Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Gangguan jiwa menurut UU No. 3 tahun 1966 adalah adanya gangguan
pada fungsi kejiwaan pada proses berpikir, kemauan, perilaku psikomotorik,
termasuk dalam bicara (Dalami, 2010). Kesehatan jiwa menurut Undang-
Undang No 3 tahun 1966, adalah suatukondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang
dan perkembangan itu selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan
jiwa mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan segi kehidupan
manusia dan cara berhubungan dengan orang lain (Riyadi, 2009).
Gangguan jiwa dimanifestasikan dengan adanya gejala positif dan
gejala negatif.Adapun gejala positif menggambarkan fungsi normal yang
berlebihan dan khas, yang meliputi waham, halusinasi, disorganisasi
pembicaraan dan disorganisasi perilaku seperti katatonia (gerakan yang
ekstreme), atau agitasi (gelisah).Gejala positif tidak hanya ditemukan pada
penderita skizofrenia tetapi juga didapatkan pada gangguan lainnya, missal
pada penderita bipolar, depresi psikotik dan dimensia.Sedangkan gejala
negative terdiri dari lima tipe yaitu ekspresi emosi yang terbatas, dalam
rentang intensitas, keterbatasan pembicaraan dan perilaku dalam kelancaran
dan produktivitas (Alogia), keterbatasan perilaku dalam menentukan tujuan
(Avolition), berkurangnya minat dan menarik diri dari seluruh aktivitas yang
menyenangkan dan bisa dilakukan oleh penderita (Adhenonia), gangguan
atensi : suatu gejala yang dapat dikatakan symptom negative bila ditemukan
adanya penurunan fungsi normal pada penderita skizofrenia.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), ada sekitar 450
juta jiwa orang di dunia mengalami gangguan mental, dan 33 % orang hidup
dengan gangguan cacat neuropsikiatri setiap tahun. Sekitar 10 % orang
dewasa mengalami gangguan jiwa.Menurut National Institute of mental
health angka gangguan jiwa mencapai 13 % dari penyakit secara keseluruhan

1
dan diperkirakan akan meningkat di tahun yang akan datang. Sementara di
Indonesia penderita gangguan jiwa berat dengan pravelensinya
mencakup3,7% perseribu penduduk (Riskesdas, 2013). Ini artinya setiap 1000
penduduk ada 3-4 orang yang mengalami gangguan jiwa.Sedangkan angka
penderita skizofrenia di provinsi Jambi adalah 0,9 % dari total populasi.
Salah satu gangguan jiwa yang dimaksud adalah
skizofrenia.Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat.Gangguan ini
ditandai dengan gejala-gejala seperti pembicaraan yang kacau, delusi,
halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi.Tampak bahwa gejala-gejala
skizofrenia menimbulkan dampak berat dalam kemampuan individu terhadap
berpikir dan memecahkan masalah, serta kehidupan afek yang mengganggu
kehidupan sosial dan dapat mengarah kepada perilaku kekerasan atau
menciderai (Arif, 2010).
Risiko Bunuh Diri adalah perilaku merusak diri langsung dan disengaja
untuk mengakhiri kehidupan. Individu secara sadar berkeinginan untuk mati,
sehingga melakukan tindakan untuk mewujudkan keinginan tersebut.Tindakan
itu dilakukan dengan sengaja dan dilakukan oleh orang yang bersangkutan
dengan pengetahuan penuh, atau akibat fatalnya (Muhith, 2014).
Bunuh diri merupakan salah satu dampak dari gangguan kejiwaan yang
menjadi sorotan global saat ini.Hal ini didukung dari banyaknya fenomena
bunuh diri di berbagai wilayah di dunia. Data dari World Health Organization
(WHO) tahun 2017 menyebutkan setiap tahun sebanyak 800.000 orang
meninggal dunia akibat bunuh diri atau setiap 40 detik ada satu orang yang
meninggal dunia karena bunuh diri (WHO, 2017). Beban bunuh diri global
sebanyak 78% berada di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.Namun, di beberapa negara maju seperti Korea Selatan, Jepang,
Amerika Serikat dan Cina menduduki peringkat tertinggi kasus bunuh diri
dunia (WHO Region, 2017).
Kejadian risiko bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per 100.000
populasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
melakukan penelitian menunjukkan angka kejadian risiko bunuh diri di
Indonesia adalah 1,77 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014). Komisi
Perlindungan Anak Indoneia (KPAI) pada tahun 2014 melaporkan ada 89
kasus bunuh diri pada anak dan remaja. Sembilan kasus pada rentang usia 5
sampai 10 tahun, pada usia 12 hingga 15 tahun ada 39 kasus, dan yang berusia
di atas 15 tahun ada 27 kasus (Depkes RI, 2018).
Berdasarkan Laporan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
tahun 2017 jumlah angka kejadian risiko bunuh diri sebanyak 34 kasus, pada
tahun 2018 terjadi peningkatan menjadi 76 kasus. Pada tahun 2019 bulan
Januari-Juli kejadian risiko bunuh diri sebanyak 40 kasus, terjadi peningkatan
kejadian risiko bunuh diri di Provinsi Jambi sehingga perlu penatalaksaan
yang tepat.
Penyebab risiko bunuh diri sering kali ditemukan dari bebarapa faktor
yaitu seperti situasi keadaan keluarga yang sedadng kacau, Masalah dalam
keluarga, kehilangan penghargaan dan orang tersayang, merasa kesepian dan
isolasi sosial. (Azizah, 2016).Dari beberapa faktor penyebab risiko bunuh diri
tersebut perlunya peningkatan mekanisme koping untuk mengatasi masalah
risiko bunuh diri.Mekanisme koping merupakan prilaku koping atau upaya-
upaya koping dan merupakan starategi yang positif, aktif, serta khusus untuk
masalah, yang disesuaikan untuk pemecahan suatu masalah yang dihadapi
keluarga. ( Susanto, 2012 )
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti : sublimasi yaitu menerima suatu sasaran pengganti
artinya saat mengalami suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain, proyeksi
yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik, represi yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan (Depkes RI, 2015).
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam
keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif sehingga
membutuhkan dukungan keluarga sebagai faktor penting untuk mencegah
terjadinya tindakan bunuh diri. Keluarga merupakan lingkungan terdekat
pasien sehingga perannya sangat dibutuhkan oleh pasien. (Nihiyati, 2015).
Survey awal yang penulis lakukan di ruang Teta Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Jambi tahun 2019 jumlah pasien yang dirawat dengan risiko
bunuh diri berjumlah 3 orang.
Berdasarkan pengamatan dan observasi penulis di ruang Teta di pada
tanggal 18 Desember tahun 2019 perawat ruang Teta telah memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif kepada klien yang mengalami
masalah keperawatan risiko bunuh diri seperti menjalankan intervensi dengan
pendekatan strategi pelaksanaan (SP) dalam pelaksanaanya. Adapun hasil
yang didapat adalah klien mampu membangun harapan dan mengendalikan
dorongan bunuh diri.
Berdasarkan paparan di atas penulis tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan secara komprehensif pada Tn. N dengan risiko bunuh diri.
Laporan kasus tersebut penulis tuangkan dalam laporan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. N Dengan Risiko Bunuh Diri di Ruang
Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi tahun 2019”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran proses asuhan keperawatan pada Tn. N
dengan risiko bunuh diri di ruang Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD)
Provinsi Jambi Tahun 2019.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada Tn. N dengan risiko bunuh diri di ruang
Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Jambi Tahun 2019.
b. Membuat diagnosa keperawatan pada Tn. N dengan risiko bunuh diri
di ruang Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Jambi
Tahun 2019.
c. Merumuskan rencana tindakan keperawatan pada Tn. N dengan
risiko bunuh diri di ruang Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD)
Provinsi Jambi Tahun 2019.
d. Melakukan implementasi keperawatan pada Tn. N dengan risiko
bunuh diri di ruang Teta di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi
Jambi Tahun 2019.
e. Mengevaluasi keperawatan pada Tn. N dengan risiko bunuh diri di
ruang Teta Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Jambi Tahun
2019.
f. Mendokumentasi keperawatan pada Tn. N dengan risiko bunuh diri di
ruang Teta RumahSakitJiwa Daerah (RSJD) Provinsi Jambi Tahun
2019.
C. ManfaatPenulisan
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dan perbandingan bagi perawat tentang bagaimana cara
penerapan asuhan keperawatan pada klien rsiko bunuh diri secara
komprehensif dan sesuai dengan standar.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan refensi bagi mahasiswa keperawatan khusunya tentang
pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan masalah resiko
perilaku kekerasan yang sesuai dengan standar.
3. Bagi klien dan Keluarga
Sebagai informasi tambahan bagi pasien dan keluarga tentang perawatan
klien dengan risiko bunuh diri.
4. Bagi Penulis
Sebagai pengalaman nyata dan menambah pengetahuan penulis serta
keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah risiko bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai