Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan tidak terlepas
dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Dokter Spesialis Bedah sekarang ini
dapat melakukan pembedahan yang luas dan rumit pada bayi baru lahir sampai orang tua
dengan berbagai kelainan yang berat, melakukan pembedahan jantung , transplantasi berbagai
organ tubuh, bedah otak, yang berlangsung berjam-jam, dengan aman tanpa merasa sakit
sedikitpun adalah berkat dukungan tindakan anestesia yang canggih.
Anestesiologi merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesia ataupun analgesia. Anestesi berasal dari bahasa
Yunani yaitu an “tidak, tanpa” dan aesthētos "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara
umum anestesi berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Penyakit paru merupakan penyakit penyerta yang sering ditemukan pada penderita yang akan
dilakukan pembedahan. Penyakit paru obstruktif merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan gangguan fungsi paru.
Asma bronkial sendiri merupakan penyakit paru obstruktif, yang ditandai dengan
penyempitan akut atau sub akut jalan nafas, berupa bronkospasme yang disertai dengan
bertambahnya sekret. Semua ini menyebabkan naiknya tahanan jalan nafas. Keadaan ini
timbul karena reaksi alergi, rangsangan bahan-bahan kimia, aktifitas fisik dan infeksi.
Asmabronkial adalah suatu penyakit yang didefinisikan dengan adanya :
1. Peningkatan sensitifitas jalan nafas terhadap berbagai stimuli.
2. Penyumbatan jalan nafas yang reversibel.
3. Edema mukosa jalan nafas.
Penyakit ini sering dihadapi oleh ahli anestesi yang bisa menimbulkan penyulit, baik
pada waktu preoperatif, durante operatif maupun pasca operatif, sehingga meningkatkan
angka kesakitan dan kematian pada pasien pasca operasi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PATOFISIOLOGI

Definisi asma menurut The American Thoracic Society ( 1962 ) adalah suatu penyakit
dengan ciri meningkatnya trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah –
berubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
Secara klinis asma diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Asma ekstrinsik atau alergik
Ditemukan pada sejumlah kecil orang dewasa, dan disebabkan oleh alergan yang
diketahui dan terdapat peningkatan Ig E dalam semua jenis serum. Ini biasanya
dimulai dari masa kanak – kanak dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit
atopik.

2. Asma intrinsik atau idiopatik


Sering tidak ditemukan faktor – faktor pencetus yang jelas. Faktor non spesifik seperti
flu, latihan fisik atau emosi memicu serangan asma.

3. Asma campuran
Paling banyak menyerang pasien, yang mana terdiri dari komponen asma intrinsik dan
ekstrinsik.

Sebenarnya penyebab penyakit asma sangat heterogen, sukar untuk menentukan


etiologinya, tetapi pada dasarnya keadaan umum yang terjadi adalah terdapatnya
hiperiritabilitas yang non spesifik dari traktus trakheobronkial. Ada beberapa faktor
predisposisi untuk terjadinya asma, yaitu : stres emosi, alergen, lingkungan ( polusi ), infeksi
saluran pernafasan, aspirin dan perangsangan mekanik pada jalan nafas.
Perubahan dimulai dengan adanya alergen Ig E yang mengaktifkan mast cell untuk
mengeluarkan mediator vasoaktif, antara lain histamin. Adanya antigen yang terinhalasi untuk

2
pertama kali akan membentuk antibody dari kelompok Ig E. Apabila antigen yang sama
terinhalasi, maka akan terjadi reaksi antigen – antibodi pada permukaan mast cell, keadaan ini
akan mengakibatkan terjadinya degranulasi dan membebaskan substansi vasoaktif seperti
histamin, thromboxane leukotrienin, platelet aggregating faktor. Pengeluaran substansi
vasoaktif tersebut menyebabkan terjadinya spasme otot polos bronkus.

TANDA DAN GEJALA ASMA BRONKIAL


Gejala klinis asma yang sering ditemukan adalah wheezing, batuk dan sesak nafas.
1. Wheezing
Gejala atau tanda yang sering ditemukan pada penderita dengan asma akut, merupakan
istilah yang digunakan untuk mendiskripsikansuara ekspirasi yang ditimbun oleh
aliran udara turbulen yang melewati saluran pernafasan yang menyempit.

2. Batuk
Dari non produktif sampai produktif dengan sputum yang berlebihan yang secara
tipikal bersifat mukoid dan sangat sering tertahan.

3. Sesak nafas
Berhubungan dengan berat ringannya penyempitan jalan nafas. Adanya penyempitan
jalan nafas menyebabkan perubahan pada volume paru, peak flow rate, gerakan
dinding dada yang selanjutnya merubah distribusi ventilasi – perfusi, keadaan ini akan
menyebabkan hipoksemia, hiperkarbi dan perubahan fungsi kardiovaskuler.

Volume ekspirasi paksa yang diukur dalam detik pertama ( FEV 1 ) dan laju aliran
maksimal tengah ekspirasi ( FEF ) merupakan suatu petunjuk penting yang berhubungan
dengan obstruksi saluran nafas yang didapat dari ekspirasi paksa.
Pada penderita asma bronkial ringan tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida
normal, dengan bertambah beratnya asma keduanya akan menurun. Pada serangan asma
sedang sampai berat terjadi penurunan tekanan parsial oksigen dan meningkatan tekanan

3
parsial karbon dioksida, kapasitas residu fungsional ( FRC ) dapat meningkat sebanyak 1
sampai 2 liter, sementara kapasitas paru – paru total ( TLC ) masih dalam batas normal.
Anestesi umum pada penderita asma bronkial dapat menurunkan kapasitas residu
fungsional ( FRC ) dan volume paru akibat depresi sentral respirasi oleh obat sedasi, narkotik
analgetik. Pola pernafasan pada penderita teranestesi juga berubah, FRC menurun sampai 20
% pada pernafasan spontan dan 16 % pada pernafasan kontrol. Dibanding dengan pernafasan
spontan, ventilasi dengan tekanan positif seringkali menimbulkan gangguan ventilasi-perfusi,
karena pada keadaan ini paru-paru yang non dependen menerima lebih banyak ventilasi tetapi
aliran darah ke daerah itu berkurang dibandingkan dengan bagian paru yang dependen yang
menerima ventilasi sedikit tetapi aliran darahnya cukup besar, sehingga pada ventilasi dengan
tekanan positif ruang rugi fisiologis dan shunting lebih besar daripada pernafasan normal.
Dengan demikian anestesi umum pada penderita asma bronkial dapat memperberat keadaan
hipoksemia dan hiperkarbinya.

PENANGANAN ASMA BRONKIAL SECARA UMUM


Tujuan utama dari pengobatan asma bronkial adalah :
- Oksigenasi
- Bronkodilator
- Anti inflamasi
1. OKSIGENASI
Oksigenasi diberikan bertujuan untuk memperbaiki perfusi ke jaringan tubuh,
dimana saturasi oksigen 96 %, pada umumnya dimonitor dengan pulse oksimetri.
Disamping itu perlu pula hidrasi yang baik (pemberian cairan peroral
parenteral), hal ini penting untuk mengurangi produksi mukus kental yang dapat
menyumbat jalan nafas yang sudah menyempit. Selain hidrasi, humidifikasi juga bisa
dilakukan untuk mengencerkan dahak.

2. BRONKODILATOR
Obat – obat bronkodilator yang digunakan dalam pengobatan asma meliputi β –
2 agonist, aminophilin dan antikolinergik.

4
a. β – 2 agonist
Merupakan bronkodilator paling efektif, dengan merangsang enzim
adenylate cyclase dan selanjutnya mengurangi tonus otot polos. Albuterol
(salbutamol) merupakan β – 2 agonist selektif yang digunakan untuk
pengobatan standart asma serta bronkospasme dan umumnya sediaanya berupa
aerosol.
Epinefrin dan isoproterenol selain menyebabkan bronkodialtasi, juga
merangsang β – 1 cardiac reseptor yang dapat menyebabkan disritmia
terutama pada keadaan hipoksemia dan hiperkarbi. Isoetharine, metaproterenol,
albuterol ( salbutamol ) dan terbutalin kurang menimbulkan efek pada jantung .
β – 2 agonist dapat menyebabkan hipokalemia oleh karena terjadinya
redistribusi kalium intrasel. Obat – obat ini harus diberikan secara hati – hati
pada ibu hamil karena dapat melemahkan kontraksi uterus.

b. Aminophilin
Merupakan garam ethylenediamina dari theophylline, dan sebagai obat
standar bronkospasme. Obat ini dapat diberikan secara intravena dengan dosis
permulaan 5 mg/kg BB yang diberikan selama ± 15 menit, yang diikuti dengan
pemberian per infus 0,5 – 1 mg / kg BB sebagai infus yang berkelanjutan.
Kelemahan dari obat ini adalah bila konsentrasi plasma lebih dari 20 mg / L
dapat menimbulkan kejang-kejang dan gangguan kardiovaskuler berupa
aritmia. Beberapa kondisi seperti infeksi virus yang akut, gangguan jantung
kongestif, penyakit hepar dan pemberian seperti cimetidin dapat meningkatkan
kadar aminophilin dalam darah, sehingga dianjurkan mengurangi kecepatan
infus aminophilin selama teranestesi.
Aminophilin dengan mudah dapat melewati sawar plasenta dan dapat
menyebabkan toksisitas pada bayi yang ibunya mendapat obat ini selama
persalinan. Resiko ini lebih tampak pada bayi prematur karena lebih banyak
aminophilin yang diubah menjadi kafein.
Perubahan kedalaman anestesi perlu dipertimbangkan karena pada pasien
asma, bronkospasme dapat terjadi karena pasien teranestesi secara dangkal.

5
c. Antikolinergik
Kurang disukai karena kadang-kadang dapat menyebabkan iritasi
endobronkial dan edema dinding bronkus, yang akhirnya justru memperberat
bronkokonstriksi.

3. ANTI INFLAMASI
Inflamasi yang kronis tampaknya penting dalam patogenesis asma, maka perlu
penggunaan obat anti inflamasi seperti kortikosteroid dan cromolyn untuk menekan
inflamasi. Obat-obat ini dipandang sebagai profilaksis, karena obat ini tidak memberi
efek bronkodilator yang cepat.
a. Kortikosteroid
Dapat diberikan dengan cara inhaler. Tetapi obat ini jarang digunakan
karena penggunaan β – 2 agonist lebih cepat berefek bronkodilatornya. Secara
luas obat ini dipergunakan untuk eksaserbasi akut dan juga digunakan untuk
rumatan pada asma yang asimtomatis. Efek obat ini dapat mengurangi
pelepasan histamin dari mast cell, makrofag dan eosinofil berdasar efek
stabilitas membran sel.

b. Cromolyn
Obat ini dapat diberikan secara inhaler dengan dosis yang telah terukur,
dan merupakan obat anti inflamasi pilihan pada anak-anak, sementara
kortikosteriod lebih terpilih untuk pasien dewasa. Mekanisme aksi obat ini
yang pasti tidak diketahui, tetapi mungkin dengan cara mencegah pelepasan
mediator kimia dari mast cell, makrofag dan eosinofil berdasar efek stabilitas
membran.

6
BAB III
PEMBAHASAN

PENANGANAN ANESTESI
Penanganan anestesi untuk penderita asma memerlukan pemahaman tentang
patofisiologi dan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk pengobatan penderita asma.
1.Evaluasi sebelum pembedahan.
Riwayat frekwensi eksaserbasi dan hebatnya serangan menunjukkan berat ringannya
penyakit. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan sebelum dilakukan operasi, karena dapat
menyebabkan iritabilitas jalan nafas. Terapi asma agar dilanjutkan sampai menjelang
operasi.
Tidak adanya wheezing dan sesak nafas menunjukkan pasien tidak sedang mengalami
serangan asma. Pengamatan jumlah eosinofil darah berhubungan dengan tingkat inflamasi
dan sensitifitas jalan nafas yang dapat memberikan gambaran mengenai keadaan penyakit
pasien tersebut.
Tes faal paru sebelum dan sesudah terapi bronkodilator dapat dilakukan pada pasien
yang menderita asma bronkial yang akan melakukan operasi elektif.
Fisioterapi, hidrasi sistemik, pemberian antibiotik yang tepat serta terapi bronkodilator dapat
memperbaiki komponen-komponen asma yang bersifat menetap sebelum dilakukan operasi.
Foto thorak dibandingkan dengan foto thorak sebelumnya dapat digunakan untuk
membandingkan status dari proses penyakit. Analisa gas darah diindikasikan apabila ada
permasalahan tentang ketepatan oksigenasi.

2. Premedikasi
Tidak ada penelitian yang menegaskan obat atau kombinasi yang disukai pada
penderita asma. Pemakaian obat antikolinergik perlu dipertimbangkan secara individual,
mengingat bahwa obat ini dapat menyebabkan kenaikan viskositas dari sekret, sehingga
menyulitkan untuk menghilangkannya dari jalan nafas.

7
Banyak obat-obatan yang dapat diberikan sebagai premedikasi, seperti diazepam,
pethidin, prometasin, atropin, namun tidak ada satupun yang dianggap paling baik. Tidak
ada keterangan pemberian opioid dapat menyebabkan bronkokonstriksi atau menstimuli
vasoaktif dari mast cell . Salah satu pertimbangan memberikan opioid adalah kemungkinan
mendepresi sistem pernafasan.
Obat-obat bronkodilator yang digunakan untuk pengobatan asma harus dilanjutkan
sampai menjelang operasi, biasanya diberi aminophilin peroral atau suposituria 1 jam
sebelum operasi.

3. Induksi dan Rumatan


Tujuan induksi dan rumatan anestesi pada penderita asma adalah menekan reflek jalan
nafas dengan obat-obat anestesi untuk menghindari terjadinya bronkokonstriksi sebagai
akibat stimulasi mekanik.
Endobronkial intubasi potensial menyebabkan problem pada pasien asma. Anestesi
yang dangkal mungkin menyebabkan keadaan yang buruk seperti bronkospasme, terutama
bila ada stimulasi fisik di trakhea, karina atau bronkus karena pipa endotrakhea atau karena
udara dingin, inhalasi anestesi yang menyebabkan jalan nafas kering. Semua keadaan ini
dapat dicegah dengan memberikan lidokain 2 % 1,5 mg / kg BB intravena diikuti dengan
anestesi yang dalam. Bisa juga dengan pemberian lidokain spray sebelum dilakukan
intubasi, dan pemberian obat-obat atropin untuk mencegah reflek vagal. Jangan melakukan
hiperventilasi pada pasien ini karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbi dapat
menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi dalam dianjurkan pada pasien dengan asma
walaupun hal ini tidak terlalu penting.
Regional anestesi merupakan pilihan pada pada operasi yang superfisial dan pada
daerah ekstremitas, seandainya kita harus melakukan anestesi umum penggunaan LMA
dapat dijadikan pilihan jika ingin menghindari dilakukannya intubasi trakhea.
Induksi anestesi dengan barbiturat, benzodiazepin, propofol dan etomidate dapat
diterima, tetapi harus diingat obat-obat ini tidak dapat menekan reflek jalan nafas secara
tepat, atau bahkan menambah kemungkian terjadinya bronkospasme. Setelah oksigenasi,
ketamin 1 – 2 mg / kg BB yang mempunyai efek bronkodilator dan simpatomimetik dapat

8
sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya kenaikan resistensi jalan nafas dibandingkan
dengan theopental. Untuk mencegah hipersalivasi dapat diberikan atropin.
Bila terjadi serangan asma sebelum pasien diinduksi, maka tindakan pertama adalah
memberikan obat bronkodilator. Bila operasi elektif maka harus ditunda untuk persiapan
yang lebih baik, jika keadaan emergensi induksi dilakukan setelah serangan teratasi dan
pengobatan dilanjutkan selama operasi. Segera setelah reflek bulu mata hilang, langsung
diberikan campuran gas dengan volatile anestesi untuk mencapai stadium anestesi yang
dalam, oleh karena light anestesi bukan pilihan untuk dilakukan intubasi.
Halotan paling banyak dipilih oleh karena mempunyai efek bronkodilatasi , namun
demikian halotan bukan merupakan obat yang ideal. Efek meningkatkan sensitivitas otot
jantung akibat stimulasi β seperti β agonist dengan pemberian aminophlin dapat
menyebabkan disritmia jantung. Enfluran dan isofluran dapat sebagai alternatif untuk
menghindari disritmia tersebut diatas. Enfluran dan isofluran sama efektifnya dengan
halotan dalam pemulihan bronkospasme yang disebabkan oleh alergen. Penggunaan
lidokain 2 % 1,5 mg / kg BB dapat diberikan kurang lebih 1 menit sebelum intubasi, untuk
menekan reflek jalan nafas pada saat intubasi.
Pelumpuh otot yang dapat digunakan adalah vecuronium. Obat pelumpuh otot yang
menimbulkan histamin release seperti suksinilkolin, pancuronium, atracurium dan d –
tubocurarin sebaiknya dihindari. Pada akhir operasi reverse dari pelumpuh otot non
depolarisasi dengan anti kolinesterase dapat menimbulkan bronkospasme, untuk
menghindarinya dianjurkan menggunakan pelumpuh otot yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan lama operasi.
Intra operatif untuk mempertahankan oksigenasi arterial dapat dilakukan dengan
ventilasi kontrol. Inspiratory flow rate yang lambat menyebabkan distribusi ventilasi lebih
optimal dan waktu yang cukup untuk ekshalasi untuk mencegah terjadinya air trapping,
dengan demikian possitive end expiratory pressure bukan tehnik yang ideal pada jalan
nafas yang menyempit. Diberikannya campuran gas yang lembab dan hangat melalui
humidifier, juga cairan yang cukup selama operasi akan lebih baik. Ekstubasi dilakukan
bila anestesi masih dalam atau pasien dalam keadaan sadar penuh.

4. Pasca operasi

9
Pemberian analgetik yang adekuat atau infiltrasi lokal pada sekitar luka irisan operasi
dapat diberikan untuk menghindari nyeri yang dapat menimbulkan stress pada pasien.
Demikian juga oksigenasi pasca operasi dan hidrasi yang cukup harus diperhatikan.

BRONKOSPASME INTRA OPERATIF


Bronkospasme intra operatif biasanya dapat disebabkan oleh karena berbagai faktor
selain asma, penyebabnya antara lain :
- Penyumbatan ET oleh akrenatertekuk, sekret atau herniasi dari cuff ET
- Light anestesi yang merupakan penyebab tersering
- Endobronkial intubasi
- Aspirasi cairan lambung
- Edema paru
- Pneumothorak
Bronkospasme yang terjadi intra operatif maka penanganan yang paling logis adalah
mendalamkan anestesi dengan volatile dan obat pelumpuh otot , lalu naikkan FiO2.
Bronkospasme yang disebabkan oleh asma biasanya membaik dengan mendalamkan anestesi.
Apabila dengan mendalamkan anestesi gagal atau tetap terjadi bronkospasme, pemberian β –
2 agonist harus dipertimbangkan.
Albuterol ( salbutamol ) dapat dimasukkan ke dalam jalan nafas dengan cara menempatkan
inhaler dosis terukur dengan menggunakan T konektor atau dengan menggunakan small bore
catheter yang ditempatkan pada ujung distal ET. Selanjutnya hilangkan stimulasi mekanik,
lakukan suctioning, dan pastikan ET tidak tertekuk. Balon ET dikempeskan, tarik 0,5 – 1 cm,
lalu balon dikembangkan kembali. Kadang-kadang ET terlalu masuk sehingga merangsang
karina, hal ini yang menyebabkan bronkospasme pada keadaan anestesi yang dangkal.
Rangsangan bedah yang menyebabkan vagal reflek dihentikan sebentar. Intervensi
mediakmentosa selanjutnya diberikan bila hal tersebut diatas tidak memperbaiki
bronkospasme. Aminophilin IV dapat diberikan dengan dosis 5 mg / kg BB disuntikkan
selama 15 menit, dilanjutkan pemberian perinfus 0,5 – 1 mg / kg BB.

10
Bila tidak ada respon terhadap terapi diatas dan pasien menjadi sianotik, dapat
dipastikan sudah terjadi asidosis oleh karena retensi CO2 dan laktat asidosis oleh karena
hipoksia jaringan. Natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengoreksi keadaan asidosis,
oleh karena aminophilin maupun β agonist tidak bekerja efektif dalam keadaan asidosis.

11
BAB IV
KESIMPULAN

Asma bronkial adalah suatu penyakit paru obstruktif yang diderita oleh 3 – 5 %
populasi. 65 % gejala timbul pada usia kurang dari 5 tahun, dan penderita pria lebih banyak
dari wanita. Penyakit ini seringkali dihadapi oleh dokter anestesi, dan dapat menimbulkan
penyulit pada waktu preoperatif, intra meupun pasca operatif.
Sebenarnya penyebab penyakit asma ini sangat heterogen dan sukar untuk menentukan
penyebab yang pasti, tetapi pada dasarnya keadaan umum yang terjadi adalah terdapatnya
hiperiritabilitas yang non spesifik dari traktus trakheobronkial. Secara klinik asma
diklasifikasiakn menjadi 3 kelompok : alergi, idiopatik dan campuran.
Terapi bronkodilator harus optimal dan tetap diberikan sampai menjelang induksi.
Regional anestesi dapat dipilih untuk menghindari perangsangan jalan nafas. Anestesi umum
harus diingat bahwa anestesi yang dangkal ( light anestesi ) harus dihindari, selain itu kita
juga harus menghindari obat-obat yang menyebabkan histamin release. Untuk rumatan
(maintenance), halotan, enfluran dan isofluran sama efektifnya dalam mencegah dan
mengatasi bronkospasme.
Bronkospasme intra operatif dapat diatasi dengan : mendalamkan anestesi, hilangkan
rangsangan mekanik, terapi dengan obat bronkodilator.

12

Anda mungkin juga menyukai