Anda di halaman 1dari 4

Sistem Kredit Sosial di Tiongkok : Langkah yang Tepat?

Oleh : Alya Batrisiya


1706024444

Dilansir oleh berita swasta, Creemers, Tiongkok sedang membangun apa yang disebut
sistem kredit sosial yang dimaksudkan untuk mengukur dan menilai kepercayaan warga negara.
Pemerintah Tiongkok bertujuan untuk mendaftarkan populasi keseluruhannya pada tahun 2020 dalam
sebuah data besar seperti basis data yang dibangun yang menyematkan informasi fiskal dan
pemerintah serta data yang dikumpulkan oleh bisnis swasta 1.Sistem ini adalah suatu mekanisme yang
memberikan penghargaan atau hukuman sebagai umpan balik kepada masyarakatnya, yang
didasarkan tidak hanya pada keabsahan, tetapi juga moralitas tindakan mereka, meliputi perilaku
ekonomi, sosial dan politik..2
Ide ini mulai dibahas di kalangan resmi dan non-resmi pada awal 2000-an dan menyusun
garis besar perencanaan yang diusulkan. Garis besar perencanaan Dewan Negara Tiongkok untuk
pembangunan SCS (2014-2020), dikeluarkan pada tahun 2014, menyatakan bahwa SCS akan fokus
pada empat bidang utama: kejujuran dalam urusan pemerintahan, integritas komersial, integritas
masyarakat, dan kredibilitas peradilan. Tujuan sistem ini adalah untuk menilai kepercayaan warga
Tiongkok dalam menepati janji mereka dan mematuhi aturan hukum, norma moral, dan standar
profesional dan etis.3 Untuk menerapkannya, pemerintah akan melacak dan mengevaluasi apa yang
masyarakatnya beli di toko-toko dan online; sedang dimana pada waktu tertentu; siapa teman dan
bagaimana masyarakatnya itu berinteraksi dengan mereka; berapa jam yang dihabiskan untuk
menonton konten atau bermain video game; dan tagihan dan pajak apa yang dibayar (atau tidak) oleh
masyarakatnya. Sistem ini akan memungkinkan pemerintah Tiongkok, dan perusahaan teknologi yang
bekerja dengannya, untuk memantau setiap tindakan sosial, ekonomi, dan politik yang diambil oleh
setiap warga negara serta sebagian besar kegiatan pribadi mereka.
Apabila dilihat dengan perspektif sosiologi modern, maka sistem yang akan berlaku di
Tiongkok ini paling tepat ditinjau menggunakan perspektif konflik sebagaimana yang diungkapkan
oleh Karl Marx. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik

1
Ramadan, Zahy.” The gamification of trust: the case of China’s “social credit”.Marketing Intelligence & Planning

36,No.1 (2017): 93-107

2
Martin Chorzempa, Paul Triolo, and Samm Sacks. China’s Social Credit System : A Mark of Progress or a Threat to
Privacy?. https://piie.com/system/files/documents/pb18-14.pdf diakses pada 25 November 2018

3
Yongxi Chen, Anne SY Cheung. “The Transparent Self Under Big Data Profiling : Privacy and Chinese Legislation on the
Social Credit System”.The Journal of Comparative Law 12. No. 2 (2017) 356-378
yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. 4 Teori ini didasarkan
pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Teori konflik
menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. 5
Teori konflik merupakan lawan dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural
fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Sedangkan, Teori konflik melihat
pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan
kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-
beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara
6
superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.
Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Menurut
teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di
masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat
hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. 7

Menurut saya, penggunaan teori konflik dalam melihat fenomena Sistem Kredit Sosial paling
tepat digunakan karena mekanisme yang digunakan di Tiongkok ini dikontrol sepenuhnya oleh
pemerintah, hal ini menunjukan adanya dominasi pemerintah dibanding masyarakatnya. Pemerintah
dapat mengetahui seluruh kegiatan masyarakat, mulai dari belanja bulanan hingga menonton hiburan.
Sehingga, tidak adanya privasi yang dimiliki oleh masyarakat Tiongkok. Selain itu, apabila
masyarakat memprotes pemerintah, maka akan diberikan pengurangan nilai. Hal ini jelas melangggar
hak asasi manusia untuk mengungkapkan pendapat.

Dengan adanya penilaian terhadap seluruh individu di Tiongkok, maka otomatis akan tercipta
tingkatan-tingkatan dalam masyarakat sesuai dengan nilai yang diperolehnya. Pihak yang memperoleh

4
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. Hlm. 54

5
Lewis A. Coser, Social Conflict and the Theory of Social Change. The British Journal of Sociology, Vol 8 No 3 (1957)
197-207

6
Fred. Schwarz, You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. 1960. Hlm. 71

7
M. Wahid Nur Tualeka. Teori Konflik Sosiologi Konflik dan Modern.Jurnal Al-Hikmah 3, No. 1 (2017) 32-48
skor tinggi akan mendapatkan hak istimewa bagi pemegangnya seperti menerima visa yang
dipercepat, dipromosikan ke kelas VIP untuk tiket, hotel, dan layanan penyewaan mobil. Sebaliknya,
pihak dengan nilai rendah akan dihukum dan akan dianggap jauh dari warga negara yang baik.
Perbedaan tingkatan ini mengakibatkan pula perbedaan kepentingan sehingga dapat menimbulkan
konflik.

Namun, dengan pemberian hak istimewa bagi pihak yang memperoleh skor tinggi, membuat
masyarakat tunduk pada aturan pemerintah. Sehingga dapat menekan angka kriminalitas, korupsi,
penggelapan pajak, kecurangan akademis dan lain-lain. Hal ini akan merealisasikan tujuan dari sistem
kredit sosial ini yaitu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Tiongkok.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem kredit sosial yang akan diberlakukan
di Tiongkok merupakan suatu kebijakan yang menuai konflik. Namun, berdasarkan teori konflik, hal
ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam proses perubahan masyarakat. Konflik ini lambat laun
akan mencapai suatu titik tengah sehingga terwujudnya kestabilan serta kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR REFERENSI

1. Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
2. Ramadan, Zahy.” The gamification of trust: the case of China’s “social credit”. Marketing
Intelligence & Planning 36,No.1 (2017): 93-107

3. Martin Chorzempa, Paul Triolo, and Samm Sacks. China’s Social Credit System : A Mark of
Progress or a Threat to Privacy?. https://piie.com/system/files/documents/pb18-14.pdf
diakses pada 25 November 2018
4. Yongxi Chen, Anne SY Cheung. “The Transparent Self Under Big Data Profiling : Privacy
and Chinese Legislation on the Social Credit System”.The Journal of Comparative Law 12.
No. 2 (2017) 356-378
5. Lewis A. Coser, Social Conflict and the Theory of Social Change. The British Journal of
Sociology, Vol 8 No 3 (1957) 197-207

6. Fred. Schwarz, You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood
Cliffs. 1960. Hlm. 71

7. M. Wahid Nur Tualeka. Teori Konflik Sosiologi Konflik dan Modern.Jurnal Al-Hikmah 3,
No. 1 (2017) 32-48

Anda mungkin juga menyukai