1 Definisi HIV
Sejak kasus pertama penyakit AIDS diidentifikasi pada awal tahun 1980-an, infeksi HIV
sudah menimbulkan penyelidikan medis yang intensif. Riset telah menghasilkan penegakan
diagnosis infeksi HIV sejak dini dan peningkatan terapi medisnya, yang mengubah penyakit ini
dari penyakit fatal yang berlangsung cepat menjadi penyakit kronis, tetapi terminal, pada masa
kanak-kanak.
HIV mempunyai inti (nucleoid) yang berbentuk silindris dan eksentrik yang mengandung
genom RNA diploid dan enzim transcriptase reversi (RT), protease, dan integrase. Antigen
kapsid (P24) menutupi komponen nucleoid tersebut sehingga membentuk struktur nucleoid
kapsid antigen P17 yang merupakan bagian dalam simpul HIV. Bagian permukaan virion
terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp 120) dengan bagian transmembran
yang merupakan gp 41. Lapisan lipid pada sampul HIV berasal dari membrane plasma sel inang
(Corry S. Matondang: 1996).
HIV atau human immunodeficiency virus adalah sejenis virus yang menyerang atau
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau
Acquired immune deficiency syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena
turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan
tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi yang sering berakibat
fatal. Penyebab HIV memerlukan pengobatan dengan antiretroviral untuk menurunkan jumlah
virus HIV dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS. Sedangkan pengidap AIDS
memerlukan pengobatan arv untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai
komplikasinya.
1. Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau kepada bayi yang
disusukannya (AIDS pada anak).
2. Melalui transfusi darah (alat tercemar HIV).
3. Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai
kondom.
2.2 Prevalensi HIV
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 1 juta
perempuan dan 3, 2 juta anak berusia kurang dari 15 tahun jumlah infeksi baru HIV pada tahun
2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240 ribu anak berusia kurang dari 15
tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190
ribu anak berusia kurang dari 15 tahun
Di Indonesia HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat
ini HIV sudah menyebar di 386 kabupaten kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berbagai upaya
penanggulangan sudah disampaikan oleh pemerintah bekerjasama dengan berbagai lembaga di
dalam negeri dan luar negeri.
Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai 2014 sebanyak 150.296 orang
sedangkan total komulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 orang. Berdasarkan laporan provinsi
jumlah kumulatif kasus infeksi HIV Yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 yang
terbanyak adalah provinsi DKI Jakarta sebanyak 32.782. Kasus 10 besar kasus HIV terbanyak
ada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Jawa
Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan.
Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur memiliki pola yang jelas. Kasus
yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 terbanyak pada kelompok usia 20 sampai 29
tahun diikuti kelompok usia 30 sampai 39 tahun dan 40 sampai 49 tahun.
2.3 Etiologi
Ada berbagai strain HIV. HIV2 merupakan strain yang prevalen di Afrika, sedangkan
strain HIV1 dominan di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya. Transmisi Horizontal HIV
terjadi melalui kontak seksual yang intima tau pajanan parenteral dengan darah atau cairan tubuh
yang terlihat mengandung darah. Transmisi perinatal (vertical) terjadi ketika ibu hamil yang
terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa kontak secara sepintas antara orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat
menyebarkan virus tersebut.
2.4 Faktor Resiko
Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa ada 2 faktor risiko yang terbukti
berpengaruh yaitu pertama kelompok umur 28-44 tahun. Secara statistic sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS pada laki-laki dengan adjusted OR sebesar (5,40).
Artinya, responden dengan umur 28-44 tahun memiliki risiko 5,40 kali untuk menderita
HIV/AIDS dibandingkan dengan responden yang berumur 25-27 tahun. Kedua, kebiasaan
konsumsi alcohol terbukti kuat secara statistik sebagai factor yang berpengaruh terhadap
kejadian HIV/AIDS dengan adjusted OR sebesar (7,658). Artinya,responden yang mempunyai
riwayat konsumsi alkohol memiliki risiko7,658 kali untuk menderita HIV/AIDS dibandingkan
dengan responden yang tidak mempunyai riwayat konsumsi alkohol. Sejalan dengan beberapa
penelitian, memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan
kejadian HIV/AIDS dimana usia yang paling berisiko terhadap HIV/AIDS adalah umur 25-34
tahun, usia 15-24 tahun, dan 35-44 tahun. Umur merupakan faktor risiko kejadian. Hasil
perhitungan persamaan regresi logistic sebesar 63,48%, menunjukkan bahwa kelompok umur 28-
44 tahun dan kebiasaan konsumsi alkohol akan memiliki probabilitas untuk menderita
HIV/AIDS sebesar 63.02 %.
Konsumsi alkohol memiliki dampak pada niat individu untuk melakukan seks tanpa
kondom, menurut hasil dari tinjauan sistematik dan meta-analisis yang diterbitkan dalam jurnal
Addiction. “Semakin tinggi kandungan alkohol dalam darah, lebih jelas niat untuk terlibat dalam
seks tidak aman,” komentar para peneliti. Alkohol dapat mempengaruhi kapasitas kognitif, dan
memiliki dampak pada fungsi kekebalan tubuh. Tapi hubungan langsung antara alkohol dan
penularan mungkin lebih cenderung melakukan hubungan seks tanpa kondom, karena mereka
pada umumnya mengarah kepada hidup yang lebih berisiko.
2.5 Patofisiologi
Virus AIDS menyerang sel darah putih (Limfosit T4) yang merupakan sumber kekebalan
tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki limfosit T4, virus
memaksa limfosit T4 untuk memperbanyak dirinya sehingga akhirnya menyebabkan kematian
limfosit T4. Kematian limfosit T4 itu membuat daya tahan tubuh kurang sehingga mudah
terserang infeksi dari luar (baik virus lain, bakteri, jamur, atau parasite). Hal itu menyebabkan
kematian pada orang yang terjangkit HIV/AIDS. Selain menyerang limfosit T4, virus AIDS juga
memasuki sel tubuh yang lain. Organ yang paling sering terkena adalah otak dan susunan saraf
lainnya. Virus AIDS diliputi oleh suatu protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun)
terhdapa sel, khususnya sel otak dan susunan saraf pusat dan tepi lainnya yang dapat
mengakibatkan kematian sel otak. Masa inkubasi berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, yang
terbanyak kurang dari 11 tahun.
Dimulai dengan melekatnya HIV pada sel inang melalui interaksi antara molekul gp
120 HIV dengan molekul CD4 sel inang. Melekatnya ini diikuti fase membrane sel HIV
dengan membrane sel inang sehingga inti HIV masuk ke dalam sitoplasma sel inang. Di
dalam sel inang terjadilah transkripsi DNA HIV dan RNA HIV oleh enzim RT yaitu enzim
polymerase spesifik HIV. DNA HIV yang terbentuk kemudia berinteraksi dengan DNA sel
inang dengan bentukan enzim integrase. DNA HIV yang berintegrasi disebut proviral dan
berperilaku seperti gen sel inang yang menggunakan perlengkapan sel inang untuk
membentuk HIV baru.
Terjadi transkripsi DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan
mRNA yang kemudia ditransportasikan ke dalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi
protein virus dengan bantuan enzim protease. Genom RNA dan protein yang telah terbentuk,
kemudian dirakit dekat pada permukaan membrane sel inang. Terjadilah partikel HIV yang
akan dilepaskan melalui proses budding dengan mengambil membrane sel inang sebagai
bagian lipid simpul HIV (Corry S. Matondang : 1996).
1. Stadium HIV
Dimulai dengan masuknya HIV yang diikuti terjadinya perubahan serologic ketika
antibody terhadap virus tersebut dari negative menjadi positif. Waktu masuknya
HIV ke dalam tubuh hingga HIV positif selama 1-3 bulan atau bisa sampai 6
bulan (window period).
2. Stadium aimtomatis (tanpa gejala)
Menunjukkan di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi belum menunjukkan
gejala dan dapat berlangsung 5-10 tahun.
3. Stadium pembesaran kelenjar limfe
Menunjukkan adanya pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(persistent generalized lymphadenophaty) dan berlangsung lebih dari 1 bulan.
4. Stadium AIDS
Merupakan tahap terakhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai dengan macam-
macam penyakit infeksi sekunder dengan gejala klinis sebagai berikut.
Gejala mayor :
Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus-menerus.
Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan (2 dari 3 gejala utama).
Gejala minor :
2.7 Penatalaksanaan
Pencegahan merupakan komponen utama dalam penyuluhan tentang HIV. Penyuluhan
HIV kepada para remaja merupakan kegiatan yang sangat penting untuk mencegah infeksi HIV
pada kelompok usia ini. Materi penyuluhan hanya meliputi cara penularan penyakit, bahaya
penyuntikan dan pemakaian obat-obatan demi kesenangan semata, dan pentingnya tidak
melakukan hubungan seks serta praktik seks yang aman. Penyuluhan tersebut harus menjadi
bagian dalam pedoman antisipasi yang diberikan kepada semua pasien remaja. Perawat juga
dapat mendorong para remaja yang beresiko untuk mengikuti konseling dan pemeriksaan HIV.
Selain mengidentifikasi remaja yang terinfeksi dan memasukkan mereka ke dalam perawatann,
konseling juga memberi kesempatan kepada remaja untuk mempelajari perilaku mereka yang
beresiko dan melakukan perubahan yang mungkin bisa dilakukan.
Peran perawat dalam perawatan anak yang menderita infeksi HIV bersifat multiaspek.
Perawat berperan sebagai pendidik, pelaksana perawatan langsung, manager kasus, dan pembela.
Seperti halnya pada semua penyakit kronis, anak-anak ini akan banyak terlibat dalam sistem
perawatan kesehatan. Kebutuhan akan obat-obatan HIV berkangsung seumur hidup. Perawat
merupakan sarana untuk mendorong dan memberdayakan anak-anak ini. (serta pengasuh
mereka) dalam mematuhi regimen pengobatannya. Kunjungan ke klinik dan hospitalisasi bisa
menjadi semakin sering jika penyakit berkembang lebih lanjut. Perawatan fisiologis anak
diarahkan pada meminimalkan pajanan/kontak terhdaoa infeksi; meningkatkan gizi; memberikan
tindakan kenyamanan yang meliputi penatalaksanaan nyeri; dan pengkajian serta pengenalan
perubahan dalam status kesehatan yang dapat menunjukkan adanya komplikasi yang baru.
Lingkup asuhan keperawatan akan berubah seiring dengan timbulnya gejala baru, perubahan
dalam terapi, dan perkembangan penyakit. Perjalanan infeksi HIV pada pediatric yang tidak bisa
diramalkan merupakan sumber stress yang berkesinambungan bagi anak-anak ini dan
pengasuhnya. Intervensi psikologis akan bervariasi sesuai dengan keadaan masing-masing anak
dan keluarga yang unik.
Komplikasi multiple yang menyertai penyakit HIV berpotensi menimbulkan rasa nyeri.
Hirschfeld dan kawan-kawan (1996) telah mendokumentasikan tingginya prevalensi nyeri pada
anak-anak yang terinfeksi HIV. Penatalaksanaan nyeri yang agresif merupakan hal yang esensial
agar anak-anal ini memiliki kualitas hidup yang dapat diterima. Nyeri yang mereka rasakan nisa
disebabkam oleh infeksi, obat yang merugikan, atau sumber yang tidak diketahui. Sumber nyeri
tidak hanya berhubungan dengan proses penyakit, tetapi juga dengan berbagai tindakan yang
sering kali harus dijalani anak, seperti pungsi vena, pungsi lumbal, biopsy, dan endoskopi.
Perngkajian nyeri yang berkesinambungan sangat penting dan paling mudah dilaksanakan pada
anak yang lebih besar yang sudah mampu berkomunikasi. Anak-anak yang belum mampu
berbicara dan perkembangannya terlambat lebih sulit dikaji. Waspadai tanda-tanda nyeri yang
lain : emotional detachment (anak melepaskan diri dari keterkaitan emosional dengan orang
lain), anak kurang mau bermain secara interaktif, iritabilitas, dan depresi. Penatalaksanaan nyeri
yang efektif bergantung pada pemakaian agen farmakologi yang tepat, termasuk penggunaan
krim EMLA, asetaminofen, NSAID, relaksan otot, dan opioid. Toleransi terhadap opioid dapat
menunjukkan peningkatan dosis pemberian; pemberian obat yang dipantau akan menjamin
keamanannya. Intervensi non-farmakologik (teknik imajinasi terbimbing, hypnosis, relaksasi,
dan distraksi) merupakan terapi tambahan yang bermanfaat.
Permasalahan psikososial yang lazim adalah pengungkapan diagnosis kepada anak,
penyusunan rencana pengasuhan anak jika orangtuanya terinfeksi HIV, dan antisipasi
kemungkinan kematian anggota keluarga. Stressor lain mungkin meliputi kesulitan keuangan,
stigma yang terkait dengan HIV, upaya keras untuk menjaga kerahasiaan diagnosis penyakit,
adanya anggota keluarga lain yang terinfeksi, dan kematian yang berkaitan dengan HIV pada
lebih dari satu anggota keluarga. Sebagian besar ibu yang anaknya menderita infeksi HIV
merupakan orangtua tunggal yang juga terinfeksi HIV. Sebagai pengasuh utama, ibu sering kali
memenuhi kebutuhan anak mereka terlebih dahulu, dengan mengabaikan kesehatan diri sendiri
dalam proses penyakitnya. Perawat dapat mendorong ibu untuk mendapatkan perawatan
kesehatan secara teratur. Anggota keluarga sering kali terlibat dalam perawatan anak, terutama
jika ibu menderita sakit yang simtomatik. Sesudah ibu meninggal dunia, kakek nenek atau sanak
saudara lain biasanya memikul tanggung jawab atas perawatan anak. Keperawatan dapat
memberikan dukungan dan penguatan kepada orang tua asuh yang baru, terutama dalam fase
peralihan. Jika anggota keluarga tidak ada, anak dapat dititipkan di panti asuhan. Keperawatan
merupakan bagian integral dalam tim multidisiplin yang diperlukan untuk keberhasilan
penatalaksanaan permasalahan medis dan social yang kompleks pada keluarga ini.
Anak-anak yang terinfeksi HIV dapat datang ke sekolah dan pusat day care. Telah
ditetapkan bahwa resiko penularan HIV pada lingkungan ini minimal. Keduua lembaga tersebut
diwajibkan untuk mengikuti pedoman CDC dan OSHA (Occupational Safety Health
Administration) untuk melakukan tindakan pengendalian infeksi. Tindakan kewaspadaan standar
yang menguraikan penatalaksanaan darah dan cairan tubuh yang tepat juga harus diikuti.
Direkomendasikan agar petugas di sekolah mendapatkan informasi mutakhir mengenai HIV dan
memasukkan informasi tersebut ke dalam kurikulum pendidikan kesehatan bagi murid-murid
sekolah TK sampai SMA. Perawat sekolah memainkan peranan penting dalam memberikan
penyuluhan kepada staff sekolah, siswa, dan orang tua. Mereka juga sangat membantu dalam
memantau kebutuhan anak-anak yang diketahui terinfeksi HIV.
Masalah kerahasiaan merupakan masalah pokok dalam day care dan sekolah. Orangtua
dan wali yang sah memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka akan menginformasikan
lembaga tersebut mengenai diagnosis HIV yang diderita anak mereka. Sayangnya, mitos tentang
infeksi HIV masih terus berlangsung, dan keluarga seringkali berharap untuk menghindari
kemungkinan dikecam atau dikucilkannya anak mereka.
Tujuan terapi infeksi HIV meliputi upaya memperlambat pertumbuhan virus, mencegah
serta mengobati berbagai infeksi oportunistik, dan memberi dukungan gizi serta pengobatan
simtomatik. Obat-obatan antiretrovirus bekerja pada berbagai tahap dalam siklus hidup virus
HIV untuk mencegah reproduksi partikel virus baru yang fungsional. Meskipun bukan terapi
penyembuhan, obat-obatan ini dapat menekan replikasi virus, dengan mencegah kemunduran
sistem imun yang lebih lanjut, sehingga memperlambat perkembangan penyakit. Kelompok agen
anti-retrovirus meliputi inhibitor enzim reverse transcriptase nukleosida (misalnya zidovudine,
didanosin, stavudine, lamivudine, abacavir), inhibitor enzim reverse transcriptase non-nukleosida
(misalnya nevirapine, delavirdine, efavirenz), inhibitor enzim reverse transcriptase nukleotida
(misalnya indinavir, saquinavir, ritonavir, nelfinavir, amprenavir) dan agen anti-retrovirus
tambahan (misalnya hidroksiurea). Kombinasi obat-obatan ini digunakan untuk mencegah
munculnya resistensi obat. Pedoman dan regimen terapi antiretrovirus mengalami perkembangan
secara berkelanjutan. Terapi bersifat seumur hidup sehingga kepatuhan terhadap prosedur terapi
sulit dicapai. Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium (jumlah limfosit CD4+, muatan virus)
turut membantu dalam memantau progesivitas penyakit dan responnya terhadap terapi.
Pneumonia Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
ditemukan pada ank-anak yang terinfeksi HIV. Pneumonia ini paling sering ditemukan pada ank-
anak usia 3 hingga 6 bulan. Semua bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV harus
mendapat terapi profilaksis selama tahun pertama kehidupan sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan CDC. Sesudah 1 tahun, kebutuhan terapi profilaksis ditentukan oleh keberadaan
imunosurpresi yang berat atau riwayat Pneumonia Pneumocystis carinii. Obat trimethoprim-
sufametokazol merupakan pilihan.
Upaya profilaksis kerap kali dilakukan pada infeksi oportunistik yang lain, seperti
kompleks Myobacterium avium intracellulare (MAC) yang menyebar luar (diseminata),
kandidiasis, dan herpes simpleks. Penyuntikan immunoglobulin IV telah sangat membantu
mencegah infeksi bakteri yang serius atau kambuhan pada sebagian anak yang terinfeksi HIV.
Imunisasi terhadap penyakit di masa kanak-kanak yang lazim dijumpai
direkomendasikan bagi semua anak yang terpajan atau terinfeksi HIV (American Academy of
Pediatrics, 2000). Satu-satunya perubahan pada jadwal imunisasi yang umum adalah
menghindari pemberian vaksin varisela (cacar air) dan menggunakan poliovirus yang inaktif
(inactivated poliovirus, IPV) dan bukan vaksin poliovirus oral (OPV) pada anak-anak ini dan
orang terdekatnya. Vaksin pneumonia kokus dan influenza juga direkomendasikan. Karena
produksi antibody terhadap vaksin mungkin buruk atau menurun seiring wajktu, pelaksaan terapi
profilaksis segera setelah kontak dengan penyakit yang bisa dicegah oleh vaksinasi (misalnya
campak, varisela) merupakan tindakan yang diharuskan. Akibat terjadinya infeksi campak yang
berat pada anak-anak yang terinfeksi HIV, vaksin MMR diberikan pada anak-anak tersebut jika
sistem imun mereka belum mengalami gangguan yang parah. Perlu diketahui bahwa anak-anak
yang mendapat terapi profilaksis gama globulin IV mungkin tidak berespons terhadap vaksin
MMR.
Infeksi HIV seringkali menyebabkan kegagalan tumbuh yang mencolok dan
menimbulkan defisiensi gizi yang multiple. Penatalaksanaan gizi mungkin sulit dilaksanakan
karena terdapat penyakit kambuhan (rekuren), diare, dan masalah diare, dan masalah fisik yang
lainnya. Intervensi gizi yang intensif harus dilakukan jika pertumbuhan anak mulai melambat
atau berat badannya mulai menurun.
Prognosis. Bayi yang terinfeksi dalam periode perinatal pada umumnya memiliki
perjalanan penyakit lebih cepat dibandingkan anak yang terinfeksi pada usia leboh besar atau
usia dewasa. Dilaporkan bahwa resiko kematian lebih tinggi pada anak-anak yang didiagnosis
AIDS dalam usia dini dan pada anak-anak yang menderita Pneumonia Pneumocystis carinii.
Masa kelangsungan hidup rata-rata dari kelahiran hingga kematian telah dilaporkan berkisar 9,4
tahun. Angka mortalitas yang terkait dengan infeksi HIV telah menurun sebesar 71% sejak tahun
1995 dan tidak lagi dianggap sebagai salah satu di antara 15 penyebab utama kematian.
Penanganan untuk resiko dari penderita HIV juga terdapat prinsip atau langkah harus
dilakukan, yaitu:
a. Resiko Infeksi
Resiko terjadinya infeksi pada anak dengan HIV/AIDS ini dapat disebabkan adanya
penurunan daya tahan tubuh sekunder AIDS, sehingga tindakan diarahkan ke peningkatan
daya tahan tubuh. Pada masalah ini tujuan yang ingin dicapai adalah meminimalkan resiko
terhadap infeksi pada anak.
Tindakan:
1. Kaji perubahan tanda-tanda infeksi (demam, peningkatan nadi, peningkatan kecepatan
napas, kelemahan tubuh, atau letargi).
2. Kaji factor yang memperburuk terjadinya infeksi seperti usia, status, nutrisi, penyakit
kronis lain.
3. Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam, tanda vital merupakan indicator terjadinya infeksi.
4. Monitor sel darah putih dan hitung jenis tiap hari, untuk memonitor terjadinya
neutropenia.
5. Ajarkan dan jelaskan pada keluarga dan pengunjung tentang pencegahan secara umum
(universal), untuk menyiapkan keluarga/pengunjung turut serta memutus rantai
penularan HIV/AIDS.
6. Instruksikan pada seluruh pengunjung untuk cuci tangan sebelum dan sesudah
memasuki ruangan pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian antibiotic, antiviral, antijamur sesuai
saran dokter, untuk membunuh kuman penyebab.
8. Lindungi individu dari resiko infeksi dengan universal precaution.
b. Kurang Nutrisi
Terjadinya kekurangan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan anoreksia,
diare, nyeri, dan tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Tindakan :
1. Kaji perubahan status nutrisi dengan menimbang berat badan setiap hari.
2. Monitor asupan dan keluaran tiap 8 jam dan turgor kulit.
3. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.
4. Renacanakan makanan enteral atau parenteral.
c. Kurang Volume Cairan Tubuh
Kurangnya volume cairan tubuh pada anak dapat disebabkam karena diare yaitu dampak
dari infeksi oportunis saluran pencernaan. Tujuan dari rencana ini adalah volume cairan
dapat terpenuhi, dengan hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut : asupan dan keluaran
seimbang, kadar elektroliy tubuh dalam batas normal, nadi perifer teraba, penekanan darah
perifer kembali dalam waktu kurang dari 3 detik, keluaran minimal 1-3 cc/kg bb per jam.
Tindakan:
1. Berikan cairan sesuai dengan indikasi atau toleransi.
2. Ukurlah asupan dan keluaran termasuk urine, tinja.
3. Monitor kadar elektrolit dalam tubuh.
4. Kaji tanda vital, waktu penekanan daerah perifer, nadi perifer, turgor kulit, mukosa
membrane, ubun-ubun tiap 4 jam.
5. Monitor urine tiap 6-8 jam sesuai dengan kebutuhan.
6. Kolaborasi pemberian cairan intravena sesuai dengan kebutuhan.