Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM SYAH WALIALLAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang


Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah
Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para
cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus
perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran
ekonomi Islam sejak masa awal.
Makalah ini akan membahas pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah pada fase
ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi yang merupakan fase tertutupnya
pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini di kenal juga sebagai fase
stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan
mengeluatkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing mashab. Namun
demikian, terdapat sebuah garakan pembruan selama dua abad terakhir yang menyeru untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan al-hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup.

B.     Rumusan Masalah


1.      Bagaimana biografi Syah Waliallah ?
2.      Apa saja karya-karya Syah Waliallah ?
3.      Bagaimana pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui biografi Syah Waliallah.
2.      Untuk mengetahui karya-karya Syah Waliallah.
3.      Untuk mengetahui pemikiran ekonomi Islam Syah Waliallah.
BAB II
PEMBAHASAN

Syah Waliallah (1114-1176H/1703-1762M)


A.    Biografi   
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-
Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Ahmad bin Mahmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia
dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 21 Februari 1703 M atau 4 Syawal 1114 H di Phulat,
sebuah kota kecil di dekat Delhi dan wafat pada tahun 1762 M atau 1176 H.[1] Dia dijuluki
“Shah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia memulai
studinya di usia lima tahun dan menyelesaikan bacaan dan hafalan dari Al-Quran pada usia
tujuh. Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.
Bapanya, Shah Abdul Rahim, adalah seorang sufi dan teolog reputasi besar. Dia
adalah ahli pengasas dan guru daripada Madrasah-i-Rahimiyah di Delhi. Shah Abdul Rahim
dikaitkan dengan penyelesaian yang terkenal teks hukum Islam, Fatawa-i-Alamgiri. Dari sisi
genealogisnya (nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah keturunan
dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih al-Din)
merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb (1658-
1707 M) dalam perang perebutan tahta.[2]
Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi
dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah
guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd
Allah al-Makki al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi.[3]
Shah Waliallah menerima gelar akademik dan pendidikan rohani daripada ayahnya.
Dia hafal Al-Quran dan memperoleh pengetahuan tentang Tafsir, Hadis, spiritualisme,
mistisisme, metafizik, logik, dan Ilm-ul-Kalam ketika masih di zaman kanak-kanaknya.
Setelah menguasai mata pelajaran ini, dia mengalihkan perhatian pada Shahih Bukhari dan
Fiqih Islam. Beliau juga belajar ilmu perubatan dan Thibb. Setelah memperoleh pengetahuan
ini, ia mengajar di Madrasah ayahnya selama 12 tahun. Dia berangkat ke Saudi pada tahun
1730 untuk pendidikan tinggi. Selama tinggal di Saudi, ia dipengaruhi oleh Syeikh Abu Tahir
bin Ibrahim, seorang sarjana terkenal pada waktu itu. Beliau belajar di Madinah selama 14
tahun, di mana ia memperoleh gelar Sanad dalam Hadis. Hal ini diyakini bahwa sementara
Shah Waliallah berada di Saudi, ia diberkati dengan visi Nabi (SAW). Dia juga merupakan
keturunan Ulama besar India Mujaddid Alfi Sani Syeikh Ahmad Sirhindi dan diberitakan
bahwa ia akan berpengaruh dalam menetapkan pembaharuan Muslim di India.
Pada saat ia kembali ke Delhi pada bulan Julai 1732, penurunan kekayaan Mughal
telah bermula. Sosial, politik, ekonomi dan kondisi keagamaan umat Islam sangat miskin.
Shah Waliallah percaya bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam adalah
kerana ketidaktahuan mereka tentang Islam dan Al-Quran. Oleh karena itu, dilatih secara
pribadi sejumlah pelajar yang diamanahkan dengan tugas penyebaran Islam. Dalam rangka
untuk menyebarkan ajaran Islam dan membuat Al-Quran lebih mudah diakses oleh orang-
orang, ia menterjemah Quran ke Parsi, yang utama dan Bahasa umum daripada orang-orang
pada waktu itu. Dia juga berusaha mengurangkan berbagai perbedaan dari banyak kumpulan
sektarian yang berlaku saat itu.
Shah Waliallah juga membuat upaya untuk mengangkat politik umat Islam di India.
Dia menulis surat kepada Ahmad Shah Abdali untuk membantu warga Muslim di India
dalam menghancurkan Marhattas, yang terus-menerus ancaman bagi Empayar Mughal
runtuh. Pada 1761, Ahmad Shah Abdali, sebagai tanggapan terhadap Shah Waliallah telefon,
diakibatkan kekalahan di Marhattas di Panipat. Shah Waliallah bertanggungjawab atas
kebangkitan di masyarakat keinginan untuk kembali semangat moral dan mempertahankan
kemurniannya. Dia dikebumikan di 1762. Putra dan pengikut-cakap meneruskan kerja dan
misi mulia.

B.     Karya - Karya


Shah Waliallah adalah seorang penulis yang produktif dan menulis secara menyeluruh
di Fiqh dan Hadis. Dia akhirnya menulis 51 buku; 23 di Arab dan 28 dalam Bahasa Parsi. Di
antara yang terkenal adalah karya Hujjat-Ullah-il-Balighah dan Izalat-ul-Khifa.
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The
conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam.
Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan
masyarakat. Kitab yang lainnya yaitu :[4]
1)      Al Fath al Munir fi Gharib Al Qur’an tentang tafsir Al Qur’an,
2)      Az Zahrawain tafsir QS Al Baqarah dan Ali Imran,
3)      Al Mushaffa   syarah dari   kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,  
4)      Al Maswa merupakan syarah kitab Al Muwaththa karya Imam Malik,
5)      An Nawadhir min Ahadits Sayyid al Awa’il wa al Awakhir tentang hadits,
6)      Tarajum al Bukhary tentang hadits,  
7)      Syarh Tarajum Ba’d Abwab al Bukhary tentang hadits,
8)      Al Arbain Hadtsan tentang hadits,
9)      Ta’wil al Ahadits tafsir tentang kisah para nabi,
10)  Al Budur al Baziqah dalam ilmu kalam,
11)  ‘Aqd al Jayyid fi Ahkam al Ijtihad wa at Taqlid tentang persoalan ijtihad dan taqlid,
12)  Al Insyaf fi bayan Asbab al Ikhtilaf bain al Fuqaha wa al Mujtahidin tentang munculnya
perbedaan pendapat ahli fiqih,
13)  Ad Durr as Samin fi Mubasyarah an Nabi al Amin tentang keutamaan Nabi Muhammad Saw,
14)  Al Maktubat, tentang kehidupan Rasulullah yang merupakan kumpulan risalah yang ditulis
ayahnya Abd Rahim Ad Dihlawi,
15)  Al Khair al Kasir tentang akhlaq.  
16)  Al Irsyad ila Muhimmat ‘Ilm al afsad, dalam bidang filsafat.
17)  As Sirr al Maktum fi Asbab Tadwin al ‘Ulum, tentang filsafat.
18)  Al Fauz Al Kabir Fi Ushul Tafsir Al Lamahat, tentang fiqih masih dalam bentuk manuskrip.
19)  Izalat Al Khafa ‘An Khilafat Al Khulafa Al anshaf Fi Bayan Asha Al Ikhtilaf Baina Al
Fuqaha Wa al Mujtahiddin Al Maktub al Madani , tentang hakekat tauhid,
20)  Husn al Aqidah, tentang aqidah / tauhid,
21)  Atyab an Nuqam fi Madh Sayyid al Arab wa al Ajam. Al Muqadimah as saniyah fi Intisar al
Firqah as Sunniyah, dalam pemikiran fiqih dan kalam.
22)  Qaul Al Jamil Fi Bayan Sawa Al sabil Fi Suluk Al Qadariyah, Al Jitsiyah Wa
Naqsyabandiyah. ‘Iqd al jayid Fi ahkam Al Ijtihad Wa al Taqlid. Al Intibah Fisalasil Auliya
Allah Tasawwuf ki Haqiqat Au Uska Falsafa Tarikh.  Syifa al Qulub (Terapi hati), Al
Tafhimat al Ilahiyah (Uraian-uraian Ilahiyah), dalam bidang filsafat dan teologi (ilmu kalam),
dan
23)  Diwan as Syi’r Arabi, tentang sastra.

C.      Pemikiran
      Pemikiran ekonomi Shah Waliallah dapat ditemukan dalam karyanya yang
terkenal berjudul, Hujjatullah al-Baligha, di mana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari
aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan masyarakat. Menurutnya,
manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan kerja sama antara
satu orang dengan orang lainnya. Kerja sama usaha (mudharabah, musyarakah), kerja sama
pengelolaan pertanian, dan lain-lain. Islam melarang kegiatan-kegiatan yang merusak
semangat kerja sama ini, misalnya perjudian dan riba.[5] Kedua kegiatan ini mendasarkan
pada transaksi yang tidak adil, eksploitatif, mengandung ketidakpastian yang tinggi, dan
beresiko tinggi.
Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik.
Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan manusia, kepemilikan, sarana produksi,
kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan
konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan
budaya yang begitu kompleks di masanya. Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan
kemewahan yang diumbar akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya
tentang sumber daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan
beberapa sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan
pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan
kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran
dan kemajuan.
Shah Waliallah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari
sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks
evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk
satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang
melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan
kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba
dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat ekonominya
adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap moralitas sosial.
Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan ekonomi.[6]
Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintah yang mampu
menyediakan sarana pertanahan, membuat hukum dan menegakkannya, menjamin keadilan,
serta menyediakan berbagai sarana publik seperti jalan dan jembatan. Untuk berbagai
keperluan ini negara dapat memungut pajak dari rakyatnya. Pajak merupakan salah satu
sumber pembiayaan kegiatan negara yang penting, namun harus memerhatikan
pemanfaatannya dan kemampuan masyarakart untuk membayarnya.
Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran India, Waliallah
mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua
faktor tersebut, yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang
tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga
menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat
tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien. [7]
BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-
Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Ahmad bin Mahmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia
dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 21 Februari 1703 M atau 4 Syawal 1114 H di Phulat,
sebuah kota kecil di dekat Delhi dan wafat pada tahun 1762 M atau 1176 H. Dia dijuluki
“Shah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia adalah
pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.
Karya Syah Waliullah Al Hujjatullah Al Balighah fi Asrar Asy Syar’iyah (The
conclusive argument from God) berisi tentang rahasia syari’at dan filsafat hukum Islam.
Dalam kitab ini dibahas secara terinci faktor-faktor yang membantu pertumbuhan keadaan
masyarakat.
Syah Waliallah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai
pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi
terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat
tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik
yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Chamid Nur. 2010.  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Mahfudz  Asnawi. 2010.  Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-
Dihlawī. Yogyakarta: Teras
Munawir. Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi
dalam  Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis.
Nasution Harun. 1992. Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan
Bintang
Http://www.ensikperadaban.com/?TOKOH_%26amp
%3B_INTELEKTUAL_MUSLIM_KONTEMPORER:Pembaharu:Syah_Waliyullah
Http://gavouer.wordpress.com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/
Http://zulfan122.blogspot.com/2012/04/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html

                [1] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi
Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam  Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10,
hlm. 114.
                [2] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh
Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 33-34
[3] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 20
                [4]Http://www.ensikperadaban.com/?TOKOH_%26amp

%3B_INTELEKTUAL_MUSLIM_KONTEMPORER:Pembaharu:Syah_Waliyullah
[5] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta :
Pustaka Belajar, 2010), hlm. 303-304
[6] Dikutip dari http://gavouer.wordpress.com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/
[7] Dikutip dari http://zulfan122.blogspot.com/2012/04/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html
Kamis, 03 Oktober 2013
Biografi dan Ajaran Syah Waliullah

Nama aslinya adalah Quthub ad Din Ahmad ibn Syah Abd Rahim bin Wajihuddin bin
Mu’azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawwamuddin ,pemikir ini masih memiliki garis
silsilah dengan Umar Ibnu Khatab, sehingga kerap kali dibelakang namanya ditambahkan
dengan sebutan Al Umari Al Faruqi. ia lebih dikenal dengan nama Syah Waliullah, nama
Waliullah yang penjang ini merupakan
suatu gelar yang menunjukan penghormatan yang besar atas kesalehan serta kedalaman
ilmunya .sementara kata Wali dalam namanya menurut beberapa sumber, merupakan gelar
dirinya sejak ia masih bayi berdasarkan petunjuk para Wali (saat itu) kepada orang tuanya
melalui mimpi [1].

Ia adalah seorang sarjana besar India yang hidup pada abad 12 H / 18 M. Ia lahir di Phult,
Delhi pada hari rabu syawwal 1114 H / 21 February 1703 M. ia berasal dari keluarga yang
berpendidikan serta shaleh, hal ini terbukti karna sebagian besar pendidikannya dijalaninya
dibawah bimbingan ayahnya, Syah Abd Rahim, tepatnya di Madrasah Rahimiyyah, yang
didirikan oleh ayahnya di Delhi. ia mendalami ilmu pengetahuan khususnya dibidang agama
sejak ia beumur 5 tahun, berkat ketekunan serta kejeniusannya ia mampu menghafalkan al
Quran ketika umurnya masih 7 tahun, ia terus memperdalam pengetahuannya hingga ketika
umurnya belasan tahun ia telah menguasai dengan baik ilmu hukum, tafsir, hadits, logika,
kalam, filsafat, astromomi, kedokteran dan matimatika. ia melengkapi pengetahuannya dalam
agama dengan mendalami tarekat, dalam tarekat ini baginya sudah takasing lagi lantaran
kedua orang tuanya merupakan penganut tarekat juga [2].

Ia menyelesaikan pendidikan Formalnya saat usianya baru 15 tahun, yang kemudian di baiat
oleh ayahnya menjadi seorang penganut tarekat Naqsyabandiah. pada usianya yang ke 16
atau 17 ia sudah menjadi seorang Muhaddits di madrasah milik ayahnya, ia membuat suasana
disana menjadi suatu intuisi yang ideal dengan dedikasinya mengajar serta serta mereformasi
system pendidikan yang ada disana [3]. Setelah selesai menjalani pendidikan formalnya ia
mengajar di Madrasah Yi Rahimiyyah milik ayahnya, yang kemudian menjadi pemimpin
tunggal di Madrasah tersebut setelah kemangkatan ayahnya, pada tahun 1131 H / 1719 M.
dua belas tahun setelah ayahnya wafat atau pada tahun 1143 H / 1731 M ia menunaikan
ibadah hajinya yang pertama, serta tinggal disana (Makkah dan Madinah) selama kurang
lebih 14 bulan lamanya. pengalaman tinggal disana (Haramain) telah memberinya
pengalaman secara langsung dengan berbagai madzhab intelektual maupun hukum Islam,
yang membuatnya menyempatkan diri untuk menjalankan ibadah hajinya yang kedua pada
tahun 1144 H / 1732 M, serta kembali ke kampung halamannya setahun kemudian ,yaitu pada
tahun 1145 H / 1733 M [4].

Sepulangnya kekampung halamannya ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan


menulis di Madrasahnya (Rahimiah) hingga akhir hayatnya. ia meninggal di Delhi pada
tanggal 29 Muharram 1176 H atau bertepatan dengan 20 agustus 1762 M serta dimakamkan
disana. Masa antara tahun 1144 H / 1732 M  hingga 1176 H / 1762 M adalah masa dimana ia
aktif dalam penulisan karyanya. G.N.Jalbani menegaskan bahwa lebih dari 50 karyanya telah
diterbitkan ketika itu. sumbangan besarnya khususnya dalam bidang filsafat dan metafisika
sangat unik, dalam hal ini ia mencoba untuk merumuskan ulang serta membangun kembali
disiplin-disiplin ilmu tersebut agar sesuai dengan al Quran dan as Sunnah .salah satu wujud
usahanya adalah mencoba untuk mendamaikan dua konsep pemikiran besar yaitu Wahdatul
Wujud Ibnu Arabi serta Wahdatus Suhud Ahmad Sir Hindi yang ia jadikan sebagai fokusnya
yang utama, oleh karna itulah ia terkenal didua sisi, satu sisi Falsafah serta disisi lain
tasawwuf [5].

Umumnya sebagian besar kalangan mutakallimun tak dapat menerima konsep yang telah
dikemukakan oleh Arabi, lahirnya konsep baru Wahdatus Suhud Sir Hindi makin menambah
polemik baru bagi kaum metafisikawan muslim, sehingga kelompok pendukung kedua aliran
ini saling kritik satu sama lain. kehadiran Syah Waliullah yang bersikap netral serta
memberikan solusi penyelesaian antar keduanya telah membawa angin sejuk yang membuat
ketegangan yang terjadi antar kelompok tersebut mereda. ia menyelesaikan pertentangan
tersebut dengan jalan penyelarasan serta penjelasan rasional .ada banyak hal yang menjadi
efek positif dari rekonsiliasi Syah Waliullah dua diantaranya adalah menghasilkan kerukunan
antara kelompok yang bertentangan serta melegitimasi konsep Wahdatul Wujud dikalangan
mutakallimun [6].

Selain menyelesaikan dua aliran tersebut, Ia juga berusaha untuk mendekatkan empat
madzhab fiqh, contohnya adalah tentang komentarnya atas muwattha Imam Malik yang ia
tulis dengan maksud menemukan landasan ortodoks yang sama untuk mendamaikan
madzhab-madzhab fiqh yang berbeda. Sumbangannya yang lain untuk dunia islam selain dari
pada apa yang telah disebutkan diatas ialah usahanya dalam memberikan suatu landasan yang
kuat serta kerja sama timbal balik antara kaum sunni dan Syiah .

Syah Waliullah memiliki banyak karya, bahkan karyanya tersebut dianggap tak tertandingi
oleh pemikir muslim lainnya dalam sejarah muslim India, sesudah maupun setelahnya,
karyanya tersebut dapat dibagi menjadi beberapa Varian. pertama tentang Al Quran termasuk
didalamnya terjemahanya. Kedu  ,mengenai Hadits termasuk didalamnya tafsir kitab Al
Muwattha karya Imam Malik. ketiga, mengenai Fiqh termasuk kitab Insyaf Fi Bayan Asbab
Al Ikhtilaf. keempat, yang berkenaan dengan tasawuf. kelima, tentang Filsafat Islam dan Ilmu
Kalam. terakhir, tentang Syiah dan Sunni yang pada waktu itu memiliki pertentangan yang
terasa tajam ketika itu. selain dari pada itu ia juga memiliki gagasan tentang ilmu ekonomi
dan sosialisme yang bersifat revolusioner, sehingga ia bisa dianggap sebagai pendahulu Karl
Marx [7]. setelah kemangkatannya ,kepemimpinan Madrasah Rahimiyyah diteruskan oleh
keempat putranya ( Syah Abd Aziz, Syah Abd Qadir, Syah Rafi ad Din dan Syah Abd
Ghani ) mereka mencoba untuk menulis karya-karya baru di berbagai bidang keilmuan serta
memberi tambahan kepada apa yang telah diwariskan oleh orang tua mereka.

Madrasah yi Rahimiyyah merupakan satu-satunya pusat pendidikan yang menjadi tempat


penyelesaian urusan-urusan orang muslim khususnya India. hingga akhirnya Madrasah
tersebut dihancurkan oleh Inggris pada tahun 1857 M. akan tetapi tidak juga menghentikan
pergerakan pemikiran para lulusan-lulusannya. 10 tahun kemudian setelah tragedi tersebut,
para lulusannya mendirikan Dar el Ulum di Deoband, maka sekali lagi tradisi intelektual
yang diwarisi Syah Waliullah memulai fasenya yang  baru dibawah naungan para lulusan-
lulusannya [8].

 Madrasah yang didirikan para alumni tersebut secara ketat mengikuti kurikullum yang
diajarkan oleh Madrasah Rahimiyyah baik dalam disiplin maupun metode pengajarannya
,sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Syah Waliullah sebelumnya .akan tetapi perlu
dicatat bahwasanya tidak semua pemikiran Syah di ambil dalam pemikiran Madrasah ini akan
tetapi   hanya bagian tertentu saja, selebihnya madzhab Deobandlah yang mengambil alih
tradisi tersebut seluruhnya .melalui Dar el Ulum inilah pengetahuan tentang Syah Waliullah
menyebar keseluruh anak benua Asia, oleh karna itulah hingga saat ini kelompok keagamaan
di India memperoleh inspirasi intelektualnya serta otorisasi (sanad) mereka dari Syah
Waliullah .

Syah Waliullah dan Pemikirannya

Dari segi intelektualitas ia termasuk ulama yang serba bisa ,ia tidak hanya dikenal sebagai
ahli fiqh saja, akan tetapi juga dikenal sebagai mufassir, muhaddits serta seorang sufi
pembaharu. predikat yang layak disandang olehnya tak terlepas dari pada buah karyanya
yang telah ia produksi sepanjang hidupnya, yang ditulisnya dalam bahasa Arab serta sebagian
lain ditulisnya dalam bahasa Persia .

Dari sejumlah karyanya yang banyak tidak semuanya tersebar keberbagai belahan dunia
Islam. katakan saja sebuah karyanya yang memuat ilmu hakekat hanya menjadi rujukan bagi
orang-orang Indo-Pakistan saja. perlu diketahui bahwasanya ia adalah seorang yang dengan
tegas menolak filsafat dari Yunani, ia adalah seorang penganut tarekat Qadiriyyah,
Chistiyyah serta Naqsyabandiah. dalam dunia Tasawuf ia menyebut dirinya sebagai seorang
Quthb [9] bahkan lebih dari itu ia mengaku mendapat perintah Tuhan untuk menjalankan
misi khusus yang menempatkannya jauh diatas para anggota tarekat yaitu sebagai
penyambung baru hukum islam bukan sekedar pembaharu biasa [10]. ia berpandangan
bahwasanya Allah memberikan ilham lewat bagian yang khusus dari alam semesta, salah
satunya apa yang sering dibicarakan oleh para Sufi dan Filosof yaitu Alam Imajinal (Alam
Mitsal), baginya dunia Imajinal adalah suatu penghubung antara dunia nyata kita dengan
dunia ruh diatas serta berperan sebagai imajenasi jiwa universal (universal soul). dengan
demikian kehendak Tuhan disampaikan lewat para malaikat, warna dan substansi halus dalam
dunia imajinal sebelum menemukan jalan mereka menuju pandangan mistis. bagi Syah
Waliullah tempat yang paling utama dalam dunia Imajinal adalah benteng kesucian atau
Hadarat al Quds yaitu tempat Tuhan mewujudkan dirinya kedalam jiwa manusia sempurna
yang melebur kedalam insan suci (insane Ilahi). selain itu benteng kesucian tersebut juga
berperan sebagai media operasi dan satu kelas elit dalam hiraki malaikat yang rumit dimana
para Nabi dan Mujaddid atau Pembaharu menemukan tuntunannya . [11]

Benteng kesucian tersebut merupakan manifestasi Tuhan yang agung .suatu tindakan
perwujudan Tuhan yang paling besar. hal ini tidaklah begitu penting jika dibandingkan
dengan entitas bayangan Tuhan yang dikatakan Ibnu Arabi sebagai Realitas Muhammad atau
Hakekat Muhammadiyah. Syah Waliullah memberikan penekanan pada gagasan Ibnu Arabi
yang mengatakan bahwa manifestasi diri Tuhan berhubungan dengan bagian khusus hati
manusia yang disebut dengan Mutiara Kegilaan (Gems of Bewilderment) karna cahaya ke
Tuhanan dipantulkan kedalam batin dan pada akhirnya membuatnya gila [12]. Syah
Waliullah juga mengatakan bahwasanya konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi dan Wahdatus
Suhud Ahmad Sir Hindi adalah dua tahapan yang berbeda dalam pengalaman mistis serta
pandangan alternatif alam semesta. dalam pandangan mistik Wahdatus Suhud seluruh maujud
terserap kedalam Tuhan sebagai suatu realitas mutlak yang kemudian menjadi suatu kesatuan
dalam pandangan hingga yang dipandang atau disaksikan hanyalah Tuhan semata atau
kesatuan tersebut tidak sampai mutlak menyatu antara hamba dan Tuhan akan tetapi
mengambil bentuknya sendiri-sendiri dengan mempertahankan sifat masing-masing [13],
sedangkan dalam Wahdatul Wujud ,seorang manusia merasa bahwa Tuhan adalah eksistensi
mutlak sedangkan yang lainnya hanyalah bayangan atau singkatnya yang eksis hanyalah
Tuhan maka tak ada satu wujudpun didunia ini kecuali Tuhan. Waliullah juga memandang
bahwasanya konsep Ibnu Arabi ingin menunjukan betapa berbedanya Tuhan dengan
Makhluknya, hanya saja pendapat Ini disalah artikan oleh para penerusnya. bagi Waliullah
kritik Sir Hindi Terhadap Arabi juga berasal dari kesalah pahaman .

Sekalipun waliullah mengkritik Sir Hindi, namun pengaruh pemikiran yang dibuahkan
olehnya amatlah berpengaruh dalam pandangan Syah Waliullah. pengaruh tersebut tampak
jelas dalam teorinya tentang organ lembut didalam tubuh manusia (sirr). Lima rangkaian
organ yang lebih rendah adalah Hati ,Intelektual serta Jiwa dan Sirr (rahasia), dan lima yang
lebih tinggi yaitu Khafi (tersembunyi), Cahaya Kesucian,Mutiara Kegilaan,Yang Paling
Tersembunyi,Diri Yang Paling Agung. Waliullah juga mengatakan bahwa ayahnya
mengajarkan tehnik meditasi yang berhubungan dengan Sir Hindi serta menggambarkan
lingkaran yang menunjukan beberapa organ lembut yang berhubungan dengan tehnik
tersebut. hingga pada akhirnya Syah Waliullah menjelaskan bahwa pada tingkatan diri
tertinggiu, batin bisa melihat seluruh alam semesta dalam dirinya sendiri [14].

Ijtihad dan Taklid dalam pandangan Syah Waliullah

Ia adalah seorang yang gigih mempertahankan keunggulan akal dan memandang betapa
pentingnya suatu Ijtihad .dalam karyanya Hujjah Allah al Baligah, dia membahas secara rinci
keunggulan akal atas seluruh indera manusia lainnya .dengan tajam ia mengkritik orang-
orang yang mengatakan bahwasanya syariat tidak memiliki dasar rasional, ia tidak sepakat
dengan pernyataan bahwasanya syariat ditaati semata-mata hanya merupakan perintah Tuhan,
baginya akal manusia mampu untuk memahaminya serta dapat mengetahui keuntungan dari
mentaatinya, konsepnya tentang ijtihad inilah yang kelak mengilhami rumusan modernisme
Neo-Mu’tazilah Sayyid Ahmad Khan pada masa belakangan . [15]

Ia juga orang yang sangat tidak menyukai taqlid yaitu mengikuti serta patuh begitu saja
terhadap penafsiran maupun pendapat ulama terdahulu, ia menganggap taklid merupakan
suatu faktor penyebab kemunduran umat Islam serta terjadinya penyelewengan terhadap
ajaran Islam yang murni, ia memandang masyarakat pada umumnya bersifat dinamis.
penafsiran untuk suatu Zaman belum tentu sesuai dengan Zaman sesudahnya, oleh karna
itulah ia menganjurkan untuk diselenggarakannya aktifitas ijtihad .akan tetapi perlu dicatat
bahwa dalam hal ini Syah Waliullah bukan berarti menolak total segala bentuk taklid, karna
ia juga menyadari bahwa hasil ijtihad ulama terdahulu tidak seluruhnya haus akan
pembaharuan atau out of date, jika sebagiannya masih relevan baginya taidaklah menjadi
permasalahan jika dipungut kembali. sebab jika seseorang tidak dapat melakukan ijtihad
misalnya karna keterbatassan waktu, sarana dan perangkat ilmu pengetahuan, maka tidak ada
pilihan baginya kecuali bertaklid. akan tetapi berijtihad disini bukanlah untuk semua orang
akan tetapi hanya bagi mereka yang telah mumpuni pengetahuannya dalam agama serta
memiliki kesempatan, sedangkan bagi mereka yang awam cukup dengan bertaklid saja . [16]

Tentang al Quran dan al Hadits

Di masa Syah Waliullah penerjemahan al Quran kedalam bahasa asing dipandang sebagai
sesuatu yang dilarang, sementara itu pada kenyataanya masih banyak orang di India
membaca al Quran akan tetapi tidak memahami isinya, baginya pembacaan tanpa pengertian
tidak terlalu banyak faedahnya. pada saat itu penerjemahan al Quran kedalam bahasa Persia
sudah layak untuk dipakai oleh kalangan muslim terpelajar akan tetapi hal tersebut
merupakan suatu kebutuhan yang terelakan. oleh karna itulah dengan keberanian Syah
Waliullah mencoba untuk menerjemahkan al Quran kedalam bahasa Persia. awalnya
penerjemahan itu mendapat tantangan akan tetapi pelan-pelan dapat diterima juga oleh
masyarakat. setelah masyarakat mau menerimanya barulah kemudian putranya membuat
terjemahan al Quran dalam bahasa Urdhu, bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat di
India. yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah sikap Syah Waliullah terhadap masalah
asbabun nuzul, baginya tidak ada pemutlakan penggunaan ajaran asbabun nuzul dalam
memahami al Quran. karna bisa jadi keadaan dahulu dan sekarang belum tentu sesuai [17]. ia
juga menekankan akan pentingnya mengetahui latar belakang sosial budaya masyarakat Arab
pada masa turunnya al Quran. Sedangkan dalam bidang Hadits ia menegaskan, bahwasanya
hadits merupakan dasar bagi semua cabang ilmu agama, sebab tidak mungkin mengetahui
syariat tanpa adanya riwayat dari Nabi SAW, serta tak dapat mengetahui riwayat dari
Rasulullah jika tidak mengetahui bagaimana proses riwayat tersebut sejak dari Nabi [18].

Integrasi Tasawuf dan Fiqh

Yang menjadi point terpenting dalam pandangan Syah Waliullah adalah pandangannya
dalam dunia Tasawuf, hal ini bukan sekedar dikarnakan sang tokoh adalah seorang sufi akan
tetapi lebih dari itu beliau adalah sosok yang memberi warna dan corak yang baru dalam
dunia tasawuf pada khususnya .ia adalah seorang sosok yang telah berhasil
mengkompromikan ajaran-ajaran Wahdatul Wujud yang di Nahkodai oleh Ibnu Arabi dengan
ajaran Wahdatus Suhud yang dikepalai oleh Ahmad Sir Hindi. Yang unik disini dan perlu
menjadi catatan bahwasanya Syah Waliullah menyatakan bahwa dalam satu mimpinya
ditunjuk oleh nabi sebagai penengah dalam pertikaian pengikut Wihdat al Wujud dan Wihdat
As Suhud hingga akhirnya keputusannya dapat diterima oleh kedua belah pihak. menurutnya
filsafat Sir Hindi secara esensial sebetulnya sama dengan filsafat Ibnu Arabi hanya saja
keduanya harus diberi presfektif baru, perbedaan keduanya hanya bersifat peripheral saja,
hanya sekedar perbedaan sematik belaka, konsep Al Zhiil (bayangan) yang menjadi ajaran
polemik antar keduanya di tafsirkan oleh Syah hanya sekedar kiasan saja [19].

Waliullah juga mengungkapakan perbedaan antara jalannya para sufi dengan jalannya para
rasul. ia berpandangan bahwasanya ada dua jalan untuk mencapai suatu kebahagiaan,
pertama adalah jalan philosof berketuhanan serta jalannya para sufi yang mendamba Tuhan
yang ia sebut dengan Thariqat al Walayah, sedang yang kedua adalah jalannya para rasul
yang disebut dengan Tharikat an Nubuwah, dalam jalan yang kedua manusia terpaut erat
dengan tuntutan Syariat, ihsan mereka adalah shalat, shaum, zakat. tafakur dalam tarekat
yang kedua ini nyaris terpinggirkan, bagi Syah Waliullah, rasul tidak mempunyai pendapat
atau keterangan yang baik dalam hal ini. lain halnya dengan tarekat an Nubuwah dan
Wilayah yang banyak berisi tentang ajaran serta konsep-konsep. baginya tarikat an Nubuwah
hanya merupakan simbolisasi saja dari thariqatal Walayah untuk mencapai Tuhan . [20]

Selain dalam hal keagamaan yang telah disebutkan diatas tokoh ini juga seorang yang
mengamati perkembangan politik di India ia adalah seorang yang mengobarkan semangat
Jihad dikalangan Muslim India, Dr. Allama Iqal pernah berkata tentangnya “India telah
menghasilkan seorang alim besar yang bernama Ismail dia tidak menghabiskan waktunya
membaca buku serta memberikan fatwa, ia mengorbankan hidupnya untuk Islam serta untuk
perbaikan hilangnya akar islam dan menyerukan jihad melawan orang kafir. tidak diragukan
lagi bahwa buku-buku serta tulisan Syah Waliullah memberikan inspirasi kaum muslim India
untuk semangat berjihad yang kemudian dikomandani oleh Shah Ismail Syahid [21] dua buku
pentingnya Fuyuz al Haramain dan Tafhima Al Ilahiyah merupakan contoh perhatiannya
yang besar terhadap keselamatan umat muslim .

Ide-idenya yang berapi-apiyang kemudian memberikan pengaruh, ketika kelas pembaharu


Muslim muncul di India untuk mengingatkan serta dan menginspirasi kaum muslim untuk
menumpas kejahatan, serta ia pulalah yang telah menyiapkan kaum Muslim India untuk Jihad
yang sebenarnya yakni mendirikan pemerintahan Islam di India. Syah Waliullah yang
pertama  menaburkan bibit-bibit Negara Islam diantara kaum Muslim India serta ia jualah
yang menginspirasikan jihad kepada mereka untuk memperjuangkan hak – haknya [22],
perjuangan ini kelak mencapai bentuknya yang sesungguhnya pada masa Muhammad Ali
JInah dan Sir Muhammad Iqbal .

Anda mungkin juga menyukai