DOKTER PEMBIMBING :
dr.Nunik Yuniati
dr.Vivin Ovita
OLEH :
2018
1
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul
DIFTERI.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr.Afriyanto Ridhwan,
Sp.THT-KL, selaku konsultan dibagian THT di RSUD PALI dan rekan-rekan yang telah
membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak terdapat
kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga laporan referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca.
Penulis,
3
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih terdapat angka
kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering untuk infeksi ini. Penyakit
lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat.
Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat mendapat tingkat perlindungan dari
antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri
tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan
imunisasi tidak mempunyai efek terhadap keluhan yang terjadi.1
Pemeriksaan yang khas menunjukkan membran yang khas terjadi di atas daerah tonsila
dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna hijau
tua dan bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada
pengangkatan membran yang berbeda dengan penyebab faringitis membranosa lain. 1
Diagnosa biasanya dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui
bahwa terjadi epidemi difteri. Seringkali terdapat keterlambatan dalam dianosis pada
kasus-kasus sporadik dan epidemi difteri yang tidak luas.1
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) penggunaan antitoksin spesifik dan (2)
eliminasi organisme dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, pasien sebaiknya diuji
untuk sensitivitas terhadap serum. Pasien sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit
antitoksin yang dilarutkan dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui
intravena. Terapi antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari untuk
menyingkirkan keadaan karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk memastikan
pasien tidak mengandung organisme dalam faring. Menetapnya organisme membutuhkan
pengobatan yang lama dengan eritromisin.1
4
Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi jalan nafas
membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan proses
peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media atau ke paru-paru
menyebabkan pneumonia.1
I. 2. Tujuan
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan dapat mengetahui tinjauan pustaka dari
penyakit Difteri sehingga nantinya jika menemui kasus di tempat praktek dapat melakukan
tata laksana yang baik mengenai penyakit tersebut dan penyakit telinga, hidung, dan
tenggorok (THT).
5
BAB II
II.1.Embriologi
Rongga mulut, faring dan esofagus berasal dari foregut embrionik. Foregut juga
berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise anterior, tiroid dan
laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Mulut terbentuk dari stomodeum primitif yang
merupakan gabungan ektodermal dan endodermal, yan membelah. Bibir bagian atas
dibentuk oleh bagian prosesus nasalis medial dan lateral dan prosesus maksilaris. Celah
bibir biasanya tidak terletak di garis tengah tetapi di lateral dari prosesus nasalis media,
yang membentuk premaksila. Bibir bagian bawah berkembang dari bagian prosesus
mandibula. Otot bibir berasal dari daerah brankial kedua dan dipersarafi oleh saraf
fasialis. Batas vermilion bibir tampak seperti busur; takik pada busur ini merupakan
cacat kosmetik yang sangat nyata.2
Gigi berasal dari lamina dentalis, yang berkembang menjadi sementum dan enamel
dari gigi tetap. Perkembangan gigi manusia dari gigi susu sampai pertumbuhan gigi
molar ketiga dewasa berhubungan dengan usia penderita, dan grafik dapat mengikuti
pertumbuhan gigi yang normal. Terdapat beberapa macam kista dan tumor jinak maupun
ganas yang beasal dari sisa lamina dentalis. Gigi dipersarafi oleh cabang dari saraf
trigeminus cabang maksilaris dan mandibularis. Pada rahang atas, ada beberapa variasi
dan tumpang tindih pada daerah yang dipersarafi oleh cabang saraf maksilaris.2
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal dari
prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole,
dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum. Oleh karena itu, celah palatum terdapat
garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan. Pada tahap pertama,
lempeng palatum terdapat dilateral lidah dan jika lidah tidak turun maka lempeng
palatum tidak dapat menyatu. Hal ini merupakan dasar di mana celah palatum
berhubungan dengan mikrognasia dari Sindrom Pierre Robin.2
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh saraf lingualis,
dengan cabang korda timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi
6
kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah
bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi ke depan,
bersama saraf hipoglosus. Migrasi saraf hipoglosus diduga mempunyai hubungan denga
fistula brankial. Tiroid berkembang dari foramen sekum yang terdapat di lidah bagian
belakang dan bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Jika migrasi ini tidak
terjadi, mengakibatkan tiroid lingualis. Sisa dari duktus tiroglosus dapat menetap, dan
letaknya di belakang korpus tulang hyoid.2
Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut dan terletak dekat sebelah
depan saraf-saraf penting. Duktus submandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf
fasialis melekat pada kelenjar parotis.2
Leher pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan toraks dari
kepala. Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari dibawah foregut, yang
bermigrasi ke rongga toraks dan aparatus brankial berkembang menjadi bentuk yang
sekarang. Migrasi dari jantung merupakan sebab mengapa beberapa struktur dari leher
bermigrasi terakhir. Pada masa embrio awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi
dari foregut yang juga dapat dilihat dari luar. Tonjolan ini adalah aparatus brankialis.2
Meskipun secara filogenetik terdapat enam arkus brankialis, arkus kelima tidak
pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk ligamentum arteriosum.
Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar. Setiap arkus brankialis mempunyai
sepotong kartilago, yang berhubungan dengan kartilago ini adalah arkus arteri, saraf,
dan beberapa mesenkim yang akan membentuk otot. Dibelakang setiap arkus terdapat
alir eksternal yang terdiri dari ektodermal. Daerah diantara ektodermal dan endodermal
dikenal dengan lempeng akhir.2
Bagian dari stuktur yang disebut diatas berkembang menjadi struktur dewasa yang
tetap. Bagian yang seharusnya hilang dapat menetap dan membentuk struktur abnormal
pada dewasa. Derivat normal dari aparatus brankialis (dicatat pada tabel 1). Sebaiknya
dicatat bahwa celah ektodermal dan kantong endodermal terdapat dibelakang arkus
kartilago, arteri, dan saraf.2
7
Tabel 1. Derivat dari aparatus brankialis.2
I II III IV V
Tensor veli
palatini
Stilohiodea
Milohiodea
Digastrikus
Digastrikus posterior
anterior
8
dermal Membran timpani
eksterna
Sel-sel udara
mastoid
II.2. Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra.
Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah
epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke
esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot
faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang
tenggorokan untuk mamalia.2
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang
dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh
lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi
adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua
atas.2
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista
alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi
taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi
taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri
berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan
molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling
belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.2
9
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian
besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk
faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum
mole menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan
kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual
dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di
depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur
menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan
yang menyulitkan pada beberapa pasien.2
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf
hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf
glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.2
II.2.2 Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum
nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah
berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring).2
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior,
10
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua
struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor
veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba
eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang
melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli
palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.2
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:
a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang
epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu
orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya
gepeng berlapis dan tidak bersilia.2
c. Otot
11
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring
juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu,
kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot
konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya
juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.2
Gambar 3.
konstriktor faringis
d. Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang
palatina superior.2
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-
otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang
n.glosofaring (n.IX).2
12
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal
dalam bawah.2
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut
fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan
kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus
glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena
jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius.2
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
13
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia
yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.2
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam
fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah.2
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina
minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring
ascendens dan a.lingualis dorsal.2
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan
dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.2
14
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior
berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior
adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina
krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. 2
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada
pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus.2
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.2
II.3. Fisiologi
II.3.1 Fungsi faring
15
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari
fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
a. Penelanan
b. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke
atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan.2
16
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Definisi
17
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi.3
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin
atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.3
III.2. Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler)
merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada
media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae berwarna
putih kelabu pada medium Loeffler.
Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :
a. koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung
b. koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar
c. koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat berwarna hitam.3
III.3. Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap
terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens
18
menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi,
mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag
tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas.
Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.3
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.4
III.4. Patofisiologi
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah
diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi
ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2)
yang aktif.3
19
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
melalui proses :
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas
di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-
sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.3
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.
Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubuler akut pada ginjal.3
20
III.5. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama
8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya
hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC –
38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi
membran putih/keabu-abuan.3
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula.
Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat.
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya.
Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak.
Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6,
walaupun antitoksin tidak diberikan.3
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan
menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila diberikan antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk
Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat
dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.
Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose.
Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke
telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.3
21
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.4
Difteri Tonsil
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri
tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang
berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu
dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat.3
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita
tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa
lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada
kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.(2)
Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.3
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala
toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar
dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif,
suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup
22
jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke
percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada
diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.3
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.3
III.6. Diagnosis
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung
kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan
tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan
secara luas.3
SCHICK TEST
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat
menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick
dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji
Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini
terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif
palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam
72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
23
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari
ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada
tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi
terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya
menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin
akan menetap selama beberapa hari
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan
preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan
didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.4
2. Mononucleosis infectiosa
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi.3
24
III.7.3. Difteri Laring :
2. Spasmodic croup
1. Impetigo
III.8. Penyulit
III.9. Penatalaksanaan
25
1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.3
2.1. Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal
tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.3
26
2.2. Khusus :
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.3
Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut
derajat berat penyakit sebagai berikut :
27
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200
ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama
2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).3
2.2.2. Antimikrobial
2.2.3. Kortikosteroid
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau
eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.3
28
III.10. Pencegahan
III.10.1 Umum
III.10.2. Khusus
III.11. Imunitas
29
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
infection dan imunisasi dengan toksoid difteri.3
III.12. Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi
ini.
Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-
otot pernafasan.
III.13. Prognosa
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan
adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi
akibat miokarditis.
1. Usia penderita
30
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-
anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring
(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin
luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring
lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan
pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai
disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997.
2. Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinik. Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta: 2001.
3. www.pediatric.com
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
5. www.medicastore.com
31
6. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES : Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi Enam. EGC: Jakarta.1997.
7. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
2001.
8. Anonim. http.www.pediatric.com diakses Minggu 24-02-2013
9. Soepardi E., Iskandar N. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi Kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
10. Anonim. http.www.medicastore.com. diakses Minggu 24-02-2013
11. Anonim.http://www.salz-medicine.blogspot.com/2008/09/community-
medicine_06.html diakses Minggu 24-02-2013
12. Anonim. http://www.manipulative-people.com/on/diphtheria-symptoms.html diakses
Minggu 24-02-2013
13. Anonim. http://nursing-resource.com/tag/mode-of-transmission-of-diphtheria/ diakses
Minggu 24-02-2013Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Infeksi dan
Pediatri Tropis. Ed ke-2. Jakarta: ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 312-21.
14. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th
ed. Philadelphia:Saunders; 2009. p 1393-1401
15. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik
Pada Anak, Difteri, 1-18
16. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
17. Adams, G. L., Boeis, L. R., Higler, P. H., 1997, BOEIS: Buku Ajar Penyakit
THT. EGC: Jakarta, halaman 330-331
18. 14. Lee, K. J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery, Eighth
Edition, McGraw-Hill Company: New York, halaman 452
19. 15. Dhillon, R. S., East, C. A., 1999, Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery, Second Edition, Churchill Livingstone: London, halaman 73
32