Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS INDONESIA

PATOFISIOLOGI PENYAKIT LIMFATIK

MAKALAH

Kelompok 20

Sabrina Fathiyah Halim 1906397821

Samiyah Nida Al Kautsar 1906349330

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI GIZI

DEPOK

DESEMBER 2020
1. Lymphadenopathy Lymphoid

Limfadenopati adalah istilah yang mengacu pada pembengkakan kelenjar getah


bening. Kelenjar getah bening adalah kelenjar kecil yang bertanggung jawab untuk
menyaring cairan dari sistem limfatik. Mereka dibagi menjadi beberapa bagian yang
dikenal sebagai folikel, yang dibagi lagi menjadi zona B dan zona T, yang mewakili
lokasi dasar pematangan limfositik. Proliferasi limfosit yang tidak normal dapat
disebabkan oleh peradangan (inflamasi), infeksi, atau keganasan (malignant). Secara
umum, ukuran kelenjar getah bening yang normal pada populasi orang dewasa harus
kurang dari 1 cm (Maini dan Nagalli, 2020). Kelenjar getah bening serviks yang
ditemukan di leher adalah tempat limfadenopati yang paling umum. Nodus yang teraba
tidak selalu menunjukkan penyakit serius dan mungkin hanya menunjukkan reaksi
terhadap trauma minor atau infeksi pada struktur tertentu (McCance dan Huether, 2019).
Limfadenopati dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu limfadenopati secara umum
(generalized lymphadenopathy) dan limfadenopati menurut lokasinya ​(localized/regional
lymphadenopathy).
a. Limfadenopati secara umum ​(Generalized Lymphadenopathy)
Limfadenopati umum adalah limfadenopati yang ditemukan di dua atau lebih
daerah anatomis yang berbeda. Limfadenopati umum terjadi bersamaan dengan
limfoma non-Hodgkin, leukemia limfositik kronis, histiositosis, dan gangguan
pada produksi limfositosis. Limfadenopati umum jarang terjadi pada pasien
dengan neoplasma, tetapi kadang-kadang terlihat pada pasien dengan leukemia
dan limfoma, atau tumor padat metastatik yang menyebar.
b. Limfadenopati menurut lokasinya ​(Localized/Regional Lymphadenopathy)
- Lymphadenopathy pada kepala dan leher
Gambar 1.1: Kelenjar getah bening pada kepala dan leher
Sumber: ​Bazemore, A. and Smucker, D., 2002. Lymphadenopathy and Malignancy. ​American Family
Physician,​ 66(11), pp.2103-2110.

Penyebab paling umum dari limfadenopati serviks adalah infeksi, yang pada anak-anak
biasanya merupakan infeksi virus akut dan sembuh sendiri. Sementara beberapa
penyebab seperti mikobakteri atipikal, penyakit ​cat-scratch​, toksoplasmosis, limfadenitis
Kikuchi, sarkoidosis, dan sindrom Kawasaki dapat menyebabkan limfadenopati persisten
dan dapat terjadi selama berbulan-bulan. Di antara kelompok ini, nodus supraklavikula
adalah yang paling mungkin menjadi ganas, dan harus selalu dipantau, bahkan pada
anak-anak.
- Lymphadenopathy pada Axillary
Gambar 1.2: Limfatik Axillary dan struktur yang mereka alirkan
Sumber: ​Bazemore, A. and Smucker, D., 2002. Lymphadenopathy and Malignancy. ​American Family
Physician,​ 66(11), pp.2103-2110.

Penyebab umum limfadenopati aksila adalah penyakit ​catscratch.​ Selain itu penyebab
yang lain adalah infeksi, limfoma, kanker payudara, implan silikon, brucellosis, dan
melanoma. Limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin jarang bermanifestasi hanya atau
awalnya di kelenjar ketiak saja, meskipun ini bisa menjadi daerah pertama yang
ditemukan oleh pasien.
- Lymphadenopathy pada Inguinal

Gambar 1.3: Limfatik inguinal dan struktur yang mereka alirkan


Sumber: ​Bazemore, A. and Smucker, D., 2002. Lymphadenopathy and Malignancy. ​American Family
Physician,​ 66(11), pp.2103-2110.

Limfadenopati inguinal sering terjadi, dengan pembesaran kelenjar getah bening hingga
diameter 1 hingga 2 cm pada banyak orang dewasa yang sehat, terutama mereka yang
menghabiskan waktu tanpa alas kaki di luar ruangan. Beberapa penyebab pada
limfadenopati inguinal adalah infeksi pada kaki, penyakit menular seksual (misalnya
virus herpes simpleks, infeksi gonokokus, sifilis, chancroid, granuloma inguinale,
limfogranuloma venereum), limfoma, pelvic malignancy, dan penyakit pes.

1.1 Patofisiologi
Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem retikuloendotelial, yang meliputi
monosit darah, makrofag jaringan ikat, timus, limpa, sumsum tulang, tulang, jaringan
limfoid terkait mukosa dari organ viseral, pembuluh limfatik, dan cairan limfatik yang
ditemukan di cairan interstitial. Cairan limfatik bergerak ke seluruh sistem limfatik, dari
organ ke kapiler limfoid, pembuluh limfatik, dan akhirnya ke kelenjar getah bening untuk
filtrasi antigen asing. Zat asing yang ada pada sel limfoid adalah penyebab dari proliferasi
dan pembesaran sel (Maini dan Nagalli, 2020).
Apabila terdapat antigen yang menginfeksi, maka kelenjar getah bening dapat
menghasilkan sel-sel imun tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut
sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat juga
berasal dari penambahan sel-sel imun tubuh atau karena sel-sel inflamasi (neutrofil)
untuk mengatasi infeksi, inflamasi atau malignant. Pembengkakan di kelenjar getah
bening adalah salah satu reaksi alami tubuh terhadap penyakit atau infeksi (Cleveland
Clinic, 2019).
Perkembangan sel B berasal dari pluripotent stem cells ​dari sumsum tulang. Sel B
yang berhasil membentuk rantai imunoglobulinnya kemudian berpindah ke pusat
germinal ​(Germinal center) untuk memungkinkan diversifikasi antibodi melalui
hipermutasi somatik. Limfoma sel B diketahui sebagai hasil dari pergantian hipermutasi
somatik dan translokasi kromosom. Perkembangan sel-T juga dimulai dari ​pluripotent
stem cells​, yang matang di dalam korteks timus. Sementara di korteks timus, sel T
memulai penyusunan ulang spesifik di reseptor sel T. Selain itu, translokasi kromosom
pada tingkat reseptor sel T menyebabkan limfomagenesis sel T.
Nekrosis folikel kelenjar getah bening dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai
kondisi, baik inflamasi, infeksi, dan malignant. Dominasi infiltrat neutrofilik
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sedangkan dominasi limfositik mungkin
menunjukkan infeksi virus.

Gambar 1.1.1: Individu yang terkena leukemia limfosit dengan limfadenopati


Sumber: ​McCance, K.L. and Huether, S. E., 2019. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. 8th ed. Missouri: Elsevier.

1.2 Faktor Risiko


Infeksi adalah penyebab paling umum dari pembengkakan kelenjar getah bening.
Infeksi yang dapat menyebabkannya meliputi:
● Gigi abses atau impaksi
● Infeksi telinga
● Pilek, flu, dan infeksi lainnya
● Pembengkakan (inflamasi) pada gusi (gingivitis)
● Mononukleosis
● Sariawan
● Penyakit menular seksual (IMS)
● Tonsillitis
● Tuberkulosis
● Infeksi kulit
Selain itu dapat dipengaruhi pula oleh usia. Risiko limfadenopati lebih rendah pada masa
kanak-kanak, tetapi meningkat seiring bertambahnya usia. Exposures atau Paparan seperti
paparan terhadap penggunaan obat-obatan kronis, kontak infeksius, dan riwayat infeksi
berulang sangat penting dalam evaluasi limfadenopati. Gangguan kekebalan atau
autoimun juga dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening. Misalnya
adalah HIV dan Rheumatoid arthritis (RA). Kanker yang dapat menyebabkan
pembengkakan kelenjar getah bening yaitu Leukemia, Penyakit Hodgkin, Limfoma
non-Hodgkin, dll. Kelenjar getah bening yang membengkak tergantung penyebab dan
bagian tubuh yang terlibat. Kelenjar getah bening bengkak yang muncul tiba-tiba dan
terasa nyeri biasanya karena cedera atau infeksi. Pembengkakan yang lambat dan tidak
menimbulkan rasa sakit mungkin disebabkan oleh kanker atau tumor.

1.3 Tanda dan Gejala


Tanda terjadinya lymphadenopathy lymphoid yaitu kelenjar getah bening yang
sering membengkak di daerah kepala, leher, ketiak, dan selangkangan. Tanda dan gejala
lainnya meliputi:
● Hidung berair, sakit tenggorokan, demam, dan indikasi lain dari infeksi saluran
pernapasan atas
● Pembengkakan pada kelenjar getah bening pada tubuh.
● Nodus yang keras, terfiksasi, tumbuh cepat, menunjukkan kemungkinan kanker
atau limfoma
● Demam
● Keringat di malam hari

1.4 Tes
Pemeriksaan fisik terhadap kelenjar getah bening dilakukan untuk mengetahui
ukuran, kelembutan, kehangatan, dan teksturnya. Untuk membantu mengkonfirmasi
kondisi yang mendasari dugaan penyakit dapat melakukan tes darah berupa ​Complete
Blood Count (CBC). CBC dapat membantu mengevaluasi kesehatan secara menyeluruh
dan membantu mendeteksi gangguan, seperti infeksi dan leukimia. Rontgen dada atau CT
scan dapat membantu mengidentifikasi sumber infeksi atau tumor. Tes yang bisa
dilakukan untuk memastikan diagnosis yaitu biopsi kelenjar getah bening. Biopsi
kelenjar getah bening dilakukan dengan mengambil sampel ataupun seluruh kelenjar
getah bening untuk pemeriksaan mikroskopis.

2. Limfoma Hodgkin

Limfoma hodgkin merupakan limfoma ganas yang mencakup sekelompok


neoplasma khas yang ditandai dengan adanya sel raksasa tumor, yaitu sel Reed-Sternberg
(RS). Sel RS berukuran besar dan binukleat seperti inklusi. Sel RS memiliki sitoplasma
yang berlimpang dengan dikelilingi oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil. Pada awalnya,
limfoma hodgkin muncul di satu atau rantai kelenjar getah bening, lalu akan menyebar
secara bertahap ke nodus yang bersebelahan secara anatomis. Sel Reed-Sternberg hanya
mencakup 1–10% dari total jumlah sel di spesimen patologis dari pasien dengan penyakit
ini. Limfoma hodgkin dapat terjadi pada semua usia, meskipun kebanyakan kasus
didiagnosis pada orang berusia awal 20-an atau 70-an. Kondisi ini lebih sering terjadi
pada pria daripada wanita. Limfoma Hodgkin dibedakan dengan adanya sel
Reed-Sternberg dari keturunan sel B, yang dianggap sebagai sel ganas dalam neoplasma
ini. Limfoma hodgkin menurut WHO diklasifikasikan menjadi dua entitas penyakit
menurut klinis dan biologis, yaitu ​Nodular lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma
(NLPHL) dan ​Classic Hodgkin Lymphoma (CHL). CHL memiliki empat subtipe, yaitu
Nodular Sclerosis,​ ​Mixed-Cellularity Hodgkin Lymphoma (MCHL), ​Lymphocyte-Rich
classical Hodgkin Lymphoma (LRHL), dan ​Lymphocyte-Depleted Hodgkin Lymphoma
(LDHL). Penjelasan mengenai tipe-tipe limfoma hodgkin dijelaskan sebagai berikut:
● Nodular Lymphocyte-Predominant Hodgkin Lymphoma (NLPHL) ditandai
dengan adanya sel RS varian limfohistiositik yang memiliki inti multilobed, halus
, dan bengkak. Pada umumnya varian limfohistiositik ditemukan dalam nodul
yang berukuran besar yang sebagian besar mengandung sel B kecil yang
dicampur dengan makrofag dalam jumlah bervariasi. Varian limfohistiositik
mengekspresikan sel B (misalnya, CD20) dan biasanya gagal untuk
mengekspresikan CD15 dan CD30.
● Nodular sclerosis merupakan bentuk limfoma hodgkin yang paling umum. Tipe
ini cenderung mencolok untuk melibatkan serviks bagian bawah, kelenjar getah
bening supraclavicular, dan mediastinal. ​Nodular sclerosis memiliki ciri
morfologis sel lacunar dan pita kolagen. Sel lacunar merupakan varian sel RS
tertentu yang memiliki inti multilobate tunggal, beberapa nukleolus kecil, dan
sitoplasma yang berwarna pucat dan berlimpah. Di beberapa bagian jaringan tetap
berformalin, sitoplasma sering terkoyak, dan meninggalkan nukleus di ruang
kosong (lakuna). Pita kolagen merupakan bagian yang membagi jaringan limfoid,
sehingga terlihat menjadi nodul berbatas tegas.
● Mixed cellularity merupakan bentuk umum limfoma hodgkin pada pasien berusia
lebih dari 50 tahun. Tipe ini dominan terjadi pada laki-laki. Sel RS klasik banyak
ditemukan dalam infiltrat inflamasi heterogen yang mengandung limfosit kecil,
eosinofil, sel plasma, dan makrofag. Subtipe ini lebih mungkin untuk
disebarluaskan dan dikaitkan dengan manifestasi sistemik.
● Lymphocyte Rich l​ ebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.
Subtipe ini ditandai dengan sel RS yang jarang dengan latar belakang limfosit
kecil.
● Lymphocyte Depletion merupakan subtipe limfoma hodgkin yang tidak umum.
infiltrat pada subtipe ini menyebar dan sering tampak hiposeluler. Banyak kasus
pada LDHL yang didiagnosis sebelumnya adalah limfoma non-Hodgkin dan
seringkali berasal dari tipe sel besar anaplastik.

Gambar 2.1: Limfoma hodgkin pada pria


Sumber: ​McCance, K., Huether, S., Brashers, V. and Rote, N., 2019. ​Pathophysiology.​
8th ed. ​ ​Elsevier.

2.1 Patofisiologi
Reed-Sternberg (RS) sel adalah sel tumor diagnostik dalam limfoma hodgkin
klasik (CHL). Pada umumnya sel RS berukuran besar dan binukleat dengan varian
mononuklir. Sel RS diturunkan dari sel B di pusat germinal yang mengalami mutasi
gen imunoglobulin di wilayah variabel IgH. Mutasi tersebut menyebabkan terjadinya
apoptosis dan penyakit limfoma sistemik. Sel telah kehilangan kapasitasnya untuk
mengekspresikan reseptor sel B berafinitas tinggi dan lolos dari seleksi negatif. Sel B
diketahui memasuki pusat germinal dengan apoptosis yang dimediasi oleh FAS yang
diaktifkan. Beberapa jalur pensinyalan yang diaktifkan secara menyimpang dan faktor
transkripsi berkontribusi pada penyelamatan sel RS dengan menghindari terjadinya
apoptosis. Apoptosis dapat dicegah dengan up-regulasi dari inhibitor yang disebut
c-FLIP (inhibitor yang dimediasi FAS apoptosis) serta ​Nuclear Transcription Factor
(NF-κβ) tingkat tinggi pada sel RS. Pada kondisi normal, NF-κβ berada dalam keadaan
tidak aktif di sitoplasma sel, diaktifkan secara sementara di bawah kendali ketat sinyal
stimulasi. NF-κβ tidak teraktivasi karena dianggap sebagai konsekuensi dari EBV
ekspresi gen virus LMP1, yang memberikan sinyal intrinsik untuk regulasi NF-κB
dalam EBV tumor positif. Apabila NF-κβ teraktivasi, maka akan memberikan sinyal
'penyelamatan' ke sel B pusat germinal yang ditakdirkan apoptosis, karena
ketidakmampuannya untuk mengekspresikan sel B. Ketika populasi sel ini berlanjut,
sel-sel mengalami ekspansi klonal yang tidak terkendali, sehingga memeroleh mutasi
tambahan, yang mendorong mereka menuju fenotipe sel HRS ganas. Kemudian sel RS
akan mengeluarkan lingkungan dari sitokin, yang mendorong akumulasi karakteristik
infiltrat inflamasi non-ganas dari limfoma hodgkin klasik.
Pada ​Nodular Lymphocyte Predominant HL (NLPHL)​, sel diagnostiknya berupa
limfosit dan histiosit. NLPHL melakukan penataan ulang gen imunoglobulin klonal
dengan mutasi yang sedang berlangsung (mutasi yang menguntungkan). Reseptor pada
gen yang bermutasi tinggi kehilangan afinitas terhadap antigen, sehingga mengalami
apoptosis. Sel limfosit dan histiosit menolak berdiferensiasi lebih lanjut menjadi sel
memori dan sel plasma, dan memilih untuk bertahan hidup.

2.2 Faktor Risiko


Faktor risiko limfoma hodgkin belum diketahui pasti. Namun, infeksi
Epstein-Barr (EBV), penyakit autoimun, dan imunosupresi dapat meningkatkan risiko
limfoma Hodgkin. Hilangnya kekebalan imun merupakan kemungkinan penyebab dari
EBV. Struktur genom EBV identik di semua sel RS dalam kasus tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa infeksi mendahului transformasi dan ekspansi klonal. Dengan
demikian, kemungkinan infeksi EBV merupakan salah satu dari beberapa langkah yang
berkontribusi pada perkembangan tumor, terutama pada subtipe ​mixed-cellularity.​
Imunosupresi sekunder akibat transplantasi organ padat atau sel hematopoietik, terapi
dengan obat imunosupresif, dan infeksi virus human immunodeficiency (HIV) memiliki
risiko lebih tinggi dalam perkembangan limfoma Hodgkin. Orang yang sebelumnya
pernah menderita limfoma non-hodgkin dan obesitas pada wanita juga dapat
meningkatkan risiko untuk mengembangkan limfoma Hodgkin.

2.3 Tanda dan Gejala


Tanda orang dengan limfoma hodgkins adalah pembesaran satu atau sekelompok
kelenjar getah bening yang tidak sakit di leher, ketiak, atau selangkangan. Pada umumnya
gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit stadium I atau II adalah gejala B, yaitu
demam, berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan. Pasien dengan penyakit
lanjut (stadium III dan IV) lebih cenderung menunjukkan gejala B serta kulit gatal
(pruritus) dan anemia. Hal ini dikarenakan komplikasi jangka panjang dari radioterapi.
Penyebab pruritus diketahui terjadi karena manifestasi kulit psoriasis dan lesi berupa
eczematoid.

2.4 Tes
Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis limfoma hodgkin adalah sebagai
berikut:
● Uji Fisik
Pemeriksaan kelenjar getah bening di leher, ketiak, dan selangkangan. Limpa dan
hati juga diperiksa dalam uji fisik.
● Biopsi
Biopsi merupakan tes diagnostik yang umum digunakan. Sel akan diambil dari
sampel biopsi yang akan diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari sel
Reed-Sternberg. Biopsi digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan tumor
dan mengevaluasi apakah penyakit telah menyebar. Pada umumnya melihat
sampel jaringan di bawah mikroskop cukup untuk mendiagnosis limfoma
hodgkin, tetapi terkadang diperlukan lebih banyak tes laboratorium.
Imunohistokimia merupakan tes laboratorium yang dapat mencari protein spesifik
dalam sel, seperti CD15 dan CD30. Kedua protein tersebut ditemukan di
permukaan sel Reed-Sternberg dalam limfoma hodgkin klasik.
● Tes Pencitraan
Limfoma hodgkin sering mengalami pembesaran kelenjar getah bening di dada,
sehingga dapat dilakukan rontgen dada. Untuk mengetahui limfoma hodgkin di
leher, dada, perut, dan panggul dapat menggunakan CT ​scan.​ Selain itu, CT ​scan
juga dapat digunakan untuk memandu jarum biopsi ke area yang mencurigakan.
Penggunaan MRI serupa dengan CT ​scan,​ yaitu untuk menunjukkan jaringan
lunak pada tubuh. Namun, MRI jarang digunakan dalam mendiagnosa limfoma
hodgkins. MRI dapat digunakan jika penyebarannya kemungkinan sampai ke
sumsum tulang belakang atau otak. PET ​scan memiliki kamera khusus yang
digunakan untuk menggambar bagian-bagian tubuh pengumpulan radioaktivitas.
Hasil gambar PET ​scan tidak sedetail CT ​scan ataupun MRI. Namun, beberapa
mesin dapat melakukan pemindaian PET dan CT scan secara bersamaan.
Gabungan kedua pemindaian tersebut dapat membantu menentukan area limfoma
dengan lebih baik daripada menggunakan CT ​scan​ saja.
● Tes Darah
Tes darah tidak digunakan untuk mendiagnosis limfoma hodgkin, melainkan
untuk mengetahui memahami kemajuan limfoma hodgkin dan mengetahui
seberapa baik seseorang mentoleransi terhadap pengobatan tertentu. ​Complete
Blood Count (CBC) adalah tes yang digunakan untuk mengukur tingkat sel yang
berbeda dalam darah. Orang dengan limfoma hodgkin terkadang memiliki jumlah
darah yang tidak normal.
● Pemindaian Tulang
Limfoma hodgkin terkadang menyebabkan kerusakan tulang, yang dapat
diketahui dari pemindaian tulang. Pemindaian tulang hanya dilakukan apabila
seseorang mengalami nyeri tulang atau memiliki hasil tes laboratorium yang
menunjukkan limfoma mungkin telah mencapai tulang.

3. Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma non-hodgkin adalah kelompok malignant primer limfosit yang dapat


berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang berasal dari sel NK (natural killer) yang
berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan
klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. Pada non-hodgkin limfoma
sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya
tumor.

Gambar 3.1: Pembesaran kelenjar getah bening di area rahang pasien dengan limfoma non-Hodgkin.
Sumber: Martin, P. and Leonard, J., 2020. Non-Hodgkin Lymphomas. [online] MSD Manual Professional
Edition. Available at:
<https://www.msdmanuals.com/professional/hematology-and-oncology/lymphomas/non-hodgkin-lympho
mas#v975738> [Accessed 3 December 2020].
3.1 Patofisiologi
LNH digambarkan sebagai ekspansi klonal progresif dari sel B, sel T, atau sel NK.
Sebagian besar (85 sampai 90%) limfoma non-Hodgkin timbul dari limfosit B; sisanya
berasal dari limfosit T atau sel natural killer. Translokasi kromosom dapat mengaktifkan
onkogen, atau lokus supresor tumor dapat dinonaktifkan dengan delesi atau mutasi
kromosom. Subtipe tertentu mungkin telah mengubah genom oleh virus onkogenik. Lesi
genetik yang mempengaruhi proto-onkogen atau gen penekan tumor mengakibatkan sel
menjadi immortal dan mengakibatkan peningkatan jumlah sel ganas. Beberapa subtipe
pada LNH dapat diidentifikasi dengan specific diagnostic markers ​yang berkaitan dengan
berbagai lesi sitogenik.
Limfoma kemungkinan besar berasal dari mutasi pada gen seluler (banyak di
antaranya disebabkan oleh lingkungan) dalam satu sel, yang menyebabkan hilangnya
kendali proliferasi dan aspek pertumbuhan sel lainnya. Jenis perubahan kromosom yang
paling umum di LNH adalah translokasi, hal ini mengganggu gen yang dikodekan di
breakpoint​. Tumor LNH dikategorikan berdasarkan tingkat diferensiasi, sel asal, dan
kecepatan proliferasi sel. Agresivitas tumor dari banyak LNH sel B dapat diprediksi oleh
pola pertumbuhan dan ukuran sel. Tumor dengan pola nodular yang khas dan
samar-samar menyerupai struktur folikel limfoid, umumnya kurang agresif dibandingkan
limfoma, dengan pola proliferasi yang menyebar. Limfoma limfosit kecil kurang agresif
dibandingkan limfoma sel besar, yang umumnya tingkat agresivitasnya menengah hingga
tinggi.

Gambar 3.1.1: Pembesaran kelenjar getah bening di leher pada pasien limfoma non-hodgkin.
Sumber: Martin, P. and Leonard, J., 2020. Non-Hodgkin Lymphomas. [online] MSD Manual Professional
Edition. Available at:
<https://www.msdmanuals.com/professional/hematology-and-oncology/lymphomas/non-hodgkin-lympho
mas#v975738> [Accessed 3 December 2020].

3.2 Faktor Risiko


Etiologi sebagian besar limfoma non-hodgkin tidak diketahui. Namun terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya LNH, antara lain:
● Imunodefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya
LNH antara lain adalah: defisiensi imun gabungan yang parah ​(severe combined
immunodeficiency),​ hypogammaglobulinemia, variabel imunodefisiensi umum ​(common
variable immunodeficiency),​ sindrom wiskott-aldrich, dan ataxia-telangiectasia.
● Paparan lingkungan dan pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan
risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya
paparan herbisidia dan pelarut organik. Selain itu, pestisida, pengawet kayu, debu,
pewarna rambut, solvents, kemoterapi, dan paparan radiasi juga berkaitan dengan
pengembangan risiko LNH.
● Diet dan paparan lainnya: Risiko non-hodgkin limfoma meningkat pada orang yang
mengonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan
ultraviolet.
● Obat-obatan : Obat-obatan seperti fenitoin, digoksin, antagonis TNF juga berhubungan
dengan Non-Hodgkin limfoma.
● Beberapa virus yang dikaitkan dengan berbagai jenis LNH:
a. Virus Epstein-Barr, dikaitkan dengan penyebab beberapa jenis LNH, termasuk
varian endemik Burkitt limfoma.
b. Human T-cell leukemia virus type 1 (HTLV-1). Hal ini menginduksi stimulasi
antigenik kronis dan disregulasi sitokin, sehingga mengakibatkan stimulasi dan
proliferasi sel B atau T yang tidak terkontrol.
c. Virus Hepatitis C (HCV) menghasilkan ekspansi atau perluasan pada sel B klonal.
d. Infeksi Helicobacter pylori dikaitkan dengan peningkatan risiko limfoma jaringan
limfoid terkait mukosa lambung (MALT), yang merupakan limfoma
gastrointestinal primer.
● Gangguan autoimun seperti sindrom sjögren, rheumatoid arthritis, dan tiroiditis
Hashimoto dikaitkan dengan peningkatan risiko LNH. Tiroiditis Hashimoto berhubungan
dengan limfoma tiroid primer. Penyakit seliaka juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
non-Hodgkin limfoma.

3.3 Tanda dan Gejala


Gejala yang paling umum adalah pembengkakan tanpa rasa sakit pada kelenjar
getah bening di leher, ketiak, atau selangkangan. Kelenjar getah bening yang
membengkak merupakan respon terhadap infeksi karena terdapat limfosit yang
berkumpul di dalamnya. Beberapa orang mengalami gejala lainnya yang disebut dengan
gejala B (berkeringat di malam hari, penurunan berat badan, dan demam). Gejala umum
lainnya, yaitu perasaan sesak, dan gatal pada kulit di seluruh tubuh. Terdapat gejala lain
yang bergantung pada letak kelenjar getah bening yang membengkak pada bagian tubuh.
Beberapa orang dengan limfoma di sumsum tulang menyebabkan kelelahan terus
menerus, peningkatan risiko infeksi, perdarahan yang berlebihan, menstruasi yang berat
dan bercak darah di bawah kulit.

3.4 Tes
Biopsi merupakan cara untuk memastikan seseorang mengidap limfoma
non-hodgkin. Namun dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut karena banyak gejala limfoma
non-hodgkin yang disebabkan masalah lain, seperti infeksi. Biopsi yang umum digunakan
untuk mendiagnosis limfoma non-hodgkin adalah biopsi eksisi atau insisi. Biopsi eksisi
merupakan pengangkatan seluruh kelenjar getah bening, sedangkan biopsi insisi hanya
mengangkat sebagian kecil dari tumor atau nodus. Biopsi jarum dapat dilakukan apabila
kelenjar getah bening membesar karena infeksi atau penyebaran kanker dari organ lain.
Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menentukan seberapa jauh penyakit
telah menyebar dan seberapa baik tubuh berfungsi dapat menggunakan tes berupa CT
scan dada dan perut, ultrasonografi, PET/CT ​scan,​ tes darah, dan pemeriksaan sumsum
tulang. CT ​scan berguna untuk menggambarkan penampang tubuh secara rinci.
Ultrasonografi dapat digunakan untuk melihat kelenjar getah bening di dekat permukaan
tubuh, atau untuk mencari kelenjar getah bening yang membesar di perut atau organ
seperti hati dan limpa. PET dan CT ​scan pada saat yang bersamaan dapat membantu
menentukan area limfoma dengan lebih baik daripada CT ​scan saja. Tes tulang biasanya
hanya dilakukan apabila seseorang mengalami nyeri tulang atau memiliki hasil
laboratorium yang menunjukkan bahwa limfoma mungkin telah mencapai tulang.

4. Limfoma Burkitt

Limfoma burkitt adalah limfoma non-Hodgkin yang berkembang dari sel B. Limfoma
burkitt didefinisikan sebagai translokasi kromosom yang melibatkan 8q24, yaitu onkogen
MYC. Limfoma jenis ini sangat agresif dan tumbuh sangat cepat. Sel tumor pada
limfoma burkitt memiliki inti yang cukup seragam, sehingga memberikan tampilan yang
monoton. Sel tumor berukuran sedang dan biasanya berbentuk bulat atau inti oval dan
dua sampai lima nukleolus yang berbeda. Tanda panah pada gambar 4.1 menunjukkan
adanya aktivitas mitosis dan nukleolus yang menonjol pada sel. Limfoma burkitt
memiliki tiga jenis utama, diantaranya adalah:
● Limfoma burkitt sporadis
Jenis limfoma burkitt yang paling umum terjadi di Inggris. Limfoma burkitt
sporadis berkaitan dengan infeksi virus Epstein-Barr (EBV). EBV merupakan
virus yang menyebabkan demam kelenjar (mononukleosis).
● Limfoma burkitt endemik
Limfoma burkitt endemik lebih banyak terjadi di daerah dimana malaria tersebar
luas (endemik), seperti Afrika, Brazil, dan Papua Nugini. Selain berkaitan dengan
malaria, limfoma burkitt jenis ini berkaitan juga dengan EBV. Pada umumnya
limfoma burkitt endemik terjadi pada anak-anak. Pria lebih sering terkena
limfoma tipe ini daripada wanita. Tempat berkembangnya limfoma ini di rahang,
wajah, usus, atau saluran kemih.
● Limfoma burkitt imunodefisiensi
Limfoma burkitt jenis ini terkadang berkembang pada orang yang tinfeksi HIV
atau yang pernah menjalani transplantasi organ.
Gambar 4.1: Sel Burkitt Limfoma
Sumber: ​Rubin, E. and Reisner, H., 2014. Essentials Of Rubin's Pathology. 6th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.

4.1 Patofisiologi
Sebagian besar limfoma burkitt berkaitan dengan EBV. Namun, pada daerah
non-endemik, 80% tumor ini tidak berkaitan dengan EBV. EBV dapat menyebabkan
tumor sel B karena EBV menggunakan reseptor komplemen CD21 untuk menempel,
sehingga menginfeksi sel B. Secara in vitro, infeksi tersebut menyebabkan proliferasi sel
B poliklonal dan pembentukan garis sel limfoblastik B yang bertahan sepanjang hidup.
Dari hasil tersebut, EBV mengkodekan dua gen. Satu gen yang dikodekan oleh EBV
adalah LMP1 (protein membran laten 1) yang berperan sebagai onkogen. LMP1
mendorong proliferasi sel B untuk meniru efek dari kunci permukaan reseptor yang
dikenal sebagai CD40. Pada umumnya CD40 diaktifkan melalui interaksi dengan ligan
CD40 yang diekspresikan terutama pada sel T, sedangkan LMP1 aktif secara konstitutif
dan menstimulasi pensinyalan melalui jalur NF-κβ dan JAK / STAT, yang keduanya
mendorong proliferasi dan kelangsungan hidup sel B. Oleh karena itu, virus jadi memakai
jalur aktivasi sel B normal untuk mempromosikan replikasinya sendiri dengan
memperluas kumpulan sel yang terinfeksi. Gen lainnya yang dikodekan oleh EBV, yaitu
EBNA2. EBNA2 mentransaktivasi beberapa gen inang, termasuk cyclin D dan keluarga
proto-onkogen SRC. Selain itu, genom EBV mengandung sitokin virus yang dapat
mencegah makrofag dan monosit untuk mengaktifkan dan membunuh sel T yang
terinfeksi virus. Sitokin tersebut adalah vIL-10 yang sudah dibajak oleh genom inangnya.
Sebagian kecil sel B yang terinfeksi EBV dapat menurunkan ekspresi protein virus
imunogenik seperti LMP1 dan EBNA2, serta memasuki kumpulan sel B memori yang
yang bertahan sepanjang hidup.

EBV berkontribusi pada genesis limfoma burkitt endemik dengan infeksi yang
menyertai seperti malaria, yang mengganggu kekebalan sehingga memungkinkan
proliferasi sel B. Kemudian, sebagian besar sel B akan dihilangkan oleh sel T sitotoksik
dan sebagian kecilnya tetap bertahan. Kemungkinan sel limfoma keluar dari sisa populasi
hanya dengan akuisisi mutasi tertentu. Mutasi yang umumnya terjadi adalah translokasi
yang mengaktifkan onkogen MYC. Translokasi kromosom yang terjadi mengakibatkan
ekspresi berlebih dari proto-onkogen MYC dan hilangnya kontrol pertumbuhan sel. Pada
umumnya translokasi yang terjadi adalah antara kromosom 8 dan 14. Kromosom 8 yang
mengandung gen MYC akan ditranslokasikan ke kromosom 14 yang berdekatan dengan
kode gen rantai berat imunoglobulin. Hasil dari mutasi tersebut yang memungkinkan
induksi EBV mengevolusi limfoma burkitt.

4.2 Faktor Risiko


Limfoma burkitt dikaitkan dengan virus Epstein Barr (EBV) dan merupakan salah
satu tumor pertama yang memiliki translokasi kromosom yang mengaktifkan onkogen
(MYC). Infeksi EBV terkait limfoma burkitt di daerah endemik malaria yang bersifat
holoendemik. Limfoma burkitt endemik memiliki korelasi langsung dengan peningkatan
antibodi plasmodium falciparum. Limfoma burkitt pada pasien dengan imunosupresi di
daerah non-endemis akan menyebabkan insiden yang sangat tinggi, terutama bila
dikaitkan dengan infeksi ​Human Immunodeficiency Virus (HIV). Namun belum
diketahui pasti bagaimana HIV mempengaruhi risiko limfoma burkitt endemik.

4.3 Tanda dan Gejala


Limfoma burkitt baik tipe sporadis endemik maupun non-endemik, keduanya
mempengaruhi terutama pada anak anak dan dewasa yang berusia sekitar 20 tahun.
Gejala yang paling umum adalah satu atau lebih benjolan akibat pembengkakan kelenjar
getah bening. Selain itu, manifestasi umum dari limfoma burkitt adalah mual, muntah,
kehilangan nafsu makan atau perubahan kebiasaan buang air besar (dapat pula
mengalami keduanya), perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, dan gagal ginjal.
Limfoma burkitt yang lebih serius kemungkinan akan melibatkan mata, ovarium, ginjal,
atau jaringan kelenjar (payudara, tiroid, amandel), serta timbul gejala tipe B. Gejala B
diantaranya adalah berkeringat banyak di malam hari, suhu tinggi yang datang dan pergi
tanpa sebab, berat badan turun, dan beberapa orang mengalami rasa gatal.
Limfoma burkitt tipe sporadis sering tumbuh di perut (abdomen) dan usus yang
dapat menyebabkan sakit perut atau punggung, merasa mual atau sakit, diare,
pembengkakan pada perut, dan pendarahan serta nyeri akibat penyumbatan di usus
(obstruksi). Limfoma burkitt yang berada di sumsum tulang akan mengambil ruang sel
darah normal. Hal tersebut mengarah pada terjadinya anemia yang menyebabkan
kelelahan dan sesak napas, trombositopenia yang membuat memar dan berdarah, dan
neutropenia yang menyebabkan mudah terkena infeksi.

4.4 Tes
Mendiagnosis limfoma burkitt adalah dengan operasi kecil, yaitu biopsi. Sampel
jaringan yang dipengaruhi oleh limfoma akan diangkat, lalu diperiksa di bawah
mikroskop untuk mengetahui jenis limfoma tersebut. Tes lain untuk mengetahui letak
limfoma pada tubuh dapat melakukan CT ​scan​ yang dikombinasikan dengan PET ​scan​.
Untuk mencari sel limfoma dalam cairan di sekitar otak dan sumsum tulang belakang, tes
yang dapat dilakukan adalah pungsi lumbal. Selain itu, tes darah juga merupakan tes
tambahan untuk memeriksa jumlah sel darah dan menguji seberapa baik hati dan ginjal
bekerja dalam tubuh.

5. Lymphoblastic Lymphoma

Lymphoblastic lymphoma adalah bentuk agresif dari limfoma non-hodgkin. Ini


relatif jarang, terhitung sekitar 2% dari semua limfoma non-Hodgkin. Ini berkembang
ketika tubuh membuat limfosit abnormal. Limfosit adalah sel darah putih yang melawan
infeksi. Limfosit abnormal (sel limfoma) biasanya menumpuk di kelenjar getah bening
tetapi dapat mempengaruhi bagian tubuh lainnya. Sebagian besar kasus LL (lebih dari
85%) berasal dari sel-T, dan sisanya dari kasus LL berasal dari sel B.
5.1 Patofisiologi
Lymphoblastic lymphoma biasanya berkembang melalui limfosit-T tetapi
kadang-kadang berkembang dari limfosit B. Secara klinis, lymphoblastic lymphoma
memiliki sifat yang sangat mirip dengan leukemia limfoblastik akut (ALL), dan kedua
kondisi tersebut sering ditangani dengan cara yang serupa. Pada lymphoblastic
lymphoma, limfosit abnormal terdapat pada kelenjar getah bening atau kelenjar timus,
sedangkan pada ALL, limfosit abnormal terutama terdapat pada darah dan sumsum
tulang. Penyakit ini muncul dari klon sel T yang relatif belum matang yang menjadi
ganas di timus. Seperti kebanyakan tumor limfoid, LL sering dikaitkan dengan
translokasi, terutama dari kromosom yang mengkode reseptor sel-T (kromosom 7 dan
14). Penyimpangan ini menghasilkan peningkatan ekspresi berbagai faktor transkripsi dan
hilangnya kontrol pertumbuhan. Tipe pada lymphoblastic lymphoma:
a. Precursor B-cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (B-LBL)
Berkembang dari sel B yang belum matang. B-LBL terkadang mempengaruhi organ di
luar sistem limfatik (disebut ekstralimfatik sites), seperti kulit atau jaringan lunak.
b. Precursor T-cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (T-LBL)
Berkembang dari sel T imatur atau yang belum matang. Orang dengan T-LBL biasanya
memiliki kumpulan besar limfosit abnormal di dada (disebut massa mediastinal). Mereka
sering memiliki penumpukan cairan di ruang antara 2 lapisan tipis pada jaringan yang
menutupi paru-paru dan melapisi rongga dada (disebut efusi pleura) atau kantung yang
mengelilingi jantung (disebut efusi perikardial).
B-LBL dan T-LBL dapat dianggap sebagai limfoma atau leukemia, tergantung
pada berapa banyak area sumsum tulang yang memiliki limfoblas di dalamnya. Jika
kurang dari 25% sel di sumsum tulang adalah limfoblas, itu dianggap lymphoblastic
lymphoma. Jika lebih dari 25% sel di sumsum tulang adalah limfoblas, itu dianggap
leukemia limfositik akut (ALL).

5.2 Faktor Risiko


Sementara penyebab pasti limfoma limfoblastik tidak diketahui, faktor-faktor
seperti paparan radiasi atau pestisida, dan imunosupresi bawaan dikaitkan dengan
peningkatan risiko berkembangnya lymphoblastic lymphoma. Lymphoblastic lymphoma
sangat jarang terjadi pada orang dewasa, paling sering menyerang orang yang berusia di
bawah 35 tahun. Limfoma ini jauh lebih umum pada anak-anak dan remaja, dengan usia
paling umum saat diagnosis adalah 20 tahun. Ini sedikit lebih umum pada pria daripada
pada wanita.

5.3 Tanda dan Gejala

Pada umumnya terjadi pembengkakan terjadi tanpa rasa sakit di leher, ketiak,
atau selangkangan. Pada 50-75% orang terjadi benjolan pada dada bagian dalam sentral
(massa mediastinal) yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas (dispnea) dan nyeri
dada. Beberapa orang juga mengalami gejala B, yaitu keringat di malam hari, demam
tanpa penyebab yang jelas, dan penurunan berat badan. Area tubuh lain yang dapat
terpengaruh termasuk kelenjar timus, hati, limpa, kulit, testis, dan otak. Kelelahan dan
kehilangan nafsu makan juga sering terjadi. Secara garis besar, tanda dan gejala
terpenting dari Lymphoblastic Lymphoma dibagi menjadi tiga, yaitu:
● Berhubungan dengan fungsi sumsum. Gejala ini diantaranya adalah kelelahan
akibat anemia, demam karena infeksi sekunder akibat neutropenia, dan
perdarahan karena trombositopenia.
● Efek massa yang disebabkan infiltrasi neoplastik, diantaranya adalah nyeri tulang
akibat ekspansi dan infiltrasi sumsum dari subperiosteum. Limfadenopati umum,
splenomegali, dan hepatomegali juga termasuk efek dari infiltrasi neoplastik.
Pada lymphoblastic lymphoma akut, efek yang diberikan adalah komplikasi yang
berhubungan dengan kompresi pembuluh darah besar dan saluran udara di
mediastinum.
● Manifestasi sistem saraf pusat akibat penyebaran meningeal, termasuk sakit
kepala, muntah, dan saraf kelumpuhan.

5.4 Tes
Imaging test y​ ang bisa dilakukan adalah CT ​scan,​ PET ​scan,​ dan MRI. CT ​scan
dan PET ​scan pada dada dan perut digunakan untuk memastikan lokasi awal penyakit,
sedangkan MRI berguna untuk dugaan keterlibatan tulang belakang, tengkorak, dan
struktur otak, atau jantung. Untuk mengevaluasi awal pasien, lebih baik dilengkapi
dengan analisis hitung darah dan konsentrasi LDH serum, serta tes fungsi hati dan ginjal.
Daftar Pustaka
● American Cancer Society. 2020. Hodgkin Lymphoma Diagnosis | Tests For Hodgkin
Lymphoma. [online] Available at:
<https://www.cancer.org/cancer/hodgkin-lymphoma/detection-diagnosis-staging/how-dia
gnosed.html> [Accessed 4 December 2020].
● American Cancer Society. 2018. Tests For Non-Hodgkin Lymphoma. [online] Available
at:
<https://www.cancer.org/cancer/non-hodgkin-lymphoma/detection-diagnosis-staging/ho
w-diagnosed.html> [Accessed 1 December 2020].
● Bassan, R., Maino, E. and Cortelazzo, S., 2016. Lymphoblastic lymphoma: an updated
review on biology, diagnosis, and treatment. European Journal of Haematology, 96(5),
pp.447-460. doi: 10.1111/ejh.12722.
● Bazemore, A. and Smucker, D., 2002. Lymphadenopathy and Malignancy. ​American
Family Physician,​ 66(11), pp.2103-2110.
● Cancer Treatment Centers of America. 2019. How To Test, Diagnose And Detect
Hodgkin Lymphoma. [online] Available at:
<https://www.cancercenter.com/cancer-types/hodgkin-lymphoma/diagnosis-and-detectio
n> [Accessed 1 December 2020].
● Cancer Research UK., 2020. Burkitt Lymphoma | Non-Hodgkin Lymphoma | Cancer
Research UK. [online] Available at:
<https://www.cancerresearchuk.org/about-cancer/non-hodgkin-lymphoma/types/burkitt-l
ymphoma> [Accessed 1 December 2020].
● Canadian Cancer Society. n.d. Lymphoblastic Lymphomas. [online] Available at:
<https://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/non-hodgkin-lymphoma/non-
hodgkin-lymphoma/more-types-of-nhl/lymphoblastic-lymphoma/?region=on> [Accessed
3 December 2020].
● Cleveland Clinic. 2019. ​Swollen Lymph Nodes (Lymphadenopathy).​ [online] Available at:
<https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/15219-swollen-lymph-nodes> [Accessed
2 December 2020].
● Ferrer, R., 1998. Lymphadenopathy: Differential Diagnosis and Evaluation. ​American
Family Physician,​ 58(6), pp.1313-1320.
● Graham, B. and Lynch, D., 2020. Burkitt Lymphoma. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.
Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538148/?report=printable>
[Accessed 1 December 2020].
● Kaseb H, Babiker HM., 2020. Hodgkin Lymphoma. StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing.
● Kumar, V., Abbas, A., Aster, J., Biernat, W., Olszewski, W., Perkins, J., Robbins, S.,
Chang, A. and Burstein, H., 2019. Robbins Patologia. 10th ed. Wrocław: Edra Urban &
Partner.
● Lash, B., 2020. Hodgkin Lymphoma: Practice Essentials, Background, Pathophysiology
[online] Available at:
<​http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview#show-all​> [Accessed 2
December 2020].
● Leukaemia Foundation. 2019. Lymphoblastic Lymphoma. [online] Available at:
<https://www.leukaemia.org.au/blood-cancer-information/types-of-blood-cancer/lympho
ma/non-hodgkin-lymphoma/lymphoblastic-lymphoma/> [Accessed 3 December 2020].
● Loeffler, A. and Hart, M., 2018. ​Introduction To Human Disease​. 7th ed. Jones & Bartlett
Learning.
● Lymphoma Action. 2020. Lymphoma Action | Burkitt Lymphoma. [online] Available at:
<https://lymphoma-action.org.uk/types-lymphoma-non-hodgkin-lymphoma/burkitt-lymp
homa> [Accessed 1 December 2020].
● Lymphoma Australia. n.d. Lymphoblastic Lymphoma (LL) - Lymphoma Australia.
[online] Available at:
<https://www.lymphoma.org.au/types-of-lymphoma/non-hodgkin-lymphoma/aggressive-
fast-growing-b-cell-nhl/lymphoblastic-lymphoma-ll/> [Accessed 4 December 2020].
● Lymphoma Research Foundation. n.d. Non-Hodgkin Lymphoma Diagnosis - Lymphoma
Research Foundation. [online] Available at:
<https://lymphoma.org/aboutlymphoma/nhl/nhldiagnosis/> [Accessed 1 December
2020].
● Maini, R. and Nagalli, S., 2020. Lymphadenopathy. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558918/> [Accessed 2 December 2020].
● Macmillan.org.uk. 2018. Lymphoblastic Lymphoma. [online] Available at:
<https://www.macmillan.org.uk/cancer-information-and-support/lymphoma/lymphoblasti
c-lymphoma> [Accessed 1 December 2020].
● Martin, P. and Leonard, J., 2020. Non-Hodgkin Lymphomas. [online] MSD Manual
Professional Edition. Available at:
<https://www.msdmanuals.com/professional/hematology-and-oncology/lymphomas/non-
hodgkin-lymphomas#v975738> [Accessed 3 December 2020].
● Mayo Clinic. 2020. Hodgkin's Lymphoma (Hodgkin's Disease) - Diagnosis And
Treatment - Mayo Clinic. [online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hodgkins-lymphoma/diagnosis-treatme
nt/drc-20352650> [Accessed 1 December 2020].
● Mayoclinic.org. 2019. Swollen Lymph Nodes - Diagnosis And Treatment - Mayo Clinic.
[online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/swollen-lymph-nodes/diagnosis-treatm
ent/drc-20353906> [Accessed 2 December 2020].
● Mayo Clinic. 2019. Swollen Lymph Nodes - Symptoms And Causes. [online] Available
at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/swollen-lymph-nodes/symptoms-cause
s/syc-20353902> [Accessed 2 December 2020].
● McCance, K., Huether, S., Brashers, V. and Rote, N., 2019. ​Pathophysiology.​ 8th ed.
Elsevier.
● McCance, K.L. and Huether, S. E., 2019. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Children. 8th ed. Missouri: Elsevier.
● Molyneux, E., Rochford, R., Griffin, B., Newton, R., Jackson, G., Menon, G., Harrison,
C., Israels, T. and Bailey, S., 2012. Burkitt's lymphoma. The Lancet, 379(9822),
pp.1234-1244. doi: 10.1016/s0140-6736(11)61177-x.
● Mount Sinai Health System. n.d. Swollen Lymph Nodes. [online] Available at:
<https://www.mountsinai.org/health-library/symptoms/swollen-lymph-nodes> [Accessed
2 December 2020].
● Murti, K .,2015. Burkitt Lymphoma. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2 (2). ISSN
2406-7431
● Nhs.uk. 2018. Non-Hodgkin Lymphoma - Causes. [online] Available at:
<https://www.nhs.uk/conditions/non-hodgkin-lymphoma/causes/> [Accessed 2
December 2020].
● Nhs.uk. 2018. Non-Hodgkin Lymphoma - Symptoms. [online] Available at:
<https://www.nhs.uk/conditions/non-hodgkin-lymphoma/symptoms/> [Accessed 4
December 2020].
● Reisner, E and Reisner, H. 2017. Human Disease Pathology and Pathophysiology
Correlations. Ed 10th. Jones & Bartlett Learning.
● Reksodiputro, A. H. and Irawan, C., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: InternaPublishing.
● Rubin, E. and Reisner, H., 2014. Essentials Of Rubin's Pathology. 6th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.
● Sapkota, S. and Shaikh, H., 2020. Non-Hodgkin Lymphoma. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.
Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559328/> [Accessed 2
December 2020].
● The Children’s Hospital of Philadelphia. n.d. Lymphadenopathy. [online] Available at:
<https://www.chop.edu/conditions-diseases/lymphadenopathy#> [Accessed 2 December
2020].

Anda mungkin juga menyukai