Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini.
Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup
sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis. 1 Rinitis atrofi merupakan istilah
yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis
sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga
hidung.2
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang
pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh
penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien.
Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri
bagi pasien.
Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. 3 Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas
mengenai rinitis atrofi.
RINITIS ATROFI
DEFINISI
Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa hidung dan tulang
penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering membentuk
krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. 4,5 Rinitis atrofi disebut
juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena. 1
INSIDENSI
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul
sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa
Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene
buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. 2,4 Penyakit
ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling
sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan
dengan status estrogen (faktor hormonal).5,6
KLASIFIKASI
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875) sebagai berikut: 1
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani
dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung
yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis pereksklusionam setelah
riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya
merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara berkembang.
Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan
infeksi.
ETIOLOGI
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. 1 Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang
terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi
dari suatu tindakan atau penyakit.3,4 Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana
penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.1
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan
penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur
operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa
turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi
diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan
sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi
sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan
superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi
pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak
1%.1
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis atrofi: 1,3 ,5
3) Perkembangan
Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara maksiler yang buruk
pada penderita rinitis atrofi.
4) Lingkungan
Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida.
5) Sinusitis kronik
9) Ketidakseimbangan otonom
11) Herediter
Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana
ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
13) Golongan darah
PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun
sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula
mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan
silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan
debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi
kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang
dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).1,3,5
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis dan periarteritis
pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen;
dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. 1,3,5
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel
bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi
epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi
konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun,
dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang
abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat
dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk
pertumbuhan kuman.3
GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama sering berupa bau
(foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan
ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga
memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. 1 Pasien biasanya mengeluh
obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada hidung. 3, 7
Gejala :
– sakit kepala
– bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Bau ini
tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
– Faringitis sikka
– Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.
Tanda :
– foeter ex nasi
Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi terlihat
membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. 1
a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta
banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung
tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 3,5,7
§ apusan hidung .
§ radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus.
§ test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.
− protein Serum.
− pemeriksaan Fe serum
Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak
ada tanda yang dapat membedakan di antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan
dengan foto sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral
hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris. 1
• kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid dan
proses “uncinate”.
• pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung .
• resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti
adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau
– kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 3,4
DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak
membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama
sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya
membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia
karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak
membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita
PENATALAKSANAAN
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal, sistemik dan
pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir
terbentuknya krusta.1
Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih
tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi
dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung.
Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang
menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.1
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
3. Campuran
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
Terapi Sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah
dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi
kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk
pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau
streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan
muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian. 1,6
Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A yang terbukti
berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga
berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu
adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi
pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena
berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa. 1
Terapi Bedah
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu
mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali
melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi
medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri
dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal 1
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang
hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama
periode tiga tahun.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang
hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon,
campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan membasahi
mukosa hidung.
1. Simpatektomi servikal
PROGNOSIS
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia
diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.3,5
PENUTUP
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan
tulang konka disertai pembentukan krusta.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.
Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan
untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan
secara konservatif atau operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of Otolaryngology 2005
4. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci 2003;33: 405 – 407