Mundardjito
1. Penalaran
Pembicaraan dalam makalah ini berpokok kepada masalah interpretasi fungsional
yang seringkali dihadapi para ahli arkeologi dalam rangkaian kegiatan eksplanatif. Seperti
semua ilmu tentang masa lalu yang tergolong interpretive science, arkeologi mendasarkan
eksplanasinya kepada penafsiran dari data yang yang diperoleh. Akan tetapi penafsiran
arkeologi yang tidak berakar pada data yang dicapai melalui serangkaian metode terkendali
dalam keseluruhan tingkat penelitian 2 , pasti tidak akan menghasilkan suatu penjelasan
ilmiah yang memuaskan. Makin sedikit informasi yang dimiliki artefak, makin banyak
masalah yang ditimbulkannya; makin kurang daya eksplanasi artefak, makin rendah mutu
interpretasinya.
Sampai
sejumlah sekarang
artefak banyak museum
yang fungsinya di berbagai
belum diketahui bagian
atau belumdunia masih
diyakini menyimpan
kebenarannya.
Beberapa keterbatasan tertentu telah menyebabkan hal ini. Artefak ditemukan dalam
keadaan fragmentaris, sehingga keseluruhan bentuknya tidak dapat diketahui dengan pasti,
sukar diberi penjelasan yang memuaskan melalui analisis bentuk . Artefak yang diserahkan
orang ke museum sebagai temuan lepas -- tanpa dilengkapi dengan data temuan-sertanya --
tidak dapat diterangkan fungsinya melalui analisis konteks, yang justru amat berperan
dalam rangkaian kegiatan penelitian arkeologi. Demikian pula bilamana di dalam suatu
ekskavasi seorang arkeolog menemukan artefak yang belum pernah dilihat sebelumnya,
dapat diduga betapa sukarnya atau kurang yakinnya ia menjawab beberapa pertanyaan
sederhana, seperti: benda apakah itu, untuk apa, bagaimana dibuatnya, dan bagaimana
memenuhi kebutuhan masyarakat. 3
benda itu digunakan dalam memenuhi
1
Karangan ini pertama kali diajukan sebagai makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi, yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional di Cibulan, tanggal 21--25
Februari 1977. Diterbitkan dalam Majalah-Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia VII (2) 1977:57--88, dan kemudian
dalam buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi, 1980:544--574. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional. Diterbitkan dalam bahasa Inggris berjudul The Problem of Functional Interpretation:
The Need of Ethnographic Analogy in Indonesia. Dalam: Aspek-aspek Arkeologi Indonesia, Aspects of
Indonesian Archaeology, No. 11, 1981. Pusat Penelitian
Penelitian Arkeologi Nasional,
Nasional, Jakarta: PT. Rifa Jaya.
2
Dimaksudkan dengan keseluruhan tingkat penelitian di sini ialah ketiga tingkat penelitian arkeologi yang
dikenal dalam Arkeologi Amerika, yaitu: tingkat penelitian observasi, tingkat penelitian deskripsi, dan
tingkat penelitian eksplanasi (Willey dan Phillips 1970; Deetz 1967). Kegiatan arkeolog dalam tingkat
terakhir ini disebut oleh Gordon Willey sebagai processual interpretation, menggantikan istilah functional-
interpretation, yang ia gunakan sebelumnya, karena istilah yang terakhir ini kurang mencakup seluruh
kegiatan eksplanasi. Rupanya Willey sukar menemukan istilah yang tepat, sehingga dikatakannya: " So little
work has been done in American Archaeology on the explanatory level that it is difficult to find a name for
it ."
." (Willey dan Phillips 1970:5).
3
Selain dari keterbatasan yang banyak disebabkan adanya masalah teknis arkeologis, yang sebenarnya dapat
diatasi dengan memperketat pengendalian metode pengumpulan data, ada pula masalah yang lebih subyektif,
dan dirasakan tidak mudah diatasi oleh ilmu arkeologi. Kita menyadari bahwa suatu artefak tidak selalu harus
ditafsirkan mempunyai fungsi tunggal dalam satu unit waktu tertentu, tetapi bisa juga berfungsi ganda atau
1
Dalam pertemuan ilmiah ini, ‘wadah pelebur logam’ dari Ekskavasi Banten 1976
diajukan sebagai satu kasus yang bertalian dengan masalah interpretasi fungsional.
Meskipun jumlah artefak ini cukup banyak dan beberapa di antaranya ada yang masih utuh,
tetapi hanya dengan analisis bentuk ( formal analysis) dan analisis konteks (contextual
analysis) saja, ternyata tidak dapat dihasilkan keterangan yang patut diyakini. Baru setelah
dilakukan studi analogi-etnografi (ethnographical analogy) dan percobaan peniruan
(imitative experiment ) yang diikuti dengan pemeriksaan laboratoris 4 , hasilnya cukup
berarti untuk membangun suatu hipotesis yang akan diuji pada penelitian lapangan
berikutnya. Sudah tentu kami tidak beranggapan bahwa cara penyelesaian masalah yang
kami lakukan adalah satu-satunya model kerja yang paling baik dalam mencapai kesatuan
pengetahuan tentang jenis aartefak
rtefak ini. Ini hanya merupakan sebuah model kerja yang pada
akhirnya berakibat pada rencana penelitian dan pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Kami menganggap bahwa hasil studi ini perlu dikemukakan dalam pertemuan yang
dihadiri oleh banyak ahli arkeologi, karena wadah pelebur logam adalah jenis artefak yang
amat langka ditemukan dalam penggalian-penggalian di manapun. Bahkan sejauh
pengetahuan kami, hingga kini belum pernah ada satu ekskavasi di Indonesia yang
menghasilkan temuan artefak serupa ini. Bukan hal yang mustahil jika kelak kita akan
menemukannya pada situs-situs yang tergolong dalam kelas situs-kota ( urban-site) atau
situs-pemukiman (settlement-site), yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang sudah
mengembangkan teknologi dan industri logam. 5 Dengan mengemukakan data serta
masalah yang berhubungan dengan ini, diharapkan pada waktu yang akan datang akan
dapat diperoleh data yang jauh lebih berarti dalam usaha kita untuk memberi sumbangan
kepada penyusunan sejarah teknologi.
lebih dari satu. Kita juga menyadari sepenuhnya bahwa fungsi artef
artefak
ak tidak senantiasa sama sepanjang masa,
melainkan dapat berubah-ubah dari satu masa ke masa berikutnya. Begitu pula sebuah artefak misalnya dapat
berbeda fungsinya dalam dua kelompok masyarakat yang tidak sama, tergantung kepada sistem atau
subsistem budaya yang mengikatnya. Lewis R. Binford telah mendiskusikan berbagai aspek dari fungsi
artefak dalam karangannya di majalah American Antiquity (Binford 1962).
4
Percobaan-peniruantelah dilakukan oleh Sdr. Samidi, Kepala Sektor Kemiko Arkeologi, dan pemeriksaan
laboratoris dikerjakan oleh anggota staf pada Laboratorium Kemiko Arkeologi, Proyek Pemugaran Candi
Borobudur (Laporan Khusus nomor 618/E.2/BB.1976).
5
Trowulan sebagai situs-kota (yang sampai sekarang dapat dijadikan sampel dari situs-kota dari masa
sebelum kota-kota "Islam") mungkin sekali memiliki situs-perbengkelan-logam seperti disebutkan di atas.
6
Ekskavasi
Banten 1976 diselenggarakan dalam bulan Juli dan merupakan program kerjasama antara Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional dalam Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala dengan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
7
Lihat: Jasper dan Pirngadie 1927, IV:25. Istilah yang dipakai dalam kepustakaan asing untuk wadah
pelebur logam ialah smeltkroes (Belanda) dan crucible (Inggris).
2
Ekskavasi Banten 1976 ini bentuknya silindrik seperti gelas atau cawan-dalam 8 , dibuat
dari bahan utama tanah liat, mempunyai ukuran bermacam-macam (tingginya antara 10--
14 cm), berdinding tebal (terutama jika dibandingkan dengan ketebalan wadah tembikar
biasa yang berukuran sama), dan bentuk permukaan dinding luarnya tidak rata melainkan
berceruk-ceruk kecil, serta terlapis oleh lapisan atau lelehan bekuan mineral berwarna
merah tua kilap kaca. Pada tepian wadah ( rim) 9 terdapat sebuah saluran terbuka ( cucuk,
bhs. Jawa),
tonjolan sedangkan
berbentuk padaatau
persegi bagian yang berhadapan
membulat. dengan
Dasar wadah tidaksaluran ini terdapat
rata, sehingga tidaksebuah
dapat
diberdirikan pada tempat yang datar, apalagi karena hampir semua dasar wadah digantungi
oleh bekuan mineral yang meleleh dan meruncing ke bawah. Warna permukaan dinding-
dalam kurang merah, tidak berlapis bekuan mineral, dan lekukan-lekukannya terbentuk
sebagai akibat tekanan oleh jari tangan dalam proses pembuatan.
Pecahan wadah pelebur logam untuk pertama kali diketahui ketika dilakukan survei-
permukaan beberapa hari sebelum ekskavasi. Karena belum dapat diidentifikasi
sepenuhnya, temuan ini hanya dianggap sebagai fragmen wadah tanah liat berwarna merah
kilap kaca. Temuan ini mudah sekali diamati dan amat mencolok di sela-sela gumpalan
tanah di ladang penduduk, karena selain dari warna merah dan kilaunya, juga beberapa di
antaranya telah ditemukan bersama-sama dengan partikel perunggu/tembaga yang
berwarna hijau cerah dan butir-butir arang berwarna hitam pekat. Daerah sebarannya ialah iala h
di situs Sukadiri (SKD), kira-kira 300 meter di sebelah baratdaya Mesjid Agung Banten
atau di sebelah barat Keraton Surosowan. Kemudian setelah ekskavasi berlangsung, dapat
pula dilihat beberapa wadah pelebur yang masih utuh pada irisan dinding sebuah sumur
milik penduduk dalam posisi berjajar dan tertangkup semua. Setelah temuan utuh
ditemukan, maka setiap artefak serupa diberi nama "Wadah X", untuk kepentingan
taksonomi selama ekskavasi berlangsung. Pemberian nama ini tentu bersifat sementara
sampai para peneliti Banten yakin akan fungsinya. Setelah penggalian berakhir, ternyata
telah dapat dikumpulkan 762 buah, terdiri dari 744 pecahan dan 18 buah yang masih utuh.
Sebaran temuannya ialah sebagai berikut:
8
Henry
Hodges mendeskripsikan wadah pelebur logam sebagai "a deep cup-shaped container " (Hodges
1971b:69).
9
rim
Dengan
kamus istilah ‘tepian’,
arkeologi; dan kamikami maksudkan
bedakan dengansebagai pengganti
istilah ‘bibir’ istilah
untuk (bhs.
mengganti Inggris)
kata seperti
lip (bhs. disebut
Inggris) yangdalam
juga
dikenal dalam terminologi pottery.
3
temuan wadah pelebur, juga ditemukan lantai bata yang masih tersusun seluas kira-kira 2 x
2 meter, sebuah hamparan bekuan bahan perunggu/tembaga seluas kurang lebih 1.5 x 0.5
meter, sejumlah besar partikel perunggu/tembaga, dan besi, kerak logam 11 , fragmen alat
besi, beraneka ragam pecahan wadah keramik lokal maupun asing, mata uang logam,
l ogam, dan
lain-lainnya, semuanya terdapat dalam kotak galian yang berisi tanah gembur berwarna
kehitaman bercampur butir-butiran arang kayu dan bambu.
3. Analisis
Merupakan satu keadaan yang menguntungkan apabila selama penggalian
berlangsung para peneliti dapat melakukan perjalanan studi ke desa guna memperoleh
pengetahuan yang berkenaan dengan temuan-temuannya. Sudah tentu hal serupa itu hanya
dapat dilakukan pada daerah-daerah tertentu, di mana berbagai kebiasaan dan tingkah laku
masyarakatnya dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi masa lalu. Demikian misalnya
untuk mendapatkan gambaran mengenai tembikar yang ditemukan dalam ekskavasi,
arkeolog biasanya berusaha memperoleh data bandingan dari kelompok masyarakat
pembuat tembikar (penganjun) yang desanya terletak dalam jarak yang dapat
dipertimbangkan. Pengetahuan ini dapat diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan
serangkaian wawancara. Tetapi masalahnya ialah di dekat situs ekskavasi belum tentu ada
desa yang masih menyimpan kebiasaan-kebiasaan membuat dan atau memakai tembikar.
Adalah ideal pula bilamana selama ekskavasi para arkeolog dapat melakukan beberapa
percobaan-peniruan tertentu, yang hasilnya amat diperlukan untuk pelaksanaan operasi
arkeologi yang sedang diselenggarakan. Namun kebiasaan membawa seperangkat
perlengkapan laboratorium lapangan belumlah ada di negara kita. Meskipun kemudian
diketahui bahwa di Bogor, yaitu di tempat pembuatan gamelan 12, mungkin dapat dilihat
benda-benda serupa wadah X yang sedang dipermasalahkan, namun beberapa keterbatasan
tertentu menyebabkan para peneliti mengurungkan keinginannya untuk mengamati tempat
itu. Dalam masa penggalian di Banten hanya dapat diselenggarakan analisis-bentuk dan
analisis konteks, seperti biasa dikerjakan oleh para ahli arkeologi.
Di atas telah diuraikan bagaimana bentuk wadah X yang ditemukan di Banten. Ditilik
dari bentuknya yang cekung seperti gelas, dapat diduga bahwa wadah ini dipakai untuk
menempatkan benda cair. Kegunaan benda ini makin jelas karena pada tepian wadah
terdapat sebuah saluran penuang cairan dan juga semacam pegangan yang diduga untuk
memudahkan pelaksanaan penuangan itu. Kemudian jika dilihat hasil klasifikasi wadah X
10
Himpunan temuan atau himpunan adalah istilah yang kami berikan untuk pengertian assemblage,
sedangkan untuk istilah aggregate kami terjemahkan menjadi kumpulan temuan atau kumpulan (Lihat Childe
1956:31).
11
Dimaksudkan dengan kerak logam ialah sisa tuangan atau sisa tempaan logam besi atau perunggu. Kerak
besi ialah istilah untuk mengganti istilah iron-slag, sedangkan kerak perunggu untuk istilah bronze-slag. Ciri-
cirinya ialah: berbentuk gumpalan tidak teratur sampai sebesar kepal tangan, permukaannya tidak rata,
banyak lekukan dan lubang pori-pori, berwarna coklat kekuning-kuningan karena berkarat, di beberapa
tempat kelihatan ada arang, bagian dalam berwarna antara abu-abu sampai hitam, timbangannya berat. Orang
sering mengumpulkannya untuk campuran bahan bangunan, atau meleburnya lagi jika kadar besi atau
perunggunya masih cukup banyak. Bagi arkeologi, ini penting diperhatikan karena benda-benda sisa
pengerjaan logam ini menjadi salah satu indikator penting untuk mengetahui jenis situs (yaitu situs
perbengkelan), jenis komunitas (yaitu komunitas industri), dan lain-lain. Kerak besi ditemukan juga di situs
Bukit Patenggeng, Subang (Mundardjito dkk. 1973:33--34), di situs Ratu Baka (Teguh Asmar dkk. 1973:33),
di situs Bowongan (Laporan Penataran Metode Arkeologi 1976:66), di situs Pasir Pasarean di dataran tinggi
Bandung (benda-bendanya dipamerkan di Museum Geologi Bandung), dan di situs halaman bawah Candi
Borobudur sebelah baratdaya.
12
Periksa Isobel Shaw 1976.
4
yang menunjukkan adanya aneka ukuran 13 , maka kita dapat menduganya bahwa wadah ini
digunakan untuk cairan dalam ukuran jumlah yang berbeda-benda pula. Fungsinya
mungkin semacam gelas-ukur di laboratorium. Menilik kepada tanda-tanda bekas terbakar
yang terdapat pada dinding luar dan dinding dalam wadah, serta seringkali dijumpai arang
menempel pada badannya, mungkin benda ini digunakan untuk mendidihkan benda cair
pada tungku perapian. Bentuk tungku ini harus sedemikian
se demikian rupa sehingga wadah ini dapat
berdiri, terutama karena dasar wadah itu berbentuk cembung dan sering merupakan tempat
berkumpulnya bekuan bahan tertentu (yang mengakibatkannya makin tidak rata).
Permukaan dinding luar juga berkerut-kerut dan tidak rata, padahal permukaan wadah
tembikar pada umumnya rata. Hampir seluruh badan wadah dilapisi bahan cairan panas
yang kemudian membeku dan membentuk kerut-kerut, ceruk-ceruk, dan tonjolan-tonjolan
yang amat tidak teratur. Lapisan luar yang terdapat pada permukaan badan wadah ini lebih
banyak menunjukkan warna merah tua dan berkilau jika kena cahaya, serta di beberapa
tempat seringkali berwarna hijau kehitaman.
Semua data yang disebutkan tadi membawa kita kepada anggapan bahwa wadah X
dipakai untuk memasak cairan berwarna merah dan diletakkan di atas perapian. Bekuan
warna merah yang meleleh pada dinding luar mungkin merupakan tumpahan cairan dari
dalam wadah pada saat pemanasan dilakukan. Berdasarkan peta Serrurier tahun 1900 yang
tidak berskala itu 14, situs yang digali para peneliti bisa termasuk daerah Pajantran (tempat
pertenunan), tetapi bisa juga termasuk daerah Kapandean (tempat pemandaian logam).
Apabila kita hubungkan temuan wadah X ini dengan Pajantran, kita dapat beranggapan
bahwa artefak ini digunakan untuk memasak cairan tertentu untuk memberi warna kain
tenun yang diproduksi. Dengan demikian warna merah pada dinding adalah tumpahan
benda cair dari dalam. Tetapi pendapat ini menimbulkan pertanyaan berikutnya: apakah
semua kain tenun yang dikerjakan di sini hanya diberi warna merah? Sebaliknya, kalau ini
dihubungkan dengan Kapandean, kita dapat menduga bahwa wadah X tersebut
dimaksudkan orang untuk mencairkan logam. Jenis logam apa yang membuat warna merah
pada dinding luarnya dan mengapa pada dinding dalam dal am tidak berwarna serupa itu, semua
ini adalah pertanyaan yang hanya mungkin dijawab dengan analisis-khusus di
laboratorium. Namun, dari data analisis-kontekstual seperti akan diuraikan di bawah nanti,
kita dapat mempunyai kecenderungan untuk mengambil pilihan kedua.
Dari sudut teknik pembuatannya dapat diamati bahwa wadah X dibentuk dengan
teknik tangan, tidak dengan teknik memutar dengan roda-putar ( turntable) 15 . Dugaan ini
didasarkan pada kenyataan-kenyataan sebagai berikut: (1) permukaan dinding-dalam yang
berlekuk-lekuk atau bergelombang menunjukkan lekukan bekas tekanan oleh jari tangan
pembuatnya; (2) permukaan dinding-dalam tidak menampakkan garis-garis sejajar bekas
putaran roda-putar ( striation); dan (3) dilihat dari keseluruhan bentuknya wadah ini kurang
simetris serta tidak konsentris. Dari permukaan dinding-dalam dapat pula kita amati bahwa
dalam proses pembuatannya tidak digunakan pelandas (anvil). Hal ini memang dapat
disebabkan pemadatan dinding tidak diperlukan, tetapi juga mungkin karena sempitnya
ruang gerak. Sehingga sekalipun dipakai pelandas kecil, secara teknis tidak dapat
dikerjakan dengan efektif. Jika ditilik dari ketebalan dinding yang tidak seimbang dengan
13
Untuk kepentingan klasifikasi taksonomis, kami menggolongkannya ke dalam 3 kelas, yaitu: (1) tipe
besar, berukuran tinggi 20 cm, diameter 15 cm, dan tebal 3 cm; (2) tipe sedang, berukuran 15, 10, dan 2 cm;
dan (3) tipe kecil, berukuran 15, 8, dan 1 cm.
14
Lihat Peta sketsa Banten Lama yang dibuat oleh K. Serrurier, TBG, XLV, 1902.
15
Istilah
potter's "roda
wheel putar"
, tetapi mungkin
amat umum dirasakan
digunakankurang tepat,arkeolog.
di kalangan sama halnya dengan
Dalam istilah yang
kepustakaan juga kurang
arkeologi dikenaltepat:
pula
tournette, selain turntable. Sedangkan istilah lokalnya (Jawa atau Sunda) ialah perabot atau
atau perbot .
5
ukuran tinggi dan lebarnya, dapat ditafsirkan bahwa pemadatan dengan alat pemukul atau
tatap ( paddle
paddle), tidak dilakukan. Apalagi jika kita amati lebih jauh lagi bahwa dinding
wadah amat berpori. Hal ini memberi gambaran bahwa proses pemadatan dinding tidak
terjadi. Seakan-akan ketebalan yang menyolok dan berpori banyak itu, dimaksudkan untuk
memberikan kemungkinan adanya daya lentur yang dibutuhkan oleh wadah X, terutama
dalam menghadapi proses pemanasan yang tinggi. Sehubungan dengan ini kita dapat pula
mengajukan pertanyaan yang sifatnya tidak mendukung adanya hubungan antara wadah X
dengan kegiatan pertenunan di Pajantran; apakah cairan warna untuk kain tenun itu perlu
dipanaskan sedemikian tinggi, jauh lebih tinggi daripada titik didih air?
Dari konteks temuan-serta di SKD VII, yaitu: (1) sejumlah partikel perunggu dan
butiran arang yang menempel pada dinding wadah X, (2) ( 2) beberapa
bebera pa fragmen
f ragmen alat-alat
alat -alat besi,
(3) fragmen-fragmen cetakan untuk mencetak benda logam yang terbuat dari tanah liat, (4)
sejumlah kerak besi dan kerak perunggu, (5) hamparan bekuan perunggu seluas 1.5 x 0.5
meter, dan (6) tanah deposit berwarna hitam sebagai akibat percampurannya yang terus-
menerus dengan arang, semua data konstektual ini memberi petunjuk mengenai hubungan
yang erat antara wadah X dengan hal-hal yang berkenaan dengan sistem pengerjaan benda
logam. Jadi apabila harus dijatuhkan pilihan, maka kita akan lebih cenderung memilih
hubungannya dengan kegiatan memandai logam di Kapandean daripada dengan Pajantran.
Melalui dua macam analisis yaitu analisis-bentuk (analisis spesifik) dan analisis-konteks,
maka untuk sementara kita dapat menarik kesimpulan bahwa situs SKD VII pada
khususnya adalah bengkel kerja pandai logam, di mana dahulu dilakukan pekerjaan pandai-
tempa maupun pandai-tuang.
Akan tetapi dengan kesimpulan tersebut di atas tidaklah berarti bahwa masalah
interpretasi fungsional telah selesai. Menurut hemat kami semua data yang telah diperoleh
selama ekskavasi, masih harus diuji dan ditambah dengan bahan etnografi yang dapat
dikumpulkan sesudah masa ekskavasi. Para peneliti Banten beranggapan bahwa dengan
analogi-etnografi mungkin dapat diungkapkan hubungan antara wadah X dengan temuan-
temuan lainnya di SKD VII, seperti: bangunan struktur berupa lantai bata berukuran 2 x 2
meter, sekitar 1500 buah fragmen wadah keramik lokal dan keramik asing, 4 buah mata
uang logam 16 , 12 buah terakota bulat ( gacuk , bhs. Jawa; terracota disc, bhs. Inggris) 17,
sejumlah kerang, karang, siput, lokan, ikan, tulang burung, dan lain-lain. Pengumpulan
bahan etnografi dengan dilandasi oleh pemikiran yang berorientasi kepada masalah
arkeologi, menurut hemat kami adalah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Pertimbangan teoritis yang melandasi penggunaan analogi-etnografi dalam
interpretasi arkeologi sebagaimana disebutkan di atas telah menarik perhatian para ahli
arkeologi dan antropologi dalam 15 tahun terakhir ini. 18 Landasan konsepsional dari
penggunaan persejajaran ini ialah pandangan uniformitarianism dari gejala-gejala alam dan
tingkah laku manusia. 19 Gejala alam pada masa lalu yang berkenaan dengan stratifikasi,
16
Dua di antara mata uang itu telah dapat diidentifikasi oleh Bagian Numismatik Museum Pusat Jakarta,
sebagai mata uang VOC yang
yang berasal dari tahun 1769 dan 1770, terbitan Dordrecht (Belanda).
17
Artefak-artefak ini hanya ditemukan di SKD VII. Diameternya antara 0.50, 1, 2, 3, dan 4 cm. Ditilik dari
sisinya yang tidak rata, tampak bahwa gacuk-gacuk ini tidak dibuat secara khusus, dalam arti dikerjakan lebih
dulu dengan rapi sebelum dibakar. Kami berpendapat, artefak ini dibuat dari pecahan wadah keramik lokal
yang sudah tidak dipakai
dipakai lagi. Sukar menafsirkan
menafsirkan fungsi sebenarnya, karena keletakannya dalam satu
himpunan dengan alat-alat dan sisa-sisa pengerjaan logam, tidak mendukung anggapan bahwa gacuk
berfungsi keagamaan, seperti misalnya yang mungkin dimiliki oleh artefak serupa yang ditemukan di situs
Borobudur atau Palembang (Ekskavasi Palembang 1974).
18
Lihatkarangan-karangan Robert Ascher 1961 dan 1962; Lewis R. Binford 1967 dan 1968; Chang 1967;
Leslie Freeman 1968.
19
Periksa Watson dkk. 1971:49
6
erosi, gerakan tektonis dan sebagainya, dapat ditafsirkan melalui studi mengenai gejala-
gejala serupa pada masa kini. Tingkah laku manusia dalam penciptaan dan penggunaan
sistem peralatan untuk menanggapi lingkungan alam pada masa lampau, dapat dipelajari
melalui studi etnografi dari berbagai masyarakat sekarang yang belum banyak mengalami
perubahan-perubahan. Pengalaman telah membuktikan bahwa sukar bagi kita untuk
melakukan interpretasi arkeologi sebelum kita melihat dan mengenal gejala-gejala yang
sama yang terdapat dalam suatu masyarakat yang masih hidup. Alat batu yang semula
dianggap sebagai gejala alam (gigi gledek), baru dapat diketahui sebagai alat kerja
manusia, setelah Mercati pada abad ke-16 mengetahui fungsi alat itu dalam masyarakat
yang belum dijamah oleh Revolusi Industri. 20 Baru jauh sesudah itu, yaitu setelah 300
tahun, kapak batu yang masih dipasang pada gagangnya dapat ditemukan di Swiss.
Untuk kepentingan pemecahan masalah fungsi wadah X, maka dalam masa ekskavasi
beberapa mahasiswa antropologi dan arkeologi peserta ekskavasi melakukan pengumpulan
data etnografi di desa Kepandean (nama yang sama dengan situs yang sedang digali, tetapi
daerahnya lain), Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang. Di desa yang berpenduduk sekitar
3000 orang dengan 450 buah rumah, terdapat 20 bengkel pengerjaan logam besi. Para
pengamat telah merekam denah dan keletakan bengkel, serta alat-alat dan perlengkapan
barang-tidak-bergerak yang ikut berperan dalam proses pembuatan alat-alat dari besi.
Lebih dari 20 macam alat telah digambar bentuknya, dicatat kegunaan dan cara pakainya,
serta nama-nama alat. Selain dapat diamati proses dan cara kerja, telah diamati pula
beberapa aspek tingkah laku lain yang mungkin berguna
ber guna kelak bagi eksplanasi arkeologi.
Namun, justru benda yang berbentuk seperti
s eperti wadah X tidak ditemukan. Hal ini kemudian
dapat dipahami karena di tempat ini hanya dilakukan pekerjaan menempa besi, dan tidak
ada pekerjaan lebur-melebur seperti yang terdapat dalam kegiatan pengerjaan alat-alat
perunggu.
Menyadari masih kurangnya data-masuk untuk bahan banding, maka sesudah
ekskavasi selesai, dilakukan perjalanan studi ke desa Pancasan, kotamadya Bogor. Bengkel
kerja yang dimiliki dan dipimpin oleh Sukarna, adalah satu-satunya tempat di Jawa Barat
yang sampai saat ini masih membuat instrumen musik gong dan alat gamelan lain. 21 Di
tempat inilah dapat dilihat proses pembuatan gong dari mulai saat melebur dan mencampur
tembaga dengan timah di dalam wadah pelebur (kowi), mencetaknya dalam cetakan dari
tanah liat, menempanya setelah dipanaskan dalam bara api, sampai terbentuk sebuah gong
berdiameter 90 cm.
c m. Yang penting ialah di sini dapat dilihat sejumlah
s ejumlah wadah pelebur logam
l ogam
yang sudah tidak dapat dipakai lagi, tergeletak dan terlena di sudut-sudut bengkel.
Beberapa di antaranya masih utuh, tetapi kebanyakan sudah pecah. Seluruh situasi dapat
direkam dengan mudah karena keterbukaan pemilik yang benar-benar mempunyai keahlian
turun-temurun.22
Di tempat ini dapat dilihat konteks dari wadah pelebur logam dengan amat jelas,
serta fungsinya di dalam seluruh kegiatan. Konteks itu ialah: (1) tebaran arang di seluruh
ruangan sehingga lantai tanah berwarna hitam, (2) tempat-tempat perapian berbentuk
cekungan-cekungan di lantai tanah dalam berbagai ukuran dan penuh terisi arang dan abu,
(3) bak air untuk mendinginkan logam membara yang sedang dalam proses pembentukan,
20
Lihat Childe 1956:48.
21 Menurut Isobel Shaw pada tahun 1945 ada 20 ahli pembuat gong yang bekerja di Jawa Barat.
Dikatakannya juga bahwa sekarang hanya tinggal dua yang giat bekerja di seluruh Jawa, yaitu Bpk.
Resowiguno di Solo dan Bpk. Sukarna di Bogor.
22
Menurut melanjutkan
berkeinginan Sukarna sendiri, yangyang
pekerjaan mendapat pengetahuan
membutuhkan dari khusus
keahlian ayahnya
ini.(almarhum), anaknya
Dengan demikian tidak
Sukarna
adalah ahli pembuat gong yang terakhir di wilayah Jawa Barat.
7
hitam
melihatpada waktu
warna bekerja
api dan tidak
logam diperhatikan,
membara secara karena alasanwarna
tepat. Justru denganapikacamata
ini yang hitam mereka
menjadi tidakapakah
petunjuk dapat
menempa masih harus dilanjutkan atau berhenti, untuk kemudian dibakar lagi dalam perapian.
8
yang memiliki tungku atau perapen; 4 buah di antaranya merupakan perapen besar yang
dapat membuat satu set lengkap gamelan Bali. Terdapat 25 orang ahli, termasuk Wayan
Sandia, 75 orang setengah atau kurang ahli, dan kira-kira 100 orang pembantu tukang.
Pengamatan langsung dilakukan di sebuah perapen besar, satu perapen kecil yang sedang
bekerja, satu perapen kecil yang sedang tidak bekerja, 28 dan sebuah perapen kecil yang
diminta oleh peneliti untuk digunakan membuat wadah pelebur, sampai kepada proses atau
tahap peleburan di dalam tungku dan penuangan cairan perunggu dalam cetakan. 29
Demikian pula wawancara dilakukan terhadap beberapa orang terdiri dari ahli, setengah
ahli, dan pembantu tukang. 30
Bengkel kerja letaknya berdampingan dengan rumah tinggal di dalam pagar tembok
keliling. Sama seperti di Bogor, di Tihingan pun dapat dilihat konteks sebagai berikut:
tebaran arang di mana-mana, tempat perapian lebih dari satu, 31 bak air pendingin logam
membara, batu pelandas tempa berbentuk persegi panjang, alat penghembus udara
(ububan), 32 cetakan-cetakan dari berbagai ukuran, serta beraneka bentuk dan ukuran
peralatan tempa, capit dan cukil. 33 Dan sudah tentu yang paling penting ialah sejumlah
wadah pelebur logam yang sudah dipakai melebur, dalam bentuk utuh atau pecahan,
bertebaran di sudut-sudut ruangan, bertumpuk di dekat tungku,34 atau di tempat
pembuangan sampah.
Bentuk musa dari Tihingan tidak buntak seperti kowi Bogor, tetapi profilnya
menyerupai gelas, sama seperti wadah X Banten. Musa juga mempunyai sebuah saluran
pada tepiannya, seperti dimiliki oleh wadah X Banten. Selain itu, ciri-ciri lain
menunjukkan persamaan antara kedua wadah itu, ialah: permukaan dinding-dalam tidak
semerah dinding-luar dan lebih menunjukkan warna hitam, dinding-luar berwarna merah
tua kilap kaca dan berlekuk-lekuk, dasar wadah cembung, bahan utamanya tanah liat,
dindingnya tebal dan berpori banyak sehingga tidak keras-padat, serta ukurannya berbeda-
beda. 35 Kecuali musa Tihingan tidak mempunyai semacam pegangan pada tepiannya,
hampir seluruh ciri-ciri pokoknya memiliki kesamaan. Persamaan atribut ini mendorong
para peneliti untuk berpendapat bahwa wadah X Banten mempunyai fungsi yang tidak
berbeda dengan wadah pelebur Tihingan, yang digunakan untuk melebur
melebur logam, dan bukan
28
Selain melihat kegiatan bekerja, yang tentu juga bermanfaat, arkeolog sering merasa lebih bermanfaat
untuk melakukan pengamatan sendiri secara langsung terhadap sisa-sisa dari kegiatan para pekerja.
Pengamatan atas sisa-sisa yang tidak bergerak ini ( fossilized behavior ) tak ubahnya seperti ahli arkeologi
mengamati situs arkeologi yang sedang ditelitinya. Seringkali jika wawancara dilakukan, arkeolog dapat
terpengaruh oleh keterangan dari wawancara itu.
29
Orang yang membuat wadah pelebur ialah Bpk. Sukerti, yang bekerja pada seorang ahli bernama Pan
Perapti. Para pelebur perunggu adalah Made Degdeg dan Nyoman Sumerta. Sedangkan yang menjalankan
ububan adalah Ktut Sumanti dan Wayan Puniasiti.
30
Tingkat keahlian para pekerja tampak nyata sekali, terutama pada saat mereka sedang bekerja. Peranan
dan tanggungjawabnya berbeda, namun secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang amat erat dan
saling berkaitan.
31
Banyak perapen yang mempunyai ububan lebih dari satu. Dalam prasasti Jawa Kuno dinyatakan bahwa
seorang pandai logam yang memiliki ububan lebih dari tiga pasang, harus membayar pajak (Buchari 1976:7).
32
Semua perapen di desa ini menggunakan ububan tipe silinder (Lihat catatan nomor 22).
33
I Wayan Sandia memiliki alat-alat tidak kurang dari 30 macam.
34
Tungku di Tihingan merupakan satu bangunan struktur, yang dibuat sedemikian rupa sehingga bahan
bakar arang dapat dihemat. Sedangkan tungku di Borobudur hanya berbentuk sebuah cekungan lebar dengan
garis tengah sampai 2 meter dan seluruh cekungan ditimbuni arang bakar.
35
Musa
Musa
gong yang
besar tingginya
yang beratnya2024cm
kgdan diameternya
dibutuhkan 13musa
4 buah cm berisi 6 kg bahan
. Sedangkan yangperunggu,
berukuransehingga untuk
15 x 12 cm sebuah
(diameter)
berisi 5 kg; yang berukuran 14 x 10 cm untuk 3 x 8 cm untuk 1 kg pe
perunggu.
runggu.
9
untuk melebur cairan bahan lain. Pendapat ini dapat didukung oleh persamaan konteks,
ialah: tanah gembur berwarna hitam dan mengandung abu, butiran-butiran arang tersebar di
mana-mana, lantai tidak semua datar tetapi ada bagian-bagian yang lebih rendah, wadah
pelebur ada yang tersusun
t ersusun dengan cara tertangkup dan ada yang tersebar
te rsebar begitu saja,
saja , terda-
pat partikel-partikel perunggu dan kerak logam, dan alat-alat dari besi (dalam hal ini di
Banten tentu hanya dapat ditemukan fragmen yang sukar diketahui bentuk aslinya). Tetapi
yang masih menjadi persoalan ialah: apakah wadah pelebur Banten dipakai dalam rangka
kegiatan membuat gong dan alat gamelan lain, atau untuk keperluan lain? Pertanyaan ini
belum dapat terjawab.
Pertanyaan mengenai apa sebabnya terdapat hamparan perunggu di SKD VII,
agaknya dapat terjawab oleh kenyataan-kenyataan yang sering dialami para pandai di
Tihingan. Apabila pada saat sedang melebur logam, musa di dalam tungku pecah, maka
cairan perunggu akan tertumpah ke dasar tungku atau perapen dan akan membentuk
hamparan perunggu. Itulah sebabnya para pandai di Tihingan membuat konstruksi tungku
sedemikian rupa terbuka pada dindingnya sehingga cairan perunggu yang tertumpah dapat
diambil lagi. Hal itu dianggapnya sukar jika terjadi pada tungku model Bogor.
Masalah tinggi rendahnya lantai SKD VII, mungkin juga dapat dicari jawabannya
pada bengkel-bengkel di Tihingan. Mereka berpendapat apabila seluruh ruangan lantainya
rata, maka para penempa akan terlalu bungkuk dalam melaksanakan penempaan logamnya.
Mereka berdiri pada lantai yang rendah, sedangkan benda yang ditempa terletak pada lantai
yang lebih tinggi. Mereka tidak dapat mengerti mengapa di Bogor seluruh lantai dalam
ruangan bengkel rata, sehingga semua penempa bekerja lebih membungkuk.
Berdasarkan pada kenyataan di Bali maupun di Bogor, yaitu letak bengkel kerja
berdampingan dengan rumah tempat tinggal, maka bukan hal yang mustahil jika benda-
benda yang secara langsung tidak termasuk dalam sistem pengerjaan logam, dapat
memasuki ruangan bengkel kerja. Selama bekerja, para pekerja pada saat-saat tertentu
mengambil istirahat sambil makan dan minum. Agaknya kini dapat dimengerti mengapa di
SKD VII ditemukan tembikar-tembikar, sisa-sisa makanan, mata uang, dan sebagainya.
Para peneliti telah melihat sendiri bagaimana musa Tihingan dibuat. Bahannya hanya
terdiri dari tanah liat dan kulit padi yang telah dibakar. Setelah kedua bahan itu dicampur
hingga padu, mulailah bahan campuran itu dibentuk dengan tangan, 36 hingga membentuk
musa. Wadah pelebur logam ini yang masih basah ini kemudian dianginkan di bawah atap
rumah supaya musa menjadi agak kering (istilah bhs. Inggris: hard leather ). ). Sesudah itu
dijemur di halaman rumah di bawah terik matahari. Selanjutnya musa diletakkan di dekat
tungku api beberapa waktu lamanya, sehingga dianggap cukup kering dan cukup tahan
untuk dipakai melebur perunggu dengan panas bersuhu tinggi (kira-kira 1.100 o C). Setelah
dipakai melebur ternyata dinding-luar musa menjadi berkerut-kerut dan berwarna merah
kilap kaca, sedangkan dinding dalamnya tidak demikian, hanya berwarna agak merah
kehitaman saja. Semua data ini tentu amat bermanfaat untuk interpretasi wadah X. Yang
belum dapat dimengerti oleh para peneliti
penelit i ialah
ia lah mengapa permukaan dinding luar menjadi
berkerut-kerut, padahal tidak ada bahan lapisan apapun yang dilapiskan pada dinding-
luarnya. Pengamatan terus-menerus selama proses peleburan sama sekali tidak
menunjukkan adanya luapan cairan perunggu, yang semula diduga menyebabkan keadaan
fisik musa yang berkerut-kerut itu.
Menyadari perlunya penjelasan ilmiah mengenai hal ini, maka sampel Tihingan
dikirim ke laboratorium di Candi Borobudur disertai dengan berbagai data dan sejumlah
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan sedemikian rupa sehingga maksudnya
36
Di Bali teknik pembuatan musa dengan tangan disebut calcalan.
10
mudah diketahui oleh para spesialis yang bukan arkeolog. Dan data yang diharapkan akan
diperoleh ialah yang mungkin dapat digiring kepada masalah-masalah yang dihadapi.
Demikianlah suatu percobaan-peniruan (imitative experiment ) diselenggarakan untuk dapat
mengamati dan menjelaskan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi atau tidak terjadi
atas sampel Tihingan yang menjadi obyek penelitian. Meskipun perlengkapan di
laboratorium itu dinyatakan kurang lengkap untuk masalah seperti ini, namun dengan alat
makroskop dan mikroskop polarisasi misalnya, cukup dapat diperoleh data tambahan bagi
interpretasi arkeologi.
Pertimbangan teoritis untuk menggunakan metode ini sama seperti analogi-etnografi,
yaitu uniformitarianism. Dengan cara seakan-akan melakukan kegiatan seperti manusia
pada masa lalu, maka dapatlah diamati gejala-gejala tertentu. Demikian misalnya Iversen,
mengadakan percobaan-peniruan dengan menggunakan kapak batu untuk memotong
sebatang pohon, 37 Outwater mencoba memotong dan menyerut kayu dengan alat batu yang
lebih kecil 38 , melubangi manik-manik batu oleh Haury 39 , menggali dengan alat batu oleh
Sonnenfeld,40 atau mengadakan eksperimen untuk melihat perbedaan antara batu hasil
tingkah laku manusia dengan hasil kegiatan alam oleh Harner. 41 Demikian pula telah
dilakukan peniruan membakar barang tanah liat oleh Mayes, 42 menggunakan tungku tanah
liat oleh O'Kelly, 43 menggambar lukisan pada dinding gua untuk menghasilkan garis-garis
dan warna di permukaannya oleh Johnson, 44 sampai kepada suatu eksperimen peniruan
terkenal yang dilakukan oleh sarjana Heyerdhal untuk menirukan kemampuan orang masa
lalu berlayar dari Amerika Selatan ke Polynesia. 45
Percobaan-peniruan disertai dengan pemeriksaan laboratoris terhadap sampel
Tihingan yang diselenggarakan oleh laboratorium kemiko-arkeologi di Candi Borobudur,
telah menghasilkan data sebagai berikut:
1 Guna memenuhi titik lebur perunggu (sekitar 1.100 o C), wadah pelebur harus
dipanaskan lebih tinggi, sekurang-kurangnya 100o C lebih; ini berarti suhu api di luar
wadah lebih panas daripada di dalam wadah.
2 Dalam proses peleburan perunggu, unsur mineral dalam wadah yaitu besi (Fe) dan kaca
(Si) akan ikut mencair, tetapi hal itu hanya terjadi pada dinding-luar saja.
3 Setelah pemanasan berhenti, cairan Fe dan Si akan membeku dan membentuk sejumlah
benjolan (amorf ) dan beberapa retakan kecil pada dinding-luar wadah karena
perubahan suhu yang mendadak.
mendadak.
4 Warna merah-tua
sedangkan kehijauan
kilap kaca pada cahaya
yang tembus dinding-luar disebabkan
disebabkan karena oksidasi dari Fe,
karena silikanya.
5 Suhu di dalam wadah tidak sepanas di luar, karena itu unsur mineral wadah tidak ikut
mencair, sehingga meskipun sama-sama mengalami perubahan temperatur yang
mendadak, tetapi tidak menghasilkan benjolan merah kilap kaca pada dinding-dalam
37
Lihat Iversen 1959.
38
Lihat Outwater 1957.
39
Periksa artikel Haury 1931.
40
Periksa artikel Sonnenfeld 1962.
41
Lihat artikel Harner 1956.
42
Periksa karangan Mayes 1961 dan 1962.
43
Lihat artikel O'Kelley 1954.
44 Periksa artikel Johnson 1957.
45
Lihat artikel Heyerdhal, 1950.
11
wadah.
6 Selain dari faktor ekonomis yang tidak diinginkan, cairan perunggu tidak akan tumpah
karena pemanasan tidak akan mencapai titik didihnya, yaitu 2.336o C, tetapi cukup
dapat melebur Fe yang titik-leburnya 1.535o C dan titik-lebur Si 1.414o C.
4. Kesimpulan
Dengan berusaha mengumpulkan berbagai data yang telah dicapai melalui beberapa
metode analisis seperti dikemukakan di atas, maka dapatlah kiranya kita sekarang memberi
penjelasan yang dapat diterima akal sehat mengenai temuan wadah X Banten, sebagai
sebuah hipotesis yang nanti akan diuji dalam penelitian lapangan berikutnya. Wadah X
Banten adalah wadah pelebur logam yang dibuat dari tanah liat, digunakan untuk melebur
perunggu dalam rangkaian pekerjaan membuat alat musik gamelan.
Bahan perunggu di dalam wadah dicairkan dengan suhu yang tinggi, untuk kemudian
dituangkan ke dalam cetakan terbuka melalui saluran pada tepian wadah, dengan bantuan
alat pencapit panjang yang dicapitkan pada semacam pegangan wadah. Wadah pelebur
dengan ukuran tertentu dipakai sesuai dengan jumlah cairan perunggu yang dibutuhkan
untuk membentuk alat gamelan dengan ukuran tertentu pula. Wadah pelebur yang
berukuran besar dipakai untuk membuat benda besar, wadah kecil untuk benda kecil.
Wadah pelebur dikerjakan dengan teknik tangan tanpa roda-putar. Letak bengkel kerja ini
berada tidak
t idak jauh dari rumah tinggal para pekerja dan setidak-tidaknya mereka
mere ka melakukan
kegiatan itu di Banten (SKD VII) sampai tahun 1770, berdasarkan sejumlah temuan mata
uang VOC . 46
Dengan hipotesis ini, maka penelitian lapangan berikutnya berupa ekskavasi di situs
SKD VII (yang baru digali seluas 3 x 4 meter dan hanya sedalam 0.50 meter) perlu
diperluas lagi untuk memberikan kemungkinan pengumpulan data yang bisa memperkuat
dugaan kita. Jumlah fragmen alat-besi yang telah ditemukan amat sedikit dibandingkan
dengan yang ada pada bengkel masa sekarang. Di Tihingan misalnya, sebuah bengkel
memiliki perlengkapan tidak kurang dari: 5 palu besar, 5 palu kecil, 5 pencapit, 5 pencukil,
10 kikir, 1 buah landasan, 2 pasang ububan, 2 tungku api, 1 bak air, dan sebuah ruangan
yang cukup luas untuk bekerja lebih dari 5 orang. Demikian pula dengan pengetahuan kita
tentang tata-letak (lay-out ) bengkel pada umumnya, tentu data ini dapat dipakai sebagai
pedoman yang amat bermanfaat bagi operasi arkeologi selanjutnya.
Kita tahu bahwa dari masa prasejarah Indonesia sudah banyak ditemukan alat-alat
perunggu, seperti: nekara, aneka jenis kapak, bejana, senjata, perhiasan, boneka, dan
sebagainya. Bahkan kita dapat menemukan di Manuaba 47 sisa-sisa dari proses pengerjaan
berupa cetakan-cetakan dari tanah liat, yang merupakan petunjuk adanya situs
perbengkelan atau
at au si
situs
tus industri. Dari masa Indonesia-Hindu kita pun menemukan banyak
artefak perunggu seperti: arca, genta, lampu, talam, kendi, periuk, dan prasasti. Bahkan
dari prasasti Jawa Kuno, kita mengenal bermacam-macam pandai di antara kelompok
pedagang (masamwyawahara ), yaitu pandai mas ( pandai
pandai mas), pandai besi ( pandai
pandai wsi),
pandai tembaga ( pandai
pandai tamra), dan pandai perunggu ( pandai 48
pandai gansa). Dari berita
46
Di antara 29 mata uang logam yang ditemukan di seluruh kotak-kotak ekskavasi di SKD ada 13 buah
yang telah dapat diketahui. Dua mata uang berasal dari Banten sendiri (sebuah di antaranya bertuliskan
"Pangeran Ratu ing Banten", sehingga mungkin pangeran yang dimaksud ialah Sultan Maulana Hasanuddin
sekitar tahun 1580); 10 mata uang VOC dari
dari berbagai tahun (mulai dari 1724 hingga 1792); dan sebuah lagi
mata uang Republiek Batavia dari tahun 1808. Di SKD VII, dua mata uang VOC yang yang ditemukan bersama-
sama dengan wadah pelebur ialah dari tahun 1769 dan 1770. Lihat juga catatan nomor 15.
47
Lihat Soejono 1975:241.
48
Lihat karangan Buchari 1976.
12
prasasti, kita mengetahui bahwa jika sebuah bengkel memiliki ububan lebih dari
dar i 3 pasang,
pemilik-pemilik bengkel tersebut akan dikenakan pajak. Ini mungkin dapat memberi
petunjuk bahwa ukuran normal dari sebuah bengkel logam pada masa itu mempunyai 3
pasang ububan, dan lebih dari
dari itu dianggap berlebihan dan harus dikenakan p
pajak.
ajak.
Dari masa ini kita juga mengenal relief, yaitu di Candi Sukuh (abad ke-15 M),
menggambarkan adegan di sebuah tempat pembuatan keris. Di dalam sebuah rumah
bertiang 4 dan beratap kayu (sirap), seorang pandai logam dengan pembantunya sedang
bekerja dengan berbagai alat perlengkapannya dan hasil produksinya. Tampak sepasang
ububan silindrik yang sedang dipompa oleh seorang pembantu. Di sini tidak tampak alat-
alat besar seperti yang terdapat pada bengkel gamelan, sehingga mungkin benar dugaan
Bernet Kempers 49 bahwa adegan ini menggambarkan pandai keris. Kalau kita perhatikan
memang pada relief tersebut tergambar semacam keris. Dari masa Indonesia-Hindu yang
belum ditemukan mungkin justru situs perbengkelan dari keempat macam pandai. 50
Mungkinkah kita dapat menemukannya?
Strategi untuk penelitian situs serupa ini bisa bermacam-macam, tetapi kami kira
dengan bekerja mundur dari situs Arkeologi Islam yang termuda kepada situs-situs
arkeologi dari masa yang lebih tua, dapatlah diperoleh keterangan dengan lebih cepat. Cara
pendekatan serupa ini (direct-historical approach) 51 banyak dilakukan oleh para ahli
arkeologi dengan hasil yang cukup memuaskan. 52
Mengenai metode analisis yang dipakai dalam kasus wadah pelebur, ternyata bahwa
keempatnya saling mendukung. Bahkan yang justru ingin kami kemukakan di sini ialah
bahwa analogi-etnografi dalam kenyataannya dapat memberikan sumbangan data yang
cukup bermanfaat bagi terbentuknya hipotesis mengenai pokok masalah tersebut. Dengan
pendapat yang dikemukakan di sini kami tidak mempunyai maksud untuk menolak sama
sekali pandangan yang dikenal sebagai cultural-relativist 53 (dari mashab sejarah Amerika).
Menurut pendapat Smith 54 misalnya dinyatakan bahwa sebaiknya kita harus meninggalkan
analogi sepenuhnya dan hanya melaporkan apa yang kita temukan. Demikian misalnya
sebuah serpih batu kecil dan tajam tidak dapat dikatakan mata panah karena kita tidak tahu
benar apakah benda itu digunakan untuk mata panah; mungkin untuk tujuan lain. Namun
49
Lihat AJ Bernet Kempers 1959:103 dan gambar 334.
50
Sebagai perbandingan, di salah satu kuburan Mesir dari tahun 1500 s.M. terdapat gambar yang
melukiskan 2 pekerja sedang melebur logam dalam wadah pelebur di atas tungku api yang sedang menyala.
Bentuk wadah pelebur ini seperti cawan lebar atau mangkuk, dan untuk meletakkan dan mengangkatnya dari
api digunakan 2 batang ranting kayu yang dijepitkan pada permukaan atas dan dasar wadah. Dapat dilihat
pula 2 pekerja yang sedang aktif menggerakkan ububan tipe drum bellows, seperti yang masih digunakan di
Rhodesia. Dua pekerja lain sedang menuangkan cairan logam ke dalam cawan-cawan atau gelas-gelas kecil
yang terletak berjajaran di meja kerja; sedangkan pekerja lain sedang membenahi hasil kerjanya, ialah pintu
dari perunggu (Hodges 1971a:121).
51
Di Amerika cara ini dikenal dengan direct historical approach, sedangkan di Eropa umumnya disebut
folk culture approach.
52
James N. Hill telah berhasil menentukan variabel tipe ruangan-ruangan dalam bangunan di situs yang
dikenal dengan nama Broken K. Pueblo di Arizona, dengan menggunakan analogi etnografi dari masyarakat
Pueblo yang masih hidup. Lihat James N. Hill 1970.
53
Kaum cultural-relativist berpendapat bahwa setiap kebudayaan adalah sejumlah ide dan sifat yang
disusun secara unik dan tidak ada dua kebudayaan yang dapat dibandingkan. Mereka beranggapan bahwa
semua interpretasi arkeologi melalui analogi adalah suatu pertahanan diri yang tidak dapat dibuktikan. Itulah
sebabnya arkeologi harus meninggalkan analogi sepenuhnya; para arkeolog hanya melaporkan fakta yang
dilihat saja. Sedangkan kaum unilinear evolusionist berpendapat
berpendapat bahwa suku bangsa yang masih hidup dan
masih mempertahankan tradisi, merupakan contoh baik untuk menunjukkan tingkat-tingkat perkembangan
kebudayaan.
54
Lihat Smith 1955
13
kami juga tidak setuju dengan pandangan beberapa arkeolog masa lalu yang dalam
melakukan analogi terlalu dipengaruhi oleh ideologi evolusioner yang klasik, yang
kadangkala menggunakan analogi secara kurang hati-hati. Para arkeolog masa kini sadar
sepenuhnya akan segala keterbatasan analogi. Dalam mengadakan analogi, maka panjang
dan luasnya dimensi ruang dan waktu agaknya perlu dipertimbangkan. Demikian misalnya
Gordon Childe menyatakan bahwa suatu analogi " ...drawn from the same region or
ecological province is likely to give the most reliable hints..." 55
Pemikiran kaum cultural-relativist lain, misalnya Chang, cenderung untuk
membatasi penggunaan analogi dalam arkeologi hanya kepada masalah teknologis, 56
sedangkan masalah yang berkenaan dengan ide, kepercayaan, dan kebiasaan, tidak
mungkin diolah melalui analogi. Bahkan Thompson telah mengemukakannya secara
eksplisit dalam karangannya. Kesimpulan-kesimpulan arkeolog pertama-tama harus
didasarkan atas generalisasi teknologis, dan di luar itu semuanya subyektif sepenuhnya dan
tergantung kepada kemampuan dan kompetensi arkeolog. 57 Sedangkan Julian Steward 58
misalnya, memberi kemungkinan digunakannya analogi dengan cara direct-historical
approach seperti yang telah dikemukakan di atas.
Memang mengadakan persejajaran begitu saja tanpa memperhitungkan perbedaan-
perbedaan dalam wilayah budaya tertentu, tentu akan menjerumuskan hasil interpretasi.
Demikian pula melalui analogi tidak akan dicapai hasil seperti yang dikehendaki arkeolog,
jika tidak secara terus-menerus diuji dengan data arkeologi yang sebanyak mungkin harus
dikumpulkan. Untuk kasus Banten, menurut hemat kami, wajar digarap dengan analogi,
karena (1) artefak yang dianalisis adalah artefak technomic59 yang sifatnya universal; (2)
jarak waktu antara
antar a Banten dan Tihingan tidak besar; (3) perubahan-perubahan hebat dalam
hal teknologi agaknya tidak terjadi di Tihingan, bahkan sebaliknya menunjukkan gejala-
gejala persamaan tertentu dengan Banten; dan (4) kedua daerah itu masih dalam satu
wilayah budaya Indonesia.
Apa yang diutarakan dalam makalah ini tidak lain merupakan satu bukti tambahan
lagi bahwa para ahli arkeologi senantiasa dihadapkan pada berbagai masalah yang hanya
dapat diusahakan jalan pemecahannya dengan cara-cara yang dipertimbangkan. Ini semua
adalah akibat dari sifat data arkeologi yang serba terbatas dalam hal kuantitas dan
kualitas. 60 Meskipun mungkin ada anggapan bahwa analogi bukan jalan yang terbaik untuk
interpretasi arkeologi, tetapi kami berpendapat jika arkeolog sama sekali tidak dapat
menggunakan analogi, 61 maka kami kira habislah riwayat arkeologi. Dan kita dengan
demikian tidak akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan untuk " piecing together the
past ".
". Puluhan karangan telah membicarakan dan melaporkan hasil pelaksanaan
eksperimen arkeologi yang diselenggarakan di berbagai negara maju, tetapi mungkin
sedikit sekali yang telah kita lakukan di negara kita. Jika arkeologi-percobaan
(experimental archaeology) tidak mulai digunakan secara efektif dan terkendali, mungkin
55
Periksa Childe 1956:51.
56
Lihat Chang 1967.
57
Periksa Thompson 1956.
58
Lihat Steward 1942:56.
59
Lihat Binford 1962. Lebih sulit lagi untuk menggarap sosiotechnic artifacts dan ideotechnic artifacts.
60
Lihat makalah Mundardjito dalam Seminar Arkeologi tahun 1976 di Cibulan.
61
Tentu yang kami maksudkan ialah analogi dengan memperhatikan semua limitasi, dan diuji terus-
62
Lihat Frederick Matson, "Ceramic Queries" dalam Matson 1965:261.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ascher, Robert
1961a "Analogy in Archaeological Interpretation", dalam Southwestern Journal of
Anthropology 17:317--325.
1961b "Experimental Archaeology", dalam American Anthropologist 63:793--816.
63:793--816.
Binford, Lewis R.
1962 "Archaeology as Anthropology", dalam American Antiquity 28:217--225.
1967 "Smudge Pits and Hide Smoking: The Use of Analogy in Archaeological Reasoning",
dalam American Antiquity 32 (1):1--12.
1968 "Methodological Considerations of the Archaeological Use of Ethnographic Data",
dalam Man the Hunter , Chicago: R.B. Lee & Ide Vora, hlm. 268---273.
Boechari
1976 "Some Considerations of the Problem of the Shift of Mataram's Center of Goverment
from Central to East Java in the 10th Century A.D.", dalam Bulletin of the Research
Centre of Archaeology of Indonesia No. 10, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
Childe, V. Gordon
1956 Piecing Together the Past: The Interpretation of Archaeological Data. New York.
Clarke, David L.
1968 Analytical Archaeology, London.
Daniel, Glyn E.
1967 The Origins and Growth of Archaeology, Harmondsworth: Pelican Books.
Deetz, James
1967 Invitation to Archaeology, New York: Museum Science Book.
1970 "Archaeology as Social Science", dalam Current Directions in Anthropology: 115--
125, American Anthropological Association from Bulletins, vol. III, No. 3 (2).
Geetz, Clifford
1964 "Tihingan: Sebuah Desa di Bali", dalam Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa di
Indonesia Masa Ini, Djakarta, hlm. 169--199.
Goodyear, F.H.
1971 Archaeological Site Science. London.
Harner, M.J.
1956 "Thermo-facts
"Thermo-facts vs Artifacts: An Experimental Study of the Malpais Industry",
16
Haury, E.W.
1931 "Minute Beads from Prehistoric Pueblos", dalam American Anthropologist 33:80--87.
33:80--87.
Hawkes, Christoper
1954 "Archaeological Theory and Method: Some Suggestions from the Old World", dalam
American Anthropologist 56:155--168.
56:155--168.
Heyerdhal, T.
1950 The Kon Tiki Expedition by Raft Across the South Seas . Diterjemahkan oleh F.H.
Lyon. London.
Hill, J.N.
1970 "Broken K. Pueblo: Prehistoric Social Organization in the American Southwest",
dalam Anthropological Papers, University of Arizona
Arizona, No. 18.
Hodges, Henry
1971a Technology in the Ancient World . Harmondsworth: Penguin Book.
1971b Technology. London.
Artifacts: An Introduction to Early Materials and Technology
Iversen, J.
1959 "Forest Clearance in the Stone Age", Scientific American 194:36--41.
Johnson, T.
1957 "An Experiment with Cave-printing Media", dalam South African Archaeological
Bulletin 47:98--101.
Kempers, Bernet
1959 Ancient Indonesian Art . Amsterdam.
Longacre, William A.
1970 Archaeology as Anthropology: A Case Study, Anthropological Papers of the University
of Arizona No. 17: The University of Arizona Press.
Matson, Frederick R.
1965 Ceramic and Man. Chicago.
Mayes, P.dkk.
1962 "The Firing of a Second Pottery Kiln of Romano-British Type at Boston, Lincs", dalam
Archaeometry 5:80--107.
Mayes, P. et al.
1961 "The Firing of a Pottery Kiln of Romano-British Type at Boston, Lincs", dalam
Archaeometry 4:4--30.
17
Mundardjito
1972 “Arkeologi Masa Kini: Segi Metode dan Teknik”, makalah pada Penataran Ahli
Arkeologi di Borobudur, Sub-Konsorsium Sastra dan Filsafat, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
1973 Laporan Penggalian Percobaan di Bukit Patenggeng, Subang, (tidak diterbitkan)
Jakarta.
1974 "Penyelenggaraan Kuliah Metode Arkeologi: Pentingnya dalam Pendidikan", dalam
Hasil-hasil Lokakarya Pengajaran Arkeologi, Denpasar. Sub-Konsorsium sastra dan
Fislafat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1976 "Pengembangan Teknik Modern untuk Arkeologi Indonesia", dalam Indonesian
Magazine, 37:43--51. (Pertamakali dibawakan dalam Seminar Arkeologi di Cibulan
tahun 1976).
O'Kelly, M.J.
1954 "Excavation and Experiment in Ancient Irish Cooking-places", dalam Journal of Royal
Society of Antiquaries of Ireland 84:105--155.
84:105--155.
Outwater, J.O.
1957 "Pre-Columbian
"Pre-Columbian Wood-cutting Techniques", dalam American Antiquity 22:410--411.
Serrurier, L.
1902 (Peta Sketsa Kota Banten Lama) dalam TBG XLV.
Shaw, Isobel
1976 "The Last Gong Smith in West Java", dalam The Indonesia Time, tanggal 9 Maret
1976.
Smith, M.A.
1955 "The Limitations of Inference in Archaeology", dalam Archaeological Newsletter 6:3--
6:3--
7.
Soejono, R.P.
1975 Sejarah Nasional Indonesia I , Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Spaulding, Albert C.
1960 "The Dimensions of Archaeology", dalam G.E. Dole dan R.L. Carneiro (ed.), Essay in
the Science of Culture: In Honour of Leslie A. White . New York.
Sonnenfeld, J.
1962 "Interpreting the Function of Primitive Implement: The Celt and The Hoe", dalam
American Antiquity
28:56--65.
Steward, Julian H.
1942 "The Direct Historical Approach to Archaeology", dalam American Antiquity 7:337--
343.
Taylor, Walter W.
1948 "A Study of Archaeology", dalam Memoirs of the American Anthropological
Association, No. 9. Menasha.
18
Thompson, R.H.
1956 "The Subjective Element in Archaeological Inference", dalam Southwestern Journal of
Anthropology 12 (3):327--332.
Tylecote, R.F.
1962 Metallurgy in Archaeology. London.
Uka Tjandrasasm
Tjandrasasmita
ita
1976 Sejarah Nasional Indonesia III , Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Willey, Gordon R.
1952 "Archaeological Theories and Interpretation: New World", dalam A.L. Kroeber (ed.),
Anthropology Today. Chicago.
1970 Method and Theory in American Archaeology, cetakan ke-7. Chicago: University of
Chicago Press.
19