Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Berdasarkan letak geografis, Banten terletak di ujung Barat pesisir Utara Jawa, yang
pernah menjadi sebuah Negara yang secara politik tak terlalu kuat tetapi secara ekonomi
sangatlah kaya. Kesultanan Banten pada awalnya merupakan sebuah wilayah yang
dikuasai oleh Kesultanan Cirebon, pasca runtuhnya tahta Kesultanan Demak sepeninggal
Sultan Trenggana. Setelah tahun 1570, Banten di bawah Sultan Hasanuddin, memisahkan
diri dari Cirebon. Wilayah kekuasaan Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670
meliputi daerah Jayakarta (lepas ke tangan VOC sejak 1619), Banten (seluruh daerah
propinsi Banten sekarang) dan sebagian besar daerah Lampung. Batas daerah kekuasaan
Banten di barat hingga ke perbatasan dengan Kesultanan Palembang, di sebelah timur
berbatasan dengan kota benteng Batavia dan punggung timur gunung Halimun yang
menjadi kekuasaan Mataram sejak Sultan Agung.
Sultan adalah gelar yang diperoleh penguasa Banten dari Turki Utsmani melalui
Syarif Makkah pada tahun 1638. Raja Kesultanan Banten yang dianggap terbesar, adalah
Sultan Ageng Tirtayasa, dia adalah Sultan terlama yang menduduki tahta Banten sejak
tahun 1651 hingga 1682. Akhir kekuasaannya ditandai dengan perebutan kekuasaan dan
intrik-intrik intern mulai merebak di Kesultanan Banten, dengan dampak politik yang
berkepanjangan di antara keluarga raja, serta masuknya intervensi VOC.
Vereenidge de Oost Indische Compagnie (VOC) sejatinya adalah sebuah persekutuan
dagang Hindia Timur yang berdiri pada tahun 1602. Salah satu tujuan utamanya adalah
merebut hegemoni perdagangan dari para raja atau pedagang pribumi. Embrio VOC
sejatinya sudah mulai berdagang di Banten pada tahun 1596 dibawah perusahaan dagang
bernama Compagnie Van Verre, yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Namun ketika
orang Belanda pada pelayaran pertama saat itu sangat buruk, sehingga mereka diusir dari
Banten.VOC kemudian didirikan dan berpusat di Ambon hingga tahun 1619.
Pada dasarnya VOC hanya membatasi diri pada kegiatan perniagaan di Batavia,
namun dalam perkembangan selanjutnya VOC berdiri di antara dua sisi, VOC mulai
merambah ke dalam perpolitikan Kesultanan Banten, sebab yang paling dibutuhkan VOC
adalah monopoli perdagangan terutama di Selat Sunda. Masalah suksesi di Kesultanan
Banten menimbulkan dampak, yaitu datangnya intervensi kekuasaan asing (VOC-
Belanda).
Ketika terjadi perebutan kekuasaan di Kesultanan Banten antara Sultan Ageng
Tirtayasa dengan Pangeran Haji, bantuan VOC terhadap Pangeran Haji dalam memerangi
ayahnya, tentu harus dibarengi oleh konsesi dan kompensasi. Hal ini jelas telah
menyimpang dari garis politik, yang secara gigih diperjuangkan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa yang anti VOC. Terjadinya konflik suksesi serta semboyan devide et impera
oleh VOC, membuat tahta Kesultanan Banten menjadi semakin tergantung dari pihak
VOC yang mensuplai senjata dan personel militer bagi calon raja yang meminta bantuan
kepada VOC.
VOC yang berpusat di Batavia menjadi sangat besar perannya, sebagai pelindung dan
penjaga raja dari pihak-pihak yang ingin menggoyang kekuasaannya, hanya raja yang
mendapat bantuan dan jaminan dari VOC akan tetap bertahan, terbukti hanya putra
mahkota yang mendapat dukungan VOC akan dapat naik tahta. VOC setelah menunggu
hampir 50 tahun, setelah para Sultan Banten melancarkan ekspedisi militer dan gangguan
terus-menerus ke Batavia sejak tahun 1630, akhirnya mendapat kesempatan pada tahun
1680 dan VOC setelah itu berhasil menjadikan raja Banten sebagai “Raja Kompeni”,
yang bertindak dan berhaluan ala Kompeni.
Kekacauan politik di pulau Jawa melawan VOC, dengan banyaknya pemberontakan,
mulai dari pemberontakan Trunojoyo dan Surapati (sejak 1677 hingga 1710) yang
disokong oleh Sunan Mataram Amangkurat III, hampir saja menggoyang VOC di
Kartasura, namun dia dan Surapati akhirnya dikalahkan di Pasuruan oleh pasukan
gabungan Mataram-VOC pada 1710. Banten yang merupakan satu-satunya kekuatan
tandingan yang masih independen membuat VOC bersemangat untuk menguasai
seluruhnya, terutama daerah pantainya. Banten hingga tahun 1680, adalah satu-satunya
daerah di Jawa yang belum dikuasai VOC dan menjadi bandar dagang.
Sejak VOC terusir dari bandar Banten pada tahun 1596. VOC sebenarnya sudah lama
memendam keinginan kembali ke Banten. Kesempatan emas baru muncul ketika terjadi
konflik internal Kesultanan Banten dan strategis VOC menanamkan kekuasaannya di
Banten melalui Sultan Haji (Raja boneka VOC). VOC berpendapat bahwa jika Kerajaan
Banten yang independen, dibiarkan ada penguasa yang anti VOC, pasti akan terus-
menerus menjadi ancaman VOC, namun jika ada penguasa yang saling bersaing
memperebutkan tahta, tentu akan lebih mudah untuk mengontrolnya.
Kesultanan Banten akhirnya dapat ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1684, melalui
dukungan dan intervensinya pada Pangeran Haji (kini bergelar Sultan Haji). Dapat
dikatakan bahwa sejak tahun 1677 hingga 1690, merupakan perang penguasaan dan
pengamanan bandar dagang untuk monopoli perdagangan di Pesisir Jawa oleh VOC.
Peristiwa konflik pada tahun 1680-1684 di Kesultanan Banten adalah konflik yang
pertama, hingga konflik-konflik lainnya menyusul kemudian dalam melawan VOC dan
Pemerintah Kolonial.
Penelitian ini menitik beratkan pada campur tangan atau intervensi VOC terhadap
suksesi raja-raja yang pernah berkuasa di Kesultanan Banten selama kurun waktu
tertentu. Hal ini yang kemudian menjadi sesuatu yang menarik bagi peneliti, untuk
menganalisa bagaimana keterlibatan Kompeni VOC sebagai perusak harmoni dan
perdamaian di Banten.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut: “Bagaimana proses intervensi VOC terhadap masalah suksesi di Kesultanan
Banten?, Bagaimana dampak intervensi VOC terhadap pemerintahan Kesultanan
Banten?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini disesuaikan dengan rumusan masalah di atas, yang terbagi dalam
beberapa poin, yaitu:
1. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan dan mendeskripsikan secara sistematik dan
terstruktur, dalam sebuah peristiwa suksesi Kesultanan Banten yang mendapatkan
pengaruh VOC, serta dampaknya bagi kelangsungan Kesultanan Banten, khususnya
dari tahun 1680 hingga 1684.
2. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan-kebijakan dari seorang penguasa
yang dipengaruhi oleh kekuatan asing yaitu VOC, dalam membangun dan
mempertahankan tahta sebuah kerajaan, yaitu Banten, dalam kurun waktu tertentu.
1.4 Pembatasan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi sejarah politik
Kesultanan Banten. Penelitian ini harus dibatasi dan dirumuskan, untuk menjadi sebuah
penelitian yang terarah dan sitematis. Batasan spasial penelitian ini difokuskan pada
wilayah Kesultanan Banten. Batasan temporalnya dimulai dari 1680 hingga tahun 1684.
Tahun 1680 diambil sebagai tahun awal penelitian karena tahun tersebut adalah, tahun
terjadinya konflik intern dalam suksesi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Pangeran
Haji. Sedangkan tahun 1684 adalah tahun selesainya seluruh proses konflik, yang ditandai
dengan berakhirnya Perang Banten oleh tentara Pangeran Haji yang bekerjasama dengan
VOC.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Diharapkan hasil penelitian sejarah ini, berguna sebagai tinjauan pemikiran dalam
menentukan kegiatan politik negara.
2. Menjadi sumber acuan bagi penelitian selanjutnya, maupun untuk penulisan lain
di bidang yang sama.
3. Memacu para sejarawan muslim lain, yang akan meneliti sejarah Islam, terutama
di bidang politik dan turunannya, khususnya dalam singgungan dengan kekuatan
asing.
1.6 Tinjauan Pustaka
Berbagai karya tulis yang mendeskripsikan tentang Kesultanan Banten sudah banyak
ditemui, baik karya tulis akademik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis dan disertasi,
maupun tulisan populer dalam bentuk artikel dan tulisan bebas, namun karya-karya yang
ada (baik penulis dari dalam dan luar negeri) lebih banyak membicarakan tentang
eksistensi kerajaan dalam bentuk silsilah. Diakui atau tidak, di sisi lain memang telah
banyak tulisan tentang intervensi VOC di dalam masalah suksesi kerajaan dan masalah
monopoli perdagangan. Sejauh ini banyak tulisan yang ada berada dalam tahap deskripsi
naratif saja, belum banyak karya tulis yang menyentuh masalah intervensi kekuatan asing
dalam sebuah peristiwa suksesi, khususnya dalam hal ini adalah penelitian berbentuk
skripsi. Peneliti menganggap perlu untuk diadakan kajian lebih komprehensif, karena
merupakan salah satu celah untuk mengkaji Kesultanan Banten dari sisi politik, terutama
masalah suksesinya.
Adapun salah satu tulisan dalam bentuk pustaka berupa buku, di antaranya: buku
tulisan Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa, dapat dikatakan sebagai rujukan
utama bagi penelitian tentang seorang sultan Banten di abad ke-17. Buku ini lebih
menitikberatkan pada masalah hubungan Banten dengan VOC selama masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa. Faktor utama pembeda dengan penelitian ini adalah masalah
sistematika tulisan, karena, dalam tulisan karya Uka Tjandrasasmita belum terlihat
pembagian bahasan yang jelas, dalam menjelaskan sebuah peristiwa di tahun 1680-1684.
Karya tulis selanjutnya berjudul; Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, karya Nina Herlina Lubis. Buku tersebut menjelaskan bagaimana Banten, sebagai
sebuah tempat berkumpulnya golongan-golongan yang mempengaruhi jalannya
kehidupan di daerah Banten, namun hanya sedikit saja membicarakan masalah perubahan
politik akibat dari intervensi VOC, batasan temporal juga menjadi faktor pembeda yang
utama dari tulisan yang akan dibuat. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, yang ditulis
oleh Heriyanti O. Untoro.Fokus tema yang dikaji dalam buku ini merupakan pembeda
utama. Kajian dalam buku ini ditulis dengan pendekatan ekologis dan arkeologis,
memang dapat diambil sebagai rujukuan, terutama untuk bukti eksistensi Kesultanan
Banten di masa lalu, namun buku ini juga mencakup masa kini. Penelitian ini hanya
terbatas pada peristiwa di tahun 1680 hingga 1684.
Karya lain yang dapat dijadikan tinjauan pustaka adalah karya penulis Barat, yaitu:
C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799, yang
didalamnya mengulas bagaimana perjalanan sejarah VOC di Nusantara, meskipun
bahasan tentang hubungan dan intervensi VOC ke Banten kurang komperhensif, namun
cara pandang VOC sebagai golongan pedagang yang berusaha meraup keuntungan
sebanyak mungkin, patut dijadikan acuan pemikiran. Faktor spasial dan batasan temporal
kiranya menjadi pembeda yang paling utama dari penelitian yang akan dilakukan. Karya
lain adalah tulisan Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara, 1450-1680, adalah karya yang mejelaskan bagaimana runtuhnya
perdagangan orang-orang Asia Tenggara, termasuk Banten, yang runtuh akibat adanya
penetrasi para pedagang Eropa, yang berusaha menguasai perdagangan dan jalur-jalurnya
dengan sistem monopoli.
Karya-karya di atas mewakili sebagian dari beragam karya tulis, baik dari para
sejarawan maupun pengkaji ilmu lain di ranah Kesultanan Banten, yang dijadikan acuan
berfikir untuk membedah masalah suksesi dan konflik beserta dampaknya, terutama celah
kajian yang terfokus pada intervensi asing yaitu VOC.
1.7 Pendekatan dan Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan politik. Pendekatan politik digunakan untuk
memahami struktur kekuasaan, konsep-konsepnya, cara-cara memperoleh, menjalankan
dan mempertahankan kekuasaan. Pendekatan politik pada umumnya membuat pandangan
yang negatif, terutama dengan perspektif dan paradigma yang ada dalam tulisan sejarah,
yang berujung pada konflik dan pertarungan fisik. Salah satu bentuk dari perubahan
struktur dalam pemerintahan adalah suksesi.
Usaha untuk mewujudkan kekuasaan adalah proses untuk memperlihatkan kekuasaan
dan kekuatan seseorang atau kelompok tertentu, dengan segala atribut dan wewenang
yang melekat padanya, dengan maksud untuk mengatur sebuah sistem tertentu, yang telah
disepakati bersama antar berbagai golongan atau kelompok dalam satu ruang. Suksesi
sendiri adalah salah satu proses yang mengisyaratkan terjadinya pergantian kekuasaan.
Kekuasaan sendiri mempunyai makna yaitu; kekuasaan adalah kemampuan untuk
memaksakan kehendak pada orang lain, untuk membuat orang lain melakukan tindakan
seperti yang dikehendaki oleh pemegang kekuasaan itu. Makna pokok kekuasaan itu
terjadi oleh karena kekuasaan itu tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota
masyarakat. Tujuan itulah yang menjadi dasar pergantian kekuasaan yang merupakan
bentuk suksesi.
Sebagaimana yang terjadi pada Kekuasaan Banten, pada kenyataannya konsep
kekuasaan yang seharusnya diterapkan oleh salah seorang pemegang kekuasaan Banten,
baru terlaksana setelah adanya intervensi asing (VOC), dengan mendukung salah satu
pihak. Makna dasar dari kata intervensi adalah suatu campur tangan individu maupun
kelompok dalam urusan yang sebenarnya bukan haknya. Huala Adolf memberikan bentuk
teori intervensi, berupa definisi intervensi sebagai “campur tangan secara diktaktor oleh
suatu negara (kelompok tertentu) terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan
maksud, baik untuk memelihara atau mengubah kondisi, situasi atau hasil komoditas
berupa barang di negara tersebut”. Teori tersebut digunakan oleh peneliti sebagai acuan
berfikir bagi penelitian.
Kondisi politik memainkan peranan yang signifikan terhadap munculnya
intervensi.20 Pada bagian lain Huntington telah menyatakan bahwa, yang menyebabkan
intervensi, di antaranya adalah struktur kelembagaan intern yang karut marut dan juga
ketidakstabilan politik yang terjadi dalam masyarakat. Ketidak stabilan politik pada suatu
pemerintahan tidak hanya akan mengurangi efektivitas pemerintahan, namun juga dapat
mengundang intervensi, hal ini disebabkan intervensi muncul karena suatu dorongan dari
situasi dan kondisi politik yang sedang terjadi. Ibn Khaldun di abad ke14-15, juga telah
menyoroti masalah ini, yaitu bagaimana para penguasa Islam di Asia Barat, Afrika Utara
dan Spanyol, menyandarkan diri pada kekuatan militer dan politik tertentu dalam
menegakkan tahta,21 contohnya adalah dinasti Umayyah pada keluarga Marwan dan
dinasti Abbasiyah pada kekuatan Seljuk.
Masalah intervensi VOC dalam konflik suksesi di Kesultanan Banten adalah masalah
yang unik, berbeda dengan masalah konflik suksesi di Kerajaan Mataram yang menjadi
saingan Banten.Tahta dan profil penguasa Banten tidaklah selemah penguasa Mataram
dalam menghadapi gejolak lokal, yaitu pemberontakan. Pada Kesultanan Banten,
penguasanya kuat dan menolak segala bentuk campur tangan asing, VOC di sini kesulitan
menaklukkan posisi Banten yang independen (walaupun berbagai upaya blokade laut
dilakukan oleh VOC), ketika ada celah untuk menaklukkan Banten sekaligus,
digunakanlah taktik devide et impera untuk melemahkan semua pihak, walaupun VOC
memperlihatkan bahwa dia mendukung tahta salah satu pihak, yaitu Pangeran Haji.
Hingga pada akhirnya Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Haji, kedaulatan dan
independensi Kesultanan Banten telah runtuh, sejak Pangeran Haji meminta bantuan
VOC.
Terdapat dua hal dalam melihat intervensi VOC dalam konflik suksesi di Kesultanan
Banten, yaitu ada tarikan dan dorongan dalam masalah ini, dengan satu tujuan, yaitu
keuntungan dalam proses monopoli perdagangan. Tarikan yang dimaksud di sini, yaitu
masalah upaya penstabilan politik, karena kestabilan politik adalah sebuah jaminan
kepada penguasa lokal untuk tunduk pada kekuatan VOC. Sedangkan yang disebut
dorongan, adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dalam menguasai sumber-
sumber finansial, termasuk penguasaan wilayah. Semua itu diwujudkan dalam berbagai
klausul-klausul perjanjian di akhir proses konflik suksesi.
1.8 Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Menurut Sartono Kartodirdjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat
tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana
yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya22.
Mengingat penjelasan Sartono Kartodirdjo tersebut, maka peneliti memutuskan untuk
menggunakan Pendekatan Politik dalam Studi ini. Pendekatan politik adalah sebuah
pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui bermacam-macam kegiatan dalam sebuah
sistem negara maupun politik. Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan politik adalah
suatu pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki
sosial, pertentangan politik adalah pendekatan dan lain sebagainya. Pendekatan ini
digunakan untuk membahas masalah konflik suksesi di Kesultanan Banten dengan
intervensi VOC.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan tata cara untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan
mengajukannya secara sistematis hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan23. Tujuan dari
penelitian historis adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan
objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi serta mensistensiskan metode
pemecahan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang
kuat24 Yaitu untuk menyelidiki sebab terjadinya intervensi VOC dalam Konflik Suksesi
Di kesultanan Banten. Maka dari itu, langkah langkah penelitian sejarah mencakup
seperti:
a. Heuristik
Heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber primer dan
sekunder.25 Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan
penulisan dan melakukan penelitian (Library Research) dengan merujuk kepada
sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini. Adapun sumber
primer berupa Naskah dan sejenisnya, daghregister (catatan registrasi perdagangan
VOC) dan beberapa salinan perjanjian semasanya serta benda fisik berupa artefak dan
situs. Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku, catatancatatan, maupun artikel-
artikel yang telah ditulis. Penulis juga menggunakan data arkeologis seperti artefak
dan kunjungan lapangan di sekitar daerah situs bekas istana Surosowan Banten dan
Museum Fatahillah Jakarta. Penggunaan data artefak dapat digolongkan menjadi
sumber primer, sumber tersebut digunakan sebagai data utama dengan berbagai
makna arkeologisnya. Data artefak dan kunjungan ke situs kota Banten Lama (bekas
istana Surosowan, Masjid Agung Banten dan benteng Speelwijk) dan Museum
Fatahilla Jakarta. Data tersebut hanya digunakan sebagai data utama untuk
membuktikan benda yang berasal dari peristiwa yang sedang dibahas, yaitu masalah
konflik suksesi di Kesultanan Banten dengan intervensi VOC.
Sumber-sumber sekunder didapat peneliti pada perpustakaan-perpustakaan
dan lembaga resmi milik pemerintah, baik di Perpustakaan pusat UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta selatan, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI Depok.
Sumber-sumber sekunder juga didapatkan dari media cetak dan elektronik, yang
memuat ulasan tentang Kesultanan Banten di masa yang sezaman. Sumber-sumber
yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar adalah sumber sekunder,
penggunaan sumber primer yang tertulis hanya sedikit jumlahnya, hal tersebut
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari peneliti, yang akan
menjadi bagian penghambat jika sumber primer tertulis itu digunakan secara utuh,
terutama soal waktu.
b. Verifikasi
Verifikasi atau kritik sumber, dimana semua sumber telah terkumpul dengan
baik berupa buku, maupun Arsip, penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya.
Dimaksudkan untuk mengidentifikasi keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas)
yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber
(kredibilitas) yang di telusuri melalui kritik intern.
c. Interpretasi
Interpretasi atau pengolahan data dengan analisis dan sintesis terhadap
masalah yang didapat dari data. Interpretasi yang dilakukan oleh peneliti dengan cara,
mengambil inti dari balik maksud tulisan tersebut, seperti contoh yaitu masalah
konsep kekuasaan di Kesultanan Banten. Tulisan-tulisan yang ada tidak secara
eksplisit menyatakan bahwa terdapat dua penguasa dengan kewenangannya masing-
masing di Kesultanan Banten, setelah peneliti melakukan interpretasi data, maka
didapatlah fakta tersebut.
d. Historiografi
Sebagai langkah terakhir dalam penelitian ini adalah historiografi, yakni
penyusunan data menjadi fakta dalam bentuk tulisan, sesuai dengan metode penulisan
yang berlaku saat ini. Langkah yang dilakukan peneliti, yaitu dengan cara memenuhi
kriteria format dalam penulisan hasil penelitian.
1.9 Sistematika Pembahasan
Setiap bagian dalam pembahasan peristiwa sejarah, terbagi menjadi beberapa bahasan
berupa bab dan sub-bab yang tidak mengikat dalam kuantitas, dengan begitu sistematika
pembahasannya akan terlihat.26 Pada bagian pendahuluan biasanya tertuang dalam
proposal penelitian. Pada bagian ini uraiannya berupa latar belakang, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.Bagian ini merupakan landasan pemikiran serta
tata cara dalam proses penelitian sejarah.
Bab II menjelaskan tentang gambaran umum Kesultanan, meliputi kondisi geografis,
politik, ekonomi, agama dan kebudayaannya. Penjelasan ini penting untuk melihat
kondisi Banten dari beberapa aspeknya, karena hal tersebut akan menjadi pengantar
terhadap masalah yang dibahas secara lebih detil dan komprehensif. Selanjutnya, Bab III
menjelaskan tentang bagaimana masalah suksesi kekuasaan raja-raja Banten. Bab ini
terutama menjelaskan bagaimana proses suksesi raja, konflik yang terjadi serta asal mula
masuknya intervensi asing. Penjelasan tersebut berupa proses alih kekuasaan atau suksesi,
yang disertai dengan masalah intervensi dari pihak asing, yaitu VOC. Bab ini
memberipengantar ke bab selanjutnya, yaitu tentang bagaimana masalah konflik tersebut
terjadi dan dampaknya bagi Kesultanan Banten, dituangkan dalam bab IV.
Bab IV merupakan suatu penjelasantentang dampak atau hasil-hasil campur tangan
dari masuknya kekuatan asing terhadap konflik suksesi Kesultanan Banten. Penjelasan ini
berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai akibat yang ditimbulkan dalam bentuk
intervensi. Bagian ini juga menjelaskan hasilnya dari peristiwa tersebut.Bagian di bab ini
menjadi klimaks dari penelitian, setelah itu kesimpulan akan menjadi muara,berupa hasil-
hasil yang dicapai serta bagaimana fakta yang didapatkannya. Bab V merupakan
kesimpulan dari pokok permasalahan dari penelitian,yang merupakan akhir dari proses
penelitian, dan di dalamnya juga terdapat saran untuk penelitian selanjutnya di bidang
yang sama dengan tinjauan yang berbeda.
BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1 Geografis
1. Kondisi Wilayah
Menurut Geertz yang dikutip oleh Hiroyoshi Kano, wilayah di pulau
Jawa terbagi dalam empat bagian dengan bentangan alam serta aktifitas
etnik: (1). Pesisir, (2). Sunda, (3). Kejawen dan (4). Ujung Timur.27
Wilayah Pesisir adalah wilayah yang secara umum dikenal dengan wilayah
di pantai utara pulau Jawa yang dapat dilayari dan dilabuhi oleh kapal,
sebagai tempat aktivitas utama perdagangan maritim yang berorientasi ke
luar. Wilayah Sunda diidentifikasikan sebagai wilayah khusus penduduk
yang berbahasa dan berbudaya Sunda, letaknya di bagian barat pulau Jawa.
Di zaman pra-Islam batas aktifitas etnik dan bahasa Jawa dan Sunda,
terbentang antara bagian barat dan timur sungai Cipamali di bagian utara
dan sungai Citanduy di bagian selatan. Pada bagian timur dari bentang
alam tersebut, terdapat etnik dan bahasa Jawa, sedangkan di bagian
baratnya adalah etnik Sunda. Ciri-ciri geografis bagian wilayah Sunda,
adalah deretan perbukitan dan gunung yang terbentang dari wilayah bagian
barat Banyumas hingga ke wilayah perbatasan bagian selatan Banten.
Wilayah Jawa adalah wilayah yang secara umum dikenal dengan
mayoritas etnis dan berbahasa Jawa, terbentang dari Banyumas di Jawa
Tengah hingga bagian timur gunung Semeru di Jawa Timur. Ujung Timur
adalah daerah yang terletak dari bagian barat gunung Argopuro hingga
selat Bali di timur.
Daerah kekuasaan Banten di Jawa, secara geografis berada di dua
tempat yang sama sekaligus, yaitu daerah Sunda dan Pesisir. Dikatakan
daerah Sunda karena secara geografis dan aktifitas etniknya, dominan
lebih dekat kepada suku Sunda, namun Banten juga dapat dikatakan adalah
wilayah Pesisir (maksud daerah Pesisir seperti yang telah dijelaskan dalam
paragraf sebelumnya) yang berbahasa campuran Jawa, yang secara
geografis terletak di daerah pantai dengan semangat pedagang yang
egaliter. Wilayah Kesultanan Banten meliputi seluruh Propinsi Banten dan
sebagian besar wilayah Lampung saat ini, kecuali wilayah Mataram yang
dibatasi oleh bentang alam berupa gunung Halimun di bagian timur dan
Batavia VOC, yaitu di sedikit bagian pesisir Jayakarta di muara sungai
Ciliwung. Pada sebagian besar wilayah di pulau Jawa yang telah dikuasai
oleh Kerajaan Mataram, aktifitas agraris Kesultanan Banten terbatas pada
wilayah pedalaman yang memang secara geografis cukup subur
dibandingkan daerah pantai. Tanaman pangan sangat sedikit mendominasi
kehidupan ekonomis rakyat Banten, yang menjadi tumpuan adalah
tanaman komersial berupa lada, pala dan rempah-rempah. Aktifitas
ekonomi Banten memang lebih banyak berada di daerah pesisir, yang
menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar rakyat Banten.
Ibu kota Kesultanan Banten selama masa konflik berada di daerah
Karangantu. Daerah yang berada di pantai Utara Jawa dengan
perlindungan dari ganasnya ombak dan badai di musim angin barat,
dengan muara sungai Cibanten sebagai jalan ke luar dan masuk ke pusat
kota Banten Lama. Tanah di sekitarnya terdiri dari batuan kapur dan tanah
liat, yang terbentuk jutaan tahun yang lalu. Vegetasi tanaman pantainya
berupa bakau dan tanaman pelindung lainnya, namun dapat tumbuh
dengan tanah yang tidak subur pada kondisi tersebut. Di daerah selatan
kekuasaan Banten, terdapat hutan lebat di gunung-gunung maupun
pantainya yang sepi, namun tanahnya sangat subur.28 Di pantai bagian
selatan terbentang pantai, yang berbatu karang yang sulit untuk dilabuhi
hingga saat ini, kecuali di beberapa wilayah tertentu.29 Sejak terjadi
perjanjian oleh Sultan Haji pada tahun 1684, wilayah Tangerang di timur
Sungai Cisadane, menjadi bagian dari VOC. Kebanyakan para abdi dan
rakyat selalu lari dan kemudian bermukim di tempat-tempat yang jauh dari
pusat konflik, terutama, karena mereka lebih senang menyingkir ke
gunung-gunung di sebelah selatan yang sulit dijangkau oleh musuh.30
2. Jaringan Transportasi
Jaringan jalan masuk menuju ke pusat ibukota Banten Lama,
terbentang dari timur dan barat. Jaringan jalan dari timur dapat dimasuki
dari Merak, sedangkan dari barat terbentang jalan menuju Batavia di
daerah pantai utara lewat Balaraja dan Tangerang. Jaringan jalan tetap ada
dan masih digunakan hingga pada masa Daendels31, yang ada dalam
jaringan Jalan Raya Pos. Hingga tahun 1552 ibukota Banten berada di
daerah Banten Girang, kemudian ibukota dipindahkan pada tahun 1568 ke
daerah Karangantu, tepat dimana sekarang bekas istana Surosowan berdiri.
Untuk mencapai ibukota Kesultanan Banten dapat ditempuh dengan dua
jalan, yaitu jalan air dan jalan darat.
Perjalanan dari ibukota dan ke pedalaman Banten, dapat menggunakan
cikar yang ditarik dengan kerbau, memakan waktu sekitar dua sampai tiga
hari dari Karangantu hingga ke daerah pegunungan di daerah selatan, yaitu
Lebak. Sedangkan dari Batavia dapat ditempuh selama dua hari dengan
menggunakan kuda.32 Jaringan transportasi sungai, secara alami telah
digunakan sejak zaman purba, terutama di bagian timur, yang dapat
dimasuki hingga pedalaman, yaitu sungai Cisadane dan sungai Ciliwung,
sedangkan di bagian barat umumnya tidak ada yang dapat dimasuki hingga
wilayah pedalaman, kecuali sungai Cibanten, yang dapat dilayari hingga
ke dalam pusat ibukota. Sungai-sungai besar di pulau Jawa umumnya
dapat dilalui dari hulu ke hilir dan sebaliknya dalam jarak tertentu, oleh
kapal-kapal berbobot sedang saat musim hujan.33
2.2 Politik Kesultanan Banten Sebelum Intervensi VOC
1. Daerah Kekuasaan Politik
Perluasan daerah Kesultanan Banten telah dimulai sejak masa Sultan
Hasanuddin, namun hanya terbatas pada ekspedisi kecil, untuk
mengamankan daerah yang telah dikuasai. Perluasan daerah ke Lampung
dari Sultan Hasanuddin, kemudian diteruskan oleh anaknya, yaitu Sultan
Maulana Yusuf dengan menaklukkan kerajaan Hindu terakhir di Jawa
Barat, yaitu Pakuan Pejajaran (Bogor sekarang) pada 1579 yang di bantu
oleh Cirebon. Setelah Sultan Maulana Yusuf wafat, dia digantikan oleh
anaknya, yaitu Sultan Maulana Muhammad, yang mencoba menaklukkan
Palembang pada tahun 1596. Pada pertempuran merebut Palembang, dia
wafat dan digantikan anaknya, yairu Sultan Panembahan Ratu (bergelar
Sultan Abu al-Mufakhir Mahmud Abdul Qadir). Selama masa
Panembahan Ratu, praktis tidak ada usaha penaklukkan lagi, apalagi di
bagian timur, Kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung, mulai
merangsek masuk hingga ke daerah Pakuan dan gerbang Batavia.34
Meskipun tidak ada penaklukkan wilayah lagi, namun Panembahan Ratu
juga berupaya pula untuk menaklukkan Batavia, terutama dia melakukan
ekspedisi-ekspedisi militer berupa gangguan keamanan di luar dinding
Batavia.35
Setelah dia wafat kepemimpinan Kesultanan Banten dipegang oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, pada masanya puncak dari perkembangan
Kesultanan Banten terjadi, terutama dari segi wilayah dan militer. VOC
sebenarnya telah ada dan bertempat di Jayakarta yang menjadi bawahan
Kesultanan Banten (berganti nama menjadi Batavia sejak 1619), namun
sejak masa Sultan Abul Mufakhir atau Panembahan Ratu, Kesultanan
Banten tidak mampu mengusir VOC di Jayakarta. Pada masa Sultan
Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten menjadi penyeimbang geopolitik di
pulau Jawa. Ketika Mataram telah menaklukkan beberapa kota penting di
Jawa seperti Surabaya (1624), Giri dan Blambangan (1635-1638)36 serta
melakukan ekspedisi militer ke Batavia pada tahun 1627 dan 1629,37
melalui Sumedang dan wilayah Ukur,38 Sultan Ageng Tirtayasa
menjadikan Kesultanan Banten selalu melakukan politik bebas aktif
dengan dunia luar.39
Pemberontakan terjadi di Kerajaan Mataram terhadap raja yang tiran,
yaitu melawan Susuhunan Amangkurat I, oleh pasukan pemberontak yang
dipimpin Pangeran Trunojoyo, dengan dukungan Karaeng Galesong yang
merupakan veteran dari Perang Makassar (jatuhnya Kerajaan Gowa-Tallo
dalam Perjajian Bungaya 1669). Tahta Kerajaan Mataram yang bebas
intervensi akhirnya runtuh, sejak itu tahta Mataram selalu didukung oleh
VOC, ditegakkan melalui melalui garnisun VOC di Semarang serta
persetujuan dewan pimpinan VOC di Batavia.40 Kesultanan Banten
beberapa tahun kemudian juga bersiap untuk menghadapi konflik suksesi,
yang mengundang intervensi VOC.
2. Hubungan Diplomatik
a. Hubungan Diplomatik Sultan Ageng Tirtayasa
Hubungan politik dan sosial oleh Kesultanan Banten kepada
(kerajaankerajaan) negara-negara Nusantara di sekitarnya, telah terjalin
dengan baik untuk melawan VOC, maupun takut akan agresi negara
lain seperti Mataram, dalam pengaruhnya dalam militer khususnya dan
sistem sosial pada umumnya (seperti sistem bahasa dan gelar).41
Kerajaan-kerajaan yang mendapat perlindungan Mataram dinyatakan
sebagai negara suzerainty atau vassal, dalam arti apabila negara itu
diserang, maka Mataram bertindak sebagai pelindung. Adapun
kerajaan-kerajaannya yaitu, Palembang, Jambi.42 Sebagai tanda
penyataan dukungannya terhadap perlindungan Mataram, maka
mereka mengirim duta (wakil-wakil) untuk menghadap raja Mataram
tiap beberapa waktu.43 Kerajaan-kerajaan tersebut, praktis menjadi
rival Kesultanan Banten selama kurun abad ke-17.
Pengaruh kekuatan dan diplomasi kepada Turki Utsmani dari
Banten, tampak setelah Sultan Abu al-Mufakhir meminta gelar
Sultannya pada penguasa Mekkah pada tahun 1638. Mekkah dan
Madinah memang saat itu berada di bawah kekuasaan Gubernur
Jendral Turki Utsmani di Jeddah. Pengaruh militer dan gelar
kekhalifahan di dunia Islam memang sangat berpengaruh terhadap
perlindungan negeri-negeri Islam.44 Meskipun disibukkan dengan
urusan konflik dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa tidak lupa
melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan
hubungan persahabatan antara lain dengan Lampung, Bengkulu dan
Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan kerajaan Goa,
dengan sumber rempah-rempah di Maluku, meskipun menurut
perjanjian dengan VOC tidak diperbolehkan namun Sultan Ageng
Tirtayas tetap melakukkannya.45
Untuk meningkatkan kegiatan perniagaan Sultan Ageng
Tirtayasa juga membina hubungan baik dengan negeri-negeri lain,
terutama dengan Negara-negara Islam, seperti Turki, Arab, Persia,
India, Aceh, Ternatem dan Tidore. Tidak lupa pula Sultan Ageng
Tirtayasa mengirimkan surat persahabatan kepada raja Denmark.46
Untuk memenuhi kebutuhan sejata api dan senjata berat lainnya, sultan
mengadakan hubungan dengan Negara Inggris, Portugis, dan Prancis
yang bersedia menjual senjata-senjata yang dibutuhkan Banten, yang
pada saat itu antara Belanda, Inggris, Portugis dan Prancis sedang
terjadi persaingan dagang yang keras. Hubungan Kesultanan Banten
dengan kerajaan Islam di Turki juga berjalan dengan baik, sehingga
orang-orang Banten yang pergi haji pulangnya dapat membawa
senjata-senjata yang di belinya dari Turki Ketika terjadi Perang
Makassar (1663-1669) yang berakhir dengan kekalahan Makassar,
banyak mengirimkan tenaga ahlinya untuk mengabdi pada Sultan
Banten, salah satunya adalah Syeikh Yusuf al-Maqassari. Kerajaan
Minangkabau juga mengadakan hubungan diplomatik di masa sebelum
datangnya VOC, hal tersebut dibuktikan dengan adanya keris yang
diberikan Sultan Munawwar Syah kepada Sultan Hasanuddin.47
b. Hubungan Diplomatik Sultan Haji
Pada tanggal 16 februari 1671 Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat putra pertamanya Abdul Kahar (Pangeran Haji) menjadi
pangeran Anom. Melihat kedekatan Pangeran Haji dengan VOC,
Sultan Ageng Tirtayasa menjadi khawatir dan mengirim Pangeran Haji
untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembalinya Pangeran Haji ke
Banten setelah menunaikan ibadah Hajinya yang kedua kalinya pada
tahun 1676. Kedatangan Pangeran Haji kembali ke Banten di
mafaatkan dengan sebaik-baiknya oleh VOC yang melihat sikap dan
perilaku Pangeran Haji yang lebih senang bersahabat dengan VOC.
Setelah Sultan Ageng pindah dari Surosowan ke Kraton Tirtayasa,
Pangeran Haji memainkan peran penting dalam menjalin hubungan
diplomatiknya dengan VOC. Tahun 1680 Pangeran Haji mengirim
utusan kepada Gubenur Jenderal VOC di Batavia untuk menawarkan
perdamaian yang maksud dan tujuan Pangeran Haji adalah ingin
merebut tahtah kekuasaan Banten seutuhnya di tangan Pangeran Haji.
Perjanjian kerja sama itu disetujuin oleh pihak VOC dengan syarat
yaitu pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC,
kedua, monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus
menyingkirkan Persia, Indiadan Cina, ketiga, Banten harus membayar
600.000 ringgit apabila ingkar janji dan keempat, pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan perdalaman Priangan segera ditarik
kembali.48
Dengan diangkatnya Pangeran Haji menjadi Pangeran Anom,
oleh karena itu Pangeran Haji mempunyai pembantu-pembantunya
sendiri seperti Kiai Ngabeni Naya Wipraya dan Kiai Wijaya Sedana.
Guna ingin memperoleh peralatan perang dan dukungan, pada tahun
1682 Pangeran Haji mengutus dua abdi dalamnya yaitu Kiai Ngabeni
Naya Wipraya dan Kiai Wijaya Sedana ke London untuk melakukan
hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik yang dilakukan Paangeran
Haji gagal karena London melihat Banten sedang diduduki oleh VOC,
dan peralatan perang yang diberikan Charles II di tarik kembali.49
2.3 Ekonomi
1. Aktifitas Perdagangan
Perdagangan erat kaitannya dengan ketersediaan komoditas tertentu
yang dibutuhkan dalam proses jaringan perdagangan. Komoditas utama
dari dan ke pulau Jawa selama abad-abad awal perkembangan Islam dalam
jaringan perdagangan global seperti lada, pala, beras, getah damar dan
kayu. Sebelum masa Islam, raja-raja Jawa sedikit sekali memperhatikan
masalah perdagangan komoditas sebagai diplomasi politik. Masalah agama
selalu lebih diutamakan, terutama pada masa Demak.50 Baru setelah
berkuasanya Sultan Hasanuddin, tidak melihat lagi masalah agama sebagai
penghalang hubungan dagang, dia bahkan berani mengirimkan kapal-kapal
besar ke Jeddah melawan halangan dari Portugis.51
Pada masa Sultan Abu al-Mufakhir, diplomasi perdagangan lada dan
pala dari Lampung serta kayu dari daerah pesisir, dimanfaatkan betul demi
keuntungan politik, VOC bahkan harus selalu bersitegang bila berhadapan
dengan Kesultanan Banten.52 Penyerangan-penyerangan yang dilakukan
oleh Sultan Abu al-Mufakhir ke pinggiran Batavia, jika dilihat dari sisi
ekonomi, maka akan dapat terlihat maksud di baliknya. Penyerangan ke
sekitar daerah Tanah Abang, Ragunan dan Grogol, dimaksudkan untuk
merusak logistik pangan dan menimbulkan teror pada penduduk dan
personil VOC di Batavia, meskipun serangan-serangan itu seringkali
gagal. Pasar-pasar yang ada di seluruh Kesultanan Banten merupakan
pusat kegiatan ekonomi, yang kebanyakan berada di daerah pantai.
Orang-orang Tionghoa merupakan perantara antara VOC, Bali dan
negeri lainnya yang berdagang di seluruh Kasultanan Banten, telah ada
sejak zaman Sultan Hasanuddin, orang-orang Tionghoa menempati posisi
penting dalam perdagangan. Orang-orang Tionghoa bahkan telah
mempunyai tempat khusus yang disebut Pecinan di dalam kota dengan
akses luas pada jaringan ekonomi.53 Komoditas yang diperdagangkan di
pasar-pasar Jawa pada waktu itu, yaitu: kapas mentah, garam, nila,
tembakau, jahe, sutera, porselen dan tikar pandan. Komoditas tersebut
dikuasai oleh pedagang perantara Tionghoa, sekaligus pembuat kapal,
pengurus dan pemelihara pasar serta pembuat senjata. Hak-hak tersebut
didapatkan setelah perjanjian antara VOC dan Mataram pada 1677 dan
Banten di sekitar Tangerang sejak tahun 1684, para Kapten Tionghoa
mendapat untung besar dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
perantara Tionghoa.54 Komoditas candu juga merupakan bisnis yang
sangat menggiurkan dalam hal penghasilan, terutama bagi VOC.55
2. Aktifitas Longistik
Aktifitas pertanian di Kasultanan Banten tidaklah terlalu istimewa dan
tidak terlalu dijadikan sumber utama perekonomian, dalam strategi politik.
Hal utama yang menjadi masalah adalah jumlah penduduk56 yang bekerja
di sektor pertanian, serta kondisi tanah yang tidak mendukung untuk
ditanami padi secara maksimal, terutama di daerah pesisir. Tanaman
komersial seperti tebu, cengkeh, lada dan pala, ditanam di daerah selatan
yang cukup subur, kemudian setelah panen dikirim ke ibukota untuk di
jual, adapula hasil hutan berupa madu dan tanaman pangan seperti
ketimun, kelapa, buncis cabe, gambir dan semangka.57 Ketika blokade
laut oleh VOC, Banten berusaha memenuhi kebutuhan logistiknya melalui
pencetakan sawah baru, dalam laporan seorang pengunjung Belanda ke
Banten pada tahun 1630, dia mengatakan:
“hampir tidak dapat dipercaya mengetahui arus-arus yang sungai mana
saja yang telah mereka bending dan betapa suburnya persawahan yang
mereka miliki dalam dua tahun terakhir, setelah diberi pupuk untuk tujuan-
tujuan ini”.58
Aktifitas pencarian ikan malah menjadi tumpuan hidup orang-orang
Banten, dalam catatan-catatan orang Eropa yang hampir
sezaman,dinyatakan bahwa di pasarpasar di Kesultanan Banten, telah
dijual kulit kerang, kulit penyu dan bermacam-macam hasil laut lainnya.59
Aktifitas perekonomian juga memunculkan orang-orang dengan keahlian
tertentu, misalnya pertukangan, transportasi dan pandai besi.
2.4 Agama
1. Perkembangan Islam
Perkembangan Islam selama berlangsungnya kekuasaan Banten cukup
signifikan, sejak masa Sultan Hasanuddin berkuasa (1570) Islam berusaha
disebarkan hingga ke pedalaman daerah Pasundan. Usaha tersebut tidak
pernah putus, bahkan hingga terjadinya Pemberontakan Petani Banten.60
Ketika perkembangan Islam di Mataram mengalami kemunduran, di
Kesultanan Banten mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Di
Mataram, Sunan Amangkurat I, melihat bahwa ulama dan dunia
pesantrennya, merupakan ancaman serius terhadap tahtanya, akibatnya dia
melakukan pembatasan dengan melucuti kedudukan serta fungsi ulama
dan puncaknya adalah pembantaian terhadap 3000-5000 ulama bersama
keluargnya di alun-alun Plered pada tahun 1670.61 Di Kesultanan Banten
ulama merupakan tulang punggung tahta Kesultanan Banten dan diangkat
derajatnya ke tingkat paling tinggi secara non-formal, beberapa bahkan
menjadi orang kepercayaan Sultan Banten, dengan menjadi hakim di
pengadilan yang menggunakan syariat Islam. Kesultanan Banten adalah
satu-satunya negara di Jawa, yang menggunakan syariat Islam sebagai
dasar untuk memutuskan hukum di pengadilan.62
Kejatuhan tahta Mataram karena resistensinya terhadap para ulama,
namun di Kesultanan Banten, usaha dalam dukunganya yang terbaik bagi
para ulama, membuat tingkat kekuasaan dan kekuatan Kesultanan Banten
tetap terjaga. Haltersebut dapat diketahui dari sosok Syeikh Yusuf al-
Makassari, yang didukung dan mendukung Sultan Ageng Tirtayasa dalam
perjuangannya melawan Kompeni selama konflik suksesi.63 Selama
konflik dan perang yang terjadi pada tahun 1680 hingga 1684, hanya
masjid Agung Kesultanan Banten yang tersisa. Masjid dianggap sebagai
pusaka yang utama bagi umat Islam di Jawa, bahkan ketika banyak pusaka
Kerajaan Mataram kraton Kartasura, yang dibawa bersama Sunan
Amangkurat III ke Sri Langka dalam pembuangannya, Sunan Pakubuwono
I menyatakan dalam kutipan bebas bahwa, “selama masih ada Masjid
Demak dan makam Kadilangu, maka pusaka tanah Jawa masih terus ada”,
hal ini menunjukkan bahwa, simbol-simbol Islam masih terus diperhatikan
oleh para penguasa di Jawa, meskipun sudah dalam pengaruh VOC.64
Dunia Pesantren di Jawa, baik di Mataram maupun di Banten, terus
mengalami perubahan yang signifikan, yang diakibatkan oleh dinamika
internal Kesulatanan Banten serta penetrasi kolonial Barat. Pesantren juga
merupakan pusat perkembangan masyarakat yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat di bidang keagamaan dan sebagai sarana ritus
peralihan dan sosialisasi perkembangan dari dunia luar.65 Menurut Taufik
Abdullah, pesantren adalah tempat untuk membina orang baik yang hidup
dalam lingkungan yang ketat dan disiplin.66
BAB III

PROSES KONFLIK SUKSESI KEKUASAAN DAN MASUKNYA


INTERVENSI VOC

3.1 Perebutan Kekuasaan


1. Konsep Kekuasaan
Banten menganut sistem kerajaan dalam arti kuno, yaitu raja berdaulat atas
rakyatnya, tanpa harus bertanggung jawab pada parlemen atau dewan rakyat,
meskipun raja selalu meminta pertimbangan dalam setiap keputusan penting.
Kesultanan Banten mempunyai konsep suksesi penguasa atau raja, dengan
indikator atau kualifikasi tertentu terhadap calon raja baru. Konsep kekuasaan dan
suksesi seorang calon raja di Kerajaan Banten melalui tiga dasar utama dalam
kualifikasi berupa, pertama, dia harus anak laki-laki dari istri permaisuri. Kedua,
harus dapat persetujuan ulama dan dewan, walaupun dalam kasus Sultan Haji dia
tidak mendapat persetujuan ini. Ketiga, calon raja harus mempunyai arah
kebijakan yang kuat sebagaimana para pendahulunya. Waulaupun tidak ada
udang-undang dasar untuk mengantur masalah pergantian raja.67
Proses suksesi seperti itulah yang menguatkan Kesultanan Banten, Seorang
bangsawan atau pangeran yang diangkat menjadi calon pengganti dari raja
sebelumnya Kesultanan Banten melalui bentuk legitimasi kekuasaan raja di
Kesultanan Banten diwujudkan ke dalam sosok dan kebijakan raja.68 Didalam
konsep suksesi di Kesultanan Banten ini tidak memiliki kekuatan hukum, yang
membuat pewaris tahta bisa dicopot setiap saat. Kekuasaan raja adalah utuh, yang
berarti hanya ada satu penguasa tunggal dan absolut.69 Oleh sebab itulah raja-raja
Banten selalu enggan mengadakan perjanjian yang merugikan kekuasaannya.
Selama proses pergantian kekuasaan di abad ke-17, terdapat 2 pucuk pimpinan di
Kesultanan Banten, yaitu; Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Sultan Sepuh
merupakan pemimpin utama di Kesultanan Banten, dia memegang keputusan
strategis kerajaan berupa; menerima dan mengirim para duta besar dari
Kesultanan Banten ke negara lain dan memutuskan sebuah perjanjian, sedangkan
Sultan Anom hanya bertindak mengurus kegiatan sehari-hari kerajaan, berupa;
pengadilan dan urusan rumah tangga kraton.70
Atas dasar keadaan sistem kekuasaan itulah, maka sumber potensi konflik
mulai muncul, tatkala Pangeran Haji atau Sultan Anom71 secara sepihak
menyatakan telah mengambil alih segala urusan istana, termasuk mengirim utusan
dan mengadakan perjanjian. Hal tersebut terjadi setelah Sultan Ageng Tirtayasa
bermukim di Tirtayasa. Keadaan di istana semakin buruk karena banyaknya
matamata dan penghasut Sultan Anom agar mendapatkan dukungan dari VOC.
Sebagai Sultan Anom yang tidak mempunyai hak atas urusan yang masih menjadi
urusan Sultan Sepuh itulah, maka karena ingin mengadakan perjanjian yang saling
menguntungkan dengan VOC, Sultan Anom berani menyatakan diri bahwa Sultan
Sepuh telah mundur dari tahta Kesultanan Banten, karena telah pindah lokasi
pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu ke Tirtayasa. Inilah konsep
yang menjadi awal konflik suksesi di istana Kesultana Banten.
2. Potensi Konflik Intern Antar Bangsawan Kesultanan Banten
Pandangan VOC terhadap politik (kekuasaan), sebenarnya hanya bersifat
praktis. Legitimasi kekuasaan seorang raja yang berkuasa, hanya tergantung dari
keturunan dari raja sebelumnya. Kekuasaan raja yang dapat menjadi sahabat VOC
itulah yang dapat diterima oleh VOC sebagai bagian dari kekuasaannya.72 Raja di
Jawa adalah seorang tokoh politik sentral yang absolut.73 Memang tidak semua
Pangeran memenuhi kualifikasi sebagaimana telah dijelaskan pada konsep yang
telah dijelaskan pada poin sebelumnya, maka kekuasaan yang ada pada
Kesultanan Banten menjadi sumber potensi konflik dan menimbulkan faksi. Faksi
yang ada terutama berpangkal antara Sultan Sepuh, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa
dan Sultan Anom atau Sultan Haji. Timbulnya faksi tersebut menjadi sebuah
keuntungan yang sangat besar bagi VOC.74
Pada konsep politik di dunia kapitalis Eropa menghasilkan, pertama, kebijakan
dan kedua, tanpa bentuk negara. Kebijakan adalah keputusan negara untuk
mengatur hubungan sosial-produksi dan kedua, mengatur faktor-faktor produksi
dan modal. Sedangkan tanpa bentuk negara berarti, kapitalisme tidak mempunyai
bentuk negara, tidak ada batas-batas geografisnya dan beroperasi di antar negara,
karena melampaui semua batas-batas yang ada.75 Konsep inilah yang dibawa
VOC ke Jawa dalam proses merkantilisnya (perniagaan). Berawal dari kedekatan
Pangeran Anom (Pangeran Haji) kepada VOC. Dia dikirim ayahnya ke Mekkah
pertama kali untuk meneruskan kontak yang telah terjalin ke Turki Utmani pada
tahun 1671, yaitu ketika telah berjalan satu dasawarsa lebih perjanjian damai
antara Kesultanan Banten dengan VOC di tahun 1659.76 Ketika VOC dan Batavia
melihat bahwa Kesultanan Banten merupakan musuh utama yang harus
ditaklukkan, VOC berusaha untuk mendekati Pangeran Haji, yang dikenal
bersahabat dengan VOC agar terus menjadi sahabat VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa yang risau akan bahaya VOC, selalu berusaha untuk
menghindari Kesultanan Banten dari pengaruh VOC, terutama pada diri Pangeran
Haji, kemudian mengirim kembali Pangeran haji untuk kedua kalinya ke Mekkah
pada tahun 1674. Ketika Pangeran Haji kembali ke Banten pada tahun 1679,
keadaan di Jawa telah kacau-balau akibat munculnya pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram. Kerajaan Mataram telah jatuh ke dalam pengaruh VOC,
dengan perjanjian yang sangat memberatkan Sunan Amangkurat II. Sultan Ageng
Tirtayasa yang berusaha membantu Pangeran Trunojoyo dalam mengusir VOC,
akhirnya menjadi incaran VOC setelah proses pemberontakan itu berhasil
dipadamkan VOC pada tahun 1679.7
Pangeran Haji yang telah menjadi semakin dekat dengan VOC, akhirnya
dengan mudah dibujuk VOC untuk mengambil alih tahta, apa lagi terdapat isu
bahwa Pangeran Purbaya, yang merupakan saudara muda Pangeran Haji, akan
diserahkan tugas sebagai Sultan Anom karena Pangeran Haji telah melanggar
aturan, yaitu sebagai Sultan Anom, dia malah menjalin hubungan dengan VOC.78
Alasan tersebut menimbulkan ketidak puasan pada diri Pangeran Haji. Akhirnya
Pangeran Haji mengadakan hubungan dengan VOC dan VOC bersedia
membantuanya, namun dengan konsekuensi bahwa dia harus mau menjadi “Raja
Boneka Kompeni”. Meskipun begitu konsesi tersebut dipenuhi oleh Sultan Haji
pada tahun 1682, yaitu ketika dia telah naik tahta yang ditandai dengan
menyerahnya Sultan Ageng Tirtayasa dari arena pertempuran.79 Perang Banten
belum berakhir sebelum Syeikh Yusuf Al-Maqassari dan Pangeran Purbaya benar-
benar menyerah pada VOC di tahun 1684.
3.2 Jalannya Konflik
1. Intrik Politik Dalam Istana Kesultanan Banten
Sepanjang tahun 1677 hingga 1679 ketika keadaan genting di tanah Jawa
masih berlangsung, VOC berusaha membuat intrik di dalam tubuh istana Banten
sendiri, terutama setelah muncul faksi antara pendukung Sultan Ageng Tirtayasa
dengan Pangeran Haji. Tahun 1679 ketika Pangeran Haji datang kembali ke
Banten dari aktifitas hajinya yang kedua kali, VOC di Batavia melihat peluang
tersebut. Melalui anjuran seorang anggota Dewan Hindia yang kemudian menjadi
Gubernur Jendral VOC yang kedua kalinya, Rickloff van Goens, mengirim surat
dan menyatakan pada Heeren XVII di Amsterdam tertanggal 31 Januari tahun
1679:
“Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita, ialah penghancuran dan
penghapusan Banten… Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur-leburkan, atau
kalau tidak, maka Kompenilah yang akan lenyap. 80
VOC mengirim mata-mata dan penghasut dan terus memperhatikan potensi
dari Pangeran Haji yang dekat dengannya. Ketika Pangeran Haji menyatakan diri
sebagai Sultan Banten di bulan Mei tahun 1680, VOC menyatakan akan
melindunginya. Beralihnya singgasana Sultan Ageng Tirtayasa ke Tirtayasa pada
tahun 1680, membuat Pangeran Haji kian berani memanggil dan terus
berhubungan dengan wakil-wakil VOC, beberapa bangsawan tersisa yang menjadi
pendukung Sultan Ageng Tirtayasa, disingkirkan dari jabatannya. Demi menjaga
perdamaian maka Sultan Ageng Tirtayasa mengadakan perundingan dengan VOC
melalui wakilnya Willem Caeff dan Johannes Couper di tahun 1680 (terdapat juga
upaya VOC melalui kedua utusan tersebut untuk terus mengadakan kontak dengan
Sultan Haji). Memang tidak terjadi dan menghasilkan apa-apa dari perundingan
tersebut, karena pasukan Kompeni belum sempurna, sampai akhirnya Sultan
Ageng Tirtayasa mengepung istana untuk menurunkan kewenangan dari Sultan
Haji di tahun 1682.
Ketika dirasakan berkurangnya berbagai gejolak pemberontakan yang terjadi
di bagian timur pada akhir tahun 1680, maka VOC dengan segera dapat
memindahkan dan memusatkan pasukannya untuk menghadapi Banten.81 Sebagai
senjata politik VOC untuk melindungi Sultan Haji. Pasukan tersebut telah
ditempatkan di sekitar Banten, baik dari laut maupun dari darat. VOC yang makin
khawatir dengan masalah Trunojoyo dan kemudian Untung Suropati,82 seorang
budak yang pernah ikut dalam ekspedisi militer pertama VOC ke Banten di tahun
1680, menginginkan solusi yang cepat. Siasat Sultan Ageng untuk mengadakan
perundingan dengan berbagai pihak, termasuk VOC, serta pengiriman diam-diam
ekspedisi militernya untuk membantu pemberontak Trunojoyo, dengan melakukan
gangguan di sekitar wilayah Batavia dan Mataram, yaitu di Karawang, Bogor dan
Cirebon sepanjang tahun 1678-1680.83 Membuat VOC semakin yakin, bahwa
intrik politik yang disebarkan di kalangan bangsawan istana Banten, berupa
hasutan dan mata-mata tidak berguna. Satu-satunya hal adalah langsung
diputuskannya membantu dan mendudukkan Sultan Haji yang pro-VOC pada
tahta Kesultanan Banten, dengan menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa, baik
dengan jalan perang ataupun dengan jalan damai.
2. Perang Terbuka Antar Bangsawan Kesultanan Banten
Sejak tahun 1619 hingga dekade 1720-an perekonomian di Batavia semakin
ramai dengan dominasi orang-orang Tionghoa.84 Sementara perekonomian VOC,
selama pertengahan dekade 1650-an hampir mengalami krisis akibat gangguan
orang-orang Banten. Segera VOC menerapkan kebijakan dengan membatasi
aktifitas dagang ke Banten. Banten menjadi musuh utama dalam perdagangan
VOC dan satusatunya jalan untuk mengalahkannya, adalah dengan politik
intervensinya, baik dengan militer ataupun politik adu domba.85 Setelah melihat
potensi-konflik yang telah di jelaskan pada poin sebelumnya, maka ada sebuah
peristiwa yang menjadi pemicu awal terjadinya perang terbuka antara Sultan Haji
dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tanggal 25 November 1680, Sultan Haji
yang masih menjadi Sultan Anom, mengirimkan utusan ke Batavia,86 untuk
mengucapkan selamat dalam acara pengangkatan Gubernur Jendral Cornelis
Speelman,87 keadaan tersebut menimbulkan kegemparan, karena hal tersebut
menyalahi aturan protokoler di Kesultanan Banten.
Adanya utusan ke Batavia dari Banten dianggap oleh VOC sebagai tanda
hormat dan tunduk dari Banten terhadap VOC. Sultan Haji juga berusaha
mengirim utusan ke London sebanyak 25 orang pada 10 November 1681, untuk
meminta dukungan dan membeli senjata untuk melawan ayahnya. Utusan tersebut
dipimpin oleh Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana.88
Kekecewaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Sultan Haji dan rasa bencinya
terhadap VOC, membuatnya memutuskan untuk mengangkat senjata mengusir
VOC dan menurunkan Sultan Haji dari kewenangannya. Pada bulan Februari
1682 Sultan Ageng Tirtayasa sudah hilang kesabarannya terhadap tingkah laku
dan kewenangan Sultan Haji. Dia mengepung Kraton Surosowan untuk
menurunkan Sultan Haji, namun upaya itu gagal karena dukungan militer VOC.
Sadar akan dukungan intern istana yang sangat kurang, Sultan Haji kemudian
meminta bantuan VOC dengan berbagai konsesi yang ditawarkan oleh VOC.
Sultan Haji dengan mudah menyetujuinya walaupun itu berarti hilangnya
kemerdekaan Banten. Bantuan dan dukungnan VOC membuat tahta Sultan Haji
kuat. Pengepungan istana Surosowan dan penyerangan pasukan Banten terhadap
pasukan VOC, yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa terus dilakukan hingga
bulan Desember 1682. Jatuhnya wilayah Angke hingga Sajira di awal Maret 1683,
membuat Sultan Ageng Tirtayasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerah,
apalagi panglima tentara Banten, Pangeran Kulon telah gugur. Dia dibujuk oleh
Sultan Haji untuk datang ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683,
namun ternyata ditangkap dan dipenjara di Batavia hingga akhir hidupnya di
tahun 1692.89
Perang terbuka masih berlanjut hingga akhir tahun 1683 antara pasukan VOC
yang melindungi Sultan Haji, dengan Pasukan Banten yang dipimpin oleh Syeikh
al-Maqassari, Pangeran Kidul dan Pangeran Purbaya, dengan kekuatan sekitar
5.000 orang. Mereka bergerak ke arah selatan setelah Tirtayasa dan Sajira jatuh ke
tangan pasukan gabungan VOC dan Sultan Haji. Ketiganya bergerilya di sekitar
Bogor dan Cianjur, bahkan mereka telah bergerak ke daerah Mataram, di
Tasikmalaya dan Banyumas. Pasukan yang dipimpin oleh Syeikh Yusuf al-
Maqassari lebih terpusat bergerak ke arah Cirebon. Pada daerah lain yaitu, di
Garut pada 25 September 1683, pasukan pangeran Kidul telah menyerah karena
pimpinannya telah gugur.
VOC dengan pimpinan yang kesulitan mengejar pasukan yang dipimpin oleh
Syeikh Yusuf al-Maqassari, akhirnya mempergunakan taktik kotor, yaitu dengan
menangkap dan menawan putrid Syeikh Yusuf al-Maqassari, yaitu yang bernama
Asma’. Oleh Kapten VOC, van Happel yang bergaya Arab, Syeikh Yususf dapat
dibujuk untuk menyerah pada tanggal 14 Desember 1683. Pada tempat lain
Pangeran Purbaya bergabung dengan pasukan Untung Suropati di daerah Cianjur.
Setelah bertempur selama 1 bulan, akhirnya pasukan Pangeran Purbaya yang
berjumlah 800 orang menyerah. Penyerahan Pangeran Purbaya ditandai dengan
diserahkannya keris miliknya kepada VOC sebagai tandantakluk pada tanggal 6
Februari 1684.
Para pahlawan Perang Banten yaitu Syeikh Yusuf al-Maqassari dan Pangeran
Purbaya, akhirnya diadili di Batavia pada tanggal 12 September 1684. Syeikh
Yusuf al-Maqassari diputuskan dibuang ke Srilangka dan ke Tanjung Harapan,
sedangkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya dipenjara di Kastil Batavia hingga
wafatnya. Itulah akhir dari rentetan peristiwa dari konflik fisik Perang Suksesi
Banten yang ada intervensi VOC dari tahun 1680-1684.90 Pada tanggal 17 April
1684 akhirnya ditanda tangani perjanjian antara VOC dan Kesultanan Banten
dengan 10 pasal dan pembaruan tambahan dari perjanjian di tahun 1659.
Pemberontakan terhadap kekuasaan Sultan dan VOC masih belum berhenti,
apalagi saat rakyat mengetahui, bahwa VOC menekan raja untuk menandatangani.
Sementara kondisi ekonomi daerah pesisir semakin memburuk karena kebijakan
VOC sangat membebani rakyat.91 Akibatnya banyak rakyat memilih untuk
bergabung dengan pemberontak agar terbebas dari beban tersebut.
3.3 Intervensi VOC Dalam Masalah Suksesi di Kesultanan Banten
1. Maksud dan Tujuan
a. Monopoli Perdagangan
Pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda tergabung
dalam satu wadah Perserikatan Maskapai Hindia Timur yang sering disebut
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Fusi atau penggabungan
tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan antar perusahaan Belanda
yang mengakibatkan semakin kecil keuntungan.92 Para bangsawan pedagang
Belanda yang mendirikan VOC, bertujuan untuk menjalankan politik
monopoli rempah-rempah di Nusantara. Hubungan antara VOC dengan
penguasa setempat cukup baik di awal kedatangannya.93 Sistem monopoli
perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional yang berlaku, lagipula
tindakan-tindakan dengan paksaan dan kekerasan menambah kuat sikap
bermusuhan tersebut.
Markas besar VOC berada di Amsterdam. VOC mempunyai
wewenang untuk merekrut personel atas dasar sumpah setia, melakukan
peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan perjanjian-
perjanjian di seluruh Asia.94 Tujuan VOC sebenarnya sederhana dan
ambisius, yaitu suatu monopoli dagang yang absolut, dengan kekuatan
angkatan laut. Komoditas diangkut dengan kapal VOC, yang komoditas
tersebut diambil dengan kesepakatan atau berdasar aturan tertentu. Demi
mencegah perdagangan di luar VOC, aturan yang ketat diberlakukan dan
barang yang dikirim ke Belanda, diatur jumlah dan macamnya.95 Tujuan
VOC untuk menguasai perdagangan di Nusantara, dengan sendirinya
membangkitkan perlawanan pedagang pribumi yang terancam kepentingannya
Di kalangan VOC sendiri, banyak yang menentang penggunaan kekerasan
akibat pelaksanaan dukungan politik tersebut. Namun banyak kenyataan di
lapangan yang mengharuskan VOC melakukan kekerasan militer.
Sejak awal VOC melihat bahwa, dalam jaringan perdagangan di
Indonesia bagian barat dari Indonesia bagian timur, fungsi suatu tempat
tersimpulnya jalur-jalur perdagangan sangat penting. Bagi VOC suatu
penguasaan perdagangan di kawasan itu, menimbulkan keperluan mendesak
untuk mempunyai kedudukan di tempat bertemunya simpul dalam jaringan
perdagangan.96 Waktu VOC mulai kegiatannya di Nusantara, dihadapinya
suatu dunia perdagangan inernasional dengan sistem terbuka. Peraturan jual
beli, proses tawar menawar, penentuan harga mengikuti pola pergerakan pasar.
Perdagangan rempah-rempah menempati kedudukan yang utama, akan tetapi
komoditas lain seperti perdagangan beras, sagu, kain dan sebagainya,
merupakan penunjang dalam kegiatan perdagangan tersebut.97.
Pada masa kekuasaan Jan Pieterszoon Coen, VOC berusaha mencari
pijakan lain di Jawa setelah Jepara sejak masa Panembahan Senopati. Dia
kemudian memilih daerah Jayakarta, karena tiga hal, pertama, karena alasan
geografis, yaitu adanya muara sungai yang airnya mengalir tidak terlalu deras,
kedua, dekat dengan pusat dagang Banten, ketiga, karena penguasanya
memberikan tempat dan adanya penduduk yang akan membantu VOC.98 Pada
1619, setelah mengalahkan Pangeran Wijayakrama, VOC mambangun
benteng pertahanan. Sejak saat itulah VOC memiliki markas besarnya di
Batavia,99 untuk menjadikan kota Batavia sebagai rendezvous atau pusat
simpul perdagangan maritim, dalam operasinya di seluruh Asia.100 Pada
berbagai konflik politik, VOC selalu berada di antara pihak yang bertikai,
dengan politik devide et impera-nya. Hal tersebut mempunyai tujuan dan
maksud tertentu, yaitu untuk menghasilkan “raja kompeni” dari pribumi.101
Setelah tercapai tujuan dan maksud dalam berbagai intervensi politik
di berbagai kerajaan di Nusantara, maka VOC mendapatkan pengakuan,
sebagai tempat untuk “berlindung” dari segala macam gangguan. Tujuan dan
motif utama monopoli perdagangan VOC di Banten adalah menghancurkan
saingan utama VOC dalam perdagangan internasional.102 Prestasi terbesar
Sultan Ageng Tirtayasa bagi Kesultanan Banten, adalah penataan perdagangan
luar negeri. Sultan Ageng Tirtayasa melakukan hubungan perdagangan dengan
pedagang dari Britania, Denmark dan Prancis di pelabuhan-pelabuhannya.
Bantuan yang diterima bangsa Eropa itu, membuat Sultan Ageng Tirtayasa
mulai memperlengkapi kapal-kapalnya sendiri, yang membawa nahkoda asal
Eropa berlayar ke Filipina, Makao, Benggala dan Persia. Saudagar-saudagar
India, Cina dan Arab berkumpul di pelabuhan Banten setelah mereka terusir
dari Malaka dan Makassar. Barang dagang yang dijual di pasar Batavia
sebagian datang dari pelabuhan pesaing di Banten.103
VOC-lah yang menjadi penyebab utama atas jatuhnya tradisi urban dan
kelautan di Asia Tenggara, terutama di Banten. Campur tangan VOC tidak
lebih dari sekedar membantu pihak-pihak yang bertikai. Bukti dari campur
tangan VOC tersebut adalah lenyapnya kelompok pedagang yang dinamis di
wilayah pesisir utara Jawa. Para pedagang asing selain VOC diusir oleh Sultan
Haji atas permintaan VOC pada tahun 1684, dari situlah dimulainya kesurutan
perdagangan dari Kesultanan Banten.
Seorang pejabat VOC seratus tahun kemudian berpendapat:
“Kalau membandingkan Banten di masa lampau, ketika bangsa-bangsa
Eropa baru muncul di Asia, dengan keadaannya yang sangat miskin sekarang,
maka orang harus pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan
dan menghancurkannya lagi sekehendak-NYA. Perdagangan yang terbesar di
Timur itu, kini telah menjadi tempat orang sial”.104
b. Penetrasi Politik
Pada dekade tahun 1630-an, VOC mengalami banyak kemajuan dalam
meletakkan dasar-dasar militer, guna mendapatkan hegemoni perdagangan
atas perniagaan laut di Nusantara umumnya dan Laut Jawa khususnya.105
VOC berhasil menguasai Ambon pada tahun 1605 dan kemudian mendirikan
markas besarnya di Batavia, setelah menghancurkan tempat Pangeran
Jayakarta pada 1619. VOC sudah mulai menyusun rencana, untuk melakukan
suatu kebijakan militer, dengan campur tangan langsung urusan dalam negeri
beberapa negara di Nusantara, untuk mengendalikan kestabilan politik. Setelah
berhasil menahan serbuan Mataram dan Banten pada akhir dekade 1620-an
dan awal 1630-an di Batavia, berturut-turut VOC setelah itu, pada tahun 1641
Malaka Portugis jatuh ke tangannya dan Makassar pada tahun 1669, sebagian
besar wilayah Mataram hingga tahun 1746 dan Banten pada 1684.106
Setelah VOC berhasil mengkonsolidasikan kedudukannya di Indonesia
Timur di tahun 1650, VOC sedang dalam perjalanan menuju suatu kekuasaan
emperium di Nusantara.107 VOC pada abad XVII mempunyai dua pusat
fokus perhatian, pertama, Maluku serta Makassar dan kedua, Jawa. Jawa
sebagai pusat komoditas logistik pangan inilah, kemudian VOC melancarkan
politik intervensinya yang utama. Penetrasi politik di Banten besifat konsesif,
yaitu upaya untuk menundukkan secara politik segala potensi perlawanan dari
Kesultanan Banten terhhadap VOC dan aktifitasnya. Setelah berakhirnya
Perang suksesi Banten di tahun 1684, maka VOC berhasil memaksakan
kehendaknya pada Sultan Haji yang memang pro-VOC. Sebelumnya pada
tahun 1680, yaitu ketika muncul benih-benih perpecahan di Kesultanan
Banten, VOC juga berusaha memaksakan kehendaknya pada Sultan Ageng
Tirtayasa.
VOC takut jika Kesultanan Banten menjadi kuat kembali dan menjadi
pemimpin perlawanan lokal Nusantara terhadap VOC. Pada perjanjian
tertanggal 17 April 1684 yang disepakati oleh Sultan Haji, isinya dapat dilihat
dalam lampiran. Isinya tentu saja menghilangkan kemerdekaan Kesultanan
Banten dan berat sebelah. VOC kini bertindak sebagai tuan di seluruh tanah
Jawa, yang menjadikan VOC bukan lagi pedagang, tetapi penguasa.108
Seorang penulis Belanda, C. De Jong mengemukakan pendapatnya tentang
dampak penetrasi politik VOC di Banten:
“Seorang penguasa yang berusaha mempertahankan kemerdekaan
tanah airnya dari pengaruh asing dan monopolinya, yang jatuh karena
keteguhan prinsipnya. Seorang raja merdeka terakhir di Jawa”.109
2. Operasi Militer VOC
a. Perlindungan terhadap Tahta Sultan Haji
Ketika laksamana Cornelis Speelman, yang menjadi komandan militer
VOC di Nusantara diangkat menjadi Gubernur Jendral VOC di Batavia, dia
langsung memutuskan untuk menaklukkan Kesultanan Banten, dengan atau
tanpa kekuatan militer.110 VOC selalu dihadapkan pada dua pilihan, menjadi
pedagang atau menjadi penguasa. Pedagang dan penguasa sekaligus ternyata
tidak dapat dihindari karena keadaan yang terjadi di lapangan, menuntut dan
menarik dalam pusaran politik untuk mengendalikannya, terutama kepada
Kesultanan Banten, agar tidak menjadi kuat.
Selama hampir 80 tahun sejak 1600-an, fokus perhatian VOC selalu
terpusat pada Jawa. Wilayah seperti kepulauan Timor dan wilayah pusat
garnisunnya yang lain di Nusantara dan Asia menjadi terbengkalai,111 maka
ketika terjadi masalah suksesi di Kesultanan Banten, segera saja diperkuat
dengan mendirikan benteng Speelwijk.112 Pengakuan tahta secara sepihak
oleh Sultan Haji di tahun 1680, menimbulkan kegusaran di pihak Sultan
Sepuh. Pada perngakuan tahta utama oleh Sultan Haji, juga diikuti dengan
pernyataan bahwa Sultan Ageng tirtayasa sebagai Sultan Sepuh, sudah tidak
lagi memegang tampuk kekuasaan dan sudah tidak lagi mempunyai
kewenangan terhadap Kesultanan Banten.
Peristiwa tersebut tentu saja memicu konflik fisik terbuka dengan
Sultan Sepuh dan VOC yang melindungi Sultan Haji. Pada peristiwa
pengepungan istana oleh Sultan Sepuh, Sultan Haji kalah dan menyingkir dan
meminta bantuan VOC. VOC yang telah menyepakati fakta perjanjian dengan
Sultan Haji, menyatakan kesanggupannya untuk melindungi tahta dengan
konsesi tertentu. Ekspedisi militer untuk melumpuhkan Sultan Sepuh di
Tirtayasa menjadi salah satu buktinya. Berakhirnya Perang Suksesi Banten di
tahun 1684, menjadi awal berlakunya perjanjian VOC yang disyaratkan
kepada Kesultanan Banten, dalam pembuktiannya melindungi Sultan Haji.113
Konsekuensi dari keadaan tersebut adalah mulai munculnya praktek
korupsi di kalangan pejabat VOC dan terpusatnya fokus perhatian VOC di
pulau Jawa selama abad ke-17, lalu kemudian menjadi salah satu sebab
kehancuran financial VOC di akhir abad ke 18.114 Praktek korupsi
memperlemah VOC dari dalam dirinya sendiri, sedangkan terpusatnya fokus
kegiatan VOC, terutama dalam bidang militer dan politik, melemahkan
kekuatannya untuk meluaskan perkembangan ke berbagai daerah penghasil
tanaman komersial. Sebelum keadaan tersebut terjadi, VOC merupakan simbol
kekuatan Eropa di Asia, VOC juga meninggalkan warisan wilayah bagi kuku
kolonialisme Belanda di Banten setelah abad ke 19.115
b. Ekspedisi Militer Penaklukan Banten
Persekutuan politik sangat erat kaitannya dengan masalah militer,
terutama sebagai tameng dalam mempertahankan tahta. Hal tersebut terjadi
pada Kesultanan Banten. Ketika kemudian kerajaan Mataram sangat
bergantung pada perllindungan militer VOC, VOC menempatkan para residen
(pejabat) di pusat kerajaan dan daerah-daerah pesisir melalui konsesi yang
telah ditandatangi oleh raja, sebagai kompensasi bantuan militer VOC.
Seluruh konsesi yang ditawarkan VOC setelah selesainya tugas, dengan
terpaksa dituruti oleh Sultan Banten setelahnya, apapun yang diinginkan oleh
VOC. Keadaan tersebut dimulai karena desakan laksamana Cornelis
Speelman, kepada para pejabat tinggi VOC di Batavia sebelum VOC
memutuskan melindungi tahta Sultan Haji, pada pemadaman pemberontakan
Trunoyo. Cornelis Speelman menyatakan kepada pemerintahan di Batavia,
bahwa bantuan VOC dalam penegakkan tahta Sultan Haji di Kesultanan
Banten, akan membuat Kesultanan Banten takluk selama-lamanya.116
Ekspedisi penaklukkan Banten adalah upaya untuk menumpas gerakan
militer, yang dilancarkan oleh para pemimpin pemberontak kekuasaan Sultan
Haji yang dinaungi oleh VOC. Ada tiga posisi ekspedisi militer VOC, yaitu ke
Tirtayasa, dimana Sultan Ageng Tirtayasa memimpin gerakan perang, ke
daerah Priangan Timur, ke wilayah operasi gerilya Pangeran Kidul dan Syeikh
Yusuf al-Maqassari, serta di Priangan Barat, ke wilayah operasi gerilya
Pangeran Purbaya. Operasi militer VOC dalam Perang Suksesi Banten
berakhir, setelah menyerahnya Pangeran Purbaya di Cileungsi pada 6 Februari
1684.117
BAB IV

DAMPAK INTERVENSI VOC TERHADAP KESULTANAN BANTEN

4.1 Runtuhnya Kedaulatan Kesultanan Banten


1. Munculnya Supermasi Politik VOC Terhadap Kekuasaan Banten
Perang Suksesi Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang
didukung VOC, yang berakhir pada tahun 1684, menghasilkan setidaknya satu hal
yang tidak mungkin dapat direbut kembali oleh Kesultanan Banten di kemudian
hari, yaitu kedaulatan politik, terutama masalah hubungan internasional
Kesultanan Banten sendiri. Kedaulatan politik yang merdeka dibutuhkan sebuah
negara untuk berhubungan diplomatik dengan negara lain, dengan status sama rata
dan sejajar, dengan tujuan utama membentuk rasa saling menghargai keadaan dan
perbedaan yang terjadi.118 Ketika Kesultanan Banten menjadi negara bebas,
maka sebagai negara, Kesultanan Banten dapat mengirim, menerima atau menolak
utusan dari negara lain untuk berbagai keperluan, yang sifatnya komersial maupun
nonkomersial, bahkan yang sifatnya religius, seperti permintaan gelar serta
pengakuan bagi Sultan Banten.119
VOC tentu saja sangat terganggu terhadap kebebasan Kesultanan Banten,
karena dengan adanya kebebasan politik tersebut, maka negara atau perusahaan
lain seperti EIC Inggris, yang merupakan saingan berat VOC, akan berusaha
melindungi Kesultanan Banten jika mereka menginginkan keadaan yang sama
dengan VOC. Hal tersebut akan menjadi masalah serius bagi VOC, jika sampai
keadaan buruk itu sampai terjadi. Agar keadaan tersebut tidak sampai terjadi,
maka VOC berusaha agar penguasa Banten mengakui VOC sebagai rekan dan
pelindung kedaulatan mereka, dari negara saingan Banten dan saingan VOC
sendiri.120
Pengakuan politik dari penguasa Banten yang mendukung eksistensi VOC,
membuat VOC secara politis berhak dan akan lebih siap menghadapi saingannya,
yang berusaha merebut dan menguasai Banten. Supremasi politik VOC di Banten
dapat dilihat dengan pengendalian kebijakan hubungan luar negeri selama masa
kekuasaan Sultan Haji. Setelah tahun 1684 dalam klausul perjanjian antara VOC
dan Banten, maka disebutkan bahwa Banten dilarang mengirim utusan tanpa
persetujuan VOC dan seluruh pihak asing selain VOC dilarang berada di Banten
tanpa sepengetahuan VOC.121
Bagi VOC yang masih menjadi pedagang, tindakan politis berupa
perlindungan payung militer, berarti menguasai Banten tanpa perlu mengeluarkan
banyak biaya menghadapi saingannya, jika terlanjur saingan VOC bercokol di
Banten dan kuat seperti VOC. Saingan-saingan VOC tentu saja mendukung pihak
yang mendukung eksistensi mereka di Banten, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.
Biaya yang murah diambil VOC, yaitu dengan mendukung salah satu pihak yang
bertikai. Penguasa Banten lainnya, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa tidak dapat
meminta bantuan pihak lain, karena keadaannya tidak sekuat VOC yang kakinya
telah menancap kuat di pesisir.122
Bantuan VOC terhadap Sultan Haji dalam Perang Suksesi Banten, tentu saja
membuat Sultan Haji akan selamanya mematuhi segala keputusan sepihak dari
VOC. Kesultanan Banten setelah itu menjadi kerajaan bawahan VOC dan tidak
pernah lagi mempunyai kebebasan bertindak. Hingga berakhirnya VOC di tahun
1799, di Banten telah ditempatkan seorang residen untuk mengadakan
perhubungan dengan Batavia. Secara de facto Banten telah masuk dalam rencana
pax-neerlandica yang telah digagas VOC, untuk menjadi salah satu daerah jajahan
di wilayah Hindia-Timur.123
2. Hilangnya Hegemoni Kesultanan Banten Terhadap Ekonomi
a. Perdagangan
Kedaulatan politik sangat penting bagi sebuah negara, sebab
perdagangan bebas hanya dapat terjadi jika negara tersebut dapat dengan
bebas berhubungan dengan negara lain tanpa melalui pihak ketiga. Pihak
ketiga di sini adalah penguasa teratas dari sebuah negara atau wilayah. VOC
setelah tahun 1684, menjadi pihak ketiga dari Banten, karena tindakannya
sebagai penguasa di atas Banten. Kemakmuran Kesultanan Banten sangat
bergantung pada terjadinya proses merkantilisme. Proses merkantilisme tidak
akan terjadi secara konstan dan stabil tanpa adanya dukungan politik.124
Dukungan politik didapatkan dari para bangsawan Banten yang menguasai
pemerintahan.125 Para bangsawan seringkali bertindak sebagai pemberi
modal ataupun pedagang itu sendiri.
Perdagangan bebas lada dan cengkeh telah hilang untuk selamanya
dari pulau Jawa, ketika Banten jatuh ke tangan VOC. Monopoli lada dan
cengkeh yang dijalankan VOC setelah jatuhnya Banten di tahun 1684, ternyata
tidak berarti apa-apa terhadap perdagangan lada dan cengkeh di Hindia
Timur.126 Harga yang ditawarkan oleh VOC ke pasar Eropa, cenderung terus
menurun. Produksi lada dan cengkeh masih terus dikuasai oleh pedagang
gelap Banten di Lampung, dengan mengirimkannya ke Bengkulu-Inggris
melalui jalur darat tanpa harus ke Banten dahulu, lagipula Inggris (EIC) juga
telah berhasil menanam cengkeh di Hindia Barat dan menjualnya langsung ke
Eropa, dengan harga yang lebih murah dari yang ditawarkan oleh VOC.127
Dampak yang lebih buruk bagi Banten adalah hilangnya kebebasan
Banten dalam perniagaan dunia. Ketergantungan Banten pada VOC di bidang
pangan untuk menunjang logistik rakyatnya setelah tahun 1684,
menghancurkan sendi-sendi kemakmuran dan proses merkantilisme bebas
Banten.128 Selama abad ke-17, ketika perdagangan Banten masih bebas,
Banten menikmati kemakmurannya yang luar biasa. Blokade laut VOC tidak
dapat menghentikan kegiatan perdagangan dan ketersedian pangan Banten,
Banten dapat mengatasinya dengan menanam sendiri tanaman pangan untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, tanpa harus bergantung dari impor bahan
pangan.129
Banten bahkan juga dapat menjual berasnya ke luar negeri, tanpa harus
lagi menjualnya pada VOC. VOC juga sangat bergantung pada beras dari
Mataram selama operasinya di akhir dekade abad ke-17. VOC mendapatkan
sumber logistik pangan secara sangat murah dari Mataram setelah tahun
1678,130 sehingga VOC kini tidak lagi bergantung pada impor luar negeri
untuk persediaan beras, walaupun penyediaannya cukup lama karena harus
dikapalkan dahulu ke Batavia. Banten yang juga berusaha menerapkan politik
beras, akhirnya tidak dapat menanggulangi keadaan baik yang telah
didapatkan oleh VOC.131 Pada intinya kehancuran perekonomian bebas
Kesultanan Banten dalam Perang Suksesi tersebut, menjadikan tujuan utama
VOC terhadap Banten telah tercapai. Tanpa harus melalui peperangan terbuka
melawan seluruh kekuatan Banten yang tidak bebas intervensi VOC.
Menghindari pengalamannya dalam Perang Makassar (1660-1669), VOC
berusaha sesedikit mungkin mengeluarkan biaya perang, kalaupun harus ada
biaya yang dikeluarkan, maka pihak yang dibantulah yang harus membayar
semua biayanya.132
b. Kontrol Wilayah
Pada perjanjian tahun 1684, Banten harus melepaskan daerahnya
seperti Tangerang Timur, Priangan Barat dan kepulauan Untung Jawa di
bagian barat Batavia. Daerah-daerah tersebut umumnya adalah jaringan kubu
pertahanan Banten dalam persiapan menghadapi VOC.133 Wilayah-wilayah
yang diduduki oleh VOC dari banten, adalah wilayahwilayah yang strategis
dan memberi keuntungan ganda bagi VOC. Aspek strategis, terutama
berkaitan dengan aspek pertahanan. VOC kemudian mendirikan kubu-kubu
pertahanan di sekitar wilayah Bogor dan Tangerang. VOC terutama
mendirikan sebuah benteng bernama Diamant di pinggir sungai Cisadane di
kota Tangerang.134
Keuntungan lainnya adalah aspek komersial berupa munculnya daerah
perdagangan baru di Tangerang. Sungai Cisadane yang aliran airnya stabil,
membuat kapal-kapal dapat bersandar hingga ke pedalaman untuk mengambil
komoditas yang dihasilkan di pedalaman Priangan Barat. Wilayah lain yang
diambil alih oleh VOC adalah Lampung dan pulaupulau di Selat Sunda.
Lampung sebelumnya adalah sebagai penghasil utama lada bagi Banten,
sedangkan pulau-pulau di Selat Sunda sebagai benteng pertahanan VOC,
untuk mencegah kapal-kapal asing saingan VOC memasuki Banten
kembali.135 Warga Batavia-VOC mulai berani keluar dari dalam kastil,
setelah terjadi kesepakatan damai. Warga Batavia-VOC mulai membuka lahan
perkebunan dan vila-vila peristirahatan di tempat yang agak sejuk, jauh dari
pusat kota Batavia.136 Meskipun telah dicapai kesepakatan-kesepakatan
damai, namun para perusuh Banten selalu membuat kekacauan di sekitar
Batavia.137
4.2 Perubahan Geopolitik di Pulai Jawa
1. VOC Sebagai Penguasa Tunggal di Pulau Jawa
Banten adalah harapan terakhir bagi rakyat di pulau Jawa dalam melawan
dominasi VOC. Kerajaan Mataram di timur sudah jatuh ke tangan VOC setelah
tahun 1677 dan tidak pernah dapat lepas kembali dari tangannya. Pemberontakan
Trunojoyo yang terjadi di Mataram disebabkan karena masa paceklik dahsyat di
pulau Jawa selama dekade akhir abad ke-17 (sejak tahun 1670). Tanaman padi
banyak yang rusak akibat kekeringan dan penguasa Mataram tidak mampu
menanggulangi keadaan tersebut karena tidak siap. Banten lebih siap dalam
menghadapi masa paceklik ini, dengan membangun berbagai saluran irigasi dan
membuka lahan persawahan yang luas.138
Pemberontakan Trunojoyo hampir saja menggoyang VOC di Batavia. Sunan
Amangkurat I yang meminta bantuan VOC, telah kalah telak dalam melawan
pemberontak Trunojoyo. Sultan Ageng Tirtayasa yang melihat peluang, berharap
kemenangan kaum pemberontak melawan Mataram dengan dukungan VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa bahkan mengirimkan ratusan tentaranya ke daerah
Mataram di Karawang dan Cirebon, untuk membantu kaum pemberontak dalam
menahan dan melawan VOC, agar VOC menjadi lemah karena berperang di dua
arah.139 Sungguh disayangkan harapan Sultan Ageng Tirtayasa kepada
pemberontak Trunojoyo, harus pupus karena kekalahan pasukan Trunojoyo
melawan VOC dalam pertempuran di Kediri, di tahun 1678.140 Bantuan yang
diberikan kepada kaum pemberontak menjadi tidak ada gunanya, meskipun begitu
Sultan Ageng Tirtayasa masih dapat menjalin hubungan dengan Cirebon, yang
sudah mulai enggap berada di bawah bayang-bayang Mataram. Sultan Ageng
Tirtayasa bahkan sengaja mengundang pangeran Cirebon untuk datang ke Banten,
sebagai tanda persahabatan di tahun 1680.141
VOC yang berada di sisi lain, sangat geram dengan kelakuan Banten yang
membantu kaum pemberontak Mataram. Setelah selesainya operasi militer di
timur di tahun 1680, VOC terbantu dengan ulah Sultan Haji yang menyatakan diri
menjadi Sultan Sepuh Banten, melangkahi ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
VOC dapat lalu dapat memusatkan kekuatan militernya ke barat, untuk
menghadapi kekuatan Banten di bawah komando Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah
penyerahan terakhir Pangeran Purbaya pada tanggal 6 Februari 1684 dan
penandatanganan pada tanggal 17 April 1684, praktis Banten menjadi bawahan
VOC. Banten tidak pernah dapat lagi bangkit atau melawan hingga pertengahan
abad ke-18, dalam pemberontakan Kyai Tapa.142
VOC menjadi superior di pulau Jawa sepanjang abad ke-17 hingga
pertengahan abad ke-18. Praktis tidak ada lagi lawan serius di pulau Jawa
setingkat negara dalam melawan VOC. Lawan berat VOC hanyalah kaum
pemberontak yang memang sangat menyusahkan, meskipun tidak dapat lagi
mengancam Batavia, baik di darat maupun di laut. Pemberontakan yang terjadi,
jauh dari pusat kegiatan VOC di Batavia, yaitu di Kartasura dan Pasuruan
(pemberontakan Untung Surapati, 1686-1710).143 VOC menjadi penguasa
tunggal pulau Jawa, baik dalam bidang politik maupun dalam ekonomi.144

2. Terbentuknya Persekutuan Politik Terhadap Tahta Banten


a. Konsesi
Perjanjian yang ditandatangani dan disepakati antara Kesultanan
Banten yang diwakili oleh Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April
1684,145 menghasilkan beberapa poin penting, yang diperbarui dari perjanjian
di tahun 1659,146 yaitu:
1) Agar Banten mematuhi kesepakatan yang telah dibuat di tahun 1659,
dengan tambahan menjaga ketentraman di pulau Jawa. Kesepakatan yang
ada, Banten tidak boleh membantu pihak manapun musuh VOC.
2) Agar penduduk Banten dan juga Batavia-VOC tidak boleh melewati tapal
batas yang telah disepakati.
3) Tapal batas disepakati berada di sepanjang timur sungai Cisadane, hingga
ke pesisir selatan Jawa.
4) Kapal milik Banten atau VOC jika mengalami kerusakan di Jawa dan
Sumatera, harus segera ditolong dan dilindungi penumpang maupun
muatannya.
5) Kerugian akibat perampokan dan kerusakan yang terjadi selama periode
perjanjian 1659, hingga berakhirnya Perang Suksesi Banten tahun 1684
sebesar 12.000 rixdaalder, harus diganti oleh Sultan Banten.
6) Setiap pelaku Perang Banten harus dihukum sesuai yurisdiksi VOC,
dimanapun dia berada, baik di Banten maupun di wilayah kekuasaan VOC.
7) Kekuasaan Cirebon tidak dapat lagi diklaim oleh Banten.
8) VOC bebas membayar hutang terhadap Banten dan berbagai macam sewa
yang dibebankan Banten kepada VOC, sebagaimana perjanjian di tahun
1659.
9) Sultan Banten dilarang mengadakan kesepakatan apapun dan dengan pihak
manapun di luar VOC.
10) Seluruh keturunan Sultan Banten harus mematuhi keputusan dan
kesepakatan perjanjian ini.
Kesepakatan ini secara eksplisit menyatakan bahwa VOC harus
melindungi tahta Banten, asalkan Sultan mau menuruti segala kemauan
VOC. Namun kesepakatan ini terutama, membuat Banten kehilangan
kedaulatannya, yaitu masalah kedaulatan hukum dan wilayah kekuasaan.

b. Kopensasi
Kompensasi yang diterima oleh Sultan Banten setelah tahun 1684
hanya perlindungan tahtanya, sedangkan kerugian yang diterimanya tidak
seimbang. VOC mendapat keuntungan yang luar biasa banyaknya. Selama tiga
dekade akhir abad ke-17, daerah kekuasaan VOC terus meluas, di timur VOC
telah mendapatkan Priangan dan sepanjang pesisir Jawa Barat hingga
perbatasan Cirebon dari Mataram, sedangkan di daerah selatan dan barat
diterima dari Banten. Kompensasi yang harus dibayar Banten terhadap
bantuan VOC sangat
memberatkan Banten. VOC berusaha agar Banten tidak mampu
membayarnya, terutama masalah biaya pembayaran ganti rugi selama operasi
militer VOC dalam Perang Suksesi Banten.147 Ketidakmampuan Banten
membayar kompensasi bantuan VOC, akhirnya harus dibayar Banten dengan
cara mengerahkan tenaga rakyatnya untuk menanam dan menyerahkan
hasilnya kepada VOC, dengan bayaran yang murah atau tanpa bayaran sama
sekali.148
Keadaan tersebutlah yang membuat kemakmuran Banten menjadi
lenyap dan akhirnya menjatuhkan kedaulatan ekonomi Banten. seperti telah
disinggung di bab III, bahwa setelah perjanjian tahun 1684, maka Banten
hanya menjadi daerah penghasil komoditas komersial wajib dan pekerja wajib
untuk VOC, tanpa menyisakannya untuk rakyat Banten.

BAB V

PENUTUP

5.1 Keimpulan
Masalah suksesi kerajaan, memang seringkali menimbulkan konflik. Sebab-
sebab konflik dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu karena konsep dan masalah
keinginan salah satu pihak untuk segera dapat menduduki tahta. Embrio masalah
tersebut diperparah dengan adanya kekuatan asing, yang berusaha mengambil
keuntungan. Masalah konflik suksesi Banten antara tahun 1680 hingga 1684,
merupakan salah satu bagian dari masalah tersebut dan penelitian ini berupaya
mengulas hal tersebut. Mengulas pertanyaan di bab awal tentang siapa sajakah yang
terlibat dalam konflik suksesi Banten, bagaimana pengaruh intervensi VOC terhadap
konflik suksesi Banten dan bagaimana dampaknya bagi Banten, maka terdapat
beberapa jawaban.
Jawaban-jawaban yang telah dijabarkan dalam tubuh skripsi di bab tiga dan
empat, dapat diambil kesimpulan, yang merupakan hasil temuan dari penelitian ini.
Adapun hasil-hasilnya adalah, konflik suksesi ini melibatkan tiga pihak, yaitu, Sultan
Ageng Tirtayasa, sebagai pemegang sah kepemimpinan Banten, Sultan Haji, sebagai
pengklaim tahta Banten dan VOC, sebagai pendukung utama Sultan Haji. Konflik
suksesi Banten antara tahun 1680 hingga 1684, menghasilkan jawaban untuk poin
selanjutnya, yaitu masalah sejauh mana intervensi VOC dalam mendukung salah satu
pihak yang bertikai. VOC yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan konsep
kekuasaan Banten, tahu bahwa mendukung pihak Sultan Haji akan
menguntungkannya, salah satu sebabnya, yaitu karena kedekatan Sultan Haji kepada
VOC dan Sultan Ageng Tirtayasa, yang akhirnya mengangkat senjata melawan VOC
dan Sultan Haji. Jawaban untuk pertanyaan ketiga menghasilkan dua poin, pertama,
adalah jatuhnya kedaulatan Banten di bawah bayang-bayang VOC dan keduaa,
hilangnya kemerdekaan Banten dalam dua bidang, yaitu politik dan ekonomi bebas.
Kesimpulan tersebut memang belum seluruhnya menjabarkan jalannya
peristiwa yang terjadi. Namun poin-poin tersebut sedikit banyak menjelaskan,
bagaimana sesungguhnya peristiwa konflik suksesi Banten di tahun 1680 hingga
1684. Peristiwa suksesi Banten menarik untuk diteliti karena, penelitian ini
bermaksud untuk melihat respon dan dampak, dari datangnya kekuatan asing (VOC)
bagi masing-masing pihak yang sedang bertikai.
5.2 Saran
Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat
dan kasih sayang-NYA pada penulis selama masa penelitian. Sholawat serta salam
juga selalu penulis sanjungkan pada baginda Nabi Muhammad SAW, karena dengan
cahaya Islam yang dibawanya, penulis dapat dengan lurus menapaki jalan kehidupan.
Penulis selalu merasa bersyukur karena tulisan hasil penelitian dengan judul;
Intervensi VOC Dalam Konflik Suksesi Di Kesultanan Banten 1680-1684, telah
selesai. Seringkali sejarah Banten hanya dilihat dalam sisi yang sempit, tanpa melihat
makna yang sesungguhnya di balik sebuah peristiwa. Kiranya penelitian ini menjadi
salah satu bagian penutup celah dari kepingan sejarah, yang membentuk sejarah besar
Banten. Semoga para penulis lain yang membaca, dapat menulis dengan lebih baik
dari hasil tulisan penelitian ini.
Penelitian ini tentu saja sangat banyak kekurangannya, baik dari segi kurang
mantabnya penerapan logika berfikir, kealpaan data dan berbagai pengungkapan
dalam tulisan yang seakan mengulang dari bagian sebelumnya, yang membuat tulisan
hasil penelitian ini menjadi terkesan apa adanya, serta tidak ada sesuatu yang baru
yang dihasilkan. Penulis selalu mengharapkan setiap pihak yang membaca, sudi
memberi masukan, saran ataupun malah membuat penelitian sejenis, guna
menyempurnakan dan mengungkapkan sesuatu yang baru, dalam tulisan hasil
penelitian yang mengupas peristiwa sejarah suksesi, baik di Banten maupun di
tempat lainnya.

Anda mungkin juga menyukai