Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN STUDENT PROJECT I

“ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA”


KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA 2
(ASKKK3131)

Fasilitator : Ns.Ni Komang Ari Sawitri, S. Kep., M.Sc., PhD

Oleh:
Ni Putu Mia Aryanti
1802521063

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan jiwa saat ini merupakan suatu fenomena yang mengalami
peningkatan secara signifikan, dimana di setiap tahun di berbagai belahan
dunia jumlah penderita gangguan jiwa meningkat. Adapun jenis-jenis
gangguan jiwa, salah satunya adalah Skizofrenia. (Maramis,2015)
Skizofrenia merupakan suatu gangguan mental berat yang melibatkan proses
pikir, emosi, dan tingkah laku yang ditandai dengan gangguan utama dalam
pikiran, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungn secara logis,
persepsi dan perhatian yang keliru atau tidak sesuai. (Siswanti,2018)
Prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai
tiga per mil penduduk di Amerika Serikat, Skizofrenia lebih sering terjadi
pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. (WHO,
2019). Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa Skizofrenia untuk usia 15
tahun keatas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia. Sedangkan prevalensi skizofrenia atau gangguan jiwa berat
mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
sedangkan untuk wilayah Bali yakni 11‰ (Kemenkes Republik Indonesia,
2018).
Penderita skizofrenia di masyarakat sering mendapatkan stigma atau
prilku yang buruk, (WHO, 2019). Penderita skizofrenia mengalami
disfungsi sosial dimana tercermin dari prilaku penderita Skizofrenia dimana
ketika nelakukan percakapan, terlihat bahwa alur berpikir pasien
Skizoprenia sulit dipahami orang lain karena pembicaraannya yang terkesan
janggal dan tidak berkaitan dengan oik, selai itu pasien juga tidak menatap
lawan bicara. Sehingga menyebabkan penderita skizofrenia mengalami
kesulitan dalam berinteraksi sosial.
Penatalaksanaan dari skizofrenia memiliki banyak macam. Salah satu
terapi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam
berinteraksi sosial, dan membantu meningkatkan kualitas hidup bagi
penderita skizofrenia adalah dengan memberikan terapi kelompok Problem
Solving.. Terapi kelompok Problem Solving merupakan suatu pendekatan
untuk membantu konseli menyelesaikan permasalahan. Metode problem
solving dapat diterapkan pada anak-anak, remaja, dewasa, dan lain-lain.
pemecahan masalah adalah keterampilan perilaku kognitif yang diarahkan
pada tujuan dan kemampuan pemecahan masalah tanpa keraguan untuk
mengatasi masalah (Astuti,2019)
Berdasarkan dari urian di atas, penulis membuat sebuah makalah yang
membahas mengenai Terapi kelompok Problem Solving pada penderita
skizofrenia kemampuan interaksi sosial pasien Skizofrenia.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui fakta, teori, dan opini penulis mengenai Terapi
kelompok Problem Solving pada penderita skizofrenia.
2. Untuk mengetahui implikasi keperawatan mengenai Terapi kelompok
Problem Solving pada penderita skizofrenia.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Manfaat bagi penulis
Penulis dapat meningkatkan dan mengasah keterampilan menulis
makalah dan mencari sumber mengenai topik yang diangkat serta dapat
menambah wawasan penulis terhadap topik yang diangkat yakni Terapi
kelompok Problem Solving pada penderita skizofrenia.
1.3.2 Manfaat bagi pembaca
Pembaca mendapatkan informasi mengenai Terapi kelompok Problem
Solving untuk penderita skizofrenia dan mengetahui penerapan terapi Terapi
kelompok Problem Solving ini terhadap kemampuan interaksi sosial
penderita skizofrenia.
BAB II
ANALISIS ISI JURNAL

No Komponen Keterangan
Ringkasan
1 Judul Artikel Jurnal Pengaruh Terapi Kelompok Problem Solving
Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pasien
Skizofrenia
2 Penulis Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari
3 Tahun 2019
4 Volume 13(26)
5 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh terapi kelompok problem
solving terhadap kemampuan interaksi sosial
pasien skizofrenia.
6 Metode Pelaksanaan Metode penelitian ini menggunakan bentuk
Experimental Design, dengan bentuk intervensi
yang dilakukan berupa terapi kelmpok problem
solving dan dilakukan di unit Rehabilitasi Okupasi
Terapi Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman
wediodiningrat Lawang. Data pada penelitian ini
berasal dari hasil pengukuran secara langsung dari
sampel menggunakan alat ukur Social Interaction
Anxiety Scale (SIAS) yang dilakukan sebelum dan
sesudah intervensi dan data rekam medis pasien di
unit rehabilitasi okupasi terapi
Teknik pengambilan data penelitian ini
menggunakan teknik sampling purposive. Adapun
kriteria inklusi yang ditentukan, yaitu: (1) mampu
berkomunikasi verbal dan menggunakan Bahasa
Indonesia, (2) tidak mengalami disorientasi
(tempat, waktu dan orang), (3) mampu membaca
dan memahami instruksi, (4) memiliki nilai GAF ≥
20, (5) memiliki kemampuan fungsional yang baik,
dan (6) hasil pretest menggunakan SIAS
menunjukkan gangguan ringan, sedang dan berat
kecemasan interaksi sosial. Kriteria eksklusi yang
ditentukan yaitu hasil pretest menggunakan SIAS
menunjukkan tidak ada gangguan interaksi sosial
(normal).
Proses pengambilan datanya yaitu dengan
melakukan pemilihan sampel sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan, melakukan pretest
menggunakan Social Interaction Anxiety Scale
(SIAS), sampel mengikuti terapi kelompok
problem solving sesuai dengan program dan
sistematika yang telah dirancang sampai dengan
selesai, dan terapi kelompok problem solving
dilakukan sebanyak 6x pertemuan dan durasi terapi
60 menit, dan melakukan posttest.
7 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasien skizofrenia yang memenuhi karakteristik
yang telah ditentukan oleh peneliti di Unit
Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang yang beralamat di Jl. A
Yani Lawang, Jawa Timur. Jumlah populasi pada
penelitian ini berjumlah ≥60 orang.
8 Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukan perolehan p-
value 0,000 (<0,05) yang berarti hipotesis
penelitian ini diterima yaitu terapi kelompok
problem solving berpengaruh terhadap kemampuan
interaksi sosial pasien skizofrenia di RSJ Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang
Menurut Amir dalam Elvira & Hadisukanto
skizofrenia berjenis kelamin perempuan
prognosisnya lebih baik dibandingkan laki-laki.
Pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi yang
digambarkan bahwa peningkatan kemampuan
interaksi sosial sampel berjenis kelamin perempuan
lebih baik daripada laki-laki. Sedangkan hasil dari
sample yang berumur 17-25 tahun memburuk
setelah mendapatkan intervensi kemampuan
berinterksi soaial. Dikarenakan pada usia tersebut
mereka mengalamai transisi dari remaja ke dewasa
dini(awal) sehingga merka mengalami masalah
dalam menyesuaikan diri untuk melakukan
hubungan soaial.
Keadaan ekonomi juga berpengaruh dalam
pemberian intersvensi, dimana didapatkan hasil
bahwa sample yang tidak bekerja setelah diberikan
intervensi kondisinya memburuk. hal ini
dikarenakan bahwa faktor keuangan yang berkaitan
dengan pekerjaan dapat menjadi stresor yang
berdampak pada kesehatan, dan dapat menjadi
penyebab Skizofrenia.
Meurut Kaplan dan Sadock menyatakan
bahwa tingkat pendidikan yang rendah akan
menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami
kecemasan dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan
sebagai sumber koping berhubungan dengan
kemampuan seseorang dalam menerima informasi
yang dapat membantu dalam mengatasi masalah
yang dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan keadaan
yang digambarkan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan maka kemampuan interaksi sosial
sampel semakin baik.
Adapun alat ukur yang digunakan dalam
mengklasifikasikan individu dengan disfungsi
sosial yaitu dengan menggunakan GAF (Global
Assessment of Functioning). Terdapat sampel yang
menglami gangguan interaksi sosial didominasi
oleh klasifikasi nilai GAF 20-60 yaitu 24 orang
mengalami gangguan minimal, dan 6 orang
gangguan sedang. Sehingga dapat di klasifikasi
bahwa nilai GAF 20-60 dapat diartikan individu
yang mengalami disabilitas fungsi dari berat
sampai dengan sedang. Kondisi yang digambarkan
pada tabel 20 menyatakan bahwa peningkatan
kemampuan interaksi sosial lebih baik pada
kelompok nilai GAF 61-100.
Pembahasan dalam penelitian ini bahwa
hipotesis dapat diterima yaitu terapi kelompok
problem solving berpengaruh terhadap kemampuan
interaksi sosial pasien skizofrenia di RSJ Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang. problem
solving therapy merupakan intervensi yang
melibatkan kerjasama aktif antara klien dengan
terapis yaitu dapat dilakukan melalui aktivitas
bermain peran (role play) dan menerapkan kegiatan
tertentu dalam sesi terapi. Problem solving therapy
efektif untuk mengobati masalah mental dan fisik.
Hal tersebut sesuai dengan pelaksanaan terapi
kelompok problem solving yang dilakukan pada
penelitian ini. Aktivitas terapi yang diberikan
dalam penelitian ini berupa diskusi kelompok dan
dengan melibatkan aktivitas bermain peran seperti
demonstrasi cara berkenalan, menunjuk beberapa
anggota kelompok sebagai leader dalam kelompok
kecil, diskusi terapis dengan anggota kelompok
(pasien). Aktivitas yang diberikan terlampir dalam
modul terapi. Keadaan ini menjadi fasilitas
keberhasilan terapi kelompok problem solving
yang telah diberikan (kemampuan interaksi sosial
sampel menjadi lebih baik).

9 Simpulan dan Saran Dari hasil penelitian dapat disimpulkan


bahwa , Analisis uji hipotesis yang telah dilakukan
memperoleh p-value 0,000 (<0,05) dengan tingkat
signifikansi yang ditentukan sebesar 0,05 yang
berarti hipotesis penelitian ini diterima yaitu terapi
kelompok problem solving berpengaruh terhadap
kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia di
RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.Hasil
pretest dan posttest SIAS menyatakan kemampuan
interaksi sosial sampel lebih baik setelah mendapat
intervensi. Peningkatan kemampuan interaksi
sosial sampel berjenis kelamin perempuan lebih
baik daripada laki-laki, sampel pada usia 17-25
tahun kondisinya memburuk, sampel yang tidak
bekerja kondisinya memburuk, kemampuan
interaksi sosial sampel dengan diagnosis
skizofrenia paranoid lebih baik daripada
hebefrenik, peningkatan kemampuan interaksi
sosial pada tingkat pendidikan perguruan tinggi
lebih baik dari tingkat pendidikan lainnya, dan
peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel
pada kelompok nilai GAF 61-100 lebih baik
daripada kelompok nilai GAF 20-60.
BAB III
ANALISIS PICO/SWOT
3.1 Analisis PICO
Pencarian jurnal menggunakan metode PICO dengan menentukan
pertanyaan klinis terlebih dahulu. Setelah membuat pertanyaan, menentukan kata
kunci yang akan digunakan dalam pencarian di search engine pada
database/source Google Schoolar. Pertanyaan klinis yang terbentuk adalah,
Pada pasien skizofrenia, bagaimana pengaruh terapi kelompok problem
solving terhadap kemampuan interaksi sosial ?
Population Pasien Skizofrenia
Intervention Terapi Kelompok Problem Solving
Comparison -
Outcome Peningkatan kemampuan interaksi sosial.
Maka kata kunci yang digunakan dalam pencarian adalah skizofrenia, terapi
kelompok problem solving, dan Pengaruh kemampuan interaksi sosial
menggunakan Boolean operator (AND, OR, NOT) yakni AND. Ditemukan 192
jurnal.

Kemudian untuk mempersempit hasil pencarian yang di dapatkan maka


penulis membatsi pencarian selama 5 tahun terakhir (2015-2020). maka di
temukan 126 hasil dan penulis memilih jurnal yang dianggap cocok dan sesua
dengan topik yang akan dibahas.

Adapun jurnal utama yang digunakan berjudul “Pengaruh Terapi Kelompok


Problem Solving Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Skizofrenia”.
Berikut adalah penjelasan mengenai population/patient, intervention, comparison,
dan outcome berdasarkan jurnal utama tersebut.
1. Population/patient
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia yang
terdiri dari 23 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 17 perempuan, dari
rentang usia 17-55 tahun. Adapun Frekuensi sampel berdasarkan pendidikan
terakhir yaitu dari tingkat SD sampai Perguruan tinggi. Serta memiliki
tingkat gangguan jiwa minimal sampai sedang. Jumlah keseluruhan populasi
pada penelitian ini adalah 40 orang
2. Intervention
Metode penelitian di dalam jurnal utama dilaksanakan sebanyak enam
kali pertemuan dengan durasi terapi selama 60 menit. Proses saat
pengambilan data yaitu dengan melakukan pretest menggunakan Social
Interaction Anxiety Scale (SIAS), sampel mengikuti terapi kelompok problem
solving sesuai dengan program dan sistematika yang telah dirancang sampai
dengan selesai. dan melakukan Posttest.
3. Comparison
Dalam jurnal ini tidak ada.
4. Outcome
Outcome dalam jurnal ini adalah untuk meningkatkan kemampuan
interaksi sosial pada pasien agar dapat mejadi lebih baik setelah mendapatkan
intervensi terapi kelompok Problem Solving. Dimana terapi tersebut
merupakan intervensi yang melibatkan kerjasama aktif antara klien dengan
terapis yaitu dapat dilakukan melalui aktivitas bermain peran (role play) dan
menerapkan kegiatan tertentu dalam sesi terapi. Dengan hal tersebut di
harapkan pasien bisa menyesuaikan diri untuk melakukan hubungan sosial
dan tiak menahan diri.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Fakta
Gangguan interksi sosial pada pasien dengan Skozofrenia merupakan
hal yang sering terjadi, Dimana mereka merasa kehilangan hubungan dan
tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, dan pikiran. Orang
dengan skizofrenia mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan
dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada
perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman menurut Direja (2019).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Pada tahun 2018
di Indonesia prevalensi gangguan jiwa mencapai 7% dari 1000 orang
sedangkan prevalensi untuk gangguan jiwa diatas usia 15 tahun yang
berkisar rata-rata 9,8%. Prevalensi skizofrenia yang ada di Indonesia rata–
rata 1-2 % dari jumlah penduduk dan usia paling banyak penderita
skizofrenia di alami sekitar 15-35 tahun (Makhfudi, 2017). Hasil penelitian
WHO di Jawa Tengah tahun 2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga
Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami ganguan jiwa. Sementara 19
orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah mengalami stress (DEPKES RI,
2018).
Sebagian besar pasien skizofrenia mengalami penurunan interaksi
sosial akibat kerusakan fungsi kognitif dan afektif yaitu sebesar 72%
(Kirana, 2018). Pada orang dengan skizofrenia penyebab disfungsi sosialnya
adalah interaksi sosial yang rendah. Rendahnya interaksi sosial pada pasien
skizofrenia tercermin melalui hasil observasi terhadap perilaku ketika pasien
melakukan percakapan, tampak bahwa alur berpikir pasien skizofrenia sulit
dipahami orang lain karena pembicaraannya terkesan janggal dan tidak
berkaitan dengan topik, ekspresi dan intonasi tidak ekspresif serta tidak
menatap lawan bicara Melky (2016)
4.2 Teori
a. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa Menurut American Psychiatric Association (APA),
merupakan suatu gejala atau pola dari tingkahlaku psikologi yang
tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang yang berhubungan
dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) dan
ketidakmampuan dimana mengalami gangguan pada satu area atau lebih
dari fungsi-fungsi penting yang meningkatkan risiko terhadap kematian,
nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan.
b. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Gangguan jiwa skizofrenia sifatnya adalah ganguan yang lebih kronis
dan melemahkan dibandingkan dengan gangguan mental lain.
skizofrenia merupakan penyakit otak yang persisten dan juga serius
yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam memproses
informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan interpersonal,
kesulitan dalam memecahkan suatu masalah.
c. Pengertian terapi Kelompok Problem Solving
Metode terapi kelompok problem solving adalah suatu pendekatan untuk
membantu dalam menyelesaikan permasalahan. Metode problem solving
dapat diterapkan pada anak-anak, remaja, dewasa, dan lain-lain. Metode
problem solving mempunyai tahap-tahap dalam penyelesaian masalah.
Metode problem solving mempunyai tiga sampai empat tahap dalam
proses pelaksanaan problem solving. Tahapan-tahapan tersebut
merupakan proses yang harus dilalui dari awal sampai akhir. Proses
tahapannya sebagai berikut, Tahap awal (mengenali masalah), Tahap
operasi (mengambil tindakan untuk pemecahan masalah), dan tahap
mencapai tujuan yang diinginkan (menghilangkan masalah) (Eskin,
2017) Proses dilakukan dengan tepat dan tidak sembarangan karena ada
tekniknya. Metode problem solving juga memiliki beberapa teknik
untuk melaksanakan tahapan-tahapan tersebut untuk menyelesaikan
permasalahan.
4.3 Opini
Skizofrenia adalah gangguan otak kronis yang ditandai oleh beberapa gejala
seperti delusi, halusinasi, konsentrasi, dan kurangnya motivasi. Pengidap
skizofrenia berbeda dengan kepribadian ganda. Kebanyakan pengidap skizofrenia
bukanlah orang yang agresif terhadap orang lain, justru menarik diri dari
masyarakat dan sulit melakukan interaksi sosial. Kecenderungan pengidap
skizofrenia adalah peningkatan stres dan tekanan perasaan saat harus membagi
waktunya dengan orang lain. Pengidap skizofrenia seringkali mengalami kesulitan
dalam memahami situasi sosial dan apa yang dipikirkan orang lain. Bagaimana
membaca nada suara dan ekspresi wajah merupakan sebuah kesulitan bagi
pengidap skizofrenia, sehingga mereka memilih untuk menjauh ketimbang
mengacaukan komunikasi dalam interaksi sosial. Salah satu gejala negatif yang
sering ditunjukkan oleh penderita skizofrenia adalah menarik diri (disfungsi
interaksi sosial). Gejala negatif (menarik diri) dapat menyebabkan disfungsi
fungsional pada penderita skizofrenia, seperti disfungsi dalam melakukan Activity
of Daily Living (ADL), produktivitas, leisure, kognitif, sensorimotor dan
psikososial (interaksi sosial).
Tujuan dari terapi kelompok problem solving ini bagi penderita skizofrenia
pada jurnal utama yang bertujuan untuk menstimulasi klien agar dapat membantu
satu sama lain, dan diharapkan dapat menyebabkan perubahan perilaku serta cara
individu saat berinteraksi dengan orang lain
.
4.4 Implikasi Keperawatan
Terapi kelompok problem solving dirancang untuk meningkatkan
kemampuan dalam memecahkan masalah. pada pasien skizofrenia. Peran seorang
perawat dalam hal ini sangat penting untuk membantu pasien dalam membimbing
pasien selama terapi dilakukan.
Terapi kelompok problem solving merupakan terapi yang dapat dilakukan
untuk pasien skizofrenia dengan melakukan modifikasi perilaku, social skill
training seperti psychiatric rehabilitation (terapi kelompok). Salah satu jenis terapi
kelompok yang dapat dilakukan adalah problem solving therapy yang termasuk
dalam cognitive behavioral therapy (Rimadhani, 2018)
Perawat memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, edukator,
konselor, advokator, dan lain-lain disetiap berbagai bidang keperawatan termasuk
keperawatan kesehatan jiwa. Pemberian terapi kelompok problem solving ini
dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat diberikan oleh
perawat baik dalam lingkup klinik di rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan
lain, maupun di lingkup komunitas sehingga perawat dapat memberikan
pelayanan maksimal untuk memberikan asuhan keperawatan. Seorang perawat
harus memiliki sifat empati dan kemampuan komunikasi yang baik untuk
mendukung pemberian terapi. Hal tersebut juga yang diperlukan terapis untuk
melakukan terapi kelompok problem solving, yakni diperlukannya kemampuan
komunikasi untuk membangun hubungan saling percaya dan empati bagi pasien
(Miranti et al., 2019). Perawat pada dasarnya harus bisa membangun hubungan
saling percaya dan memiliki rasa empati serta kemampuan berkomunikasi yang
baik sehingga penerapan terapi suportif ini bisa menjangkau lingkup kerja yang
lebih luas lagi.
Adapun peran perawat dalam memberikan terapi tersebut antara lain :
1. Peran perawat sebagai caregiver
Perawat dapat memberikan intervesi terapi yoga, dukungan serta
mengawasi secara langsung apakah terapi dapat berjalan sesuai dengan
rencana. Dimana, perawat bertugas memberikan pilihan terapi kelompok
problem solving sesuai dengan skill yang dimilikinya.
2. Peran perawat sebagai educator
Dimana, perawat dapat memberikan edukasi/informasi berdasarkan
evidence based mengenai gambaran dari terapi yang sedang dijalani,
tujuan terapi, efek yang ditimbulkan.
3. Peran perawat sebagai konselor
Perawat juga berperan sebagai konselor dimana perawat dapat menjadi
tempat pasien untuk mengkomunikasikan permasalahannya dan
membantu pasien untuk menentukan keputusan yang tepat dari
permasalahan tersebut misalnya menemukan masalah selama terapi
dilakukan.
4. Peran perawat sebagai researcher
Dimana perawat dapat melakukan penelitian lebih lanjut ataupun
mengembangkan metode lain serta perawat dapat mengkombinasikan
terapi kelompok problem solving dengan terapi lain yang nantinya dapat
digunakan sebagai terapi yang dapatbdi berikan pada pasien dengan
skizofrenia dengan disfungsi interaksi sosial serta dapat meningkatkan
mutu pelayanan keperawatan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Skizofrenia adalah gangguan otak kronis yang ditandai oleh beberapa gejala
seperti delusi, halusinasi, konsentrasi, dan kurangnya motivasi. Pengidap
skizofrenia berbeda dengan kepribadian ganda. Kebanyakan pengidap skizofrenia
bukanlah orang yang agresif terhadap orang lain, justru menarik diri dari
masyarakat dan sulit melakukan interaksi sosial. Perawat memiliki peran penting
dalam penerapan terapi ini sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat harus
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan membangun hubungan saling
percaya serta rasa empati sehingga dorongan untuk menjadi lebih baik lagi dapat
diterima dan dilakukan oleh pasien. Hal ini merupakan dasar dari pemberian
terapi Kelompok problem solving pada pasien gangguan jiwa khususnya
skizofrenia dengan masalah interaksi sosial.

5.2 Saran
Sejauh ini penelitian mengenai terapi kelompok probem soving masih
terbatas dan tidak terlalu banyak. Rata-rata penelitian hanya menggunakan satu
responden untuk penelitiannya. Diharapkan kedepannya ada penelitian mengenai
terapi ini dengan tipe kelompok untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
efektifitas dari penerapan terapi kelompok problem solving ini dalam skala besar
dan lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti,P. (2019). Pelatihan relaksasi kelompok Problem Solving untuk
menurunkan tingkat stres pada penderita Skizofrenia. Yogyakarta.
Perpustakaan Universitas Gadjah
Direja, H., Dedi Supriadi., dan vidya pramesti P .,(2019). Pengaruh Terapi
Problem Solving Terhadap Gangguan interaksi sosial Pada Lansia Di BPS
tresna Wredha. Journal keperawaan BSI, 6(2), 66–75
Eskin, M., 2017. Penerapan Terapi Kelompok Problem Solving untuk
Meningkatkan Disfungsi Sosial pada Individu yang Memiliki Pasangan
Skizofrenia. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni 1, 105
Kemenkes Republik Indonesia, 2018. Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta.
Kirana, S. (2017). Pengaruh Terapi Kelompok Problem Solving terhadap
Peningkatan Interaksi sosial di UPTD Rumoh Seujahtera Geunaseh Sayang
Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2019. 455–464.
Maramis, A (2015, A., 2018. Psikoterapi kelompok problem soving pada
penderita skizofrenia hiberenik. Proyeksi 13, 123–133.
Melky, Aini, K., 2016. Faktor Determinan Tentamen Suicidum pada Pasien
Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah Stikes Kendal 9, 113–
115.
Miranti, D., Pratikno, H., Pumpungan, M., Surabaya, K., 2019. Supportive
Therapy Sebagai Media Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Pasien
Skizofrenia Paranoid. Seminar Nasional Multidisiplin 2019 173–179.
Purnamasari, M. (2017). Pengaruh Terapi Kelompok problem solving terhadap
Penurunan Tingkat Depresi pada pasien Skizofrenia, Denpasar.
http://ojs.unud.ac.id.
siswanti, S. (2018). Perbedaan Tingkat Depresi pada Lansia sebelum dan
sesudah dilakukan terapi kelompok Di Panti Wredha Wening Wardoyo
Ungaran.http://ejournal.undip.ac.id/.
WHO, 2019. Key Facts Schizophrenia [WWW Document]. World Health
Organization. URL https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/schizophrenia (diakses 11.28.20).
LAMPIRAN JURNAL

PENGARUH TERAPI KELOMPOK PROBLEM SOLVING


TERHADAP KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN
SKIZOFRENIA

Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari


Jurusan Okupasi Terapi, Poltekkes Kemenkes Surakarta

Abstrak

Latar Belakang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh


terapi kelompok problem solvingterhadap kemampuan interaksi sosial
pasien skizofrenia. Penderita skizofrenia seringkali menunjukkan gejala
positif dan gejala negatif. Salah satu gejala negatif yang sering ditunjukkan
oleh penderita skizofrenia adalah menarik diri (disfungsi interaksi sosial).
Gejala negatif (menarik diri) dapat menyebabkan disfungsi fungsional pada
penderita skizofrenia, seperti disfungsi dalam melakukan Activity of Daily
Living (ADL), produktivitas, leisure, kognitif, sensorimotor dan psikososial
(interaksi sosial).Metode Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada
penderita skizofrenia dengan jumlah responden 40 orang. Penelitian ini
dilakukan di Unit Rehabilitasi Okupasi Terapi RSJ Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang. Alat ukur yang digunakan berupa self-
assessement yaitu Social Interaction Anxiety Scale (SIAS). Jenis penelitian
ini adalah experimental research. Penelitian ini menggunakan metode
analisis data teknik statistik komparatif. Uji yang digunakan sebagai
analisis uji hipotesis adalah uji parametric yaituuji t sampel berpasangan
(paired sampel t-test) dengan bantuan aplikasi SPSS versi 17.0.Hasil
Penelitian. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh p-value 0,000
(<0,05), dengan taraf signifikansi yang ditentukan sebesar 0,05. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima.
Kesimpulan. Terapi kelompok problem solving berpengaruh terhadap
kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia.
Daftar Pustaka: 20 (1992-2015)

Kata Kunci: terapi kelompok problem solving, interaksi sosial, skizofrenia


Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 12
THE INFLUENCE OF THE PROBLEM SOLVING GROUP THERAPY
AGAINST THE ABILITY OF SOCIAL INTERACTIONS IN
SCHIZOPHRENIA PATIENTS OF RSJ

Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari


Jurusan Okupasi Terapi, Poltekkes Kemenkes Surakarta

Abstract

Background. This research aims to know the influence of the problem solving
group therapy against social interaction abilities of patients of schizophrenia.
Schizophrenics often shows positive symptoms and negative symptoms. One of
the negative symptoms often exhibited by schizophrenic is withdraw (dysfunction
social interaction). Negative symptoms (withdrawl) can cause functional
dysfunction in people with schizophrenia, such as dysfunction in performing the
Activity of Daily Living (ADL), productivity, leisure, cognitive, sensorimotor and
psychosocial(social interaction). Methods. This research was conducted on a
schizophrenic by the number of respondents 40 people. This research was
conducted in Occupational Therapy Rehabilitation Unit RSJ Dr.Radjiman
Wediodiningrat, Lawang. Measuring instrument which is used in the form of self-
assessement Social Interaction Anxiety Scale (SIAS). This type of research is
experimental research. This research using methods of comparative statistical
data analysis techniques. The test is used as the analysis of the test of the
hypothesis test is parametric that paired sample t test (paired samples t-test)
application with the help of SPSS version 17.0.Result. Based on the results of
data analysis, the p-value obtained 0.000 (< 0.05), to the extent specified
significance of 0.05. It shows that the hypothesis in the study
received.Conclusion. Problem solving group therapy effectpatient social
interaction abilities against schizophrenia.
Bibliography:20 (1992-2015)

Keywords: problem solving group therapy, social interaction, schizophrenia.


Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 13
PENDAHULUAN
Di Indonesia masalah kesehatan jiwa menjadi salah satu masalah
kesehatan yang juga membutuhkan perhatian khusus dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, serta seluruh masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
individu yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat produktif dan tidak efisien
dalam kehidupannya (Setyonegoro, 1980 dikutip oleh Hawari, 2012). Hasil Riset
Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar
6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Prevalensi gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia sebanyak 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar
400.000 orang.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang tidak mampu menilai realitas
kehidupan (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self
insight) yang buruk. Penderita skizofrenia menunjukkan gejala positif dan gejala
negatif seperti delusi atau waham, halusinasi, kekacauan alam pikir, gaduh,
gelisah, merasa dirinya “orang besar”, pikirannya penuh dengan kecurigaan dan
menyimpan rasa permusuhan, alam perasaan atau affect “tumpul”, menarik diri
(withdrawl), kurangnyakontak emosional, pasif, apatis, sulit dalam berfikir
abstrak, pola pikir stereotip dan tidak memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu
(Hawari, 2012). Reed (2001) menyatakan bahwa gejala positif dan gejala negatif
yang ditunjukkan dapat menyebabkan disfungsi fungsional seperti gangguan pada
aktivitas perawatan diri atau self-care (Activity of Daily Living), produktivitas,
leisure, sensorimotor, kognitif dan psikososial (mengalami keterbatasan
kemampuan melakukan interaksi sosial).
Interaksi sosial merupakan modal awal individu agar dapat melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari, baik yang melibatkan orang lain atau masyarakat.
Interaksi sosial merupakan dasar dalam melakukan komunikasi yang akan
berpengaruh dalam fungsionalnya. Interaksi sosial juga dapat distimulasi dengan
cara memberikan kesempatan individu untuk bekerjasama dalam sebuah
kelompok terstruktur yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan interaksi
sosial (Reed, 2001).
Reed (2001) menyatakan bahwa sejumlah terapi yang dapat dilakukan
untuk pasien skizofrenia adalah memodifikasi perilaku, social skill training
seperti psychiatric rehabilitation (terapi kelompok). Salah satu jenis terapi
kelompok yang dapat dilakukan adalah problem solvingtherapy yang termasuk
dalam cognitive behavioral therapy.Terapi kelompok bertujuan untuk
menstimulasi klien agar dapat membantu satu sama lain, dan diharapkan dapat
menyebabkan perubahan perilaku serta cara individu saat berinteraksi dengan
orang lain (Koukourikos & Pasmatzi, 2014). Hasil penelitian Mojtabaei &
Naghne (2015) menunjukkan bahwa cognitive behavioral therapy efektif
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 14
digunakan untuk mengurangi gejala positif dan gejala negatif pasien skizofrenia.
Salah satu gejala negatif yang dimaksud adalah disfungsi interaksi sosial.
Kegiatan yang dilakukan di Unit Rehabilitasi Okupasi Terapi di RSJ Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang diantaranya adalah diskusi, terapi gerak atau
olahraga, terapi bermain, terapi rekreasi, terapi kelompok, terapi keagamaan,
terapi Activity of Daily Living (ADL), dan kegiatan lain yang dapat menunjang
proses penyembuhan. Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang belum pernah dilakukan penelitian yang serupa dengan penelitian yang
akan dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian ini.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk experimental design,bentuk intervensi yang
dilakukan berupa terapi kelompok problem solvingdan dilakukan di Unit
Rehabilitasi Okupasi Terapi Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang. Data pada penelitian ini berasal dari hasil pengukuran secara langsung
dari sampel menggunakan alat ukur Social Interaction Anxiety Scale (SIAS) yang
dilakukan sebelum dan sesudah intervensi dan data rekam medis pasien di unit
rehabilitasi okupasi terapi. Penelitian dilakukan pada tanggal 03 Oktober s.d. 26
November 2016 di Unit Rehabilitasi Okupasi Terapi RSJ Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien
skizofrenia yang memenuhi karakteristik yang telah ditentukan oleh peneliti di
Unit Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yang
beralamat di Jl. A Yani Lawang, Jawa Timur. Jumlah populasi pada penelitian ini
≥60 orang.
Teknik pengambilan data penelitian ini menggunakan teknik sampling
purposive. Adapun kriteria inklusi yang ditentukan, yaitu: (1) mampu
berkomunikasi verbal dan menggunakan Bahasa Indonesia, (2) tidak mengalami
disorientasi (tempat, waktu dan orang), (3) mampu membaca dan memahami
instruksi, (4) memiliki nilai GAF ≥ 20, (5) memiliki kemampuan fungsional yang
baik, dan (6) hasil pretest menggunakan SIAS menunjukkan gangguan ringan,
sedang dan berat kecemasan interaksi sosial. Kriteria eksklusi yang ditentukan
yaitu hasil pretest menggunakan SIAS menunjukkan tidak ada gangguan interaksi
sosial (normal).
Proses administrasi saat pengambilan data yaitu perijinan, melakukan
pemilihan sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, melakukan pretest
menggunakan Social Interaction Anxiety Scale (SIAS), sampel mengikuti terapi
kelompok problem solving sesuai dengan program dan sistematika yang telah
dirancang sampai dengan selesai, dan terapi kelompok problem solving dilakukan
sebanyak 6x pertemuan dan durasi terapi 60 menit, dan melakukan posttest.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 15
Terapi kelompok problem solving dirancang untuk meningkatkan
kemampuan dalam memecahkan masalah. Tugas yang diberikan yaitu diskusi
tentang interaksi sosial, mencari jawaban dalam kotak perancu, mencari gambar
yang berbeda atau hilang (gambar visual diskriminasi), kertas masalah, menyusun
kata menjadi kalimat dan diskusi tentang cuci tangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat beralamat di Jl. A Yani
Lawang, Jawa Timur. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada tanggal 03
Oktober 2016, jumlah pasien yang mengikuti program di unit rehabilitasi dalam
satu hari sebanyak ≥60 orang.

DEMOGRAFI PASIEN
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 40 orang. Berikut data demografi
sampel.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah %


Laki-laki 23 57,5
Perempuan 17 42,5
Total 40 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia Jumlah %


17-25 7 17,5
26-35 7 17,5
36-45 23 57,5
46-55 3 7,5
Total 40 100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Diagnosis Medis


Diagnosis Medis Jumlah %
Skizofrenia Paranoid 13 32,5
Skizofrenia Hebefrenik 27 67,5
Total 40 100
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 16
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Riwayat Pekerjaan
Riwayat Pekerjaan Jumlah %
Tidak Bekerja 10 25
Karyawan 4 10
Wiraswasta 26 65
Total 40 100

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Pendidikan Terakhir


Pendidikan Terakhir Jumlah %
SD 11 27,5
SMP 16 40,0
SMA 11 27,5
Perguruan Tinggi 2 5,0
Total 40 100

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Nilai GAF


Klasifikasi Nilai GAF Jumlah %
20-60 30 75
61-100 10 25
Total 40 100

HASIL PENELITIAN
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Pretest SIAS

Klasifikasi Nilai SIAS Jumlah %


Gangguan Minimal 33 82,5
Gangguan Sedang 7 17,5
Total 40 100

Tabel 7 menyatakan sampel penelitian yang mengalami gangguan


minimal mendominasi yaitu 82,5%.

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Gangguan Minimal (%) Gangguan Sedang (%) Total (%)

Laki-laki 20 (87,0) 3 (13,0) 23 (100)


Perempuan 13 (76,5) 4 (23,5) 17 (100)
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 17
Berdasarkan tabel 8 sampel yang mengalami gangguan interaksi sosial
didominasi oleh laki-laki yaitu 20 orang gangguan minimal dan 3 orang gangguan
sedang.

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Kelompok Usia


Kelompok Usia Gangguan Minimal Gangguan Sedang Total
(%) (%) (%)
17-25 7 (100) 0 (0,0) 7 (100)
26-35 6 (85,7) 1 (14,3) 7 (100)
36-45 18 (78,3) 5 (21,7) 23(100)
46-55 2 (66,7) 1 (33,3) 3 (100)

Dalam tabel 9 menyatakan bahwa sampel yang mengalami gangguan


minimal didominasi kelompok usia 36-45 tahun yaitu 18 orang, dan jumlah
terendah adalah kelompok usia 46-55 tahun yaitu 2 orang. Pada kelompok usia
17-25 tahun, sebelum mendapatkan intervensi tidak ada sampel yang mengalami
gangguan sedang.

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Pendidikan


Terakhir

Tingkat Pendidikan Gangguan Minimal Gangguan Sedang Total


(%) (%) (%)
SD 8 (72,7) 3 (27,3) 11 (100)
SMP 13 (81,3) 3 (18,8) 16 (100)
SMA 10 (90,9) 1 (9,1) 11 (100)
Perguruan Tinggi 2 (100) 0 (0,0) 2 (100)

Tabel 10 menyatakan bahwa jumlah terendah sampel yang mengalami


gangguan interaksi sosial berasal dari tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu 2
orang gangguan minimal dan tidak ada yang mengalami gangguan sedang.
Sampel yang mengalami gangguan interaksi sosial didominasi oleh tingkat
pendidikan SMP yaitu 13 orang gangguan minimal dan 3 orang gangguan sedang.

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Riwayat Pekerjaan

Riwayat Pekerjaan Gangguan Minimal Gangguan Sedang Total


(%) (%) (%)
Tidak Bekerja 8 (80,0) 2 (20,0) 10 (100)
Karyawan 3 (75,0) 1 (25,0) 4 (100)
Wiraswasta 22 (84,6) 4 (15,4) 26 (100)
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 18
Sampel yang mengalami gangguan interaksi sosial sebelum intervensi
didominasi oleh wiraswasta yaitu gangguan minimal 22 orang dan 4 orang
gangguan sedang, serta jumlah terendah adalah karyawan yaitu 3 orang gangguan
minimal dan 1 orang gangguan sedang. Dalam tabel 11.

Tabel 12. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Diagnosis Medis

Diagnosis Medis Gangguan Minimal Gangguan Sedang Total


(%) (%) (%)
Skizofrenia Paranoid 11 (84,6) 2 (15,4) 13 (100)
Skizofrenia 22 (81,5) 5 (18,5) 27 (100)
Hebefrenik

Sampel yang mengalami gangguan interaksi sosial didominasi oleh


skizofrenia hebefrenik yaitu 22 orang yang mengalami gangguan minimal dan 5
orang mengalami gangguan sedang. Dapat dilihat dalam tabel 12 di atas.

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Skor Pretest SIAS Berdasarkan Nilai GAF

Klasifikasi Nilai GAF Gangguan Minimal Gangguan Sedang Total


(%) (%) (%)
20-60 24 (80) 6 (20) 30 (100)
61-100 9 (90) 1 (10) 10 (100)

Berdasarkan tabel 13, sampel yang mengalami gangguan interaksi sosial


berdasarkan nilai GAF didominasi oleh klasifikasi nilai GAF 20-60 yaitu 24
orang gangguan minimal dan 6 orang gangguan sedang.

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Posttest SIAS

Klasifikasi Nilai SIAS Jumlah %


Normal 20 50.0
Gangguan Minimal 13 32.5
Gangguan Sedang 7 17.5
Total 40 100

Hasil posttest sampel didominasi oleh klasifikasi normal yaitu 20 orang


(50%) dan jumlah terkecil berasal dari klasifikasi gangguan sedang yaitu 7 orang
(17,5%). Kondisi ini menggambarkan terjadi peningkatan kemampuan interaksi
sosial sampel. Dalam tabel 14.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 19
Tabel 15. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Normal Gangguan Gangguan Total


(%) Minimal (%) Sedang (%) (%)
Laki-laki 10 (43,5) 9 (39,1) 4 (17,4) 23 (100)
Perempuan 10 (58,8) 4 (23,5) 3 (17,6) 17 (100)

Peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel perempuan lebih baik


daripada laki-laki. Setelah mengikuti terapi kelompok problem solving,
sampel laki-laki yang mengalami gangguan sedang jumlahnya bertambah
yaitu dari 3 orang menjadi 4 orang. Sampel perempuan yang mengalami
gangguan sedang jumlahnya berkurang dari 4 orang menjadi 3 orang, dari 13
orang menjadi 4 orang gangguan minimal dan 10 orang normal. Dari tabel 15
di atas.

Tabel 16. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Kelompok Usia
Kelompok Normal Gangguan Gangguan Total
Usia (%) Minimal (%) Sedang (%) (%)
17-25 4 (57,1) 2 (28,6) 1 (14,3) 7 (100)
26-35 3 (42,9) 3 (42,9) 1 (14,3) 7 (100)
36-45 12 (52,2) 7 (30,4) 4 (17,4) 23 (100)
46-55 1 (33,3) 1 (33,3) 1 (33,3) 3 (100)

Sampel pada kelompok usia 17-25 tahun kondisinya memburuk. Hal


tersebut dikarenakan terdapat 1 sampel yang mengalami gangguan sedang
setelah mendapat intervensi. Dapat dilihat dalam tabel 16 di atas.

Tabel 17. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Diagnosis Medis

Diagnosis Normal Gangguan Gangguan Total


Medis (%) Minimal (%) Sedang (%) (%)
Skizofrenia 8 (61,5) 4 (30.8) 1 (7,7) 13 (100)
Paranoid
Skizofrenia 12 (44,4) 9 (33,3) 6 (22,2) 27 (100)
Hebefrenik

Sampel pada klasifikasi normal didominasi oleh skizofrenia hebefrenik


yaitu 12 orang. Sampel skizofrenia hebefrenik kondisinya memburuk. Hal
tersebut dikarenakan setelah intervensi terdapat 6 orang gangguan sedang.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 20
Sampel skizofrenia paranoid yang mengalami gangguan sedang jumlahnya
berkurang yaitu dari 2 orang menjadi 1 orang. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel skizofrenia
paranoid lebih baik daripada skizofrenia hebefrenik. Dalam tabel 17 di atas.

Tabel 18. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Riwayat


Pekerjaan

Riwayat Pekerjaan Normal Gangguan Gangguan Total (%)


(%) Minimal (%) Sedang (%)
Tidak Bekerja 3 (30,0) 4 (40,0) 3 (30,0) 10 (100)
Karyawan 3 (75,0) 1 (25,0) 0 (0,0) 4 (100)
Wiraswasta 14 (53,8) 8 (30,8) 4 (15,4) 26 (100)

Informasi dalam tabel 18 menyatakan sampel dalam klasifikasi normal


didominasi oleh wiraswasta yaitu 14 orang (53,8%). Sampel yang tidak
bekerja kondisinya memburuk, hal tersebut dikarenakan jumlahnya bertambah
dari 2 orang menjadi 3 orang gangguan sedang.

Tabel 19. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Pendidikan


Terakhir

Pendidikan Normal Gangguan Gangguan Total


Terakhir (%) Minimal (%) Sedang (%) (%)
SD 7 (63,6) 1 (9,1) 3 (27,3) 11 (100)
SMP 7 (43,8) 6 (37,5) 3 (18,8) 16 (100)
SMA 5 (45,5) 5 (45,5) 1 (9,1) 11 (100)
Perguruan Tinggi 1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0) 2 (100)

Informasi dari tabel 19 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat


pendidikan, maka peningkatan kemampuan interaksi sosial semakin baik.
Setelah mendapatkan intervensi, prosentase peningkatan kemampuan
interaksi sosial pada tingkat pendidikan perguruan tinggi terdistribusi rata
50% yaitu 1 orang gangguan minimal dan 1 orang normal, serta tidak ada
lagi sampel dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi yang mengalami
gangguan sedang.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 21
Tabel 20. Distribusi Frekuensi Skor Posttest SIAS Berdasarkan Nilai GAF

Klasifikasi Normal Gangguan Gangguan Total


Nilai GAF (%) Minimal (%) Sedang (%) (%)
20-60 13 (43,3) 10 (33,3) 7 (23,3) 30 (100)
61-100 7 (70,0) 3 (30,0) 0 (0,0) 10 (100)

Tabel 20 di atas menyatakan bahwa secara garis besar peningkatan


kemampuan interaksi sosial didominasi oleh klasifikasi nilai GAF 20-60. Hal
tersebut dikarenakan distribusi sampel berdasarkan klasifikasi nilai GAF tidak
memiliki proporsi yang sama. Pada klasifikasi nilai GAF 61-100 peningkatan
kemampuan interaksi sosial lebih baik dibandingkan dengan klasifikasi nilai
GAF 20-60. Keadaan ini dikarenakan tidak ada sampel yang mengalami
gangguan sedang setelah mendapat intervensi. Pada klasifikasi nilai GAF 20-
60 sampel yang mengalami gangguan sedang jumlahnya meningkat yaitu dari
6 orang menjadi 7 orang.

Analisis Uji Prasyarat


Uji yang digunakan adalah uji t sampel berpasangan (paired sample t-test)
yaituuntuk melihat adanya perkembangan kemampuan interaksi sosial sampel
penelitian setelah mengikuti terapi kelompok problem solving.Sebelum
menggunakan uji t sampel berpasangan dilakukan uji normalitas data terlebih
dahulu. Uji normalitas data yang digunakan yaitu uji Shapiro-Wilk karena sampel
penelitian sebanyak 40 atau ≤ 50 orang. Taraf signifikasi yang ditentukan dalam
penelitian ini sebesar 0,05. Berikut adalah data hasil uji normalitas.

Tabel 21. Hasil Uji Normalitas Pretest dan Posttest SIAS

Uji Normalitas (Shapiro-Wilk)


Sig. Keterangan
Hasil Pretest SIAS Sampel 0,002 (<0,05) Tidak Normal
Hasil Postest SIAS Sampel 0,002 (<0,05) Tidak Normal

Hasil skor SIAS sampel sebelum dan sesudah intervensi tidak terdistribusi
normal. Hal tersebut dikarenakan p-value yang diperoleh <0,05 sehingga
dilakukan transformasi data hasil pretest dan posttest skor SIAS. Berikut hasil
transformasi data. Dalam tabel 21.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 22
Tabel 22. Hasil Uji Normalitas Transformasi Pretest dan Posttest SIAS

Uji Normalitas Transformasi (Shapiro-Wilk)


Sig. (p) Keterangan
Hasil Pretest SIAS Sampel 0,118 >0,05 Normal
Hasil Postest SIAS Sampel 0,713> 0,05 Normal

Berdasarkan tabel 22, hasil uji normalitas transformasi skor SIAS


sampel sebelum dan sesudah mengikuti terapi kelompok problem solving
dapat dikatakan terdistribusi normal. Hal tersebut dikarenakan p-value yang
diperoleh >0,05.

Analisis Uji Hipotesis


Data penelitian ini dikatakan terdistribusi normal sehingga digunakan uji
parametric. Uji yang digunakan untuk melakukan uji hipotesis penelitian ini
adalah uji t sampel berpasangan (paired sample t-test). Hasil analisis sebagai
berikut.

Tabel 23. Hasil Uji t Sampel Berpasangan Pretest dan Posttest SIAS

Uji t Sampel Berpasangan N Sig. (2-tailed)


Pretest dan Posttest SIAS 40 0,000

Diperoleh p-value 0,000 (<0,05) yang berarti hipotesis penelitian ini


diterima yaitu terapi kelompok problem solving berpengaruh terhadap
kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia di RSJ Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang. Dilihat dalam tabel 23.

PEMBAHASAN
Menurut Amir dalam Elvira & Hadisukanto (2010) skizofrenia berjenis
kelamin perempuan prognosisnya lebih baik dibandingkan laki-laki. Pernyataan
tersebut sesuai dengan kondisi yang digambarkan dalam tabel 15 bahwa
peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel berjenis kelamin perempuan
lebih baik daripada laki-laki.
Dalam tabel 16 menyatakan bahwa setelah mendapatkan intervensi
kemampuan interaksi sosial sampel 17-25 tahun memburuk. Keadaan ini sesuai
dengan Hurlock (1992) yang menyatakan bahwa pada usia transisi dari remaja ke
dewasa dini (awal) individu akan mengalami masalah dalam menyesuaikan diri
untuk melakukan hubungan sosial.
Menurut Maramis (2009) skizofrenia paranoid memiliki prognosis yang
lebih baik dari skizofrenia hebefrenik dan skizofrenia simplex. Skizofrenia
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 23
hebefrenik dan skizofrenia simplex memiliki prognosis yang sama buruknya, dan
seringkali penderita mengalami kemunduran secara mental. Kondisi ini sesuai
dengan tabel 17 yang menyatakan bahwa setelah mendapatkan intervensi,
peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel skizofrenia paranoid lebih baik
daripada skizofrenia hebefrenik.
Tabel 18 menyatakan bahwa setelah mendapatkan intervensi, sampel yang
tidak bekerja kondisinya memburuk. Keadaan ini sesuai dengan Hawari (2012)
yang menyatakan bahwa faktor keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang juga
berkaitan dengan pekerjaan dapat menjadi stresor yang berdampak pada
kesehatan, dan dapat menjadi penyebab skizofrenia. Beberapa penyebab
skizofrenia diantaranya usaha yang gulung tikar, kehilangan pekerjaan (tidak
bekerja), pendapatan jauh lebih rendah dari penghasilan, dan lain-lain.
Kaplan & Sadock (2010) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang
rendah akan menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami kecemasan
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Pendidikan sebagai sumber koping berhubungan dengan kemampuan seseorang
dalam menerima informasi yang dapat membantu dalam mengatasi masalah yang
dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan keadaan yang digambarkan dalam tabel 19
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan interaksi sosial
sampel semakin baik.
Global Assessment of Functioning (GAF) merupakan alat ukur untuk
mengklasifikasikan individu dengan disfungsi fungsional. GAF dapat digunakan
untuk mengevaluasi kemampuan fungsional penderita skizofrenia. Sejalan dengan
Hawari (2012) yang menyatakan bahwa penderita skizofrenia sulit menyesuaikan
diri dengan lingkungan hidupnya. Hendaya tersebut mengakibatkan disfungsi
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (fungsional). Keadaan ini
berkaitan dengan informasi dalam tabel 13, bahwa sampel yang mengalami
gangguan interaksi sosial didominasi oleh klasifikasi nilai GAF 20-60 yaitu 24
orang mengalami gangguan minimal, dan 6 orang gangguan sedang. Hal tersebut
sesuai dengan Maslim (2001) bahwa klasifikasi nilai GAF 20-60 dapat diartikan
individu yang mengalami disabilitas fungsi dari berat sampai dengan sedang.
Kondisi yang digambarkan pada tabel 20 menyatakan bahwa peningkatan
kemampuan interaksi sosial lebih baik pada kelompok nilai GAF 61-100.
Keadaan ini berkaitan dengan pernyataan Maslim (2001) bahwa secara garis
besar pada kelompok nilai GAF 61-100 dapat diartikan individu mengalami
disabilitas ringan bahkan mampu melakukan fungsinya dengan baik. Kondisi
tersebut dapat menjadi fasilitas dalam proses pembelajaran keterampilan interaksi
sosial sampel.
Salah satu gejala negatif yang seringkali ditunjukkan oleh penderita
skizofrenia adalah menarik diri, tidak mau bergabung atau melakukan kontak
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 24
sosial dengan orang lain (Hawari, 2012). Keadaan ini sesuai dengan kondisi
sampel yang digambarkan dalam tabel 7, bahwa sampel pada penelitian ini
mengalami gangguan interaksi sosial yaitu gangguan sedang dan gangguan
minimal. Sampel yang mengalami gangguan minimal jumlahnya lebih banyak
yaitu 82,5%.Tabel 23 menyatakan bahwa hipotesis penelitian ini diterima yaitu
terapi kelompok problem solving berpengaruh terhadap kemampuan interaksi
sosial pasien skizofrenia di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Menurut
Wallis (2001) problem solving therapy merupakan intervensi yang melibatkan
kerjasama aktif antara klien dengan terapis yaitu dapat dilakukan melalui aktivitas
bermain peran (role play) dan menerapkan kegiatan tertentu dalam sesi terapi.
Hasil penelitian Malouff, Thorsteinsson & Schutte (2007) menunjukkan bahwa
problem solving therapy efektif untuk mengobati masalah mental dan fisik. Hal
tersebut sesuai dengan pelaksanaan terapi kelompok problem solving yang
dilakukan pada penelitian ini. Aktivitas terapi yang diberikan dalam penelitian ini
berupa diskusi kelompok dan dengan melibatkan aktivitas bermain peran seperti
demonstrasi cara berkenalan, menunjuk beberapa anggota kelompok sebagai
leader dalam kelompok kecil, diskusi terapis dengan anggota kelompok (pasien).
Aktivitas yang diberikan terlampir dalam modul terapi. Keadaan ini
menjadi fasilitas keberhasilan terapi kelompok problem solving yang telah
diberikan (kemampuan interaksi sosial sampel menjadi lebih baik). Hal ini juga
sesuai dengan hasil penelitian Orfanos, Banks & Priebe (2014) menyatakan
bahwa terapi kelompok psikoterapi merupakan intervensi terapeutik yang dapat
memperbaiki gejala negatif dan defisit fungsi sosial pasien skizofrenia.
Keberhasilan proses terapi juga ditunjukkan oleh tabel 14 yang menggambarkan
prosentase jumlah sampel setelah mendapatkan intervensi didominasi oleh
klasifikasi normal yaitu 50% dan terendah gangguan sedang sebanyak 17,5%.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan
interaksi sosial sampel menjadi lebih baik yaitu sebesar 50%. Kondisi ini sesuai
dengan hasil penelitian Johns, Sellwood, McGovern & Haddock (2002) bahwa
terapi kelompok dengan cognitive behavioral therapy merupakan intervensi yang
efektif untuk mengurangi gejala negatif pada pasien skizofrenia. Hasil penelitian
Williams, Capozzoli, Buckner & Yusko (2015) juga menyatakan bahwa cognitive
behavioral therapy efektif digunakan untuk menurunkan kecemasan sosial,
depresi dan rasa curiga pada pasien psikosis. Hasil penelitian Untari (2014) juga
menunjukkan bahwa terapi kelompok bermakna (berpengaruh) terhadap
kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia. Intervensi yang diberikan berupa
terapi kelompok tugas, terapi kelompok problem solving dan terapi kelompok
asosiasi bebas. Alat pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah Social Interaction Anxiety Scale (SIAS).
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 25
KESIMPULAN
Analisis uji hipotesis yang telah dilakukan memperoleh p-value 0,000
(<0,05) dengan tingkat signifikansi yang ditentukan sebesar 0,05 yang berarti
hipotesis penelitian ini diterima yaitu terapi kelompok problem solving
berpengaruh terhadap kemampuan interaksi sosial pasien skizofrenia di RSJ Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang.Hasil pretest dan posttest SIAS menyatakan
kemampuan interaksi sosial sampel lebih baik setelah mendapat intervensi.
Peningkatan kemampuan interaksi sosial sampel berjenis kelamin perempuan
lebih baik daripada laki-laki, sampel pada usia 17-25 tahun kondisinya
memburuk, sampel yang tidak bekerja kondisinya memburuk, kemampuan
interaksi sosial sampel dengan diagnosis skizofrenia paranoid lebih baik daripada
hebefrenik, peningkatan kemampuan interaksi sosial pada tingkat pendidikan
perguruan tinggi lebih baik dari tingkat pendidikan lainnya, dan peningkatan
kemampuan interaksi sosial sampel pada kelompok nilai GAF 61-100 lebih baik
daripada kelompok nilai GAF 20-60.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 26

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013).


Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Penulis.
Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI
Hawari, D. (2012). Skizofrenia 3th edition. Jakarta: FKUI

Hurlock, E.B., (1992). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan.Jakarta : Erlangga.

Johns, L. C., Sellwood, W., McGovern, J., & Haddock, G. (2002), Battling
Boredom: group Cognitive Behavior Therapy for Negative Symptoms of
Schizophrenia. Behavioral and Cognitive Psychotherapy, vol 30 (3), 341-
346. Maret 20,2017. https://www.cambridge.org.
Kaplan, Sadock, (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis (Dr. Widjaja Kusuma, Penerjemah.), Tangerang: Binarupa Aksara.

Koukourikos, K., & Pasmatzi, P., (2014), Group therapy in psychotic inpatient.
Health science Journal, vol 8. Mei 22, 2016 .
http://www.hsj.gr/medicine/group-therapy-in-psychotic-inpatients.pdf
Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Malouff, JM., Thorsteinsson, EB., Schutte, N S., (2007), The efficacy of problem
solving therapy in reducing mental and physical health problems: A meta-
analysis. Elsevier, 27(1), 46-57. Maret 20, 2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Maramis, WF. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa 2nd edition. Surabaya: Airlangga.

Maslim, R. (2001). Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT. Nuh Jaya.


Mojtabaei, M., & Naghne, M.H. (2015), Effectiveness of cognitive-behavioral
therapy in reducing positive and negative symptoms of schizophrenia.
Journal of Applied Environmental and Biological Sciences, 5(8), 304-313.
Mei 25, 2016. https://www.textroad.com

Orfanos, S., Bank, C., & Priebe, S., (2015), Are group psychotherapeutic
treatments effective for patients with schizophrenia? A systematic review
and meta-analysis. London: Queen Mary University. Mei 28, 2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26022543

Reed, K. L. (2001). Quick reference to occupational therapy. Gaithersburg: Aspen


publishers.

Rehabilitasi Mental. (2012, Maret 30). Mei 16, 2016.


http://rsjlawang.blogspot.co.id/2012/03/rehabilitasi-mental.html.
Santrock, (2002). Perkembangan Masa Hidup: Jilid 2 (Chausari, Achmad,
Demanik & Juda, Penerjemah), Jakarta: Erlangga.
Atika Dewi Rimadhani, Rita Untari *Pengaruh Terapi Kelompok … 27
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta

Untari, R. (2014), Pengaruh terapi kelompok terhadap kemampuan


interaksi sosial pasien skizofrenia di Panti Rehabilitasi Laras Utami
Surakarta. Motorik Jurnal Ilmu Kesehatan. Volume 9 Nomor 19,
agustus 2009, pp 1-
98.
Wallis, L. M, (2001), Problem-solving treatment in general psychiatric
practice. Advances in Psychiatric Treatment, 7, 417-42. Mei 22,
2016. http://apt.rcpsych.org/content/7/6/417
Williams, M.T., Capozzoli, M.C., Buckner, E.V., & Yusko, D. (2015),
Cognitive- Behavioral Treatment of Social Anxiety Disorder and
Comorbid Paranoid Schizophrenia, SAGE Journals, vol 14 (5).
Maret 20, 2017. Journals.sagepub.com

Anda mungkin juga menyukai