Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA

“IJTIHAD”

DOSEN PEMBINA
NURJANAH, SH.MA.Hk

DISUSUN OLEH

RIKA WULANDARI
(Nim : 20334100)

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur marilah Perawat panjatkan

kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat karunia-Nya,

sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah Pendidikan Agama.

Makalah ini berisikan tentang Ijtihad, diharapkan makalah ini dapat

menambah pengetahuan kita semua.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempura. oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun, selalu kami

harapkan demi lebih baiknya makalah ini.

Penyusunan makalah ini didasarkan untuk melaksanakan

kewajiban sebagai mahasiswa dan memenuhi tuntutan tugas yang

diberikan oleh dosen mata kuliah. Diakhir kata, semoga makalah ini

bermanfaat bagi bagi Perawat semua dan semoga Allah SWT senantiasa

meridhoi segala usaha Perawat. Amin.........

Padang, 18 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................

A. Latar Belakang .......................................................................

B. Rumusan Masalah..................................................................

C. Tujuan .....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................

A. Pengertian ijtihad....................................................................

B. Dasar-dasar hukum ijtihad.....................................................

C. Syarat-syarat mujtahid...........................................................

D. Tingkatan-tingkatan mujtahid................................................

E. Objek kajian ijtihad.................................................................

F. Metode-metode ijtihad............................................................

G. Hukum melakukan ijtihad......................................................

H. Fungsi Melakukan Ijtihad.......................................................

BAB III PENUTUP ..............................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................

B. Saran .......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era modern saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan

yang terjadi di lingkungan sekitar kita tidak lepas dengan adanya

teknologi. Sehingga perubahan tersebut dapat memunculkan problematika

yang tidak ditemukan penyelesaiannya di dalam Al-Qura’an dan As-

Sunnah. Banyak umat islam yang mulai bertanya satatus hukum islam

tentang hal-hal baru tersebut. Sehingga, perlu yang namanya ijtihad untuk

menjawab bagaimana status hukumnya dalam syari’at islam.

Dengan adanya ijtihad masalah-masalah tersebut dapat

diselesaikan dengan keputusan bersama dengan al-quran dan as-sunnah

sebagai dasar adanya penentuan hukum baru. Maka dari itu ijtihad sangat

diperlukan bagi umat islam pada kehidupan sekarang dan yang akan

datang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ijtihad ?


2. Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad ?
3. Apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad ?
4. Apa saja tingkatan-tingakatan mujtahid ?
5. Apa sajakah objek kajian ijtihad ?
6. Apa saja metode-metode ijtihad ?
7. Bagaimana hukum melakukan ijtihad ?
8. Apa saja fungsi melakukan ijtihad ?
C. Tujuan penulisan makalah
1. Mengetahui pengertian ijtihad.
2. Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
3. Mengetahui bagaimana syarat-syarat melakukan ijtihad.
4. Mengetahui apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid.
5. Mengetahui objek kajian ijtihad.
6. Mengetahui apa saja metode-metode ijtihad.
7. Mengetahui hukum melakukan ijtihad.
8. Mengetahui fungsi melakukan ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd,
yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan kemampuan) , dalam al qur‟an disebutkan dalam
surat at taubah ayat 79 yang artinya :
“… dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk
disedekahkan) selain kesanggupan”
Adapun definisi ijtihad secara terminology cukup beragam
dikemukakan oleh ulama-ulama ushul fiqih yang salah satunya yaitu
Ijtihad adalah aktifitas memperoleh pengetahuan (istimbath) hukum
syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.

J. Dasar-dasar hukum ijtihad

Ijtihad dapat dikatakan sebagai salah satu metode untuk


menggali hukum islam. Berikut dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
yang melandasi dibolehkannya melakukan ijtihad :

1. Al-Qur’an

َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َهاٱلَّذ‬


ُ‫ ُردُّوه‬A‫ ۡي ٖء َف‬A‫ َز ۡع ُتمۡ فِي َش‬A‫إِن َت ٰ َن‬A‫ ِر مِن ُك ۡۖم َف‬A‫و َل َوأ ُ ْولِي ٱأۡل َ ۡم‬A‫ِين َءا َم ُن ٓو ْا أَطِ يعُو ْا ٱهَّلل َ َوأَطِ يعُو ْا ٱلرَّ ُس‬
٥٩ ‫ر َوأَ ۡح َسنُ َت ۡأ ِوياًل‬ٞ ‫ك َخ ۡي‬ َ ِ‫ون ِبٱهَّلل ِ َو ۡٱل َي ۡومِٱأۡل ٓخ ۚ ِِر ٰ َذل‬ ِ ‫إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱلرَّ س‬
َ ‫ُول إِن ُكن ُتمۡ ُت ۡؤ ِم ُن‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
Di dalam firman Allah yang lain :

َ ٰ ‫ٱع َت ِبرُو ْا ٰ َٓيأ ُ ْولِي ٱأۡل َ ۡب‬


٢ ‫ص ِر‬ َ ‫ َوأَ ۡيدِي ۡٱلم ُۡؤ ِمن‬A......
ۡ ‫ِين َف‬

“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai


orang-orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)

َ ‫ِين ٰ َج َه ُدو ْا فِي َنا لَ َن ۡه ِد َي َّنهُمۡ ُس ُبلَ َن ۚا َوإِنَّ ٱهَّلل َ لَ َم َع ۡٱلم ُۡحسِ ن‬
٦٩ ‫ِين‬ َ ‫َوٱلَّذ‬

“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,


benar-benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )

َ ‫ك ٱهَّلل ۚ ُ َواَل َت ُكن لِّ ۡل َخٓا ِئن‬


َ ‫اس ِب َمٓا أَ َر ٰى‬ ۡ َ ‫ك ۡٱل ِك ٰ َت‬
َ ‫نز ۡل َنٓا إِلَ ۡي‬
َ َ‫إِ َّنٓا أ‬
١٠ ‫ِين َخصِ ٗيما‬ ِ ‫ب ِبٱل َح ِّق لِ َت ۡح ُك َم َب ۡي َن ٱل َّن‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-
nisa:105)

2. Al-Hadits

Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim

)‫ (بخارى و مسلم‬.‫ان َوا ِِن جْ َت َه َد َفا َ ْخ َطأ َ َفلَ ُه اَجْ ٌر َوا ِح ٌد‬
ِ ‫اب َفلَ ُه اَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫اَ ْل َحا ِك ُم ِا َذا اجْ َت َه َد َفا‬

“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran

maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan

pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak

mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala

melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).


Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz

bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:

‫ ًاذا‬A‫ث ُم َع‬
َ ‫هللا َلمَّا أَ َرا َد أَنْ َيب َْع‬ ِ ‫س مِّنْ اَهْ ِل َح َمص مِنْ أَصْ َحا‬ ُ
ِ ‫ ْو ُل‬A‫ل إِنَّ َر ُس‬A
ِ A‫ْن َج َب‬
ِ ‫ب ُم َعاذ ب‬ ٍ َ ‫َعنْ أنا‬

ْ ‫ َفإِنْ لَ ْم َت ِج‬:‫ َقا َل‬.‫هللا‬


‫د فِي‬AA ِ ‫ب‬ ِ ‫ أَ ْقضِ ى ِب ِك َتا‬:‫ضاءٌ؟ َقا َل‬ َ ‫ض إِ َذا َع َر‬
َ َ‫ض ل‬
َ ‫ك َق‬ َ ‫ َكي‬:‫ال َِي ْال َي َم ِن َقا َل‬
ِ ‫ْف َت ْق‬

:‫هللا؟ َقا َل‬


ِ ‫ب‬ ِ ‫هللا َواَل فِي ِك َتا‬
ِ ‫ َفإِنْ لَ ْم َت ِج ْد فِي ُس َّن ِة َرس ُْو ِل‬:‫ َقا َل‬.‫هللا‬
ِ ‫ َف ِب ُس َّن ِة َرس ُْو ِل‬:‫ب هللا؟ َقا َل‬
ِ ‫ِك َتا‬

ِ ‫ ْو ِل‬A ‫ ْو َل َر ُس‬A ‫ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّذِيْ َو َّف َق َر ُس‬:‫ا َل‬AA‫ ْد َرهُ َو َق‬A ‫ص‬
‫هللا‬ ِ ‫ب َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬ َ ‫ َف‬.‫ْئ َواَل آلُ ْو‬
َ ‫ض َر‬ ِ ‫اَجْ َت ِه ُد َراي‬

‫لَمَّا‬

ِ ‫ضي َرس ُْو ُل‬


‫ (رواه ابوداود‬ ‫هللا‬ َ ْ‫َير‬

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal,

bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus

Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan

kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu

memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan

berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak

kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya

akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih

lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam

Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan

berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-

nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:,

Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada


utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu

Dawud)

K. Syarat-syarat mujtahid

MenurutAl-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum

diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyaratan itu

sebagai berikut :

1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.

Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul

Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah,

menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah

merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan

tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya

mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat

hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia

mengetahui letak dan asbabun nuzulnya ayat itu, sehingga dengan

mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas

merupakan syarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan

melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi,

bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu


masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang

ayat-ayat hukum yang menyangkut tersebut secara mendalam.

Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani -

tidak hanya wajib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi

lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat)

yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai

kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan

dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah antara hadits yang

sahih, hasan, dan dha’if (lemah) yang disebut dengan ilmu diroyah

hadits. Namun seorang mujtahid seharusnya mengetahui asbab al-

wurud hadits syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang

seharusnya mengetahui asbabun nuzul.

2. Mengetahui ijmak

Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia

tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak. Akan

tetapi, seandainya mujtahid tidak memandang ijmak sebagai dasar

hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya

untuk dapat melakukan ijtihad.

3. Mengetahui bahasa Arab

Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang

memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah

secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang

mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara


sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang

terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.

Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib

(yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang

khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik.

Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu diperlukan beberapa

cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi,

menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak

harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui

ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar

di bidang itu, sehingga ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka

dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.

Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi

mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan

benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab,

seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari

dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas

dasar demikian, sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab

Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab

sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat

melakukan ijtihad.

4. Mengetahui ilmu ushul fikih


Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh

seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang

dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat

memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia

mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahn dengan

menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara

itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih.

Segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang

usul fikih merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari

sumber-sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan

tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum dari sumber-

sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum,

tidak mungkin hukum akan ditemukan.Dalam ushul fiqh, mujtahid

juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan

ketetapan hukum.

5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang

dihapuskan).

Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan

mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum

yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau

hadits-hadits.

Namun persyaratan di atas merupakan persyaratan

menurut pandangan al-syaukani ada beberapa ulama’ yang


menambahkan kriteria atau syarat-syarat yang harus dimiliki

mujtahid diantaranya yaitu :

6. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah

Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara

umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan

maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu

hukum..

Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga

kemaslahatan manusia dan menjauhkan dari kemadaratan.

Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia,

karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak

hak dan sebaliknya.

7. Mengetahuimaksud-maksud hukum

Seorangmujtahidharusmengertitentangmaksuddantujuansya

riat, yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat.

Dalam arti lain, melindungi dan memelihara kepentingan manusia.

8. Bersifat adil dan taqwa

Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah

diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena

memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istimbat

hukumnya. Adil dalam artian bukan fasiq.

9. mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya


Seorang Mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya,

masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya

dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain

serta sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara

masyarakat tersebut.

L. Tingkatan-tingkatan mujtahid

   Menurut As-Suyuthi  “Umat sekarang (pada zamannya) telah

terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi

dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad’’. Pernyataan

seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para

ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan

antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid

muntasib yang semuanya berbeda.

Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang

diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid

fil masa’il, mujtahid fil mazhab, mujtahid muqayyad, dan mujtahid

fatwa.

1. Mujtahid Fisy Syar’i (Mujtahid Mustaqi)

Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan

mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti

dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup

berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab


tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil

usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh

karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri

sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain

Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin

Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.

2.  Mujtahid Fil Masa’il

Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan

ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan

kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At

Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al

Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al

Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.

3.  Mujtahid Fil Mazhab ( Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil)

Mujtahid  yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab

tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang

imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan,

baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam

beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan

Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi

dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.

4. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri

dan menganut pendapat-pendapat  ulama salaf dengan

mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya.

Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di

antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan

dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah.

Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam

mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan

mujtahid dalam mazhab Syafi’i.

5. Mujtahid fatwa,

adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah

imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah

jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam

menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah

dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan

ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang

telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang

ada dalam madzhab tersebut”.

M. Objek kajian ijtihad

Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,

melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang

tidak boleh menjadi objek ijtihad ialah :


1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun

pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban

shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan

makan harta orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan

tertentu syara’ yang dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak

menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan raka’at shalat, waktu-waktu

shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.

2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula

diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati

(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti

pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya

perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang

lelaki bukan muslim.

Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:

1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi

pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal

ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari

pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.

2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’i kedudukannya, tetapi

dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an

dan Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
3. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya,

tetapi qat’i pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam

Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya

hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga

kedudukan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas

sekitar nas, di mana seseorang mujtahid tidak bisa melampaui

kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.

4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak

pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang

berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan

lain. Di sini daerah ijtihad lebih luas daripada kedudukan-

kedudukan lain.

N. Metode-metode ijtihad

1. Ijma’

ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari musyawaroh para

ulama’ tentang suatu masalah atau suatu perkara yang tidak

ditemukan hukumnya didalam AL-Quran atau Hadits. Tetapi

rujukannya ada didalam Al-Quran dan Hadits. Ijma’ pada masa

sekarang diambil dari keputusan-keputusan ulama’ islam seperti

MUI (di indinesia). Contohnya, hukum mengkonsumsi ganja atau

sabu-sabu adalah haram, karena dapat memabukkan dan

berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.


2. Qiyas

Qiyas memiliki arti menyamakan dengan kata lain qiyas ialah

menetapkan suatu hukum pada suatu perkara baru

dengancaramenyamakan atau membandingkan hukumsesuatu

perkara barudenganhukum lain yang sudah adahukumnya dalam

nash dikarenakanadanyapersamaan sebab, manfaat, bahaya, atau

aspek lainnya. Contohnya, seperti pada surat Al-isro ayat 23

dikatakan bahwa perkataan “ah” kepada orang tua tidak

diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan menghina,

sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi di qiyaskan

oleh para ulama’ bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua

sama dengan hukum mengatakan “ah” yaitu sama-sama menyakiti

hati orang tua dan sama-sama berdosa. Adapun cotoh lainnya yaitu

setiapminuman yang memabukanhukumnya haram. Hal

inidiqiyaskandenganhukumkhamr (arak) atau yang sejenisnyayaitu

haram.

3. Maslahah Mursalah

 Yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada

nashnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia

dengan menarik segala yang memberikan manfaat dan

menghindari segala yang mendatangkan mudharat. Contohnya,

membuat buku pernikahan, dicetaknya mata uang, ditetapkannya

pajak penghasilan. Adapun contoh lainnya yaitu di dalam Al-Quran


ataupun Hadits tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk

membukukan ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi, membukukan ayat-

ayat Al-Quran tersebut dilakukan demi kemaslahatan umat islam.

4. Istihsan

Yaitumemandangsesuatulebihbaiksesuaidengan tujuansyari

atdanmeninggalkandalilkhususdanmengamalkandalilumum.Contoh

nya, bolehmenjualhartawakafkarenadenganmenjualnyaakantercapa

itujuansyariat, yaitumembuatsesuatuitutidakmubazir. Adapun

contoh lainnya didalam syara’ kita dilarang untuk mengadakan jual

beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi

menurut istihsan, syara’ memberikan rukhsah yaitu kemudahan

atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem

pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.

5.  Istishab

Yaitu mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan

pada masa lalu dan tetap dipakai hingga sekarang, sampai ada

ketentuan dalil yang dapat mengubahnya.Contohnya ketika kita

menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil, entah itu

melalui jual beli maupun harta warisan, maka selama tidak

menemukan bukti yang dapat mengubah kepemilikan tersebut, kita

tetap berkeyakinan  bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil

tersebut hingga sekarang atau nanti. Adapun contoh lainnya seperti

seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum.


Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan

sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu’ kembali

karena shalat tidak sah apabila tidak berwudhu’.

6. ‘Urf

Yaitu kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan

oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua macam ‘urf :

Pertama ‘urf shahih, yaitu ‘urf yang dapat diterima oleh

masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat,

membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contohnya,

acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang ditinggal

suaminya.

Kedua, ‘urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan

lawan ‘urf shahih. Contohnya, kebiasaan meninggalkan shalat bagi

seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan

dalam acara resepsi pernikahan dsb.

7. Saddu adzari’ah

Adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh

atau haram demi kepentingan umat. Contoh jika mengerjakan

shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk

sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain

adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka

wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha
menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun

anggaran pendidikan yang memadai.

Sementara sadd al-

dzarỉ‘ah sendiritidakdisepakatiolehseluruhulamasebagaimetode isti

nbâthhokum(penalaranhukum). Hal itukarenabagisebagianmereka,

terutama di kalanganulamaSyafi’iyyah, masalahsadd al-

dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah masukdalambabpenerapankaedah.

Kaedah-kaedah tersebut berkaitan pula dengan

masalah muqaddimah (pendahuluan) darisuatupekerjaan yang

telahdibahassebelumnya. Hal ini pula yang menjadisalahsatufaktor

yang membuatperbedaanpendapatulamaterhadapkedudukan sadd

al-dzarỉ‘ah.Apa yang dimaksudkan al-dzarỉ‘ah olehulama Maliki

danHambali, ternyatabagiulamaSyafi’iadalahsekadar muqaddimah.

O. Hukum melakukan ijtihad.

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi

persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada

orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:

1. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada

permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan

hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain.

Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap

permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.


2. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu

permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak

segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam

melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam

mengetahui kejadian tersebut.

3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan


kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada
orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan
yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan
yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya
itu bertentangan dengan dalil syara’
P. Fungsi Melakukan Ijtihad
1. mengembangkan prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan
Hadits seperti ijmak, qiyas, istihsan
2. Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang
dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu
berkembang dan mampu menjawab tantangan.
3. jtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-
Qur’an dan sunah.
4. Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu
dan keadaan.  Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara
menentukan hukum yang di syariatkan untuk menyesuaiakan
perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
5. Menetapkan fatwa terhadap  permasalahan-permasalahan yang

tidak terkait dengan halal atau haram.


6. Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang

belum ada hukumnya secara islam.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka
penyusun dapat menyimpulkan :
1. Ijtihad menurut pengertian etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Sedangkan ijtihad
menurut terminology adalah aktifitas yang menguras pikiran untuk
memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil
terperinci dalam syari’at.
2. Dasar hukum ijtihad
 Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2,
Al-‘Ankabut:69, An-Nisa’ : 105.
 Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang
menyebutkan tentang dasar-dasar ijtihad.
3. Syarat melakukan ijtihad
 Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
 Mengetahui ijmak
 Mengetahui bahasa Arab
 Mengetahui ilmu ushul fikih
 Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh
(yang dihapuskan).
 Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah
 Mengetahuimaksud-maksud hokum
 Bersifat adil dan taqwa
 mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
4. Tingkatan-tingkatan mujtahid
 Mujtahid Fisy Syar’i (Mujtahid Mustaqi)
 Mujtahid Fil Masa’il
 Mujtahid Fil Mazhab ( Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil)
 Mujtahid Muqayyad
 Mujtahid fatwa,
5. Objek kajian ijtihad
 Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali

Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’i wurud dan
dalalahnya.
6. Metode-metode ijtihad
 Ijma’
 Qiyas
 Maslahah Mursalah
 Istihsan
 Istishab
 ‘Urf
 Saddu adzari’ah
7. Hukum melakukan ijtihad
 fardu ain 
 fardu kifayah
 sunah
 haram
8. fungsi melakukan ijtihad
mengembangkan prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan
Hadits seperti ijmak, qiyas, istihsan, dll. Serta sebagai sarana
menentukan hukum mengikuti perubahan zaman dan sosial namun
tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadits.

B. Saran
Kita sebagai umat islam alangkah baiknya apabial memahami betul
masalah-masalah mengenai ijtihad karena dengan ijtihad seseorang
mampu menetapkan hukum syara’ namun tetap berpegang teguh
terhadap Al-Quran dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/22809322/makalah_ijtihad

https://www.academia.edu/9444411/ijtihad_fiqih_idia_prenduan_makalah_
ijtihad_dalam_bingkai_hukum_islam

https://www.academia.edu/3788171/Makalah_IJtihad

http://andikaputra803.blogspot.co.id/2014/01/makalah-ijtihad-
pengertianpengertian.html

http://sitiaminiharis31.blogspot.co.id/2016/01/makalah-ijtihad.html

http://hafizahrayani.blogspot.co.id/2016/05/makalah-ijtihad.html

http://ernilimsam.blogspot.co.id/2012/11/makalah-ijtihad.html

https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-
sumber-ajaran-islam/

https://fujiramadhoni.wordpress.com/2012/12/10/ijtihad-dan-ruang-
lingkupnya/

http://rumah-dakwah-indonesia.blogspot.co.id/2013/11/makalah-al-
dzariah-pengertian-kedudukan.html

Anda mungkin juga menyukai