Anda di halaman 1dari 15

Apa itu Al Jarh wa At Ta’dil ?

Oleh webadmin - 4 Mei 2005 7219 0 BERBAGI Facebook


Twitter Pengertian Al-Jarh wat Ta’dil Secara bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim
(dibaca ja); jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata.
Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya. Adapula
yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan
jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi
kehormatan seseorang. Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang
menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits. Adapun ta’dil
secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu
dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh. Asy-
Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah mengatakan bahwa ilmu al-
jarh wat ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi
melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-
lafadz tersebut. (1) Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits
berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan)
hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai
dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri
menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak (2). Mereka
mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih
matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21). Diantara landasan
syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah: Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: í ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíúäó ÂãóäõæúÇ Åöäú ÌÂÁóßõãú ÝóÇÓöÞñ
ÈöäóÈóÃò ÝóÊóÈóíøóäõæÇ Ãóäú ÊõÕöíúÈõæÇ ÞóæúãðÇ ÈöÌóåóÇáóÉò ÝóÊõÕúÈöÍõæúÇ
Úóáóì ãóÇ ÝóÚóáúÊõãú äóÇÏöãöíúäó “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6) Ayat ini adalah dalil
yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang
yang fasik. Dan mafhum3 dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya)
diterima. Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dijadikan dasar (hukum)
tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan): äóÖøóÑó Çááåõ ÇãúÑóÃð ÓóãöÚó
ãöäøóÇ ÔóíúÆðÇ ÝóÈóáøóÛóåõ ßóãóÇ ÓóãöÚó ÝóÑõÈøó ãõÈóáøöÛò ÃóæúÚóì ãöäú
ÓóÇãöÚò “Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami,
kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi
orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR. At-
Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin
Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh At-Tirmidzi: “Hadits
Hasan.”) (4) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (1/83)
mengatakan: “Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau
riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya
kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang mulia ini.”
Kemudian beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut
(meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang
(sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak
tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia akan
menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang tentunya akan
menggugurkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (5) Adapun pembahasan
lebih lanjut tentang kedua perkara ini adalah dalam kitab-kitab mushthalah hadits. Sedangkan
dalam pembahasan ini, kita melihat sisi lain dari penerapan al-jarh wat ta’dil ini dalam
menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam yang mulia ini. Kesempurnaan Syariat
Islam Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membawa risalah sekaligus menutup para Nabi dan Rasul. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: Çáúíóæúãó ÃóßúãóáúÊõ áóßõãú Ïöíúäóßõãú æóÃóÊúãóãúÊõ
Úóáóíúßõãú äöÚúãóÊöí æóÑóÖöíúÊõ áóßõãõ ÇáÅöÓúáÇóãó ÏöíúäÇð “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3) Dengan demikian, siapapun
yang menganggap bahwa manusia itu harus memahami aqidah dan hukum-hukum agama
mereka melalui ilmu lain yang bukan dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah berarti telah melakukan
kedustaan besar. Bahkan ini sama artinya dengan menganggap bahwa agama ini belum
sempurna kecuali dengan pendapat atau pemikiran yang dia lontarkan. Ini adalah sebesar-
besar kedzaliman terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehubungan dengan
hal ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menegaskan: “Barangsiapa yang mengada-
adakan satu bid’ah dalam Islam yang dianggapnya baik, berarti dia menuduh bahwa
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Çáúíóæúãó ÃóßúãóáúÊõ áóßõãú Ïöíúäóßõãú
æóÃóÊúãóãúÊõ Úóáóíúßõãú äöÚúãóÊöí æóÑóÖöíúÊõ áóßõãõ ÇáÅöÓúáÇóãó ÏöíúäÇð
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu), sehingga apa yang dahulu tidak
diakui sebagai agama, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.” (Al-I’tisham 1/64
dalam Al-Luma’ hal. 8) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan pula: “Maka jika
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Dia mencabut ruh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa artinya berbagai pemikiran yang diada-
adakan oleh penggagasnya?! Kalau pemikiran tersebut memang bagian dari agama (ajaran
Islam) –menurut keyakinan mereka– berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan
adanya tambahan dari pemikiran tersebut. Ini jelas menentang Al Qur`an. Kemudian, kalau
pemikiran tersebut bukan bagian dari agama ini –dan kenyataannya memang demikian (ed)–
apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari agama?! (Al-Qaulul
Mufid hal. 38 dalam Al-Luma’ hal. 9) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah ini dengan sebenar-
benarnya, sebagaimana firman-Nya: í ÃóíøõåÇó ÇáÑøóÓõæúáõ ÈóáøöÛú ã ÃõäúÒöáó
Åöáóíúßó ãöäú ÑóÈøößó æóÅöäú áóãú ÊóÝúÚóáú ÝóãóÇ ÈóáøóÛúÊó ÑöÓóÇáóÊóåõ
æóÇááåõ íóÚúÕöãõßó ãöäó ÇáäøóÇÓö “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.”
(Al-Maidah: 67) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan amanah dengan
penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (Al
Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin
(ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti
dia benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan: í ÃóíøõåÇó ÇáÑøóÓõæúáõ
ÈóáøöÛú ã ÃõäúÒöáó Åöáóíúßó ãöäú ÑóÈøößó æóÅöäú áóãú ÊóÝúÚóáú ÝóãóÇ
ÈóáøóÛúÊó ÑöÓóÇáóÊóåõ “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari
Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini: Åöäøóåõ áóãú
íóßõäú äóÈöíøñ ÞóÈúáöí ÅöáÇøó ßóÇäó ÍóÞøðÇ Úóáóíúåö Ãóäú íóÏõáøó ÃõãøóÊóåõ Úóáóì
ÎóíúÑö ãóÇ íóÚúáóãõåõ áóåõãú æóíõäúÐöÑóåõãú ÔóÑøó ãóÇ íóÚúáóãõåõ áóåõãú
æóÅöäøó ÃõãøóÊóßõãú åóÐöåö ÌõÚöáó ÚóÇÝöíóÊõåóÇ Ýöí ÃóæøóáöåóÇ æóÓóíõÕöíúÈõ
ÂÎöÑóåóÇ ÈóáÇóÁñ æóÃõãõæúÑñ ÊõäúßöÑõæúäóåÇó “Sesungguhnya tidak ada seorang
Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan
yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat
ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya
(orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan
yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash
radhiallahu ‘anhuma) Maka tidak ada alasan bagi kita untuk memilah dan memilih sesuatu
dari syariat ini untuk diyakini atau diamalkan, sedangkan yang lain ditinggalkan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: í ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíúäó ÂãóäõæÇ ÇÏúÎõáõæúÇ Ýöí
ÇáÓøöáúãö ßÂÝøóÉð æóáÇó ÊóÊøóÈöÚõæúÇ ÎõØõæóÇÊö ÇáÔøóíúØóÇäö Åöäøóåõ
áóßõãú ÚóÏõæøñ ãõÈöíúäñ “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam
secara keseluruhan dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 208) Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
rahimahullah dalam Tafsir-nya (hal. 94) menerangkan makna Ýöí ÇáÓøöáúãö ßÂÝøóÉð (ke
dalam Islam secara keseluruhan) artinya: Seluruh syariat agama (Islam) ini. Jangan
meninggalkan sebagiannya dan jangan termasuk orang-orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai ilah (yang ditaati, disembah, diibadahi dengan semua jenis peribadatan-
pen). (Yakni), kalau syariat itu cocok dengan hawa nafsunya dia kerjakan, kalau tidak maka
dia tinggalkan. Padahal, yang wajib adalah menjadikan hawa nafsu itu tunduk mengikuti
ajaran syariat Islam yang mulia ini.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Åöäøó
ÇáøóÐöíúäó íóßúÝõÑõæúäó ÈöÇááåö æóÑõÓõáöåö æóíõÑöíúÏõæúäó Ãóäú
íõÝóÑøöÞõæúÇ Èóíúäó Çááåö æóÑõÓõáöåö æóíóÞõæúáõæúäó äõÄúãöäõ ÈöÈóÚúÖò
æóäóßúÝõÑõ ÈöÈóÚúÖò æóíõÑöíúÏõæúäó Ãóäú íóÊøóÎöÐõæúÇ Èóíúäó Ðóáößó
ÓóÈöíúáÇð ÃõæáóÆößó åõãõ ÇáúßóÇÝöÑõæúäó ÍóÞøðÇ “Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian dan
kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 150-151) Kalimat ÃõæáóÆößó åõãõ ÇáúßóÇÝöÑõæúäó
ÍóÞøðÇ (Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya) menegaskan kepada kita
penekanan tentang sifat mereka, sehingga jangan ada yang menyangka keadaan demikian,
artinya mereka berada di antara kekafiran dan keimanan. Dakwah kepada As-Sunnah dan
Tahdzir dari bid’ah Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf
ialah dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama
persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan
dan keselamatan di dunia dan akhirat. As-Sunnah adalah asas persatuan dan sumber
kemuliaan, kekuatan dan kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya
radhiallahu ‘anhum, di mana Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tazkiyah (pujian)
kepada mereka. Bahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat meninggalkan dunia
ini dalam keadaan ridha kepada para shahabatnya. Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta
bimbingan senantiasa ada bersama mereka, di manapun mereka berada. Mereka tidak akan
bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai
kelompok sempalan yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menerangkan: “Tidak boleh ada pembelaan
(wala`, nushrah) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali
kepada para shahabat radhiallahu ‘anhum. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di manapun beliau berada. Begitu pula para
shahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261) Sejumlah nash (dalil) syariat telah menguraikan
anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi acuan
persatuan dan kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada
hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, dan tidak ada
‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan
As-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan dan pemahaman serta ittiba’ (sikap mengikuti).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: áóÞóÏú ßóÇäó áóßõãú Ýöíú ÑóÓõæúáö Çááåö
ÃõÓúæóÉñ ÍóÓóäóÉñ áöãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæ Çááåó æóÇáúíóæúãó ÇúáÂÎöÑó æóÐóßóÑó
Çááåó ßóËöíúÑðÇ “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21) Uswah artinya teladan. Tidak ada teladan (yang
baik) kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada)
beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang dilalui beliau. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Þõáú Åöäú ßõäúÊõãú ÊõÍöÈøõæúäó Çááåó
ÝóÇÊøóÈöÚõæúäöí íõÍúÈöÈúßõãõ Çááåõ æóíóÛúÝöÑú áóßõãú ÐõäõæúÈóßõãú æóÇááåõ
ÛóÝõæúÑñ ÑóÍöíúãñ “Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31) Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima
hingga dia membuktikan dan melapangkan jalannya, yaitu dengan ittiba’ serta tetap
berpegang dengan As-Sunnah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Ketika semakin
banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata
pengakuan cintanya itu… Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Þõáú Åöäú ßõäúÊõãú
ÊõÍöÈøõæúäó Çááåó ÝóÇÊøóÈöÚõæúäöí (Katakanlah: Jika kalian (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku) Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: æóÅöäú ÊõØöíúÚõæúåõ ÊóåúÊóÏõæÇ “Dan jika
kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (6) Dalam ayat ini dengan tegas
dan sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan
langsung dengan ittiba’ kepada Rasul-Nya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan,
penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah Rasul-Nya. Hal ini
ditegaskan pula dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu
‘anhuma, katanya: ßóÇäó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ
ÎóØóÈó ÇÍúãóÑøóÊú ÚóíúäÇóåõ æóÚóáÇó ÕóæúÊõåõ æóÇÔúÊóÏøó ÛóÖóÈõåõ ÍóÊøóì
ßóÃóäøóåõ ãõäúÐöÑõ ÌóíúÔò íóÞõæúáõ ÕóÈøóÍóßõãú æóãóÓøóÇßõãú ÃóãøóÇ ÈóÚúÏõ
ÝóÅöäøó ÎóíúÑó ÇáúÍóÏöíúËö ßöÊÇóÈõ Çááåö æóÎóíúÑó ÇáúåõÏóì åõÏóì ãõÍóãøóÏò
æóÔóÑøó ÇáÃõãõæúÑö ãõÍúÏóËóÇÊõåóÇ æóßõáøó ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi,
marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang) mengomando satu pasukan tentara.
Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’” Beliau berkata pula: ‘Kemudian
sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al
Qur`an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ÃõæúÕöíúßõãú ÈöÊóÞúæóì Çááåö
æóÇáÓøóãúÚö æóÇáØøóÇÚóÉö æóÅöäú ÚóÈúÏðÇ ÍóÈóÔöíøðÇ ÝóÅöäøóåõ ãóäú íóÚöÔú
ãöäúßõãú ÈóÚúÏöí ÝóÓóíóÑóì ÇÎúÊöáÇóÝÇð ßóËöíúÑðÇ ÝóÚóáóíúßõãú ÈöÓõäøóÊöí
æóÓõäøóÉö ÇáúÎõáóÝóÇÁö ÇáúãóåúÏöíøöíúäó ÇáÑøóÇÔöÏöíúäó ÊóãóÓøóßõæÇ ÈöåÇó
æóÚóÖøõæÇ ÚóáóíúåóÇ ÈöÇáäøóæóÇÌöÐö æóÅöíøóÇßõãú æóãõÍúÏóËóÇÊö ÇáÃõãõæúÑö
ÝóÅöäøó ßõáøó ãõÍúÏóËóÉò ÈöÏúÚóÉñ æóßõáøó ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇó áóÉñ “Aku wasiatkan
kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habsyi
(Ethiopia). Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan
melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan
sunnahku dan sunnah para khulafa`ur rasyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia
dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu
sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu) Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: ÐóÑõæúäöí ãóÇ ÊóÑóßúÊõßõãú ÝóÅöäøóãóÇ
åóáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãú ÈößóËúÑóÉö ÓõÄóÇáöåöãú æóÇÎúÊöáÇóÝöåöãú Úóáóì
ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú ÝóÅöÐóÇ ÃóãóÑúÊõßõãú ÈöÔóíúÁò ÝóÃúÊõæÇ ãöäúåõ ãóÇ
ÇÓúÊóØóÚúÊõãú æóÅöÐóÇ äóåóíúÊõßõãú Úóäú ÔóíúÁò ÝóÏóÚõæúåõ “Biarkanlah aku
dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat
sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku
memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang
kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dari sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan kewajiban
mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang menempuh jalan yang
digariskannya dan menjauhi hal-hal yang menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah
dipahami dengan tepat dan dijaga oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para tabi’in. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan
tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, men-tahdzir (menjelaskan akan bahaya)
bid’ah, (melarang) bertetangga dengan ahli bid’ah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu,
dan orang-orang yang berpegang kepada ra`yu (pendapat akal pikiran semata). Perhatikan
sikap ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika dia berkata: “Hati-hatilah dan
jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ra`yunya. Karena sesungguhnya mereka
adalah musuh-musuh As-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak
mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ra`yu mereka, maka mereka
tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni rahimahullah
dalam Sunan dan Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal
Jama’ah) Shahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan: “Ikutilah
(ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya
kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah,
1/327) ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata: “As-Sunnah ialah yang telah digariskan
oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu
untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah) Jelaslah bagi kita bagaimana manhaj salaful
ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah. Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As-Sunnah,
mengikuti jalannya, dan mengajak manusia kepadanya serta men-tahdzir agar menjauhi
orang-orang yang menyelisihinya. Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah
dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Åöäøóåõ áóãú íóßõäú äóÈöíøñ ÞóÈúáöí
ÅöáÇ ßóÇäó ÍóÞøðÇ Úóáóíúåö Ãóäú íóÏõáøó ÃõãøóÊóåõ Úóáóì ÎóíúÑö ãóÇ íóÚúáóãõåõ
áóåõãú æóíõäúÐöÑóåõãú ÔóÑøó ãóÇ íóÚúáóãõåõ áóåõãú æóÅöäøó ÃõãøóÊóßõãú åóÐöåö
ÌõÚöáó ÚóÇÝöíóÊõåÇó Ýöíú ÃóæøóáöåÇó æóÓóíõÕöíúÈõ ÂÎöÑóåÇó ÈóáÇóÁñ
æóÃõãõæúÑñ ÊõäúßöÑõæúäóåÇó “Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku
melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan
memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan
kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang
datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian
ingkari…” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash
radhiallahu ‘anhuma) Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai aspek. Dimulai
dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti
dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya,
yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah. Hal ini ditegaskan oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah yang dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri
hafizhahullah: “Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberi hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus, bahwa perkara
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendakwahkannya dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama,
yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah: a. Perintah beribadah
hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dorongan
terhadap hal ini dan mempunyai sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus
menyatakan kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini. b. Peringatan tentang
bahaya syirik dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersikap tegas dalam
perkara ini dan menunjukkan sikap permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah
(syirik) ini serta menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya. (7) Inilah Al-Islam,
yaitu istislam (tunduk, berserah diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tauhid,
menaati-Nya, dan berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan serta para pelakunya.
Sesungguhnya siapapun yang mempelajari Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu melihat bahwa agama ini dibangun di atas dua
landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir. Ta`shil yakni membentuk prinsip pokok tentang
kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan
manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala: Ýóãóäú íóßúÝõÑú ÈöÇáØøóÇÛõæúÊö æóíõÄúãöäú ÈöÇááåö ÝóÞóÏö
ÇÓúÊóãúÓóßó ÈöÇáúÚõÑúæóÉö ÇáúæõËúÞóì áÇó ÇäúÝöÕóÇãó áóåÇó “Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi
muslim (sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun
kedua prinsip dasar ini. Yaitu kafir (ingkar, menentang) terhadap berbagai bentuk kebatilan
dan semua yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus beriman hanya
kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam uluhiyah (peribadatan),
rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala)8, maupun dalam masalah
asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala). Bahkan, seseorang tidak
pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah atau tuntunan Al-Mushthafa (Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) hingga dia menambahkan adanya sikap hajr
(meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci
mereka. Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada
kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok)
ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan
membentengi aqidah kaum muslimin dari kerusakan. Permasalahan ini sesungguhnya telah
dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya: æóÅöÐóÇ ÑóÃóíúÊó
ÇáøóÐöíúäó íóÎõæúÖõæúäó Ýöíú ÂíÇóÊöäóÇ ÝóÃóÚúÑöÖú Úóäúåõãú ÍóÊøóì
íóÎõæúÖõæúÇ Ýöíú ÍóÏöíúËò ÛóíúÑöåö æóÅöãøóÇ íõäúÓöíóäøóßó ÇáÔøóíúØóÇäõ ÝóáÇó
ÊóÞúÚõÏú ÈóÚúÏó ÇáÐøößúÑóì ãóÚó ÇáúÞóæúãö ÇáÙøóÇáöãöíúäó “Dan apabila kamu
melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu
lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu
sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)9 Al-Imam Asy Syaukani rahimahullah
dalam Fathul Qadir (2/122) menerangkan: “Di dalam ayat ini terkandung nasehat dan
peringatan besar bagi mereka yang mentolerir duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu)
orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikannya kepada hawa
nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak
(mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus
meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.” Kemudian firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: æóÞóÏú äóÒøóáó Úóáóíúßõãú Ýöí ÇáúßöÊÇóÈö Ãóäú ÅöÐóÇ
ÓóãöÚúÊõãú ÂíÇóÊö Çááåö íõßúÝóÑõ ÈöåÇó æóíõÓúÊóåúÒóÃõ ÈöåÇó ÝóáÇó
ÊóÞúÚõÏõæúÇ ãóÚóåõãú ÍóÊøóì íóÎõæúÖõæúÇ Ýöíú ÍóÏöíúËò ÛóíúÑöåö Åöäøóßõãú
ÅöÐðÇ ãöËúáõåõãú “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al
Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian),
tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An-Nisa`: 140) Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
dalam Tafsir-nya (5/418) menerangkan tafsir ayat ini yang maknanya: “Ayat ini menegaskan
wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan.
Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridha (senang) dengan perbuatan
maksiat itu. Sedangkan ridha kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala ini: Åöäøóßõãú ÅöÐðÇ ãöËúáõåõãú {Karena sesungguhnya (kalau
kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka}. Maka siapapun yang duduk
bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama….dan apabila dia
tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak
tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas
keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih
diutamakan…” Semakna dengan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
áóÚóäó Çááåõ ãóäú áóÚóäó æóÇáöÏóåõ æóáóÚóäó Çááåõ ãóäú ÐóÈóÍó áöÛóíúÑö Çááåö
æóáóÚóäó Çááåõ ãóäú Âæóì ãõÍúÏöËÇð æóáóÚóäó Çááåõ ãóäú ÛóíøóÑó ãóäóÇÑó
ÇáÃóÑúÖö “(Semoga) Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga)
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Allah. Dan (semoga) Allah
melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang
merubah patok batas tanah.” Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh
rahimahullah menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan: “Kalau huruf dal dibaca dengan
kasrah (ãõÍúÏöËÇð), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah (ãõÍúÏóËÇð),
artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya dalam bentuk pertama,
melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam
bentuk kedua ini artinya ialah ridha dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya
kalau seseorang ridha terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari,
berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176) Dan kita tahu,
bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat. Karena seorang pelaku maksiat, ada
kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-
sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah,
sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya
itu benar dan merupakan ajaran agama. Oleh karena itulah Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah
mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat. Dari sini, maka tidaklah
pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari
kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-
haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan
dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah. Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala: æóÅöäú ÊõØöÚú ÃóßúËóÑó ãóäú Ýöí ÇúáÃóÑúÖö íõÖöáøõæúßó Úóäú
ÓóÈöíúáö Çááåö “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116) Al-Wala`wa Al-
Bara` Setiap mukmin adalah wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka adalah wali bagi
mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
musuh orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan agar kaum
mukminin berwala` kepada sesama mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan pula
bahwa sikap wala` ini merupakan tuntutan atau konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia
merupakan bagian dari makna kalimat syahadat áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ (Tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Allah). Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan
orang-orang yang bersama beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kita
untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya: ÞóÏú ßóÇäóÊú áóßõãú
ÃõÓúæóÉñ ÍóÓóäóÉñ Ýöíú ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÇáøóÐöíúäó ãóÚóåõ ÅöÐú ÞóÇáõæúÇ
áöÞóæúãöåöãú ÅöäøóÇ ÈõÑóÂÁõ ãöäúßõãú æóãöãøóÇ ÊóÚúÈõÏõæúäó ãöäú Ïõæúäö Çááåö
ßóÝóÑúäÇó Èößõãú æóÈóÏóÇ ÈóíúäóäÇó æóÈóíúäóßõãõ ÇáúÚóÏóÇæóÉõ
æóÇáúÈóÛúÖÂÁõ ÃóÈóÏðÇ ÍóÊøóì ÊõÄúãöäõæúÇ ÈöÇááåö æóÍúÏóåõ “Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan
telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4) Memang, ayat ini adalah anjuran
untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum.
Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah.
Oleh sebab itu para pendahulu kita yang saleh dari kalangan sahabat terang-terangan
menampakkan sikap bara` mereka terhadap bid’ah dan ahlinya. Sebagaimana kita maklumi
hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan: “Sampaikan kepada
mereka (orang-orang Qadari10), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka
berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali.11 Prinsip ini (al-wala‘ wal bara‘) merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ËóáÇËñ ãóäú ßõäøó Ýöíúåö æóÌóÏó Èöåöäøó
ÍóáÇóæóÉó ÇúáÅöíúãÇóäö ãóäú ßóÇäó Çááåõ æóÑóÓõæúáõåõ ÃóÍóÈøó Åöáóíúåö ãöãøóÇ
ÓöæóÇåõãÇó æóÃóäú íõÍöÈøó ÇáúãóÑúÁó áÇó íõÍöÈøõåõ ÅöáÇøó öááåö æóÃóäú
íóßúÑóåó Ãóäú íóÚõæúÏó Ýöí ÇáúßõÝúÑö ÈóÚúÏó Ãóäú ÃóäúÞóÐóåõ Çááåõ ãöäúåõ
ßóãÇó íóßúÑóåõ Ãóäú íõÞúÐóÝó Ýöíú ÇáäøóÇÑö “Tiga hal yang apabila ada pada
seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia
mencintainya melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah
Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke
dalam api.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “…perlu diketahui bahwa seorang
mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzalimi kamu. Dan orang kafir harus kamu
benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar
agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga cinta kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya… Kemudian,
apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan,
sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala` sebatas kebaikan yang ada padanya
dan berhak menerima bara` (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang
ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman,
namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk
mencukupi kebutuhannya. Dan inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka.” (12) Amar
Ma’ruf Nahi Munkar Salah satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara`
ialah amar ma’ruf nahi munkar yang juga penyempurna seluruh prinsip pokok Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya
sebagai karakter para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, sebagai tanda bagi hamba-hamba-Nya
yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Åöäøó Çááåó íóÃúãõÑõ ÈöÇáúÚóÏúáö
æóÇúáÅöÍúÓÇóäö æóÅöíúÊÂÁö Ðöí ÇáúÞõÑúÈóì æóíóäúåóì Úóäö ÇáúÝóÍúÔÂÁö
æóÇáúãõäúßóÑö æóÇáúÈóÛúíö “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang sifat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ÇáøóÐöíúäó íóÊøóÈöÚõæúäó
ÇáÑøóÓõæúáó ÇáäøóÈöíøó ÇáÃõãøöíøó ÇáøóÐöí íóÌöÏõæúäóåõ ãóßúÊõæúÈÇð
ÚöäúÏóåõãú Ýöí ÇáÊøóæúÑóÇÉö æóÇúáÅöäúÌöíúáö íóÃúãõÑõåõãú ÈöÇáúãóÚúÑõæúÝö
æóíóäúåÇóåõãú Úóäö ÇáúãõäúßóÑö æóíõÍöáøõ áóåõãõ ÇáØøóíøöÈÇóÊö æóíõÍóÑøöãõ
Úóáóíúåöãõ ÇáúÎóÈÇóÆöËó “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi
yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157) Ayat ini menerangkan kesempurnaan risalah
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau,
menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mensifati umat ini sesuai dengan sifat Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya: ßõäúÊõãú ÎóíúÑó
ÃõãøóÉò ÃõÎúÑöÌóÊú áöáäøóÇÓö ÊóÃúãõÑõæúäó ÈöÇáúãóÚúÑõæúÝö æóÊóäúåóæúäó
Úóäö ÇáúãõäúßóÑö æóÊõÄúãöäõæúäó ÈöÇááåö “Kalian adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan
beriman kepada Allah..” (Ali ‘Imran: 110) Dan firman-Nya: æóÇáúãõÄúãöäõæúäó
æóÇáúãõÄúãöäÇóÊõ ÈóÚúÖõåõãú ÃóæúáöíÂÁõ ÈóÚúÖò íóÃúãõÑõæúäó
ÈöÇáúãóÚúÑõæúÝö æóíóäúåóæúäó Úóäö ÇáúãõäúßóÑö “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah:
71) Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa umat ini adalah umat
terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena
mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara
sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka.
(13) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Menganjurkan manusia agar
berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan
tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan saleh yang paling
mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan
wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”(Minhajus Sunnah, 5/253) Termasuk amar ma’ruf nahi
munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya
kepada manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Dai yang
mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum
muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana
para salafus saleh membunuh Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari, dan
lain-lain14. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum
seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-
tahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf
nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.”(Majmu’
Fatawa 35/414, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah 2/485) Oleh karena inilah menjadi wajib
untuk menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam
hal pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan
ibadah. (15) Adapun dalil atau acuan dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan
dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap jamaah
kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya.
Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam firman-Nya: í ÃóíøõåÇó ÇáøóÐöíúäó
ÂãóäõæúÇ ßõæúäõæúÇ ÞóæøóÇãöíúäó ÈöÇáúÞöÓúØö ÔõåóÏÂÁó öááåö æóáóæú Úóáóì
ÃóäúÝõÓößõãú Ãóæö ÇáúæóÇáöÏóíúäö æóÇáÃóÞúÑóÈöíúäó Åöäú íóßõäú ÛóäöíøðÇ
Ãóæú ÝóÞöíúÑðÇ ÝóÇááåõ Ãóæúáóì ÈöåöãÇó ÝóáÇó ÊóÊøóÈöÚõæÇ Çáúåóæóì Ãóäú
ÊóÚúÏöáõæúÇ æóÅöäú ÊóáúæõæúÇ Ãóæú ÊõÚúÑöÖõæúÇ ÝóÅöäøó Çááåó ßóÇäó ÈöãÇó
ÊóÚúãóáõæúäó ÎóÈöíúÑðÇ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian
kerjaan.” (An-Nisa`: 135) Al-Layy (memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta,
sedangkan i’radh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian),
demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Lantas bagaimana
mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap
kitman, berlindung di balik kepalsuan sikap politik? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-
Daqqaq rahimahullah bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah setan
yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithan nathiq (setan
yang pintar ngomong, red). (16) Tentunya, tidak diragukan lagi, ghirah (kecemburuan) yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang
diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala inilah yang sebenarnya menjadi motivator baginya
untuk menjalankan kewajibannya ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Åöäøó Çááåó íóÛÇóÑõ æóÅöäøó ÇáúãõÄúãöäó íóÛÇóÑõ æóÛóíúÑóÉõ Çááåö Ãóäú
íóÃúÊöíó ÇáúãõÄúãöäõ ãÇó ÍóÑøóãó Çááåõ Úóáóíúåö “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika seorang mukmin melanggar apa yang diharamkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu) Sehingga, jika setiap kali seorang mukmin yang ingin
memperbaiki satu kekeliruan atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih
bukan saatnya ‘karena orang-orang kafir tengah mengintai kelengahan kaum muslimin’,
lantas sampai kapan orang yang diperingatkan tersebut menyadari kesalahannya dan sampai
kapan orang yang sakit itu akan sembuh, lalu menjadi kuat? Bahkan, bukanlah merupakan
bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu (17) saudaranya dalam
kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan bimbingan secara syar’i. Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ÇäúÕõÑú
ÃóÎÇóßó ÙóÇáöãÇð Ãóæú ãóÙúáõæúãÇð. ÞóÇáõæúÇ: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö åóÐóÇ
äóäúÕõÑõåõ ãóÙúáõæúãÇð¡ ÝóßóíúÝó äóäúÕõÑõåõ ÙóÇáöãÇð¿ ÞóÇáó: ÊóÃúÎõÐõ
ÝóæúÞó íóÏóíúåö “Tolonglah saudaramu yang dzalim atau yang didzalimi (teraniaya).” Para
shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah. Kami jelas akan menolong yang didzalimi, lalu
bagaimana kami menolong saudara kami yang dzalim?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat dzalim.” (Shahih, HR. Al-
Bukhari) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya
amar ma’ruf nahi munkar: ãóËóáõ ÇáúÞÇóÆöãö Úóáóì ÍõÏõæúÏö Çááåö æóÇáúæóÇÞöÚö
ÝöíúåÇð ßóãóËóáö Þóæúãò ÇÓúÊóåóãõæúÇ Úóáóì ÓóÝöíúäóÉò ÝóÃóÕÇóÈó
ÈóÚúÖõåõãú ÃóÚúáÇóåÇó æóÈóÚúÖõåõãú ÃóÓúÝóáóåÇó ÝóßóÇäó ÇáøóÐöíúäó Ýöí
ÃóÓúÝóáöåÇó ÅöÐóÇ ÇÓúÊóÞóæúÇ ãöäó ÇáúãÇóÁö ãóÑøõæúÇ Úóáóì ãóäú
ÝóæúÞóåõãú ÝóÞóÇáõæúÇ: áóæú ÃóäøóÇ ÎóÑóÞúäÇó Ýöíú äóÕöíúÈöäÇó ÎóÑúÞÇð
æóáóãú äõÄúÐö ãóäú ÝóæúÞóäÇó. ÝóÅöäú íóÊúÑõßõæúåõãú æóãÇó ÃóÑóÇÏõæúÇ
åóáóßõæúÇ ÌóãöíúÚðÇ¡ æóÅöäú ÃóÎóÐõæúÇ Úóáóì ÃóíúÏöíúåöãú äóÌóæúÇ æóäóÌóæúÇ
ÌóãöíúÚÇð “Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah
dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah
kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di
bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka
(yang di bawah ini) berkata: ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita
tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’ Maka seandainya orang-orang yang
di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan,
niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas)
menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan
selamatlah semuanya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir
radhiallahu ‘anhu) Dalam hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi kalau
inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan tidak hanya menimpa
pelakunya saja, tetapi seluruh kelompok masyarakat yang diam terhadap kemungkaran
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan kita bahwa azab-Nya tidak hanya
menimpa orang yang dzalim semata: æóÇÊøóÞõæúÇ ÝöÊúäóÉð áÇó ÊõÕöíúÈóäøó
ÇáøóÐöíúäó ÙóáóãõæúÇ ãöäúßõãú ÎÇóÕøóÉð æóÇÚúáóãõæúÇ Ãóäøó Çááåó ÔóÏöíúÏõ
ÇáúÚöÞÇóÈö “Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-
orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
(Al-Anfal: 25) Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah, menerangkan dan membongkar
kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum
muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menerangkan bahwa musuh-musuh Allah ada dua: dari kalangan kuffar (orang-
orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit. Beliau
mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka
mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang
munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi
sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah
(yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala: áóæú ÎóÑóÌõæúÇ Ýöíúßõãú ãÇó ÒóÇÏõæúßõãú ÅöáÇøó ÎóÈÇóáÇð
æóáÃóæúÖóÚõæúÇ ÎöáÇóáóßõãú íóÈúÛõæúäóßõãõ ÇáúÝöÊúäóÉó æóÝöíúßõãú
ÓóãøóÇÚõæúäó áóåõãú “Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak
menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka
di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu
ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka..” (At Taubah: 47) Maka
harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih
hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala`)
kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang
merusak agama ini. Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu
mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya). Bahkan
kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari
pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan
merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’
Fatawa, 28/233) Para ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini
lebih utama. Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumullah,
mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada jihad.” Demikian pula Al-Humaidi,
guru Al-Imam Al-Bukhari yang lain mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini
(ahli bid’ah) yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih aku
sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.” Sehingga dikatakan oleh
Ibnu Hubairah berkaitan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang
(memerangi) orang-orang Khawarij: “Hadits ini menerangkan bahwa memerangi Khawarij
lebih utama daripada memerangi kaum musyrikin. Hikmahnya ialah bahwa memerangi
mereka merupakan bentuk penjagaan terhadap modal pokok Islam. Sedangkan memerangi
kaum musyrikin (ibaratnya seperti) mencari keuntungan. Tentunya, memelihara modal pokok
jauh lebih utama.”(Fathul Bari 12/301 dalam Sittud Durar hal. 119-120) Namun, ada yang
perlu diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ÇÏúÚõ
Åöáóì ÓóÈöíúáö ÑóÈøößó ÈöÇáúÍößúãóÉö æóÇáúãóæúÚöÙóÉö ÇáúÍóÓóäóÉö
æóÌÇóÏöáúåõãú ÈöÇáøóÊöí åöíó ÃóÍúÓóäõ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-
Nahl: 125) Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ÇÐúåóÈÇó Åöáóì ÝöÑúÚóæúäó
Åöäøóåõ ØóÛóì. ÝóÞõæúáÇó áóåõ ÞóæúáÇð áóíøöäÇð áóÚóáøóåõ íóÊóÐóßøóÑõ Ãóæú
íóÎúÔóì “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-
mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44) Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: Åöäøó ÇáÑøöÝúÞó áÇó íóßõæúäõ Ýöíú
ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÒóÇäóåõ “Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada
sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Shahih, HR. Muslim) Jelas di sini betapa
pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga
setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf
dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata
merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/136)
Namun perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita harus diam
terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
menyatakan: “Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang
membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama.
Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik, dan debat
dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan
sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak
lagi berguna. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: í ÃóíøõåÇó ÇáäøóÈöíøõ
ÌÇóåöÏö ÇáúßõÝøóÇÑó æóÇáúãõäÇóÝöÞöíúäó æóÇÛúáõÙú Úóáóíúåöãú “Hai Nabi,
perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka..” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9) Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: íÂ
ÃóíøõåÇó ÇáøóÐöíúäó ÂãóäõæúÇ ÞÇóÊöáõæÇ ÇáøóÐöíúäó íóáõæúäóßõãú ãöäó
ÇáúßõÝøóÇÑö æóáúíóÌöÏõæúÇ Ýöíúßõãú ÛöáúÙóÉð “Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka mendapati
sikap keras dalam diri kalian.” (At-Taubah: 123) Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan
harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala membolehkan berperang dalam masalah ini, sebagaimana firman-Nya:
æóÅöäú ØóÇÆöÝóÊÇóäö ãöäó ÇáúãõÄúãöäöíúäó ÇÞúÊóÊóáõæúÇ ÝóÃóÕúáöÍõæúÇ
ÈóíúäóåõãÇó ÝóÅöäú ÈóÛóÊú ÅöÍúÏóÇåõãÇó Úóáóì ÇúáÃõÎúÑóì ÝóÞÇóÊöáõæúÇ
ÇáøóÊöí ÊóÈúÛöí ÍóÊøóì ÊóÝöíúÁó Åöáóì ÃóãúÑö Çááåö “Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari
kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat:
9) Bahkan terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari kemungkaran
yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang kafir). Kita lihat bagaimana
lembutnya Nabiyullah Musa ‘alaihissalam mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras
terhadap saudaranya Harun ‘alaihissalam di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang hal itu: æóÃóáúÞóì ÇúáÃóáúæóÇÍó æóÃóÎóÐó ÈöÑóÃúÓö ÃóÎöíúåö íóÌõÑøõåõ
Åöáóíúåö “Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala
saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (Al-A’raf: 150) Apakah ada orang yang
membantah Nabi Musa ‘alaihissalam dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala`
terhadap saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya
seorang thaghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri? Kita lihat bagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para shahabatnya. Di
dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ’Abdillah dia mengisahkan
bahwa Mu’adz radhiallahu ‘anhu biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian dia mendatangi kaumnya dan shalat bersama mereka (sebagai imam) dan
membaca surat Al-Baqarah. Ada seseorang yang memendekkan shalat (kemudian pergi).
Berita ini sampai kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu lalu dia mencap orang itu munafik. Laki-
laki itu mengetahui perbuatan Mu’adz. Lalu diapun datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengadu: “Ya Rasulullah, kami suatu kaum yang bekerja sendiri untuk
mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam lalu membaca surat
Al-Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia menuduh saya munafik.”
Mendengar ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: íÇó ãõÚÇóÐõ
ÃóÝóÊøóÇäñ ÃóäúÊó¿ (ËóáÇËðÇ) ÇÞúÑóÃú {æóÇáÔøóãúÓö æóÖõÍÇóåÇó}
æó{ÓóÈøöÍö ÇÓúãó ÑóÈøößó ÇúáÃóÚúáóì} æóäóÍúæóåÇó “Hai Mu’adz, apakah kamu
ingin menimbulkan fitnah?” (Beliau katakan tiga kali) “Bacalah {æóÇáÔøóãúÓö
æóÖõÍÇóåÇó},atau {ÓóÈøöÍö ÇÓúãó ÑóÈøößó ÇúáÃóÚúáóì} atau yang seperti itu.”
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada
Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz. (18) Kita bandingkan bagaimana sikap lembut
beliau kepada seorang Arab badui yang kencing di masjid (19). Dan bagaimana tegasnya
beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma, hibbi (kesayangan)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam putra hibbi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
íóÇ ÃõÓóÇãóÉõ¡ ÃóÞóÊóáúÊóåõ ÈóÚúÏó ãÇó ÞóÇáó áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó
Çááåõ¿ ÞõáúÊõ: ßóÇäó ãõÊóÚóæøöÐðÇ. ÝóãÇó ÒóÇáó íõßóÑøöÑõåÇó ÍóÊøóì
ÊóãóäøóíúÊõ Ãóäøöí áóãú Ãóßõäú ÃóÓúáóãúÊõ ÞóÈúáó Ðóáößó Çáúíóæúãö “Hai Usamah,
apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak ada sesembahan yang
haq kecuali Allah)?” Saya berkata: “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap
mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam
sebelum kejadian itu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid
radhiallahu ‘anhuma) Ini terus dijaga Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma sampai ketika
terjadi fitnah pembunuhan terhadap Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu,, beliau tidak ikut campur di dalamnya. Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullah berkata: “Usamah mengambil faedah dari kejadiannya bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengatakan: ßóíúÝó ÈöáÇó Åöáóåó ÅöáÇøó
Çááåõ íóÇ ÃõÓÇóãóÉõ “Bagaimana dengan kalimat áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ (Tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Allah), hai Usamah?” Kemudian dia menahan tangannya dan
tetap di rumahnya.” (As-Siyar, 2/500 dinukil dari Sittu Durar) Lihat pula bagaimana para
qudwah (teladan) kita, para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi
kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’.
Inilah Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam
Shahih-nya: Ãóäøó ÚóÈúÏó Çááåö Èúäó ÚõãóÑó ÞÇóáó: ÓóãöÚúÊõ ÑóÓõæúáó Çááåö
Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÞõæúáõ áÇó ÊóãúäóÚõæúÇ äöÓÇóÁóßõãõ
ÇáúãóÓÇóÌöÏó ÅöÐóÇ ÇÓúÊóÃúÐóäøóßõãú ÅöáóíúåÇó. ÞÇóáó: ÝóÞóÇáó ÈöáÇóáõ Èúäõ
ÚóÈúÏö Çááåö Èúäö ÚõãóÑó: æóÇááåö áóäóãúäóÚõåõäøó. ÞÇóáó: ÝóÃóÞúÈóáó Úóáóíúåö
ÚóÈúÏõ Çááåö ÝóÓóÈøóåõ ÓóÈøðÇ ÓóíøöÆÇð ãÇó ÓóãöÚúÊõåõ ÓóÈøóåõ ãöËúáóåõ
ÞóØøõ æóÞÇóáó: ÃõÎúÈöÑõßó Úóäú ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö
æóÓóáøóãó æóÊóÞõæúáõ æóÇááåö áóäóãúäóÚõåõäøó¿ Bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar
Radiyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Janganlah kamu melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin
kalian untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Allah.
Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka ‘Abdullah menoleh kepadanya dan
mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
Kemudian dia berkata: ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tapi kamu justeru mengatakan: Demi Allah, sungguh kami pasti melarang
mereka?” Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus shalih terhadap orang-orang yang
melecehkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun itu muncul dari
kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala: áÇó ÊóÌöÏõ ÞóæúãÇð íõÄúãöäõæúäó ÈöÇááåö æóÇáúíóæúãö ÇúáÂÎöÑö
íõæÂÏøõæúäó ãóäú ÍÂÏøó Çááåó æóÑóÓõæúáóåõ æóáóæú ßóÇäõæÇ ÂÈÂÁóåõãú Ãóæú
ÃóÈúäÂÁóåõãú Ãóæú ÅöÎúæóÇäóåõãú Ãóæú ÚóÔöíúÑóÊóåõãú “Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-
bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Al-Mujadilah: 22)
Dari semua keterangan ini, makin jelaslah bagi kita kritik yang dilancarkan Ahlus Sunnah
wal Jamaah terhadap berbagai pemikiran yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin
bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara
mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka merekapun ingin saudara mereka selamat. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada syariat-Nya yang
mulia ini. Amin. Footnote : 1. Mukaddimah kitab Al-Jarh wat Ta’dil Ibni Abi Hatim . 2.
Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al
Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat 3-4 surat An-Najm.
Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam. 3. Mafhum
mukhalafah (pengertian balik) makna ayat ini. 4. Dinukil secara ringkas dari Dhawabith Al-
Jarh wat Ta’dil (hal 10-16). 5. Jika seorang kritikus secara serampangan mengkritik, akan
habis tertolak semua hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menyebabkan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi menjadi sumber syariat Islam yang
mulia ini. Dan hal seperti inilah sebetulnya yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam seperti
antara lain kaum Rafidhah (Syi’ah). Wallahu a’lam, pen. 6. Al-Quran surat An-Nuur ayat 54.
7. Dari pengantar Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj
Salaf fi da’wati ilallahi karya Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi, (hal 7-8). 8. Seperti
penciptaan, pengaturan dan sebagainya. Wallahu a’lam. 9. Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah
(hal 141-142). 10. Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di
alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam. 11. Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, Al-
Lalikai rahimahullah dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, ‘Abdullah
bin Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam As-Sunnah (2/420), dan Al-Imam Al-Ajurri
rahimahullah dalam Asy-Syari’ah (205). 12. Majmu’ Fatawa (28/209). 13. Majmu’ Fatawa
(28/123). 14. Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
telah menghukum Shabigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al
Qur`an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan
kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah
lebih baik. Wallahu a’lam. 15. Majmu’ Al-Fatawa (28/234). 16. Sittud Durar hal. 109. 17.
Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan kebid’ahan. Wallahu
a’lam. 18. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301). 19.
Shahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 14/1426 H/2005, judul asli “Al Jarh wa At
Ta’dil, karya Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar- murid asy syaikh Muqbil
rahimahullah -, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=262)

Sumber Artikel: https://salafy.or.id/blog/2005/05/04/apajarh-tadil/ | Salafy.or.id

Anda mungkin juga menyukai