Anda di halaman 1dari 1

Bewuste rechtspolitiek dan penataan organisasi badan-badan peradilan ersoalan unifikasi dan dualisme

yang diutarakan di dalam bab terdalulu nyata kalau bersangkut paut erat sekali - tidak saja dengan ihwal
penyatuan hukum substantif dan hukum acara akan tetapi juga - dengan penyatuan organisasi
peradilan. Manakala orang-orang pribumi juga harus ditundukkan ke bawah yurisdiksi hukum yang
dipersiapkan untuk golongan penduduk Eropa, tentulah peradilan untuk orang-orang pribumi yang akan
menerapkan hukum Eropa itu akan mungkin diselenggarakan di dalam lingkungan kekuasaan badan-
badan peradilan pemerintah Hindia- Belanda. Maka, untuk orang-orang pribrumilah yang diberlakukan
hukum agamanya dan adat kebiasaannya sendiri, yang di dalam Pasal 75 ayat 3 Regeringsreglement
1854 diistilahi "de goddienstige wetten, instellingen en gebruiken der: nlanders". Dalam masalah ini,
Johan Thorbecke (seorang guru besar Universitas Leiden dari masa itu, yang beberapa tahun kemudian
menjadi Perdana Menteri), dalam suatu acara tanya-jawab di link terkait dengan rencana pengundangan
Regeringsreglement 1854, menyatakan bahwa meskipun kelak untuk orang-orang pribumi menerapkan
hukum kebiasaannya sendiri, badan-badan pengadilan yang akan menerapkan hukum kebiasaan orang-
orang pribumi, namun juga, haruslah tetap diawaki oleh hakim- hakim yang sama dengan hakim-hakim
yang berkompeten untuk mengadili orang-orang Eropa. Thorbecke beralasan bahwa hakim- Dalam
bukunya, De Atjehers, Jilid I yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1893, C. Snouck-Hurgronje
menggunakan istilahrecht untuk menyebut hukum tak tertulis yang dianut orang-orang Aceh dan orang-
orang pribumi pada umumnya, yang yang Disebut dalam Pasal 75 ayat 3 Regeringsreglement 1854.
Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh C. van Vollenhoven dalam seri tulisan-tulisannya yang diterbitkan
sepanjang kariernya sebagai guru besar di Universitas Leiden (1901-1933). 51

54.

Anda mungkin juga menyukai