Anda di halaman 1dari 4

NAMA : HARYANTO ARMADHA SAPUTRA

NIM : I1C118053

Judul : Bagaimana Arkeologi Bekerja dan Berpikir


Penulis : Mundarjito
Penerbit : Jakarta: Salihara
Tahun terbit : 2014
Ulasan Review

Hingga kini banyak museum di berbagai bagian dunia menyimpan sejumlah


artefak yang dalam daftar koleksi biasa disebut ‘unidentified’ atau tidak dapat
diidentifikasi. Hal ini mungkin disebabkan antara lain: (1) bendanya tidak utuh dan
fragmentaris, sehingga kita tidak dapat memperkirakan bentuk utuhnya; (2) bendanya
utuh, tetapi kita tidak mengenalnya, karena kurangnya pengetahuan mengenai
keanekaragaman artefak yang dibuat masyarakat masa lalu. Akibatnya kita tidak dapat
menjawab pertanyaan sederhana antara lain seperti benda apakah itu, digunakan untuk
apa, bagaimana dibuatnya, peralatan dan perlengkapan apa yang diperlukan dan
bagaimana digunakannya. Pengalaman semacam ini tidak hanya terdapat di museum,
tetapi juga di lapangan ketika arkeolog harus berupaya mengenali benda yang tidak
dikenal dan mendeskripsikannya.
Meskipun telah dikumpulkan temuan artefak dalam jumlah cukup besar dan
beberapa di antaranya masih ada yang utuh, namun jika hanya menggunakan metode
analisis spesifik (specific analysis) terhadap ciri-ciri fisiknya,dan dengan metode
analisis konteks dari artefaknya (contextual analysis), dalam kenyataanya arkeolog tidak
berhasil mendapatkan keterangan yang dapat diyakini.Baru setelah menggunakan
metodeanalogi etnografi (ethnographical analogy) di beberapa tempat yang masih
mempunyai artefak yang tak dikenal itu, danmetode eksperimen peniruan (imitative
experiment), baik yang dilakukan di tempat pembuatan gamelan di Tihingan (Bali)
maupun di laboratorium, hasilnya cukup memuaskan.
Dalam ekskavasi tahun 1976 di situs Banten Lama ditemukan 762 artefak (di
antara keseluruhan 40.000 temuan) yang bentuknya belum pernah dikenal oleh para
arkeolog yang menggali ketika itu.Jenis artefakini pertama kali ditemukan dalam bentuk
pecahan dalam survei-permukaan beberapa hari sebelum ekskavasi dimulai.Temuan ini
mudah sekali diamati dan amat mencolok di sela-sela gumpalan tanah ladang penduduk
karena warnanya yang merah dan berkilau.Selain itu ditemukanpula partikel-partikel
dari bahan tembaga atau perunggu yang berwarna hijau cerah bersama-sama butir-butir
arang berwarna hitam pekat.Daerah sebarannya di situs Sukadiri (SKD), kira-kira 300
meter di sebelah baratdaya Mesjid Agung Banten atau di sebelah barat Keraton
Surosowan.Dari hasil penggalian dapat dikumpulkan 762 pecahan dan utuhan berupa
wadah dari tanah liat. Berikut metode-metode yang digunakan untuk mengetahui dan
mengenali temuan tersebut dalam ilmu Arkeologi.
Pada tahap pertama, menggunakan metode specific analysis ciri-ciri khusus yang
dapat dilihat sehingga dapat diperoleh keterangan rinci mengenai wujudnya yaitu:
berupa wadah atau cawan-dalam, terbuat dari bahan utama tanah liat dengan campuran
sekam padi, dan tingginya antara 10--14 cm. Dindingnya relatif tebal (terutama jika
dibandingkan dengan ketebalan wadah tembikar yang biasa ditemukan), dan permukaan
keseluruhandinding-luarnya tidak rata melainkanberceruk-ceruk kecil (amorf),
berlapisan lelehan cairan mineral yang telah membeku, berwarna merah tua campur
hitam, dan mengkilap. Pada tepian wadah (rim) terdapat ‘mulut wadah’ atau saluran
(bhs. Jawa, cucuk) yang terbuka.Berseberangan dengan itu terdapat satu tonjolan
semacam pegangan wadah.Bagian dasar wadah tidak rata, sehingga tidak mungkin
dapat diberdirikan pada tempat yang datar.Pada semua dasar wadah terdapat bekuan
mineral yang melelehatau menggantung seperti stalagmitdan meruncing.Berbeda
dengan dinding luar, pada permukaan dinding bagian dalamwadah warnanya
kehitamandan permukaannya relatif rata, kecuali di beberapa tempat terlihattanda-tanda
yang diduga bekas tekanan jari-jari tangan pembuatnya.
Semua keterangan tersebut di atas membawa kita kepada anggapan bahwa wadah
yang volumenya berbeda itu dipakai untuk memanaskan cairan berwarna merah dan
diletakkan di atas perapian penuh dengan arang. Bekuan warna merah yang meleleh dan
menempel pada dinding luar mungkin merupakan limpahan cairan merah dari dalam
wadah pada saat pemanasan dilakukan. Berdasarkan peta Serrurier tahun 1900, situs
yang digali bisa termasuk daerah Pajantran (tempat membuat kain tenun), tetapi bisa
juga termasuk daerah Kapandean (tempat pembuatan alat logam).
Pada tahap kedua, contextual analysis wadah diarahkan pada konteksnya dengan
memperhatikan hubungan wadah-wadah itu dengan temuan-temuan lainnya. Kedekatan
hubungan antartemuan itu dapat dijadikan bahan interpretasi fungsi wadah itu.
Keberadaan wadah-wadah itu dalam konteks bersama struktur bata berbentuk tungku,
hamparan perunggu, kerak logam, fragmen alat besi dan tanahnya yang hitam, agaknya
memberi petunjuk yang jelas bahwa wadah itu terkait erat dengan kegiatan pengerjaan
benda logam. Jadi jika harus dijatuhkan pilihan, maka kita akan cenderung memilih
hubungannya dengan kegiatan memandai logam di Kapandean daripada dengan
kegiatan menenun di Pajantran. Melalui dua macam analisis yaitu analisis spesifik dan
analisis-konteks, kita dapat menarik kesimpulan bahwa situs tersebut pada khususnya
adalah lokasi bengkel kerja para pandai logam, baikpandai-tempa maupun pandai-tuang.
Pada tahap ketiga, ethnographical analogy fokus perhatian diarahkan pada
kegiatan di tempat-tempat pembuatan benda logam dari perunggu atau besi secara
tradisional (terutama di Bogor dan di Bali) untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas tentang cara membuat benda logam, jumlah dan jenis peralatan membuat benda,
perlengkapan bahan yang diperlukan, jumlah dan jenis limbah produksi dan sebagainya.
Hasil pengamatan dan wawancara dengan para pembuat benda logam di Tihingan (Bali)
dapat digunakan untuk menambah bahan interpretasi berdasarkan hasil ekskavasi di
Banten. Disadari bahwa penerapan cara kerja ini hanya dapat dilakukan pada daerah-
daerah tertentu, di mana berbagai kebiasaan dan tingkah laku komuniti masih
memroduksi barang-barang logam secara tradisional.
Yang terakhir metode imitative experiment dengan cara seakan-akan melakukan
kegiatan seperti manusia pada masa lalu, maka dapatlah diamati gejala-gejala tertentu.
Percobaan-peniruan disertai dengan pemeriksaan laboratoris terhadap sampel Tihingan
yang diselenggarakan oleh laboratorium kemiko-arkeologi di Candi Borobudur, telah
menghasilkan data sebagai berikut:
1 Guna memenuhi titik lebur perunggu (sekitar 1.100o C), wadah pelebur harus
dipanaskan lebih tinggi, sekurang-kurangnya 100o C lebih; ini berarti suhu api di
luar wadah lebih panas daripada di dalam wadah.
2 Dalam proses peleburan perunggu, unsur mineral dalam wadah yaitu besi (Fe) dan
kaca (Si) akan ikut mencair, tetapi hal itu hanya terjadi pada dinding-luar saja.
3 Setelah pemanasan berhenti, cairan Fe dan Si akan membeku dan membentuk
sejumlah benjolan (amorf) dan beberapa retakan kecil pada dinding-luar wadah
karena perubahan suhu yang mendadak.
4 Warna merah-tua kehijauan pada dinding-luar disebabkan karena oksidasi dari Fe,
sedangkan kilap kaca yang tembus cahaya disebabkan karena silikanya.
5 Suhu di dalam wadah tidak sepanas di luar, karena itu unsur mineral wadah tidak
ikut mencair, sehingga meskipun sama-sama mengalami perubahan temperatur yang
mendadak, tetapi tidak menghasilkan benjolan merah kilap kaca pada dinding-dalam
wadah.
6 Selain dari faktor ekonomis yang tidak diinginkan, cairan perunggu tidak akan
tumpah karena pemanasan tidak akan mencapai titik didihnya, yaitu 2.336o C, tetapi
cukup dapat melebur Fe yang titik-leburnya 1.535o C dan titik-lebur Si 1.414o C.

Pertimbangan teoritis yang melandasi penggunaan analogi-etnografi dalam


interpretasi arkeologi sebagaimana dikemukakan di atas telah menarik perhatian para
ahli arkeologi dan antropologi sejak 50 tahun terakhir ini. Landasan konsepsional dari
penggunaan persejajaran ini ialah pandangan uniformitarianism dari gejala-gejala alam
dan tingkah laku manusia. Gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan
stratifikasi tanah, erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi
mengenai gejala-gejala serupa pada masa kini.Tingkah laku manusia dalam penciptaan
dan penggunaan sistem peralatan untuk menanggapi lingkungan alam pada masa
lampau, dapat dipelajari melalui studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang
belum banyak mengalami perubahan budaya. Pengalaman telah membuktikan bahwa
sukar bagi kita untuk melakukan interpretasi arkeologi sebelum kita melihat dan
mengenal gejala-gejala yang sama yang terdapat dalam suatu masyarakat yang masih
hidup.

Kesimpulan

Melalui beberapa metode analisis seperti dikemukakan di atas, maka dapatlah


kiranya kita sekarang memberi penjelasan yang dapat diterima akal sehat mengenai
temuan wadah yang semula tak dikenal arkeolog penggali. Artefak wadah semacam itu
adalah wadah yang dibuat dari tanah liat untuk melebur tembaga dan timah menjadi
perunggu dalam rangkaian pekerjaan membuat alat (alat music gamelan atau lainnya).
Dan semua metode analisis tersebut saling berkaitan satu dengan lainya.
Akibat dari sifat data arkeologi yang serba terbatas dalam hal kuantitas dan
kualitas. Meskipun mungkin ada anggapan bahwa analogi bukan jalan yang terbaik
untuk interpretasi arkeologi, tetapi saya berpendapat jika arkeolog sama sekali tidak
dapat menggunakan analogi, maka menurut saya habislah riwayat arkeologi. Dan kita
dengan demikian tidak akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan untuk "piecing
together the past". Puluhan karangan telah membicarakan dan melaporkan hasil
pelaksanaan eksperimen arkeologi yang diselenggarakan di berbagai negara maju, tetapi
mungkin sedikit sekali yang telah dilakukan di negara kita. Jika arkeologi-percobaan
(experimental archaeology) tidak mulai digunakan secara efektif dan terkendali,
mungkin kemajuan kita untuk menyelesaikan berbagai masalah arkeologi di Indonesia
agak terhambat.

Anda mungkin juga menyukai