Pendahuluan
Kedatangan Islam pertama kali ke wilayah nusantara menurut beberapa ahli terjadi pada abad
ke-8 M. Hal tersebut didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti Tang yang megatakan
bahwa sejumlah orang Ta-shih yang membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling di
karenakan kuatnya kekuasaan Ratu Sima. Ta-shih di indentifikasi oleh Groeneveldt sebagai
orang-orang Arab yang menetap di pantai barat Sumatra. Perkembangan hubungan dagang laut
antara bagian timur dan barat asia, serta kemunculan tiga dinsati kuat yaitu kekhalifahan Umayah
(607-749 M) di Asia barat, dinasti Tang (618-907 M) di Asia timur dan kerajaan Srwijaya (7-14
M) di Asia Tenggara (Tjandrasasmita, 2009). Namun, saat pertama kali padagang muslim tiba di
wilayah Nusantara, masyarakat di kawasan ini mayoritas beragama Hindu-Budha. Dengan
kerajaan-kerajaan besar yang bercorak Hindu-Budha. Oleh, karena perniagaan di wilayah ini
sangat bergantung pada angin musiman, maka para pedagang asing yang datang ke Nusantara
harus menetap untuk beberapa saat. Hal inilah yang membuat terjalin hubungan antara pedagang
Muslim dengan penduduk local dan lebih-lebih terjadi pernikahan antara pedagang Muslim
dengan penduduk local sehingga keluarga Muslim yang besar terbentuk. Sejak proses Islamisasi
terjadi, persentuhan antara pedagang Muslim dengan penduduk lokal yang telah terjadi cukup
sekian lama dan dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya pada abad 12-13 M, maka pada abad
ke-13 M di wilayah Nusantara mulai bermunculan kerajaan yang bercorak Islam.
Pada saat yang bersamaan ketika kerajaan-kerajaan Islam mulai mendominasi wilayah di
Nusantara, bangsa Eropa mulai berdatangan ke wilayah Nusantara pada abad ke-16. Tujuan
bangsa Eropa ke Nusantara ialah untuk memperoleh rempah-rempah yang menjadi komoditi
yang diminati pada saat itu. Pada tahun 1509 bangsa Protugis tiba pertama kali di Malaka, pada
saat itu Malaka merupakan pelabuhan perdagangan utama yang ramai, dan pada tahun 1511
bangsa Protugis berhasil menaklukkan Malaka dibawah pimpinan de Albuquerque. Sementara
itu Spanyol datang ke daerah timur Nusantara dengan menguasai Ternate dan Tidore pada tahun
1606. Bangsa Prancis pertama tiba di Sumatra Barat pada tahun 1530, pada umumnya
perniagaan yang dilakukan oleh bangsa Prancis tidak sukses, walaupun sejak 1670 telah
mempunyai kamtor dagang di Banten. Sedangkan Bangsa Inggris sebetulnya telah ada di Maluku
pada paruh kedua abad ke-16, namun Bantenlah yang menjadi pusat kegiatan mereka sampai
tahun 1682. Bangsa Belanda pertama kali tiba Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelius
de Houtman. Pada tahun 1602 Belanda membentuk VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) dikarenakan para pedagang Belanda saling bersaing.
Namun, sebenarnnya keberadaan benteng tidak bisa dilepaskan dari suatu pemukiman, baik
itu pemukiman sederhana maupun yang kompleks seperti masyarakat urban.Benteng yang terdiri
dari dinding, susunan menara, dan gerbang-gerbang jaga, kerap disamakan dengan kota (di
Eropa kata benteng sering disebut juga dengan kota). Dengan menempatkan benteng dalam
konteks perkembangan kota, suatu bangunan yang pada mulanya terbatas pada fungsi sebagai
sarana pertahanan ini kemudian mengalami perubahan peran dan fungsi seiring dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan kota tersebut. Dalam perkembangan kota/benteng tersebut tidak
hanya menjadi simbol pertahanan tetapi juga menjadi pusat aktivitas dan interaksi sosial manusia
(Djoko Marihandono, 2007). Berbagai macam aktivitas manusia dilakukan bukan hanya terbatas
pada aktivitas peperangan atau yang berkaitan dengan militer, namun juga dengan berbagai
aspek kehiduan manusia lainnya seperti ekonomi dan budaya.
Keberadaan benteng-benteng di Kesultanan Palembang, berterkaitan dengan adanya ancaman
dari kolonialis Belanda yang dirasakan oleh kesultanan Palembang. Salah satu benteng yang
masih dapat bertahan sampai sekarang ialah yang dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak
yang didirikan pada tahun 1780 dan juga menjadi tempat tinggal bagi sultan Palembang
Darussalam. Selama tiga abad kesultanan Palembang berdiri, telah terjadi beberapa kali
perpindahan pusat pemerintahan dari satu kraton ke kraton yang lainnya, yang antara lain Kuto
Gawang, Bringin Janggut, Kuto Tengkuruk dan Kuto Besak. Kebaradaan Kraton atau benteng
Kuto Besak yang berada di tengah-tengah pusat kota menjadi penting karena berfungsi sebagai
pengawas kota Palembang, sehingga pada saat kesultanan Palembang runtuh Belanda juga
memanfaatkan Benteng itu untuk kepentingan mereka.
Permasalahan
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini, yaitu:
Metode
Kesultanan Palembang berdiri pertama kali pada abad ke-16, setelah Ki Gede Ing Suro
melarikan diri dari tanah Jawa karena kemelut politik Kerajaan Demak di Jawa. Pada awalnya
kesultanan Palmebang merupakan kerajaan vassal di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam
Jawa, seperti Demak, Pajang dan Mataram. Baru pada tahun 1666 M kesultanan Palembang
dapat benar-benar berdiri menjadi kerajaan yang mandiri, ketika Ki Mas Hindi mengangkat
dirinya sebagai Sultan Abdruhman. Dengan gelar sultan, ia ingin menunjukkan bahwa
Palembang setara dengan kesultanan Mataram. Hal itu diperjelasnya oleh Sultan Abdurrahman
yang memaklumkan diri sebagai pemimpin umat Islam dengan gelar Kholifatul Mukminin
Sayyidul Imam untuk menandingi kebesaran sultan Mataram.
Pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa kejayaan Kesultanan Palembang, dengan
menjadi salah satu poros penting dalam jaringan perniagaan di perairan Malaka dan pantai utara
Jawa. Penulis Inggris, Marsden, menggambarkan pelabuhan Palembang merupakan pelabuhan
yang sangat ramai. Banyak kapal berkunjung di pelabuhan ini, dari Jawa, Madura, Bali dan
Sulawesi. Palembang sekaligus muncul sebagai kawasan yang dinamis dalam perkembangan
Islam. Beberapa ulama besar bereputasi internasional muncul dari Palembang. Pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Kota Palembang dibangun menjadi sebuah kota
modern. Upaya ini dilakukan dengan melakukan penataan kampung-kampung dan jalan-jalan.
Sultan Mahmud Badaruddin I juga meletakkan pembangunan bangunan-bangunan monumental
Palembang abad ke-18, termasuk diantaranya Bangunan Kuto Lamo dan Kuto Besak pada tahun
1737, serta bangunan Masjid Agung Palembang.
Keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat politik menjadi lebih kuat
tatkala di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803). Selama memegang
tampuk kekuasaan, Sultan Muhammad Bahauddin I berhasil membangun armada laut untuk
mengamankan perdagangan maritim di jalur Selat Malaka dan menegakkan kekuasaan
Palembang atas Bangka dan Belitung. Setelah Sultan Muhammad Bahauddin meninggal dunia,
kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam diserahkan kepada puteranya yang bernama
Pangeran Ratu yang kemudian bergelar Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin II. SultanMahmud
Badaruddin II digambarkan sebagai seorang penguasa yang pandai dalam berdiplomasi, cerdik
dan berwibawa, terdidik dan ahli dalam strategi perang. Pada masa kemerdekaan, ia dikenal
sebagai sosok pemimpin-pejuang yang sangat gigih dan berani dalam melakukan perlawanan
terhadap Inggris dan Balanda.
Kesultanan Palembang berakhir ketika Belanda berhasil mengakhiri perlawanan dari Sultan
Mahmud Badaruddin II. Konflik antara Belanda dengan Kesultanan Palembang telah terjadi
sekak tahun 1651. Pada saat itu, VOC berkeinginan memegang monopoli perdagangan
di Palembang tetapi hal ini ditentang oleh penguasa Palembang. Hal ini menyebabkan
diserangnya Keraton Kuto Gawang disertai dengan pembakaran sehingga menyebabkan
dipindahkannya keraton ke lokasi yang baru (Novita, 2013). Konflik ini dapat mereda untuk
beberapa saat, tetapi permusuhan diantara keduanya masih terus berlanjut. Puncak dari
permusuhan ini menyebabkan terjadinya peperangan selama dua tahun (1819-1821) antara
Belanda dan Kesultanan Palembang. Dalam peperangan tersebut, tercatat dua kali Palembang
memperoleh kemenangan gemilang. Pada peperangan terakhir (Juni 1821) Palembang harus
tunduk di bawah supremasi Belanda, Sultan Badarudddin II dibuang ke Ternate (Farida, 2012).
Dengan dibuangnya Sultan ke Ternate dan diangkatnya Prabu Anom menjadi sultan yang baru,
maka kesultanan Palembang walaupun secara yuridis masih berdiri, tapi legitimasi dan
kedaulatan dari kesultanan ini telah berakhir. Secara politis Kesultanan Palembang Darussalam
dihapus keberadaannya pada tahun 1824 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan
dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam, bekas wilayahnya kemudian diintegrasikan
ke dalam kekuasan kolonial (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016).
Selain, adanya Belanda kebaradaan Benteng Kuto Besak juga digunakan untuk mengawasi
Sungai Musi yang menjadi jalur transpotasi utama bagi warga kesultanan Palembang. Sungai ini
menghubungkan antara daerah hulu dan hilir Palembang. Daerah hulu merupakan penghasil
rempah-rempah berupa lada, kayu manis, sagu dan hasil alam lainnya. Sedangkan daerah hilir
merupakan tempat perniagaan bagi para pedagang local maupun asing. Oleh karena itu, Sungai
Musi perlu diperhatikan oleh sultan dengan adanya para pedagang yang datang atau dalam hal
ini pedagang asing, bisa saja membawa ancaman bagi perekonomian lokal, misalnya
kasus pedagang Belanda yang mengajukan monopoli perdagangan sehingga menutup koneksi
Palembang dalam perdagangan dunia internasional. Ancaman lain juga datang dari
kemungkinan datangnya para lanun yang sebelumnya pernah mendominasi kekuasaan di
Palembang.
Di Palembang terdapat juga komunitas Tionghoa yang telah menetap di wilayah ini sejak
dinasti Ming belum berdiri. Komunitas ini pernah berkuasa di Palembang sebelum dibentuknya
Kesultanan Palembang. Hal ini menjadi memori kolektif bagi masyarakat Palembang pada masa
itu, yang membuat sultan merasa perlu mengawasi komunitas ini. Pada abad ke-16
dan ke-17, para penduduk Tionghoa hanya diperbolehkan untuk tinggal di atas rakit di Sungai
Musi. Perubahan kebijakan kemudian dilakukan pada abad ke-18, ketika orang Tionghoa mulai
ditempatkan di sebrang ulu, tepat di sebrang Benteng Kuto Besak (Sevenhoven, 1971; Febrian
dan Farida, 2015, dalam Alnoza, 2020). Dengan perubahan kebijakan ini, sultan merasa perlu
mengawsi komunitas Tionghoa karena merasa terancam dan ketika terjadi konflik terbuka dapat
lebih mudah untuk mengatasi mereka karena berada tapat dijangkauan tembakan meriam
Benteng Kuto Besak.
Yang menjadi objek pengawasan terakhir dari benteng Kuto Besak ialah bangunan paseban.
Paseban merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan antara sultan dengan
bawahannya. Di kesultanan Palembang tardapat pembagian wilayah, yang terdiri dari ibukota,
kapungutan, sikep dan sindang. Wilayah yang berada di sekitar keraton merupakan ibukota yang
secara administratif berada langsung dalam pengawasan sultan. Wilayah yang berada di bawah
sultan secara langsung, tetapi letaknya berada di luar ibukota dan rakyatnya dibebani pajak
tertentu merupakan wilayah Kapungutan. Wilayah otonom yang berada di luar kapungutan
adalah sikep, wilayah ini tidak dibebani dengan pajak, tetapi sebagai gantinya harus membayar
cukai ketika berdagang ke ibukota. Sedangkan wilayah yang berada di luar wilayah sikep
merupakan sindang, yang juga rakyatnya tidak dibebani dengan pajak. Wilayah sikep dipimpin
oleh jenang atau raban yang statusnya merupakan gawe rajo (pegawai negeri), sedangkan
wilayah sindang dipimpin oleh “raja kecil” yang dianggap sebagai sekutu sultan. Oleh karena
penguasa sikep dan sindang merupakan bawahan sultan yang rawan sekali memberontak. Maka
penguasa sikep dan sindang diwajibkan untuk melakukan seba, yaitu penyerahan upeti sebagai
tanda setia pada sultan di bangunan paseban. Dengan adanya bagunan paseban tepat berada di
depan benteng Kuto Besak dan berada dijangkauan meriamnya, hal ini kemungkinan merupakan
upaya dari sultan untuk mengintimidasi para pejabatnya agar tetap takut dan tunduk di
bawahnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan benteng Kuto Besak yang
dibangun di tengah-tengah pusat kota Palembang berfungsi sebagai tempat untuk mengawasi
Belanda yang telah berkali-berkali menghancurkan keraton dari kesultanan Palembang. Namun,
selain itu benteng Kuto Besak juga digunakan untuk mengawasi Sungai Musi (yang merupakan
jalur transportasi utama), komunitas Tionghoa (dianggap sebagai ancaman karena memiliki
kaitan historis, pernah menguasai Palembang), dan bangunan paseban (yang menjadi tempat
pertemuan sultan dengan bawahannya). Benteng ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah colonial
Belanda ketika kesultanan Palembang runtuh pada tahun 1824. Hal ini, dikarenakan letaknya
yang strategis tepat di tengah-tengah pusat kota dan juga merupakan representasi kejayaan bagi
siapa saja yang berkuasa di Palembang. Belanda telah menempati posisi teratas di hirarki
kekuasaan Palembang (pasca kekalahan Kesultanan Palembang), sehingga pantas untuk
menempati Benteng Kuto Besak.
Daftar Pustaka
Alnoza, Muhamad. (2020). BENTENG KUTO BESAK SEBAGAI PENGAWAS KOTA LAMA
PALEMBANG DALAM SUDUT PANDANG TEORI PANOPTICON. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Hanafiah, Djohan. (1989). Benteng Kuto Besak Upaya Kesultanan. Jakarta: CV Haji Masagung.
Marihandono, Djoko. (2008). Perubahan Peran dan Fungsi Benteng Dalam Tata Ruang Kota.
Wacana, 144-160.
Novita, Aryandini. Benteng Kuto Besak dari Keraton Hingga Instalasi Militer. Adrisijanti,
Inajati. (2013). BENTENG DULU, KINI, DAN ESOK (pp. 45-60). Yogyakarta: Kepel
Press.
Prof. Drs. Nawiyanto, M. P dan Dr. Endrayadi, C. E, M. Hum. (2016). Kesultanan Palembang
Darussalam – Sejarah Dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press dan
Tarutama Indonesia.
Ricklefs, M. C. (2010). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.