0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan4 halaman
Temuan artefak berupa wadah tanah liat berwarna merah di situs Banten Lama tidak dapat diidentifikasi. Melalui beberapa metode analisis seperti analisis spesifik, kontekstual, analogi etnografi, dan eksperimen, diketahui bahwa wadah tersebut digunakan untuk melebur logam menjadi perunggu dalam pembuatan alat musik.
Temuan artefak berupa wadah tanah liat berwarna merah di situs Banten Lama tidak dapat diidentifikasi. Melalui beberapa metode analisis seperti analisis spesifik, kontekstual, analogi etnografi, dan eksperimen, diketahui bahwa wadah tersebut digunakan untuk melebur logam menjadi perunggu dalam pembuatan alat musik.
Temuan artefak berupa wadah tanah liat berwarna merah di situs Banten Lama tidak dapat diidentifikasi. Melalui beberapa metode analisis seperti analisis spesifik, kontekstual, analogi etnografi, dan eksperimen, diketahui bahwa wadah tersebut digunakan untuk melebur logam menjadi perunggu dalam pembuatan alat musik.
Penulis : Mundarjito Penerbit : Jakarta: Salihara Tahun terbit : 2014 Ulasan Review
Hingga kini banyak museum di berbagai bagian dunia menyimpan sejumlah
artefak yang dalam daftar koleksi biasa disebut ‘unidentified’ atau tidak dapat diidentifikasi. Hal ini mungkin disebabkan antara lain: (1) bendanya tidak utuh dan fragmentaris, sehingga kita tidak dapat memperkirakan bentuk utuhnya; (2) bendanya utuh, tetapi kita tidak mengenalnya, karena kurangnya pengetahuan mengenai keanekaragaman artefak yang dibuat masyarakat masa lalu. Akibatnya kita tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana antara lain seperti benda apakah itu, digunakan untuk apa, bagaimana dibuatnya, peralatan dan perlengkapan apa yang diperlukan dan bagaimana digunakannya. Pengalaman semacam ini tidak hanya terdapat di museum, tetapi juga di lapangan ketika arkeolog harus berupaya mengenali benda yang tidak dikenal dan mendeskripsikannya. Meskipun telah dikumpulkan temuan artefak dalam jumlah cukup besar dan beberapa di antaranya masih ada yang utuh, namun jika hanya menggunakan metode analisis spesifik (specific analysis) terhadap ciri-ciri fisiknya,dan dengan metode analisis konteks dari artefaknya (contextual analysis), dalam kenyataanya arkeolog tidak berhasil mendapatkan keterangan yang dapat diyakini.Baru setelah menggunakan metodeanalogi etnografi (ethnographical analogy) di beberapa tempat yang masih mempunyai artefak yang tak dikenal itu, danmetode eksperimen peniruan (imitative experiment), baik yang dilakukan di tempat pembuatan gamelan di Tihingan (Bali) maupun di laboratorium, hasilnya cukup memuaskan. Dalam ekskavasi tahun 1976 di situs Banten Lama ditemukan 762 artefak (di antara keseluruhan 40.000 temuan) yang bentuknya belum pernah dikenal oleh para arkeolog yang menggali ketika itu.Jenis artefakini pertama kali ditemukan dalam bentuk pecahan dalam survei-permukaan beberapa hari sebelum ekskavasi dimulai.Temuan ini mudah sekali diamati dan amat mencolok di sela-sela gumpalan tanah ladang penduduk karena warnanya yang merah dan berkilau.Selain itu ditemukanpula partikel-partikel dari bahan tembaga atau perunggu yang berwarna hijau cerah bersama-sama butir-butir arang berwarna hitam pekat.Daerah sebarannya di situs Sukadiri (SKD), kira-kira 300 meter di sebelah baratdaya Mesjid Agung Banten atau di sebelah barat Keraton Surosowan.Dari hasil penggalian dapat dikumpulkan 762 pecahan dan utuhan berupa wadah dari tanah liat. Berikut metode-metode yang digunakan untuk mengetahui dan mengenali temuan tersebut dalam ilmu Arkeologi. Pada tahap pertama, menggunakan metode specific analysis ciri-ciri khusus yang dapat dilihat sehingga dapat diperoleh keterangan rinci mengenai wujudnya yaitu: berupa wadah atau cawan-dalam, terbuat dari bahan utama tanah liat dengan campuran sekam padi, dan tingginya antara 10--14 cm. Dindingnya relatif tebal (terutama jika dibandingkan dengan ketebalan wadah tembikar yang biasa ditemukan), dan permukaan keseluruhandinding-luarnya tidak rata melainkanberceruk-ceruk kecil (amorf), berlapisan lelehan cairan mineral yang telah membeku, berwarna merah tua campur hitam, dan mengkilap. Pada tepian wadah (rim) terdapat ‘mulut wadah’ atau saluran (bhs. Jawa, cucuk) yang terbuka.Berseberangan dengan itu terdapat satu tonjolan semacam pegangan wadah.Bagian dasar wadah tidak rata, sehingga tidak mungkin dapat diberdirikan pada tempat yang datar.Pada semua dasar wadah terdapat bekuan mineral yang melelehatau menggantung seperti stalagmitdan meruncing.Berbeda dengan dinding luar, pada permukaan dinding bagian dalamwadah warnanya kehitamandan permukaannya relatif rata, kecuali di beberapa tempat terlihattanda-tanda yang diduga bekas tekanan jari-jari tangan pembuatnya. Semua keterangan tersebut di atas membawa kita kepada anggapan bahwa wadah yang volumenya berbeda itu dipakai untuk memanaskan cairan berwarna merah dan diletakkan di atas perapian penuh dengan arang. Bekuan warna merah yang meleleh dan menempel pada dinding luar mungkin merupakan limpahan cairan merah dari dalam wadah pada saat pemanasan dilakukan. Berdasarkan peta Serrurier tahun 1900, situs yang digali bisa termasuk daerah Pajantran (tempat membuat kain tenun), tetapi bisa juga termasuk daerah Kapandean (tempat pembuatan alat logam). Pada tahap kedua, contextual analysis wadah diarahkan pada konteksnya dengan memperhatikan hubungan wadah-wadah itu dengan temuan-temuan lainnya. Kedekatan hubungan antartemuan itu dapat dijadikan bahan interpretasi fungsi wadah itu. Keberadaan wadah-wadah itu dalam konteks bersama struktur bata berbentuk tungku, hamparan perunggu, kerak logam, fragmen alat besi dan tanahnya yang hitam, agaknya memberi petunjuk yang jelas bahwa wadah itu terkait erat dengan kegiatan pengerjaan benda logam. Jadi jika harus dijatuhkan pilihan, maka kita akan cenderung memilih hubungannya dengan kegiatan memandai logam di Kapandean daripada dengan kegiatan menenun di Pajantran. Melalui dua macam analisis yaitu analisis spesifik dan analisis-konteks, kita dapat menarik kesimpulan bahwa situs tersebut pada khususnya adalah lokasi bengkel kerja para pandai logam, baikpandai-tempa maupun pandai-tuang. Pada tahap ketiga, ethnographical analogy fokus perhatian diarahkan pada kegiatan di tempat-tempat pembuatan benda logam dari perunggu atau besi secara tradisional (terutama di Bogor dan di Bali) untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang cara membuat benda logam, jumlah dan jenis peralatan membuat benda, perlengkapan bahan yang diperlukan, jumlah dan jenis limbah produksi dan sebagainya. Hasil pengamatan dan wawancara dengan para pembuat benda logam di Tihingan (Bali) dapat digunakan untuk menambah bahan interpretasi berdasarkan hasil ekskavasi di Banten. Disadari bahwa penerapan cara kerja ini hanya dapat dilakukan pada daerah- daerah tertentu, di mana berbagai kebiasaan dan tingkah laku komuniti masih memroduksi barang-barang logam secara tradisional. Yang terakhir metode imitative experiment dengan cara seakan-akan melakukan kegiatan seperti manusia pada masa lalu, maka dapatlah diamati gejala-gejala tertentu. Percobaan-peniruan disertai dengan pemeriksaan laboratoris terhadap sampel Tihingan yang diselenggarakan oleh laboratorium kemiko-arkeologi di Candi Borobudur, telah menghasilkan data sebagai berikut: 1 Guna memenuhi titik lebur perunggu (sekitar 1.100o C), wadah pelebur harus dipanaskan lebih tinggi, sekurang-kurangnya 100o C lebih; ini berarti suhu api di luar wadah lebih panas daripada di dalam wadah. 2 Dalam proses peleburan perunggu, unsur mineral dalam wadah yaitu besi (Fe) dan kaca (Si) akan ikut mencair, tetapi hal itu hanya terjadi pada dinding-luar saja. 3 Setelah pemanasan berhenti, cairan Fe dan Si akan membeku dan membentuk sejumlah benjolan (amorf) dan beberapa retakan kecil pada dinding-luar wadah karena perubahan suhu yang mendadak. 4 Warna merah-tua kehijauan pada dinding-luar disebabkan karena oksidasi dari Fe, sedangkan kilap kaca yang tembus cahaya disebabkan karena silikanya. 5 Suhu di dalam wadah tidak sepanas di luar, karena itu unsur mineral wadah tidak ikut mencair, sehingga meskipun sama-sama mengalami perubahan temperatur yang mendadak, tetapi tidak menghasilkan benjolan merah kilap kaca pada dinding-dalam wadah. 6 Selain dari faktor ekonomis yang tidak diinginkan, cairan perunggu tidak akan tumpah karena pemanasan tidak akan mencapai titik didihnya, yaitu 2.336o C, tetapi cukup dapat melebur Fe yang titik-leburnya 1.535o C dan titik-lebur Si 1.414o C.
Pertimbangan teoritis yang melandasi penggunaan analogi-etnografi dalam
interpretasi arkeologi sebagaimana dikemukakan di atas telah menarik perhatian para ahli arkeologi dan antropologi sejak 50 tahun terakhir ini. Landasan konsepsional dari penggunaan persejajaran ini ialah pandangan uniformitarianism dari gejala-gejala alam dan tingkah laku manusia. Gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan stratifikasi tanah, erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi mengenai gejala-gejala serupa pada masa kini.Tingkah laku manusia dalam penciptaan dan penggunaan sistem peralatan untuk menanggapi lingkungan alam pada masa lampau, dapat dipelajari melalui studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang belum banyak mengalami perubahan budaya. Pengalaman telah membuktikan bahwa sukar bagi kita untuk melakukan interpretasi arkeologi sebelum kita melihat dan mengenal gejala-gejala yang sama yang terdapat dalam suatu masyarakat yang masih hidup.
Kesimpulan
Melalui beberapa metode analisis seperti dikemukakan di atas, maka dapatlah
kiranya kita sekarang memberi penjelasan yang dapat diterima akal sehat mengenai temuan wadah yang semula tak dikenal arkeolog penggali. Artefak wadah semacam itu adalah wadah yang dibuat dari tanah liat untuk melebur tembaga dan timah menjadi perunggu dalam rangkaian pekerjaan membuat alat (alat music gamelan atau lainnya). Dan semua metode analisis tersebut saling berkaitan satu dengan lainya. Akibat dari sifat data arkeologi yang serba terbatas dalam hal kuantitas dan kualitas. Meskipun mungkin ada anggapan bahwa analogi bukan jalan yang terbaik untuk interpretasi arkeologi, tetapi saya berpendapat jika arkeolog sama sekali tidak dapat menggunakan analogi, maka menurut saya habislah riwayat arkeologi. Dan kita dengan demikian tidak akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan untuk "piecing together the past". Puluhan karangan telah membicarakan dan melaporkan hasil pelaksanaan eksperimen arkeologi yang diselenggarakan di berbagai negara maju, tetapi mungkin sedikit sekali yang telah dilakukan di negara kita. Jika arkeologi-percobaan (experimental archaeology) tidak mulai digunakan secara efektif dan terkendali, mungkin kemajuan kita untuk menyelesaikan berbagai masalah arkeologi di Indonesia agak terhambat.