cedera pada isi abdomen yang mungkin disertai dengan adanya bukti cedera
pada dinding abdomen
b. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen.
c. Cedera thorax abdomen
Setiap luka pada thorax kemungkinan dapat menembus sayap kiri diafragma
atau sayapa kanan dan hati hatus dieksplorasi.
IV. TANDA DAN GEJALA
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
a. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri
lepas.
b. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan
oleh iritasi.
c. Cairan atau udara dibawah diafragma
d. Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda
ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
e. Mual dan muntah
f. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
g. Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.
V. PATOFISIOLOGI
Suatu kekuatan eksternal jika dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga, dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor
fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi
berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan
tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari
permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga bergantung pada
elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan
untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan
jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh
menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang
terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati
ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya
trauma adalah posisi tubuh relative terhadap permukaan benturan. Hal ini dapat
terjadi cedera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra yang abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya
tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya rupture dari organ padat maupun
organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrata atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya
robek pada organ dan pedikel vaskuler.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memeriksa trauma
abdomen dan untuk menegakkan diagnosis terkait dengan trauma abdomen yaitu:
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit
yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi
usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada
hepar.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine
yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut.
Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada
keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
a. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
Trauma pada bagian bawah dada
Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran
Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
Patah tulang pelvis
b. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut
Hamil
Pernah operasi abdomen
7. USG dan CT scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
VII. PENATALAKSANAAN
A. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi)
sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
a. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c. Gunting baju dari luk.
d. Hitung jumlah luka.
e. Tentukan lokasi luka.
4. Kaji tanda dan gejala hemoragi.
5. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
6. Aspirasi lambung dengan NGT.
7. Pasang kateter untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau
keluaran urine.
8. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, atau hematuria
B. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free
air, evisceration) harus segera dilakukan pembedahan
a. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative
berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
b. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
c. Pemberian O2 sesuai indikasi
d. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
e. Trauma penetrasi : Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi
tersebut di atas. Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman
penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal. Luka tikaman dapat dieksplorasi secara
lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika
peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan. Luka tikaman dengan injuri
intraperitoneal membutuhkan pembedahan. Bagian luar tubuh penopang harus
dibersihkan atau dihilangkan dengan pembedahan.
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN FOKUS
a. Primary Survei
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik
mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda
lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika
ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan
napas.
1. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi.
Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar. Dengan kontrol
tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’
atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing
yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
2. Breathing.
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan.
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan
cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah
ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban
(kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation.
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-
tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan
bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan
napas).
4. Disability
Kaji ulang tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan GCS dan cek pupil.
5. Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log
roll, memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh).
Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118,
2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis,
ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra
periksa adanya deformitas.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support
and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat
Darurat 118.
Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care
6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Suddart & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.
Thygerson, Alton. (2011). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto.
Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.