Anda di halaman 1dari 28

Tinjauan Kasus

PENATALAKSANAAN PENDERITA DENGAN DIABETIK NEFROPATHY


Penulis: Andik Sunaryanto
Pembimbing: dr Wira Gotera, Sp.PD-KEMD
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

1.1 Pendahuluan
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan
penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan
komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus.
Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal.
Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal progresif, peran
proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati diabetik. disebut
sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati diabetik dan
dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang progresif. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan
pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah
glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling
sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi
penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain :
faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang
tinggi dan tidak terkontrol. 1,2

1
2.2 Tinjauan Pustaka
Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati diabetik (ND) merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada
filter ginjal atau yang dikenal dengan glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus
maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang
diekskresikan adalah albumin. Pada keadaan normal albumin juga diekskresikan dalam jumlah
sedikit dalam urine. Peningkatan kadar albumin dalam urine merupakan tanda awal adanya
kerusakan ginjal oleh karena diabetes. PGD dapat dibedakan menjadi dua kategori utama
berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu:1,2,3
1. Mikroalbuminuria
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari. Mikroalbuminuria juga dikenal
sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuri
Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300mg/hari. Keadaan ini dikenal
sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi nefropati overt menyebabkan banyak
yang menganggap mikroalbuminuria sebagai tanda nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering
terjadi sekunder pada penderita diabetes yang lama terutama penderita diabetes tipe I. Secara
klinis nefropati diabetik ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria yang progresif,
penurunan GFR, hipertensi, dan risiko tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular.
Perjalanan alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah proses dengan progresivitas bertahap
setiap tahun. Diabetes fase awal ditandai dengan hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan GFR.
Hal ini berhubungan dengan peningkatan perkembangan sel dan ekspansi ginjal, yang mungkin
dimediasi oleh hiperglikemia. Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita
penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih
dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal stadium terminal
terjadi pada sekitar 50% penderita DM tipe I, yang akan mengalami nefropati dalam 10 tahun. 4,5
DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Penderita sering didiagnosis
sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan faktor lain
yang mempengaruhi ekskresi protein. Sebagian kecil penderita dengan mikroalbuminuria akan
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30% penderita

2
akan berkembang menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20 tahun
mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.
Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan kegagalan
ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah terdiagnosis
menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II. Namun diperlukan
waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna. 6,7
Berdasarkan data yang diperoleh dari UK Renal Registry pada tahun 1998, penyakit
ginjal diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal di antara penderita yang
menjalani terapi pengganti ginjal (16%). Dari angka tersebut sebanyak 9,5% disebabkan oleh
penyakit ginjal diabetik, (6,8%) dilaporkan disebabkan oleh DM tipe I dan 2,7% disebabkan oleh
DM tipe II. Prevalensi mikroalbuminuria pada penderita yang menderita DM tipe I selama 30
tahun adalah sekitar 30 %. Sedangkan prevalensi mikroalbuminuria pada penderita yang
menderita DM tipe II selama 10 tahun adalah sekitar 20-25%. Sumber lain menyebutkan dari
hasil estimasi 12 sampai 14 juta penderita DM di USA diperoleh bahwa 30% sampai 40%
penderita DM tipe I akan mengalami komplikasi menjadi gagal ginjal terminal sedangkan pada
penderita DM tipe II hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi gagal ginjal terminal. 8,9

Diagram 2.1. Penyebab Gagal Ginjal 5

3
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti.
Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap
terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati
adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi
jaringan pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen
dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya
kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang
mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat
menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur: 5

a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,


glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas
menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan
menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan
aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol
dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose
reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang
menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
Gambar 2.1 Mekanisme polyol pathway5

4
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan
sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction dari
senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan
oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa
menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose
reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan tambahan stres
oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa
menggunakan NAD – sebagai kofaktor.

Gambar 2.2 Mekanisme AGE-pathway5

Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced Glycation


End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein
intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi
selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan
interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma
protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE,
kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan
makrofag.

5
Gambar 2.3 Mekanisme protein kinase-C 5

Penjelasan: keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG ((Diacylglycerol), yang


kinase C, utamanya pada isoform β dan δ. Aktivasi PKC
selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C,
menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric
oxide synthetase (eNOS), endotelin-1
endotelin (ET-1), vascular endothelial growth factor
f (VEGF),
factor (TGF- β)) dan plasminogen activator inhibitor-1
transforming growth factor-β inhibitor (PAI-1), dan
aktivasi NF-kB
kB dan NAD(P)H oxidase.

Gambar 2.4 Mekanisme hexosamine pathway 5

6
Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi
glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-6-phosphate amidotransferase
(GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin dan
theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc transferase (OGT). Peningkatan donasi
GicNAC pada residu serin dan threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya
terjadi pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1
dan TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT.

b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM


terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh
darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti
angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II
berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara
lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular,
serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan
meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin
sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat
menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada
DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT.
Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama
pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal
malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi
tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas
ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan
menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga
akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya ND.

7
Tabel 2.1. Peranan Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik. 10

Peran Angiotensin II dalam Nefropati Diabetik

1. Vasokonstriksi sistemik
2. Peningkatan tahanan arteriol glomerulus
3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus
4. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
5. Penurunan luas permukaan filtrasi
6. Stimulasi protein matriks ekstraseluler
7. Stimulasi faktor fibrogenik

Bagan 2.1. Patofisiologi Nefropati Diabetika11

Metabolik Genetik hemodinamik

Aliran /
Glukosa Protein Hormon-hormon vasoaktif
tekanan
Kinase C (misal angiotensin II,
Endotelin)

Sitokin (TGF β
Advanced
VEGF)
glycation

ECM cross ECM↑


Permeabilitas pembuluh
linking
darah

Penimbunan ECM Proteinuria

8
Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada penderita DM baik tipe I
maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah, sehingga
sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24
jam ataupun >20µg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap
sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan
rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau
kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine selanjutnya akan
menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Tingkat Kerusakan Ginjal 11

Kategori Kumpulan Urin 24 Kumpulan Urin Urin Sewaktu


jam(mg/24 jam) sewaktu (µg/menit) (µg/mg creatinin)

Normal < 30 < 20 < 30

Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299

Albuminuria Klinis ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

1. Tahap I
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai
pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal.
Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I
ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi
maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal berlanjut,
dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan
jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat
berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas
biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut
sebagai tahap sepi (silent stage).

9
3. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria
telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak. Secara
histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LFG masih tetap
tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat
bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali
glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis dengan
proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat secara
LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 – 20 tahun DM tegak.
Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati,
gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal
hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan
darah.
5. Tahap V
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga penderita
menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi
pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.

Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak penderita yang mengalami mikro
dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya.
Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa
penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati nyata. Setelah
terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20
tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20 % pada mereka yang berlanjut menjadi penyakit
ginjal tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe I dan tipe II.
Begitupun karena usia penderita dengan DM tipe II lebih tua, maka banyak pula penderita yang
diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat penderita tak sampai mencapai PGTA.
Akan tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik, maka banyak pula penderita
DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal ginjal. 12,13

10
Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan kendali lemak
darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet,
penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok dll. Semua
tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskuler.
Secara non farmakologis terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu: 11-14
1. Edukasi.
Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang
penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang
dihadapi, dll.
2. Perencanaan makan.
Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik
disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah
protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita
DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD)
sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung
protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada
penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka
pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk
memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam
terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan
pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Penderita DM sendiri
cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan
obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol <
100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan
kardiovaskuler.12,13

11
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap
harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan
jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya
CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :
1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan
penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan
mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM
tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini
dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian
secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang
diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan darah juga perlu
diperhatikan.15,16

Tabel 2.3 Kadar gula darah, lipid, HbAlc

Indikator keberhasilan Target

Glukosa darah puasa 80-100 mg/dl


Glukosa darah 2 jam pp 80-144 mg/dl
A1C <6,5%
Kolesterol total <200
Kolesterol LDL <100
Kolesterol HDL >45
Trigliserida <150

12
2. Pengendalian Tekanan Darah
Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi
nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek
perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ
kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi.
Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian
tekanan darah pada penderita diabetes.17
Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan
oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute
adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat ≥ 1 gr/24 jam, maka
target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan
dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah
melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat
bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai
jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau
penderita. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang
ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai
efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian
obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita
hipertensi dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB
merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau
memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non
Dihydropyridine Calcium–Channel Blockers (NDCCBs).18,19,20
3. Penanganan Gagal Ginjal
Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Terapi konservatif dan terapi pengganti. 21
a. Terapi Konservatif
1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:
- keseimbangan cairan

13
- diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya
oedema atau hipertensi
- menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin, dll)
2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible
- mengatasi anemia
- menurunkan tekanan darah
- mengatasi infeksi
3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah fosfat
4. Terapi penyakit dasar seperti DM
5. Terapi keluhan:
- untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid
- untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin
6. Terapi komplikasi
- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap pemberian
digitalis
b. Terapi pengganti
1. Dialisis
- hemodialisis
- dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
- indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit.
2. Cangkok ginjal
4. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Copenhagen mendapatkan bahwa
penanganan intensif secara multifaktorial pada penderita DM tipe II dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan sesuai panduan umum penanggulangan diabets nasional mereka. Juga
ditunjukkan bahwa penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskuler,
termasuk stroke yang fatal dan nonfatal. Demikian pula kejadian yang spesifik seperti
nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan
intensif adalah energi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan arah, kadar gula
darah, lemak darah dan mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit

14
kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. dalam kenyataanya penderita dengan terapi
intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian juga dengan
obat hipoglikemik oral atau insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak
mendapat statin. Bagi penderita yang sudah berada dalam tahap V gagal ginjal maka
terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian diet rendah
protein, pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan
22
anemia dengan pemberian eritropoietin dan lain-lain. Pada tinjauan kasus ini, akan
difokuskan pada pembahasan tentang diagnosis dan penatalaksanaan penderita dengan
nefropatik diabetik.

3.1 Kasus
Seorang laki-laki, 57 tahun, Hindu, Bali datang ke rumah sakit dikeluhkan sesak napas
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan seperti sulit mengeluarkan napas
Awalnya sesak dirasakan tidak terlalu berat sehingga penderita masih mampu melakukan
aktivitas ringan. Namun sesak dirasakan semakin memberat sejak 30 menit sebelum masuk
rumah sakit, sesak dirasakan membaik jika penderita duduk dan semakin berat jika penderita
berbaring sehingga penderita tidak mampu melakukan aktivitas. Berat badan dikatakan menurun.
Sekitar 15 tahun yang lalu penderita pernah memiliki berat badan 80 kg, namun kini berat badan
hanya 58 kg walaupun makan dan minumnya biasa saja. Makan 3x sehari, satu piring tiap kali
makan. Frekuensi berkemihnya agak menurun, dulu dikatakan 5-6 kali sehari, dengan volume
berkemih 1-2 gelas per kali. Sejak sebulan yang lalu berkurang menjadi 2-3 x/hari, dengan
volume 1/2 gelas kali. Urine berwarna agak keruh, berbuih, tidak berbau. BAB dikatakan biasa
saja. Badan lemas dikatakan dirasakan sejak sebulan yang lalu. Lemas di seluruh badan, hampir
sepanjang hari, bertambah berat bila digunakan beraktivitas dan sedikit membaik jika
beristirahat.
Saat ini penderita sedang menjalani pengobatan DM, rutin berobat ke dokter spesialis dan
diberikan obat Novomix (10-0-8). Penderita menderita DM sejak tahun 1992, kontrol ke dokter
hanya bila muncul keluhan. Sejak 1992 mulai mengkonsumsi obat diabetes oral. Namun sejak
bulan Juni 2009 obat diabetes oral diganti dengan insulin. 6 bulan yang lalu, penderita pernah
dirawat dengan diagnosis CKD st V dan mulai dilakukan HD regular 1 x seminggu. HD terakhir
pada hari minggu (5 hari SMRS). Penderita juga memiliki riwayat hipertensi yang diketahui
15
sejak saat itu. Penderita tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, batu. Adik laki-laki
menderita penyakit ginjal, diketahui di dokter setelah melakukan pemeriksaan dan rutin cuci
darah. Penderita tidak memilki kebiasaan merokok dan minum alkohol maupun mengkonsumsi
jamu-jamuan.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 7 Januari 2010 didapatkan
penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 170/90 mmHg. Nadi
84 kali per menit, reguler, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit (teratur, tipe thorakoabdominal).
Temperatur aksila 36,70 C. Tinggi badan 165 cm, berat badan 58 kilogram, IMT 21,3 kg/m2.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kedua mata tampak anemia. Tidak tampak
ikterus, refleks pupil positif pada kedua mata. Telinga Hidung Tenggorokan dalam batas normal.
Pada leher tidak didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP).
Pemeriksaan thorak didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis. Pada
palpasi didapatkan vokal fremitus kanan sama dengan kiri , perkusi sonor pada lapang paru atas
dan redup pada kedua sisi paru region basal, auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler, ronkhi
basah halus pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri, dan rongki basah kasar pada bagian basal
paru kanan dan kiri. Tidak terdapat wheezing pada kedua sisi paru. Pemeriksaan fisik jantung,
inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba pada MCL kiri ICS VI, tidak kuat
angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas kanan PSL dextra, batas kiri teraba
1 jari lateral MCL sinistra, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak tampak ada distensi, auskultasi bising usus normal,
palpasi hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballotement negatif, perkusi perut
didapatkan suara timpani. Hangat pada keempat ektremitas dan ditemukan adanya edema pada
kedua kaki penderita.
Dari hasil pemeriksaan penunjang pada saat waktu masuk (1 Januari 2010) didapatkan
WBC 10,9 K/uL, RBC 2,94 106/mm3, HGB 8,8 gr/dL, HCT 25,5 %, PLT 233 K/uL, MCV 86,8,
MCH 29,9 pg, MCHC 34,5 gr/dl, dengan diferensiasi sel neutrofil 8,6 K/uL (78,9%), limfosit 1,2
K/uL (10,8%), Monosit 0,9 (8,0%), Eosinofil 0,2 (1,6%), dan basofil 0,1 (0,7%). Dari hasil
pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 35,28 IU/L, SGPT 43,39 IU/L, albumin 4,126 g/dL,
BUN 87,89 mg/dL, creatinin 10,76 mg/dL, glukosa darah sewaktu 165,60 mg/dL. Pemeriksaan
analisa gas darah didapatkan pH 7,45, pCO2 34 mmHg, pO2 93 mmHg, Hct 26%, HCO3- 23,6
mmol/L, BE (B) -0,2, SO2 98 %, Na+ 130 mmol/L, K+ 4,3 mmol/L. Pemeriksaan EKG

16
didapatkan irama sinus, 100 kali per menit, axis normal, R+S>35. Dari hasil pemeriksaan foto
thorak AP: Cor: membesar dengan CTR: 66%. Pulmo: tampak perivaskuler infiltrate. Sinus
pleura kanan-kiri tertutup perselubungan. Diafragma tertutup perselubungan. Tulang-tulang
normal. Kesan: kardiomegali dengan edema pulmonum dan efusi pleura kanan-kiri. Dari hasil
Foto BOF didapatkan kesan: Spondylosis lumbalis dan tidak tampak batu radioopak pada KUB.
Pemeriksaan tanggal 2 Januari 2010 didapatkan HbA1c 5,427%, BUN 45,3 mg/dl,
creatinin 6,24 mg/dl, Na 132,30 mmol/L, K 3,47 mmol/L. Pemeriksaan urine lengkap didapatkan
PH 5, leukosit 500 (3+), nitrit (-), protein 500 (4+), glukosa 50 (4+), keton (-), urobilinogen
(norm), bilirubin (-), eritrosit 50 (3+). Specific gravity 1,015, warna kuning, sedimen urin;
leukosit banyak/lp, eritrosit 8-10/lp, sel epitel gepeng 2-3/lp, silinder granula +2, Kristal amorph
+3, bakteri (+), tubulus cell (+). Pemeriksaan gula darah puasa 201 mg/dl (04/01/2010). Tanggal
05/01/2010, didapatkan hasil glukosa darah puasa 192 mg/dL, glukosa darah sewaktu 263
mg/dL.
Pasien ini didiagnosa dengan CKD stg V ec susp DKD dd PNC, uremic lung, anemia
ringan N-N on CKD, hiponatremia hipoosmolar kronis asimptomatik, DM tipe II, observasi
kardiomegali ec suspect HHD/FC II, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini
diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3
3x 500 mg, captopril 2x25 mg tab, amlodipin 1x10 mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6
IU/hr, HD cito.
Untuk perencanaan mendiagnosis pasien ini direncanakan dilakukan echocardiografi,
konsul mata, neuro, dan gizi, dengan pemantauan vital sign dan keluhan pasien. Prognosis pada
pasien ini dubius ad malam.

17
4.1. Pembahasan Kasus

Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO, American
Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja.

Tabel 4.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
1
diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥200


darah sewaktu
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dL)

Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126


darah puasa
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dL)

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan
lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

Tabel 4. 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus 11

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)


Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

18
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian
lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal.
Pada pasien diagnosis ditegakkan dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien telah dikatakan
menderita DM sejak tahun 1992, didapatkan penurunan berat badan serta dari pemeriksaan gula
gula darah puasa 201 mg/dl (04/01/2010). Tanggal 05/01/2010, didapatkan hasil glukosa darah
puasa 192 mg/dL, glukosa darah sewaktu 263 mg/dL. Dari hasil pemeriksaan HbA1C ditemukan
hasil 5,427 mg/dl. Dari kriteria pengendalian DM, hal ini masuk ke dalam pengendalian baik.
Namun hal ini bukanlah satu-satunya kriteria yang digunakan karena HbA1C hanya
menggambarkan pengendalian dalam waktu 3 bulan terakhir.
Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria, yaitu:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa
penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik atau
petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau kelainan
pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus, yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang lebih rendah, berdasarkan ada atau
tidaknya penyakit ginjal.
Tabel 4.3. Stadium Penyakit Ginjal Kronik 3
Stadium Deskripsi LFG (ml.min/1,73 m3)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60-89
3 Penurunan LFG sedang 30-59
4 Penurunan LFG berat 15-29
5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis

LFG dihitung menggunakan rumus Cockroft Gault yaitu: 16


LFG (ml/menit/1,73 m3) = ( 140 – umur ) x BB x 0,85 (jika wanita)
72 x kreatinin plasma

19
Pasien ini didiagnosis dengan PGK stadium V ec. susp. DKD dd PNC. Berdasarkan
rumus Cockroft Gault, LFG pasien saat ini adalah 6,42. Hal ini berarti sesuai dengan kriteria dan
klasifikasi yaitu PGK stadium V atau gagal ginjal.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam atau >200mg/menit) pada minimal
dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Dasar dari diagnosis penyakit ginjal diabetik
adalah adanya riwayat diabetes mellitus yang lama disertai dengan ditemukannya protein atau
albumin dalam urin. Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahap yaitu :
Tabel 4.4 Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen 11
Tahap Kondisi AER LFG TD Prognosis
1 Hipertropi N ↑ N Reversibel
hiperfungsi
2 Kelainan struktur N ↑/N ↑/NMungkin
reversibel
3 Mikroalbuminuria 20-200 ↑ ↑ Mungkin
persisten mg/menit reversibel
4 Makroalbuniuria >200 Rendah Hipertensi Mungkin
Proteinuria mg/menit bisa
stabilisasi
5 Uremia Tinggi/rendah <10 Hipertensi Kesintasan
ml/menit 2 tahun +
50%

Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini adalah suatu penyakit ginjal diabetik. Hal ini
didukung dari anamnesis bahwa pasien telah mengidap diabetes lama sejak 17 tahun (1992)
dengan kontrol yang tidak teratur. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan
nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi, LFG yang rendah < 10
ml/menit (6,42), serta hipertensi.
Hiperglikemia pada tahap awal dapat menyebabkan peningkatan LFG (hiperfiltrasi), hal
ini diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan ukuran ginjal yang terjadi baik karena
hipertropi ginjal maupun peningkatan proliferasi tubulointerstisial. Perubahan yang terlihat
setelahnya adalah mikroalbuminuria persisten (ekskresi albumin 30-300 mg/hari), yang jika tidak
tertangani dapat berkembang menjadi proteinuria (ekskresi albumin >300 mg/hari. Proteinuria
ini menandakan kerusakan glomerulus yang parah, sampai akhirnya ginjal tidak mampu

20
menjalankan fungsi ekskresi, yang ditandai dengan LFG yang rendah (<10 ml/menit) dan
menumpuknya bahan uremik. Mekanisme hiperglikemia menyebabkan nefropati diabetik adalah
melalui beberapa hal : efek langsung glukosa melalui protein kinase C, efek produk akhir glikasi
(AGE) dan efek dari sorbitol (poliol pathway). 5
Pasien ini juga didiagnosa anemia ringan normokromik normositer ec. PGK. Secara
laboratorik anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit di
bawah normal. Sesuai dengan umur pasien maka kadar RBC 2,94 juta/mm3, HGB 8,8 gr/dL,
HCT 25,5 % berada dibawah normal. Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia ringan,
sesuai dengan klasifikasi derajat anemia ringan yaitu HGB 8-9,9 g/dl. Klasifikasi anemia pada
pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia normokromik normositer
ec. PGK karena nilai MCV 86,8 fl (80-94), MCH 29,9 pg (27-32) masih dalam batas normal
serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena PGK. Penyebab utama terjadinya anemia
pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan tetapi banyak faktor non
renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup eritrosit yang memendek,
dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defesiensi besi,
asam folat, toksisitas aluminium dan hiperparatiroidism. 18
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 170/90 mmHg. Sesuai dengan
klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 maka pasien ini diklasifikasi dalam hipertensi stadium II.
Tabel 4.5. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII 22
Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stadium I 140-159 atau 90-99
Hipertensi stadium II > 160 atau > 100

Seperti diketahui bahwa hipertensi dan diabetik nefropati merupakan dua hal yang
memiliki hubungan timbal balik, di mana hipertensi dapat menyebabkan nefropati diabetik dan
nefropati diabetik juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Hipertensi pada nefropati
diabetik disebabkan karena keterlibatan sistem renin angiotensin. Mekanisme patologi yang
menyebabkan angiotensin II menyebabkan nefropati diabetik tidak terlalu jelas. Sebagai
tambahan efek hemodinamik yaitu dengan meningkatkan tekanan darah sistemik dan

21
glomerulus, menyebabkan proteinuria, dan vasokonstriksi ginjal, angiotensin II juga merangsang
proliferasi sel, hipertropi, ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGFß.
Pada pasien ini hipertensi diketahui baru sejak Juni 2009, setelah pasien menderita DM
hampir selama 17 tahun. Jadi kemungkinan hipertensi terjadi setelah terjadinya nefropati diabetik
atau kerusakan ginjal. Hipertensi memiliki berbagai macam komplikasi berupa kerusakan target
organ seperti jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark myokard, gagal jantung), otak
(stroke dan Transient Ischemic Attack), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, dan
retinopati. Pada pemeriksaan toraks didapatkan pembesaran jantung 66%, dari EKG
menunjukkan R+S >35 mV. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
mikroangiopati adalah pemeriksaan optalmologi dengan funduskopi. Pada pemeriksaan dapat
dicari suatu retinopati diabetik atau retinopati hipertensif.
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer, di
mana jika salah satu atau keduanya meningkat maka akan menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Pada PGK kedua faktor tersebut mengalami peningkatan yang disebabkan karena
penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama hipertensi pada PGK adalah ketidakmampuan ginjal
mengekskresikan natrium dan air. Hal ini akan menyebabkan air yang berada di ekstraseluler
akan berpindah ke pembuluh darah untuk menyesuaikan osmolaritas darah, sehingga volume
darah akan bertambah dan menyebabkan peningkatan curah jantung. 18
Peningkatan resistensi vaskular pada PGK dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada PGK
terjadi disregulasi sistem renin angiotensin yang disebabkan oleh iskemia pada aparatus
jukstaglomerolus. Iskemia tersebut mengakibatkan ketidakadekuatan pengaktifan renin terhadap
rangsangan natrium. Pada PGK juga terjadi aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatis yang
terjadi akibat peningkatan sensitifitas kemoreseptor ginjal terhadap toksin uremic dan afferent
limb yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik sentral. Pada PGK juga terjadi peningkatan
vasopresor (Endothelin I dan Thromboxane) dan penurunan vasodilator (Nitric Oxide).
Hiperparatiod sekunder yang diakibatkan oleh hiperfosfatemia juga mengakibatkan peningkatan
resistensi vaskular melalui peningkatan kalsium intraseluler, efek langsung terhadap sekresi
renin, dan sensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap vasopresor. 19,20
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr
protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500mg, captopril 2x25 mg tab, amlodipin 1x10
mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6 IU/hr, HD cito.

22
Rekomendasi dari K-DOQI untuk mempertahankan keadaan klinik stabil pada pasien
gagal ginjal setelah dilakukan HD reguler adalah 1,2 gram protein/kgBB/hr, di mana 50 %
protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi. Energi yang dibutuhkan adalah 35
Kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menurunkan hasil katabolisme protein dan asam
amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya yang tidak dapat diekskresikan oleh
ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh
dan merangsang pengeluaran insulin. Selain itu pada pasien ini juga dilakukan diet rendah garam
karena adanya hipertensi dan edema.
Untuk mencegah osteodistrofi tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat
serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfat (terutama daging dan susu). Apabila LFG <
30 ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat
yang diberikan pada saat makan. Pada penderita ini juga diberikan CaCO3 3x500 mg untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia, sehingga hipokalsemia dan hiperparatiroidisme dapat
dicegah.
Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan asam folat 2 x II. Pemberian asam folat
dimaksudkan untuk mengatasi keadaan hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar
homosistein dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu asam folat
juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK yang disebabkan oleh defisiensi
asam folat.
Pasien ini didiagnosa dengan hipertensi derajat II, sehingga modalitas terapi yang
digunakan adalah kombinasi dua atau lebih macam obat antihipertensi. Pada pasien ini diberikan
captopril 2 x 25 mg Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu mekanisme terjadinya
hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin angiotensin. Oleh sebab itu
terapi lini pertama adalah anti hipertensi golongan ACE Inhibitor. Suatu penelitian membuktikan
bahwa pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan proteinuria dan memperbaiki perubahan
glomerulus berkaitan dengan penurunan tekanan hidrostatik glomerulus. ACE inhibitor juga
menurunkan cedera tubulointerstitial pada percobaan Diabetes. Suatu penelitian pada manusia
juga menunjukkan ACE inhibitor menghambat progresi mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1
dan 2. Kombinasi yang disukai untuk hipertensi pada DM adalah ACE inhibitor dan Angiotensin
Reseptor Blocker (ARB) karena efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik.
Penggunaan Calsium Channel Blocker pada hipertensi dengan DM dan PGD masih merupakan

23
kontroversi, karena penggunaan tunggal dapat meningkatkan proteinuria dan angka kejadian
kardiovaskuler. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan CCB apabila
dikombinasikan dengan ACE inhibitor tidak terbukti meningkatkan risiko kardiovaskuler.
Target terapi pada pasien hipertensi dengan PGK adalah < 130/80.
Pada pasien ini dilakukan HD cito karena terjadi bendungan paru yang ditandai dengan
sesak napas yang berat. Indikasi klinik untuk dilakukan hemodialisis adalah:
1. Indikasi cito
• Pericarditis/efusi perikardium
• Ensefalopati/neuropati azotemik
• Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik.
• Hiperkalemia (> 6,5)
2. Indikasi elektif
• Sindrom uremia
• Hipertensi sulit terkontrol
• Overload cairan
• Persiapan preoperasi
• Oliguria-anuria (3-5 hari)
• BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit.
Prognosis pasien ini dubius ad malam baik tanda-tanda vital maupun fungsi tubuh secara
keseluruhan. Pasien sudah masuk dalam tahap gagal ginjal kronik dan sampai saat ini terapi
definitif untuk gagal ginjal kronik adalah terapi pengganti baik itu transplantasi, hemodialisis,
maupun peritonial dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki berbagai macam
komplikasi oleh karena hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, maupun uremic toksin yang juga
bisa memperburuk prognosis pada pasien ini.

5.1 Ringkasan
Penyakit ginjal diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit DM.
Patogenesis yang menyebabkan keadaan hiperglikemi menyebabkan penyakit ginjal diabetik
melalui alur metabolik yang melibatkan produk akhir glikasi (AGE), protein kinase C dan
polyol, serta alur hemodinamik yang terutama melibatkan sistem angiotensin II. Pada pasien ini

24
penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena penyakit diabetes yang diderita pasien
selama > 17 tahun. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan nefropati diabetik
tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi, LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,42), serta
hipertensi.
Pasien ini didiagnosa dengan CKD stg V ec susp DKD dd PNC, uremic lung, anemia
ringan N-N on CKD, hiponatremia hipoosmolar kronis asimptomatik, DM, observasi
kardiomegali ec suspect HHD/FC II, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini
diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3
3x 500 mg, captopril 2x25 mg tab, amlodipin 1x10 mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6
IU/hr, HD cito.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th ed,
WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039.
2. Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya. dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597-614.
3. Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FKUI, Jakarta, Hal. 545-547.
4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni; 2006.
5. Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.
gov / kudiseases / pubs / kdd / index.htm. Accessed; Januari 8, 2010.
6. “Diabetic Nephropathy”, (2006, August 30-last update), Available at:
http://www.diabetes.org.uk/ (Accessed: 8 Januari 2010).
7. Joshua, A.,”Diabetic Nephropathy”, Available at: http: // www. Cleveland clinicmeded.
com / disease management/ nephrology.htm. (Accessed: 8 Januari 2010) .
8. Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010).
9. Goldman Ausiello. Cecil Essential of Medicine. “Diabetes and The Kidney”. WB
Saunders Company, USA, l997.
10. DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In: Ellendberg & Rifkin’s DM, 5th ed.
Connecticut: Appleton Lange. pp: 971-1008.
11. Hendromartono. (Juni 2006), Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV Jilid III, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI,
Jakarta, Hal. 1920-1923
12. Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 8 Januari 2010).
13. Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010).
14. “Diabetic Nephropathy”. Available at:http://en.wikipedia.org/wiki/ Diabeticnephropathy .
(Accessed 8 Januari 2010).

26
15. “Diabetic Nephropathy” (2006, July 25 – last update). Available at:
http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html (Accessed 8
Januari 2010).
16. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing Dialysis and
Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003
17. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB Perkeni.
18. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With Chronic
Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008
19. “Diabetes and Cardiovascular Disease Review”, Available at: http: // www. diabetes. org
/ uedocuments / ADA cardioreview_2pdf. (Accessed 8 Januari 2010)
20. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine. 15th ed.
India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.
21. Powers AC. DM. In: Harrison’s of internal medicine. 15th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003;
2: 2109-2137
22. Chobanian, AV et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA. 2003;289;19; pp
2560-2572.

27
TINJAUAN KASUS

PENATALAKSANAAN PENDERITA DENGAN


DIABETIK NEFROPATHY

Oleh :
Andik Sunaryanto (0402005114)

Pembimbing:
Pembimbing: dr Wira Gotera, Sp.PD-KEMD

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2010

28

Anda mungkin juga menyukai