Anda di halaman 1dari 13

Senjata Pemusnah Massal (weapons of mass destruction)

Siti Rahmatillah (18310077)


Ferdila ayu amanda (18310121)
Aisyah Nurul Fitriyah (18310152)

Abstrak
Senjata pemusnah masal adalah bentuk senjata yang dilarang akan eksistensinya.
Bahkan dalam hukum Humaniter telah mengatur secara khusus tentang batasan
penggunaan sarana dalam berperang, hal tersebut tercantum dalam pasal 22. Yang
menjadi bentuk atau jenis senjata pemusnah massal di antara senjata biologi, kimia
dan nuklir. Di bagian timur tengah ada beberapa negara yang menggunakan senjata
pemusanah massal, dan bentuknya adalah senjata nuklir. Adapun beberapa negara
yang menggunakan senjata nuklir tersebut yaitu negara Israel, Irak dan Iran. Dari
masing-masing negara tersebut mempunyai alasan tersendiri terkait dengan
penggunaan senjata massal. Adapun dari dari negara Israel itu sendiri berawal dari
gerakan zionis yang didirikan, gerakan tersebut berupaya untuk menyatukan ummat
agama Yahudi di negara Palestina. Dan negara Irak menggunakan senjata massal
adalah untuk kepentingan negara itu sendiri, khususnya di bidang politik, hal ini
terbukti ketika seorang nahkoda Irak yang bernama Sadam Husein memakai senjata
kimia biologis pemusnah massal ketika berkampanye melawan negara Iran. Dan
kemudian disarankan oleh Ja'far agar ia memproduksi nukril. Namun oleh Dewan
Keamanan PBB mewajibkan Irak untuk menghentikan semua kegiatan nuklir dalam
bentuk apapun. Sedangkan negara Iran menggunakan senjata massal adalah untuk
melawan Irak. Iran mengenal dunia nuklir saat menjalin sekutu dengan Amerika
serikat dalam perang dingin. Kemudian Iran masuk ke Nuclear Non-Proliferation
Treaty. Dan menggunakan senjata nuklir saat berperang melawan Irak. Sehingga
penggunaan senjata pemusnah massal yang dilakukan oleh negara timur tengah
seperti Israel, Irak dan Iran adalah atas dasar kebutuhan konfik.
Kata kunci: Senjata pemusnah masal, Israel, Irak, Iran

1
Pendahuluan

Proses kehidupan manusia baik di negara yang satu dan yang lainnya pasti
memiliki permasalahan, baik dari segi ekonomi, pendidikan, sosial dan politik. Dari
berbagai masalah tersebut ada yang terselesaikan dengan cara yang baik dan damai,
serta ada juga yang menyelesaikan dengan cara mengabaikan langkah perdamaian
yaitu memilih peperangan. Ada banyak motif dibalik memilih jalan peperangan bisa
karena kekuasaan, membela harga diri bangsa atau atas dasar kepentingan pribadi
bangsa.

Dalam peperangan antar bangsa ada batasan-batasan dalam penggunaan


sarana dan prasarananya. Sesuatu yang dibatasi tersebut seperti senjata musnah
massal. Penggunaan senjata ini bertentangan dengan peraturan yang berlaku secara
internasional atau yang dikenal dengan sebutan hokum humaniter. Adapun bentuk
peraturan yang mengaturnya secara khusus ialah terdapat dalam pasal konvensi deen
haag. Adapun isi pasal 22 yaitu “hak para pihak yang berperang untuk menggunakan
sarana dalam menghancurkan musuh tidak tak terbatas” dan pasal 23 yaitu “. Dalam
pasal ini tidak dijelaskan secara detail tentang bentuk sarana yang dilarang. Namun,
dalam penggunaan sarana di dalamnya ada batasan yang digunakan. Batasan yang
dimaksud disini adalah senjata pemusnah massal seperti nukril, senjata biologi, dan
senjata kimia (Terok, 2017, h. 3).

Penyebab dilarangnya penggunaan senjata pemusnah massal karena senjata


tersebut terlalu membahayakan dan menyebabkan manusia terluka lebih parah dari
senjata lainnya. Dan ini dinilai bertindak diluar dari hakikat sarana yang digunakan
untuk menaklukan musuh. Penggunanaan senjata pemusnah massal biasanya
dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan besar serta tujuan yang
besar. Kepentingannya bisa berupa kekuasaan sedangkan tujuannya bisa berupa
fungsi dan kegunaan wilayah tersebut untuk mewujudkan tujuan-tujuannya.

2
Khusunya pada kajian timur tengah, ada beberapa bentuk senjata pemusnah
massal di antaranya nukril Israel, Irak dan Iran. Kajian bagian ini bersifat urgensi
khususnya kaum akademik yang punya pusat perhatian terhadap timur tengah. Untuk
mengetahui kondisi suatu wilayah tertentu diperlukan pemahaman dari segi budaya
dan sosial politiknya. Bukan hanya dari aspek pendidikan, tetapi harus melihat dari
semua aspek. Sehingga dengan adanya pemahaman secara menyeluruh maka kita
akan mengetahui atas dasar apa dan bagaimana terjadinya peperangan hingga
menggunakan senjata pemusnah massal.

Pembahasan

A. Senjata Pemusnah Massal

Menurut hukum Internasional, perang atau penggunaan kekuatan bersenjata


yang benar atau sah adalah perang yang tidak bertentangan dengan perjanjian-
perjanjian internasional. Negara diperbolehkan menggunakan senjata atau berbagai
instrumen hukum humaniter yang telah mengatur bagaimana seharusnya perang itu
berlangsung. Salah satu sumber hukum humaniter yang penting adalah Konvensi Den
Haag 1899 dan 1907. (Terok, 2017:119)

Dalam perkembangannya, telah disusun berbagai konvesi yang secara khusus


mengatur tentang penggunaan suatu jenis senjata tertentu. Adanya pengaturan dalam
hukum humaniter di rasa penting untuk mencegah kemungkinan penggunaan senjata-
senjata nuklir di masa yang akan datang, maka dibuatlah berbagai instrumen hukum
humaniter dan mengatur tentang pembatasan atau larangan penggunaan senjata-
senjata nuklir tersebut, diantaranya:
1. Perjanjian tentang Larangan Pengembangbiakan Senjata Nuklir (Treaty on the
Non-Proliferation of Nuclear Weapons) tahun 1968

3
2. Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear Test-
Ban Treaty) tahun 1996
Perjanjian-perjanjian internasional tersebut merupakan usaha nyata untuk
mencegah adanya penggunaan nuklir serta merupakan bentuk perlindungan bagi
masyarakat internasional. (Terok, 2017: 121)

Adanya pembatasan kepemilikan tentang senjata nuklir atau yang dikenal


dengan Non- Proliferation of Nuclear ( NPT ) merupakan salah satu isu terpenting
dalam proliferasi nuklir. Proliferasi nuklir sendiri adalah suatu proses atau bentuk
diplomasi antar negara ( Cina, Prancis, Amerika Serikat, Inggris) yang berusaha
untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir dan beberapa negara tersebut memiliki
potensi untuk melakukan pengembangan nuklir serta mempunyai kemampuan untuk
meluncurkan dan menempatkan senjata nuklir dapat memicu terjadinya perang.
Senjata nuklir sendiri termasuk dalam kategori senjata pemusnah massal atau yang
biasa disebut dengan “Weapons of mass destruction” . (Purwanto, 2011:5)

Data dari sebuah lembaga penelitian internasional yang fokus dalam kajian
keamanan internasional SIPRI ( stockholm international peace research institute)
pada tahun 2008 mencatat terdapat 9 negara (nuclear weapons states) yang
menyimpan serta memiliki senjata nuklir aktif. Kesembilan negara tersebut adalah
Russia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina, India, Israel, Pakistan dan Korea
Utara. (Purwanto, 2011:6)

Masalah senjata pemusnah massal di Timur Tengah merupakan tema sentral


dalam pertemuan tiga hari di Doha, ibukota Qatar, di mana lebih dari 40 negara,
termasuk Israel dan beberapa negara Arab, berdiskusi dibelakang pintu-pintu tertutup
mengenai sebuah rancangan persetujuan pembatasan senjata. (Soekito, 1993: 72
Berikut negara di Timur Tengah yang memiliki senjata pemusnah masal:

A. Nuklir Israel

4
Awal Israel mulai mengembangkan nuklirnya itu sejak gerakan Zionis
didirikan, banyak ilmuwan yang bergabung, diantaranya para ahli kimia seperti
Chaim Weizernann yang kemudian menjadi presiden pertama Israel. Dia dan para
stafnya dipandang sebagai penemu bahan sintetik yang berperan penting bagi
kemenangan Inggris (sekutu) melawan Jerman pada perang Dunia I. Bahan peledak
tersebut pada mulanya diperoleh negara-negara sekutu dari Jerman dan belum ada
negara lain yang mampu memproduksinya. (Burdah, 2008: 475)

Lahirnya proyek persenjataan nuklir Israel tidak dapat dilepaskan dari


kerjasama antar negara tersebut dengan Prancis untuk melakukan riset bersama di
bidang nuklir pada tahun 1949. Pada tahun-tahun tersebut Israel mulai memiliki
hubungan erat dengan Prancis yakni salah satu negara dengan kekuatan terbesar
dunia. (Burdah, 2008: 476)

B.Implikasi untuk proliferasi senjata nuklir (Irak)

a. Teknologi sinar dan proliferasi senjata nuklir

Istilah nuklir pertama kali diperkenalkan oleh Jafar, kepala program nuklir militer
Irak sendiri melakukan beberapa perjalanan ke CERN, Laboratorium Fisika Partikel
Eropa saat bekerja di Imperial College London untuk mengumpulkan informasi
teknis di Jenewa dengan memikirkan senjata pemusnah masal yang efektif.
Masyrakat Iraq terkenal dengan hasil uranium. Memanfaatkan kondisi tersebur, Jafar
kemudian menyimpulkan bahwa sebagian masyarakat menyukai cara memproduksi
uranium yang kemudian ditambahkan pemisahan isotop elektromagnetik. secara
aktif meneliti dan kemudian menggunakan senjata pemusnah massal dari tahun 1962
hingga 1991. Presiden Irak yang kelima, Saddam Hussein, pernah memakai senjata
kimia biologis ketika kampanye melawan negara Iran pada 1980. Yang mana atas

5
saran Jafar, Sadam Hussein merancang senjata nuklir meskipun pada saat itu irak
belum mampu membuatnya (Gsponer, 1987).

Pada tanggal 15 Agustus 1991 Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi lebih
lanjut, nomor 707, mewajibkan Irak untuk menghentikan semua kegiatan nuklir
dalam bentuk apapun, kecuali untuk penggunaan isotop untuk medis, pertanian dan
industri atau “kegiatan nuklir damai,” yang umumnya dianggap sebagai kegiatan
penelitian ilmiah non-militer, yang secara eksplisit diakui penting untuk akuisisi atau
pengembangan senjata nuklir. Demikian pula, dengan mendefinisikan secara jelas
aplikasi fisika nuklir dan energi nuklir yang berguna untuk medis, tujuan pertanian
atau industri, sehingga muncul issue yang menyatakan bahwa nuklir benar-benar
tidak berbahaya dari sudut pandang proliferasi senjata nuklir.
Sementara itu, banyak negara lain yang keberatan dengan gagasan PBB terkait
rencana menjadikan Irak sebagai zona bebas nuklir dan pada tahun 1991 Sadam
Hussein melanjutkan rencananya dengan membuat nuklir berbahan dasar Uranium.

Berdasarkan pendapat David Albright dan Mark Hibbs dalam The Bulletin of the
Atomic Scientists and Arms Control Today yang telah menyusun masalah paling
mengganggu yang berkaitan dengan kasus nuklir di Irak, sebagaimana dikutip dalam
naskah berikut (G, Taubes. (1995) (Nuckolls, 1995).

“Setelah pemboman Osiraq, Irak berupaya memproduksi uranium


sebagai bahan dasar nuklir. rute pengayaan paling berkembang di Irak
setelah perang, berdasarkan teknologi pemisahan elektromagnetik
kalutron kuno,sehingga penemuan tersebut berhasil mengejutkan dunia
(Albright and M. Hibbs, 1992).

Dapat kita asumsikan bahwa ada ketidakkonsistenan antara apa yang diketahui
oleh badan intelijen Barat dan apa yang dilakukan dengan informasi itu. Hal ini

6
disorot dalam tanggapan pejabat IAEA terhadap kritik media internasional terhadap
IAEA ketika program senjata nuklir Irak terungkap. Jon Jennekens, pensiunan Deputy
Director General for Safeguards of IAEA, dalam pernyataan publik pertamanya,
mengatakan:

“Amerika dan Inggris tahu apa yang (Saddam) Hussein lakukan karena
mereka melakukan operasi sengit ketika Irak mencoba untuk mengimpor
alat pengatur waktu presisi sangat tinggi dari AS, melalui Inggris.
Mereka juga menangkap orang-orang. sudah jelas mengapa orang Irak
menginginkan instrumen ini, tetapi informasinya tidak pernah
diungkapkan ke sekretariat IAEA " (Sliver, 1993).

Faktanya, seluruh proses berakhirnya Perang Teluk menyebabkan


pengungkapan rincian program senjata nuklir Irak oleh inspektur IAEA, dilakukan
secara tidak terbuka. Selama bertahun-tahun, upaya nuklir Irak yang sangat besar
tetap tidak terdeteksi. Upaya yang menghabiskan biaya lebih dari 10 miliar dolar
selama tahun 1980-an dan mempekerjakan 10.000 atau lebih ilmuwan, teknisi, dan
lainnya (Albright and M. Hibbs, 1992). Hal ini terjadi karena adanya pergeseran
bertahap dari non-proliferasi ke kebijakan kontra-proliferasi (Albright and M. Hibbs,
1992).

Sebagai perbandingan, pabrik kalutron percontohan Irak dimulai pada tahun


1981. Pemasangan kalutron alfa besar pertama di pabrik produksi Tarmyia baru
dimulai pada tahun 1989. Oleh karena itu, pada tahun 1989–1990 Israel dan AS dapat
mulai memberikan tekanan politik atau militer pada Irak karena mengetahui hal
tersebut dengan melakukan pengeboman Osiraq ketika reaktor nuklir hampir siap
memproduksi plutonium. Pada tahun 1990 Irak memulai menginvasi Kuwait pada
Agustus 1990, puncaknya adalah pada 1991 ketika terjadi Perang Teluk dan Prancis

7
dan China bergabung dengan NPT. Tentu saja peristiwa ini membuka jalan atas di
legalkannya senjata pemusnah masal di suatu negara. Hal ini diputuskan dengan
pengesahan perpanjangan permanen penggunaan nuklir tanpa syarat di New York
pada tahun 1995 dan telah mengizinkan penggunaan kekerasan terhadap negara yang
berkembang biak (Krass dkk, 1983).

C. Senjata Pemusnah Massal di Iran


Iran mengenal istilah nuklir setelah melalui beberapa periode, pada masa
dibawah kepimpinan rezim Mohammad Shah Reza Pahlavi negara Iran merupakan
Sekutu Amerika Serikat dan mendapatkan berbagai fasilitas untuk memulai
pengembangan nuklir agar dapat membantu Amerika dalam perang dingin sebagai
bagian dari program atom milik Amerika Serikat (Khan, 2009).
Pada tahun Tahun 1968 Iran resmi bergabung menandatangani NPT atau
Nuclear Non-Proliferation Treaty dan mendirikan organisasi atom oleh Akbar
Etemad (Vaez & Sanjapour, 2013, 4). Kegiatan nuklir di Iran sempat dihentikan,
akan tetapi ketika terjadi perang Iran-Irak pada tahun 1980-1988 yang mana pada
saat itu dibawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini program untuk di Iran dimulai
kembali dengan membangun penghalang nuklir Iran untuk mengantisipasi Irak yang
semakin banyak menyelundupkan nuklir. Pada tahun 1987 Iran berperan penting
dalam mengakuisisi salah satu komponen kunci dari A.Q. Khan jaringan, jaringan
pasokan nuklir yang yang dikelola oleh Pakistan (Awam, 2010).
Menanggapi hal ini negara di benua Eropa beranggapan bahwa pelanggaran
Iran terhadap perjanjian non proliferation tidak dapat ditoleransi dan harus segera
dihentikan agar dapat mencegah negara lain untuk melakukan hal serupa dan
mengingat peran Iran yang cukup penting dikarenakan cadangan minyak yang
berlimpah di Kawasan Teluk Persia (Mikail, 2018).
Pada masa kepemimpinan Rafsanjani, program pengembangan nuklir tidak
berjalan, dikarenakan pemerintahan Iran pada saat itu sedang mengalami krisis akibat

8
invasi yang dilakukan Amerika Serikat hingga masa pemerintahan Muhammad
Khatami yang cenderung memberbanyak negosiasi dan diplomasi internasional
dengan pihak-pihak terkait khusunya IAEA dan Uni Eropa dan mengumumkan
kepada masyarakat bahwa nuklir di Iran digunakan untuk kepentingan masyarakat
sipil. Hal ini dibuktikan dengan melakukan pengembangan PLTN dan mengundang
IAEA. Program nuklir Iran pada masa kepemimpinan Ahmadinejad semakin gigih
untuk mengembangkan program nuklir dan menentang Amerika Serikat, sebaliknya
menjalin kerjasama dengan Rusia (Naji, 2009).
Sejak Revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979, beberapa factor yang
menjadikan Iran akhirnya memilih untuk membangun reactor nulir yaitu populasi
masyarakat Iran meningkat dua kali lipat, dari 32 menjadi hampir 70 juta, dan
sementara produksi cadangan minyaknya hanya 70% dari tingkat pra-revolusi,
sehingga jalan pintasnya yaitu nuklir. Menanggapi hal ini Amerika berpendapat
bahwa Iran pada dasarnya tidak memerlukan nuklir, akan tetapi bagaimana
memenuhi kebutuhan masyarakat jauh lebih penting.
Program nuklir Iran berdampang pada bidang ekonomi dan mendapat sanksi
dari dunia internasional yaitu dengan diberlakukannya pelarangan ekspor dan impor
pada beberapa negara, serta penolakan terhadap suplai bahan material nuklir menuju
Iran. Akan tetapi hal tersebut tidak diindahkan oleh Iran karena masih mendapatkan
bantuan dari negara Rusia (Alcaff & Yudi, 2008).
Hal membuat pemerintah Iran melanjutkan pengembangan program nuklir
yaitu sebagai pemenuhan energi alternatif untuk menghindari ketergantungan
terhadap bahan bakar fosil, mengingat cadangan yang tersisa hanya sekitar 70%.
Teknologi nuklir di Iran juga digunakan dalam bidang kedokteran sebagai
bentuk diagnose sejumlah penyakit dan cara penyembuhan. Dalam bidang pertanian,
teknologi nuklir berperan dalam peningkatan kualitas dan jumlah hasil pertanian,
penanganan hama dan penyakit pada tanaman, dan bagaimana meningkatkan efisiensi

9
penyimpanan tanaman yang sudah dipanen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Iran
memanfaatkan nuklir dalam hal yang positif seperti bidang ekonomi dan kedokteran,
serta sebagai pemenuhan energi alternative.

10
Penutup

Kesimpulan

Menurut hukum Internasional, perang atau penggunaan kekuatan bersenjata


yang benar atau sah adalah perang yang tidak bertentangan dengan perjanjian-
perjanjian internasional. Negara diperbolehkan menggunakan senjata atau berbagai
instrumen hukum humaniter yang telah mengatur bagaimana seharusnya perang itu
berlangsung. Salah satu sumber hukum humaniter yang penting adalah Konvensi Den
Haag 1899 dan 1907.

Proliferasi nuklir sendiri merupakan suatu proses atau bentuk diplomasi antar
gatra yang berusaha untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir dan beberapa gatra
tersebut memiliki potensi untuk melakukan pengembangan nuklir serta mempunyai
kemampuan untuk meluncurkan dan menempatkan senjata nuklir dapat memicu
terjadinya perang. Senjata nuklir sendiri masuk ke dalam kategori senjata pemusnah
massal atau yang biasanya disebut “Weapons of mess distruction”.

11
DAFTAR PUSTAKA

A, Gsponer. (1987). “Teil chen besch leuninger and fusionstechnologien:


Schleichwegezuratomaren Rustung” dalam Klett Cotta. Die Erde weint - Fruhe
warnung vor der Verw¨ ustung. Munich: DTV. h. 48–62.

Alcaff, M., & Yudi. (2008). Perang nuklir ? : militer Iran. Jakarta: Zahra Publishing
House.

Awam, M. (2010). Rencana Nuklir Israel; Membongkar Konspirasi Yahudi


Menghancurkan Dunia Dengan Senjata Nuklir. Yogyakarta: Navila Idea.

Burdah, Ibnu. 2008. Pembangunan Senjata Nuklir Israel: Makna strategisnya di Timur
Tengah. Dalam Jurnal: Al-Qalam Vol.25 No.3

G, Taubes. (1995). The defense initiative of the 1990s. Amerika: Science. h. 1096–
1100.

J, Nuckolls. (1995). Post-Cold War Nuclear Dangers: Proliferation and Terrorism.


Amerika: Science 267. h. 1112–1114

Khan, S. (2009). Iran and nuclear weapons: protracted conflict and proliferation.
Routledge.

Krass, dkk. (1983). For an Introduction to the Plasma Separation (or Ion Resonance)
Process, See A.S. Uranium Enrichment and Nuclear Proliferation. London: Taylor
and Francis Ltd. h. 179–283.

Mikail, K. (2018). Perjanjian Nuklir Iran dan Pengaruhnya terhadap Kepentingan


USA-Israel di Timur Tengah. Jurnal ICMES, 2(1), 69–85.

Naji, K. (2009). Ahmadinejad: Kisah Rahasia Sang pemimpin radikal. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

12
Purwanto, Adi Joko. 2011. Senjata Pemusnah Massal dan Masa Depan Keamanan
Internasional. Dalam Jurnal: Spektrum Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Vol.8, No. 1, Hal 5-6.

R, Sliver. (1993). Ex-safe guard shead sees threat continuing from Iraq. North Korea:
Nucleonics Weeks 7–8.

Soekito, Wiratmo. 1993. Mimbar Kekaryaan ABRI. Jakarta: CV.MYDA

Terok, Grasyela Rosalita. 2017. "Penggunaan Senjata Pemusnah Massal Dalam


Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional". dalam jurnal Lex et
Societatis, Vol. V, No. 7, Hal 3. September Tahun 2017.

Vaez, A., & Sadjadpour, K. (2013). Iran’s nuclear odyssey: Costs and risks (Vol. 2).
Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.

13

Anda mungkin juga menyukai