Anda di halaman 1dari 2

Hubungan Indonesia-China, Pilar Stabilitas Kawasan

HUBUNGAN diplomatik Indonesia-China sudah memasuki usia 70 tahun. Dalam perjalanannya,


hubungan ini menemui pasang-surut. Namun, dalam 20 tahun terakhir, hubungan keduanya berjalan
stabil, terus meningkat, dan semakin matang. Selama 70 tahun tersebut, Indonesia telah menjadi
kekuatan regional (regional power) dan ekonomi nomor 16 terbesar di dunia dengan kelas
menengah terbesar di Asia Tenggara. China juga berubah pesat menjadi raksasa ekonomi dunia
sekaligus menjadi kekuatan global secara militer, diplomatik, politik, bisnis, teknologi, dan lain
sebagainya. 5 perubahan penting Pertanyaannya,setelah 70 tahun menjalin hubungan diplomatik,
apa yang berubah? Menurut saya, paling tidak ada lima perubahan penting yang perlu dicatat.
Pertama, makna China bagi Indonesia telah (jauh) berubah. Pada era 1950-an dan 1960-an, China
adalah salah satu negara termiskin di Asia, bahkan di dunia. Setelah membuka diri pada
pertengahan 1970-an, China menjadi negara paling sukses di dunia dalam mengentaskan rakyat
dari kemiskinan (menurut Bank Dunia, sekitar 850 juta rakyat China keluar dari garis kemiskinan).
China juga menjadi raksasa ekonomi dunia yang serbaunggul di berbagai bidang. Bersamaan
dengan itu, China juga tumbuh menjadi “rising power” dunia dengan kekuatan militer dan ekonomi
melebihi Jepang, Rusia, dan negara-negara Eropa. Fenomena “the rise of China” bahkan menjadi
fitur yang paling signifikan dalam percaturan dunia 20 tahun terakhir. Hal ini praktis membuat
gundah dunia Barat, terutama Amerika Serikat (AS) yang merasa posisi dominannya sedang
digoyang China. Perubahan kedua, dampak China terhadap Indonesia juga sudah berbeda jauh
dibandingkan 70 atau 60 tahun lalu. China telah menjadi ekonomi terbesar di dunia kalau dihitung
dari purchasing power parity (PPP). Kalaupun dihitung tanpa menggunakan ukuran PPP, ekonomi
China diperkirakan akan melampaui AS pada 2028. Segala kebijakan dari Beijing pasti membawa
dampak bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Perubahan struktural dalam program
reformasi ekonomi Presiden Xi Jinping, misalnya, akan mengakibatkan konsumsi dalam negeri
China melonjak drastis. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, China secara global sudah membuka
keran impor senilai 10 triliun dollar AS dan menetapkan target investasi di luar negeri sebesar 500
miliar dollar AS dalam beberapa tahun ke depan. Tidak ada negara lain di dunia yang menyajikan
fasilitas ekonomi sebesar ini. Indonesia harus secara agresif memanfaatkan peluang ini, jangan
menunggu bola karena negara-negara lain aktif menjemput bola. Indonesia juga harus lebih lincah
dan cerdik menembus dinding-dinding pasar China. Perubahan penting yang ketiga adalah dalam
pola hubungan kedua negara. Pada 1965 sampai 1987, hubungan diplomatik Indonesia-China
sempat dibekukan dan memasuki era yang suram. Sepanjang kurun waktu tersebut, sesuai juga
dengan perkembangan politik dalam negeri, diplomat Indonesia tidak diperbolehkan untuk
berhubungan apa pun dengan diplomat China. Kalau ada yang melanggar, bisa dipecat dari
Departemen Luar Negeri. Kini, suasananya telah berubah drastis. Apalagi sejak era reformasi ketika
terjadi perubahan politikdan sosial yang fundamental di Indonesia. China yang dulu dianggap
“momok” kini telah resmi menjadi “mitra strategis dan komprehensif” Indonesia. Ini berarti, baik
Jakarta maupun Beijing sama-sama mengakui bahwa hubungan mereka merupakan hubungan
yang “khusus” dan bernilai strategis. Diplomat Indonesia dan diplomat China kini terbiasa bekerja
sama dengan intensif baik secara bilateral, regional (ASEAN), plurilateral (G-20), maupun
multilateral (PBB). Pos Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing juga menjadi salah satu
penempatan terpenting bagi Indonesia. Lihat Foto Ilustrasi bendera Indonesia dan China.
(SHUTTERSTOCK/Leo Altman)   Perubahan besar keempat adalah pesatnya pertumbuhan
hubungan bilateral Indonesia-China. Saya dapat mengatakan bahwa dalam 15 tahun terakhir dan
terutama dalam 5 tahun terakhir, negara yang paling melejit hubungannya dengan Indonesia adalah
China. Kalau pada 1987—tahun ketika hubungan diplomatik kembali cair—hubungan ekonomi
Indonesia China praktis nol, China kini telah menjadi pasar ekspor terbesar bagi Indonesia dan
investor ketiga terbesar. Turis mancanegara terbesar di Indonesia bukan lagi dari Jepang, Australia
atau AS,melainkan China (dan Malaysia). Produk buatan China, seperti Oppo, Vivo,Xiaomi, dan
Huawei, banyak digandrungi konsumen Tanah Air. Mahasiswa Indonesia yang belajar di China juga
lebih banyak jumlahnya dibandingkan di AS. Sementara itu, China sendiri rajin mengirim sinyal
bahwa Indonesia menempati posisi penting bagi diplomasi mereka. Presiden Xi Jinping
mengumumkan kebijakan “One Belt, One Road” sewaktu berkunjung ke Indonesia pada 2013.
Presiden Xi Jinping juga mengumumkan pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) di
Indonesia. Ini menandakan bahwa Beijing memandang Indonesia sebagai negara yang berpengaruh
di kawasan. Perubahan kelima adalah timbulnya tingkat kepercayaan Indonesia (trust) yang lebih
tinggi terhadap China dibandingkan sebelumnya. Walaupun perbedaan tetap ada, misalnya
mengenai konsep Indo-Pasifik, semakin banyak kebijakan, posisi, dan kepentingan Indonesia-China
yang menjadi aligned (satutujuan). Hal itu tercermin dalam isu seperti sentralitas ASEAN, Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP), multilateralisme, perubahan iklim, akses yang adil
terhadap vaksin Covid-19, dan lain sebagainya. Memang, masalah trust ini masih belum sempurna
dan hubungan Jakarta-Beijing masih diwarnai tarik-menarik dalam sejumlah masalah. Namun, pada
hakikatnya, “comfort level” Pemerintah Indonesia terhadap China semakin besar dan sikap ini
tumbuh secara otomatis akibat ruang kerja sama yang semakin padat. Dalam masa kritis Covid-19,
misalnya, China menjadi negara pertama yang menawarkan kerja sama vaksin untuk Indonesia.
Bagi Indonesia yang sedang dirundung krisis kesehatan dan ekonomi, ini tentu merupakan tawaran
yang sangat berarti. Selain itu, dalam suasana internasional yang semakin marak dengan intervensi
politik, Pemerintah Indonesia juga meyakini bahwa Beijing tidak berminat melakukan kebijakan yang
intrusif atau intervensionis terhadap politik dalam negeri di Indonesia. China selama ini juga tidak
pernah ikut campur dalam masalah separatisme di Indonesia. Sebaliknya, China selalu menyatakan
mendukung NKRI tanpa kondisionalitas.

Anda mungkin juga menyukai