Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

STEMI ANTEROSEPTAL POST FIBRINOLISIS

Disusun Oleh :
Ufik Maulena G4A017040

Pembimbing:
dr. Windhi Dwijanarko Sp.JP

FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
STEMI ANTEROSEPTAL POST TROMBOLISIS

Disusun oleh :
Ufik Maulena G4A017040

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: September 2018

Purwokerto, September 2018


Pembimbing,

dr. Windhi Dwijanarko Sp.JP


I. PENDAHULUAN

Serangan Jantung (infark miokardial) adalah suatu keadaan dimana secara


tiba-tiba terjadi pembatasan atau pemutusan aliran darah ke jantung, yang
menyebabkan otot jantung (miokardium) mati karena kekurangan oksigen. Proses
iskemik miokardium lama yang mengakibatkan kematian (nekrosis) jaringan otot
miokardium tiba-tiba. Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab tunggal
kematian dan frekuensinya meningkat. Penyakit jantung iskemik saat ini terhitung
menyebabkan kematian 1.8 juta jiwa tiap tahunnya, dengan variasi masing-masing
negara. Insiden STEMI dan NSTEMI berkurang dan meningkat secara relatif tiap
tahunnya. Di Swedia, Insiden STEMI tahun 2015 yaitu 58 per 100 ribu orang
sedangkan di negara Eropa berkisar antara 43 sampai 144, dan di USA menurun
menjadi 133 per 100 ribu orang di tahun 1999 sedangkan di tahun 2008 menjadi
50 per 100 ribu orang. Terdapat pola yang konsisten pada STEMI, yang lebih
banyak terjadi pada laki-laki muda (Ibanez, 2018).
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina
(UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment
Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). IMA tipe STEMI sering menyebabkan
kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang
membutuhkan tindakan medis secepatnya (Regitz, 2016).
Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu
tindakan reperfusi, berupa terapi fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary
Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12
jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi
reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest
pain) (Gershick, 2013).
American College of Cardiology/American Heart Association dan European
Society of Cardiology merekomendasikan dalam tata laksana pasien dengan
STEMI selain diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-
platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta,
ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker (ESC, 2017).
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangbayang RT 5/RW 3 Kecamatan Bantarkawung
Pekerjaan : Buruh Tani
Agama : Islam
Tgl. Masuk RS : 17 Agustus 2018
TglPeriksa : 21 Agustus 2018
Ruang : Mawar

B. Anamnesis
Keluhan utama : nyeri dada
Keluhan tambahan : sesak napas, keringat dingin
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang rujukan dari RS Alam Medika Bumiayu dengan nyeri dada
sejak 3 jam sebelum masuk RSMS. Hingga tiba di RSMS, pasien masih
merasakan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan di sebelah kiri dan menjalar ke
punggung sebelah kiri, namun tidak menjalar ke lengan kiri maupun bahu
kiri. Nyeri dada dirasakan mendadak dan tiba-tiba memberat. Nyeri dada
dirasakan seperti tertindih di belakang dada. Nyeri dada dirasakan terus
menerus dan tidak dipengaruhi oleh posisi. Nyeri dada tidak menghilang
dengan istirahat. Nyeri dada dirasakan pada skala 9/10. Nyeri dada dirasakan
hingga pasien membungkuk dan tidak bisa bergerak.
Nyeri dada disertai dengan keluarnya keringat dingin dan sesak napas.
Pada saat nyeri dada, pasien sempat tidak sadarkan diri selama kurang kebih
10 menit. Sesak napas dialami tanpa bunyi napas ngik-ngik. Selain itu pasien
juga mengeluhkan nyeri kepala dan mual. Keluhan nyeri perut, nyeri ulu hati,
dan muntah disangkal. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan
seperti ini. Pasien juga mengaku belum pernah masuk rumah sakit untuk
mondok. Pasien rutin kontrol tekanan darah ke Puskesmas 1 minggu sekali.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : diakui
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat cuci darah : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat sakit kuning : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
1. Community
Pasien tinggal di lingkungan perumahan yang cukup padat penduduk.
Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
2. Home
Pasien tinggal di rumah dengan keluarga (istri, dua anak, dua menantu,
dan cucu). Rumah beratap genteng dan beralas ubin. Jamban berada di
dalam rumah dan ventilasi serta cahaya matahari dirasa cukup. Keluarga
memasak menggunakan kompor gas.
3. Occupational
Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan pencari rumput. Setiap
pagi pasien berjalan kaki ke sawah yang berjarak 1 km dari rumah dari
pukul 07.00 pagi dan kembali ke rumah pukul 13.00. kemudian setelah itu
pasien berjalan kaki lagi untuk mencari rumput sejauh 4 km dari pukul
14.00-16.00. Pembiayaan rumah sakit selama dirawat pasien
menggunakan BPJS non PBI. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dibiayai
oleh keluarga pasien.
4. Diet
Keluarga pasien mengaku bahwa pasien makan sehari 2-3 kali dengan
nasi, sayur, lauk, daging/ayam, dan buah. Pasien memiliki kebiasaan
makan gorengan (mendoan) yang dibeli dari warung tiap pagi rata-rata 2-
3 buah. Kebiasaan minum kopi disangkal.
5. Riwayat merokok
Sebelum sakit, pasien mengaku merupakan perokok pasif sejak usia 15
tahun dan sehari dapat menghabiskan 1-2 bungkus. Indeks Brickmann
pasien yaitu 816 sehingga pasien tergolong perokok berat.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 21 Agustus 2018.
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36.9 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam dan sedikit beruban, tidak mudah dicabut dan
terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan Leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus-/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V LMCS dan kuat
angkat (+)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Deformitas - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 17 Agustus 2018
Hemoglobin : 14.8 g/dl N (14 – 18 g/dl)
Leukosit : 10250 /ul N (4800-10800/ul)
Hematokrit : 44 % N (42 – 52 %)
Eritrosit : 5.2 x 106/ul N (4,7-6,1 106/ul)
Trombosit : 354.000/ul N (150000-450000/ul)
MCV : 84.4 fl N (77-89 fl)
MCH : 28.5 pg N (27-31 pg)
MCHC : 33.5 % N (33-37%)
RDW : 12.5 % N (11,5-14,5%)
MPV : 8.3 fl N (7,2-11,1fl)
PT : 23.7 detik N (9.3-11.4)
APTT : 52.4 detik N (29.0-40.2)
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0.4 % N 0-1
Eosinofil : 0.5 % L 2-4
Batang : 0.8 % L 3-5
Segmen : 83.8 % H 50-70
Limfosit : 11.9 % N 25-40
Monosit : 2.6 % N 2-8
Kimia Klinik
Ureum darah : 36.18 mg/dL H (14.90 – 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah : 1.07 mg/dL N (0.00 – 1.30 mg/dl)
Kolesterol total : 216 mg/dL H (<200 mg/dL)
Trigliserid : 108 mg/dL L (<149 mg/dL)
LDL Kolesterol : 82.0 mg/dL H (40-60 mg/dL)
Natrium : 141 mmol/L N (136-145 mmol/l)
Kalium : 3.9 mmol/L N (3,5-5,1 mmol/l)
Troponin I : 5.77 H (0.00-0.02)

EKG RS Alam Medika Tn. S


EKG Saat di IGD RSMS Tn. S

EKG Pre Streptase Tn. S


Pengawasan Intensif Saat Pemberian Streptase
Jam Tekanan Nadi RR Suhu
Darah
09.00 151/79 mmHg 69 x/menit 22 x/menit 36.2oC
09.10 Mulai pemberian streptase fibrin 1.500.000
09.20 163/80 mmHg 68 x/menit 22 x/menit 36.0 oC
09.30 132/64 mmHg 71 x/menit 24 x/menit 36.2 oC
09.40 159/74 mmHg 64 x/menit 24 x/menit 36.0 oC
09.50 158/79 mmHg 61 x/menit 22 x/menit 36.4 oC
10.00 156/79 mmHg 61 x/menit 22 x/menit 36.0 oC
10.10 155/79 mmHg 70 x/menit 22 x/menit 36.1 oC

EKG Post Streptase Tn. S


EKG Tanggal 19 Agustus 2018

Rontgen RSMS Tn. S


E. Diagnosis
STEMI Anteroseptal Post Trombolisis;
Dislipidemia
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana dari IGD:
1. O2 2 lpm nasal kanul
2. IVFD RL 20 tpm
3. Inj. Omeprazol 1x1 amp
4. ISDN 3x5 mg sublingual
5. Aspilet 4 tab
6. Clopidogrel 4 tab lanjut brilinta 2x1
7. Inj. Morphin 2 mg IV
Tatalaksana di Ruangan (Mawar 21/8/2018)
Farmakologi
1. Inj. Ranitidin 2x1 amp
2. Inj. Arixtra 1x2 amp, 5 mg SC (H.5) terakhir
3. Aspilet 1x1 tab
4. Brilinta 2x1 tab
5. Ramipril 2x2.5 mg
6. Atorvastatin 1x20 mg
7. Alprazolam 1x0.5 mg
8. Lactulac syr 2x2 C
9. Nitrokaf 2x2.5 mg
10. ISDN k/p
Non Farmakologi
1. IVFD RL 20 tpm
2. O2 3 liter per menit
3. Mobilisasi duduk sampai jalan
G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia
MONITORING HARI PERAWATAN

Tanggal SOA Planning


22/08/2018 Subjek - Ranitidin 2x1 tab
Pasien mengatakan bahwa - Aspilet 1x1 tab
keluhan saat ini membaik. - Brilinta 2x1 tab
- Ramipril 2x2.5 mg
Objek
- Atorvastatin 1x20 mg
TD 100/80
- Nitrokaf 2x2.5 mg
N 76 x/menit - Lactulac syr 1x2 C
RR 21 x/menit - Boleh Pulang
S 36.5 oC
Assessment
STEMI Anteroseptal Post
Trombolisis;
Dislipidemia
III. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sindroma Koroner Akut
a. Definisi
Istilah infark miokard akut harus digunakan ketika ada bukti
adanya jejas pada otot jantung (miokard) yang ditandai denan
peningkatan troponin kardiak dengan minimal salah satu nilai di atas
99 persentil, dengan nekrosis miokard yang ditandai dengan sejumlah
tanda klinis (Ibanez, 2018).
b. Epidemiologi
Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab tunggal kematian
dan frekuensinya meningkat. Penyakit jantung iskemik saat ini
terhitung menyebabkan kematian 1.8 juta jiwa tiap tahunnya, dengan
variasi masing-masing negara. Insiden STEMI dan NSTEMI
berkurang dan meningkat secara relatif tiap tahunnya. Di Swedia,
Insiden STEMI tahun 2015 yaitu 58 per 100 ribu orang sedangkan di
negara Eropa berkisar antara 43 sampai 144, dan di USA menurun
menjadi 133 per 100 ribu orang di tahun 1999 sedangkan di tahun
2008 menjadi 50 per 100 ribu orang. Terdapat pola yang konsisten
pada STEMI, yang lebih banyak terjadi pada laki-laki muda (Ibanez,
2018).
Tingkat mortalitas pada pasien STEMI dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti usia, lama waktu sampai mendapat terapi, adanya
riwayat STEMI, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau penyakit jantung
koroner yang lain, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Meskipun penyakit
jantung iskemik dapat terjadi 7-10 tahun kemudian pada laki-laki, pada
wanita, infark miokard dapat menyebabkan kematian. Sindrom
koroner akur terjadi 3-4 x lebih sering pada laki-laki daripada wanita
di bawah usia 60 tahun (Ibanez, 2018).
c. Faktor Risiko
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study
menunjukkan kadar lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi,
DM, obesitas abdominal, faktor psikososial, pola diet, konsumsi
alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan berhubungan dengan
infark miokard akut baik pada STEMI maupun NSTEMI. Secara garis
besar, faktor risiko tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan
dapat atau tidaknya dimodifikasi (Kyto, 2017):
1. Non- modifieable
a) Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum
usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh
jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang terjadi
pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse
events.
b) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan
jantung dan kejadiannyalebih awal dari pada wanita.
Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar daripada
wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10
tahun lebih dini pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita
mengalami kejadian infark miokard pertama kali tahun lebih
lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard
pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan esterogen
c) Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung
daripada ras African American. Kelompok masyarakat kulit
putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian,
tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan
pada usia muda dari pada usia lebih tua. Insidensi kematian
dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang
tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
lokal dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibia.
d) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner
yaitu keluarga langsung yang berhubungan darah pada pasien
berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti
bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia
onset PJK pada keluarga dekat. Faktor familial dan genetika
mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal
tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam
diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.
2. Modifiable
a) Hipertensi.
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan
dengan tekanan darah, setiap penurunan tekanan darah diastolik
sebesar 5 mmHg risikonya berkurang sekitar 16 %. Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg dan atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.
Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi
jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia. Secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosklerosis,
sehingga ruptur dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat
daripada orang normotensi
b) DM
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri
koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke
jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang
dengan diabetes cenderung lebih cepat mengalami degenerasi
dan disfungsi endotel. Diabetes mellitus berhubungan dengan
perubahan fisik - pathologi pada system kardiovaskuler.
Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya coronary artery diseases (CAD).
c) Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor
resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan
peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas
batas normal. The National Cholesterol Education Program
(NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar
kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasiuntuk perkembangan dan perubahan secara
progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam
darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein
densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 %
merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density
liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL lah yang rendah
memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan
terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK. Peningkatan kadar
lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini
faktor risiko dari faktor lipid darah: total kolesterol plasma >
200 mg/dl, kadar LDL > 130 mg/dl, kadar trigliserid > 150
mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl.
d) Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung
koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan
IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral atau obesitas abdominal
adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen.
Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan
metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan
HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi
insulin dan diabetes melitus tipe II.
Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabilasetiap
individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro
vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan berat
badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan
menurunkan dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan
cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.
e) Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner sebesar 50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal
bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 20–30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal
dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian
karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok.
Penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan. Merokok sigaret
menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2-3 kali. Sekitar
24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 %
padaperempuan disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan
yang dilakukan pada usia dewasa muda dibawah usia 34 tahun,
dapat diketahui terjadinya atherosklerosis pada lapisan
pembuluh darah (tunika intima) sebesar 50 %.35 Berdasarkan
literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena
kebiasaan merokok dan penggunaan kokain
f) Aktivitas Fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah
sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi,
menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan
kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan
meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki
dan dua per tiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama
langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada
gradien 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan
penurunan insiden PJK sebesar 20–40%. Olah raga secara
teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko
seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin serta
menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol. Pada
latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem
kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan
redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif.
g) Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E,
dan bahan-bahan polisitemikal. Studi Epidemiologi yang
dilakukan terhadap beberapa orang telah diketahui bahwa
konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan penurunan
mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia pertengahan dan
pada individu yang lebih tua, tetapi konsumsi alkohol dosis
tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas penyakit
kardiovaskuler. Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas kardivaskuler karena aritmia, hipertensi
sistemik, dan kardiomiopati dilatasi.
d. Patofisiologi
Sindroma koroner akut merupakan manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi
plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi. Trombus akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu, terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard)
(Ashis, 2018).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis adalah
gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan remodelling ventrikel
(perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien
sindroma koroner akut tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan
di atas. Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus,
dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah intervensi
koroner perkutan (IKP) (Ashis, 2018).
e. Klasifikasi Sindroma Koroner Akut
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI)
3. Angina pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejaian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,
intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung (Pedersen, 2014).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan
NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang
ditandai dengan peningkatan marka jantung (Pedersen, 2014).
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau
CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa
unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-
24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang
(Pedersen, 2014).
f. Diagnosis SKA
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung,
dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada
dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
1) Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri
dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop (Hoffman, 2014).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda
(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA (Hoffman,
2014).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub
karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding SKA (Quinn, 2014).
3) Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali (Quinn, 2014).
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan
angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST
yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi
segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST
elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40
tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV (Quinn,
2014).
Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30
tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di
sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (Quinn, 2014).
Tabel 1. Lokasi Infark berdasarkan Sadapan EKG (Quinn, 2014)

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak


ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah
infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST
yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di
sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan
dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST
yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (Quinn,
2014).
4) Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai
untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner /nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dari troponin T (Quinn, 2014).
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB
atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat
dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB
lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural (Quinn, 2014).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di
laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang
rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa
tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi
kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin
SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium
sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point
of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral (Quinn, 2014).
Gejala dan tanda kemungkinan SKA:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau
tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-
darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Gejala dan tanda definitif SKA:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI,
depresi ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan
iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
5) Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda
terapi SKA (Quinn, 2014).
6) Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan
meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan,
maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta
(Quinn, 2014).
g. Manajemen Awal
Ketika diagnosis STEMI dibuat, perlu dilakukan manajemen
STEMI secara cepat dan tepat. Berdasarkan langkah diagnostik
tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang
akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan (Windecker, 2014).
Gambar 1. Manajemen STEMI (ECS, 2017)
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam
6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang
tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin
tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di
bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) Dosis awal
ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan
nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat
darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,
dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali.
Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit,
bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual
Berdasarkan European Society of Cardiology, terdapat perubahan
rekomendasi terhadap pasien dengan Infark Miokard yaitu:

Gambar 2. Rekomendasi Manajemen pada Infark Miokard (ESC, 2017)


2. Fibrinolitik dan Strategi Farmakoinvasif
a. Indikasi
Terapi fibrinolitik sangat penting untuk memberikan reperfusi
jaringan ketika PCI primer tidak dapat dilakukan. Terapi ini dapat
mencegah kematian dini 30 pasien dari 1000 pasien yang dirawat
dalam 6 jam setelah onset dan gejala muncul. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan dalam 12 jam onset jika PCI primer tidak dapat
dilakukan dalam 120 menit dari diagnosis STEMI (Gambar ) dan tidak
ada kontraindikasi. Jika lebih dari 3 jam, pertimbangan lebih harus
diberikan untuk dipindahkan dan dilakukan PCI primer karena efikasi
dan manfaat klinis dari fibrinolisis berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu. Jika terdapat kontraindikasi dari pemberian
fibrinolitik, penting untuk meningkatkan potensiasi hidup dari
fibrinolisis, dengan mengambil manajemen alternatif seperti delayed
primary PCI (Ibanez, 2018).

Gambar 3. Rekomendasi Terapi Fibrinolisis (ECS, 2017)


b. Fibrinolisis Pre-hospital
Pada penelitian meta analisis enam percobaan (n=6434),
fibrinolisis pre-hospital mengurangi tingkat mortalitas sampai 17%
dibandingkan fibrinolisis saat sudah sampai di Rumah Sakit,
khususnya ketika diberikan pada 2 jam pertama. Fibrinolisis
prehospital yang diikuti oleh PCI primer pada pasien STEMI
menunjukkan hasil yang sama dengan pasien STEMI yang
dipindahkan untuk PCI primer dalam waktu 3 jam setelah onset
(Ibanez, 2018).
c. Angiografi dan Percutaneus Coronary Intervention Setelah Fibrinolisis
Setelah terapi lisis diberikan, direkomendasikan untuk
memindahkan pasien ke pusat pelayanan yang dapat melakukan PCI.
Pada kasus gagal fibrinolisis, atau jika terdapat bukti reoklusi atau re-
infarksi dengan elevasi segmen ST rekurens, angiografi cito dan PCI
diindikasikan. Pada hal ini, readministrasi dari fibrinolisis tidak
menunjukkan manfaat yang signifikan. Bahkan jika fibrinolisis tampak
akan berhasil ( resolusi ST-segment > 50% pada 60-90 menit pertama;
aritmia reperfusi tipikal; dan nyeri dada yang menghilang), angiografi
tetap direkomendasikan jika tidak ada kontraindikasi. Manfaat dari PCI
dini setelah fibrinolisis dapat dilihat dari ketiadaan peningkatan risiko
komplikasi (stroke atau perdarahan masif). Sementara angiografi
dengan PCI (jika diindikasikan) juga merupakan rekomendasi standar
dari manajemen setelah fibrinolisis (Ashis, 2018).
Terdapat variasi waktu optimal dari penundaan antara terapi lisis
yang berhasil dengan PCI, dari median 1.3 jam (pada percobaan
Combined Angioplasty and Pharmacological Intervention) hingga 17
jam (pada percobaan STREAM). Angiografi yang sangat dini (<2 jam)
setelah fibrinolisis tidak berhubungan dengan peningkatan risiko 30
hari kematian atau reinfark atau kejadian perdarahan, dan waktu yang
lebih singkat dari onset ke angiografi (<4 jam) berhubungan dengan
penurunan risiko 30 hari dan 1 tahun kematian/reinfark dan 30 hari
iskemia rekurens. Berdasarkan analisis ini, penundaan waktu yang
direkomendasikan antara lisis dan angiografi rata-rata 2-17 jam (Ashis,
2018).
d. Agen Fibrinolitik
Saat percutaneus coronary intervention tidak dapat dilakukan pada
pasien STEMI, terapi reperfusi dengan agen fibrinolitik tenecteplase,
reteplase, atau alteplase (infus 90 menit) ditambah antikoagulan
parenteral memiliki keamanan yang lebih baik daripada regimen lain.
Agen spesifik fibrin dianjurkan, seperti tenecteplase tissue
plasminogen activator (TNK-tPA) dapat menurunkan mortalitas 30
hari, namun lebih aman untuk mencegah perdarahan non serebral dan
transfusi darah, serta lebih mudah digunakan pada setting pre-hospital.
Pada suatu studi menyebutkan pada pasien STEMI, tenecteplase,
reteplase dan alteplase (infus 90 menit) ditambah antikoagulan
parenteral memiliki regimen yang paling efektif (mortalitas yang
rendah) dengan profil keamanan (risiko rendah untuk perdarahan),
dibandingkan dengan streptokinase atau alteplase non accelerated atau
tanpa antikoagulasi parenteral. Namun, karena kendala biaya,
streptokinase tetap lanjut digunakan pada terapi primer STEMI di
negara dengan pendapatan rendah dan menengah (Gershick, 2013).
Gambar 4. Dosis Agen Fibrinolitik (Ibanez, 2018)
e. Tambahan Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
Studi menyebutkan bahwa manfaat aspirin dan fibrinolitik (seperti
streptokinase) ditambahkan. Dosis awal dari aspirin harus dikunyah
atau diberi intravena pada dosis rendah (75-100 mg) diberikan secara
oral pada hari selanjutnya. Clopidogrel ditambahkan utntuk
mengurangi risiko kardiovaskuler dan mortalitas pada pasien yang
diterapi dengan fibrinolisis dan harus ditambahkan dengan aspirin
sebagai tambahan terapi lisis. Antikoagulasi parenteral lebih baik
diberikan sampai revaskularisasi terjadi. Selain itu, juga perlu
diberikan minimal 48 jam atau selama durasi lama tinggal di rumah
sakit, sampai 8 hari (Brown, 2018).
f. Kontraindikasi Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik memiliki beberapa kontraindikasi relatif maupun
absolut yaitu (Ibanez, 2018):
1. Kontraindikasi absolut
- Perdarahan intrakranial sebelumnya atau stroke
- Stroke iskemik yang terjadi dalam 6 bulan sebelumnya
- Kerusakan sistem saraf pusat, adanya neoplasma atau
malformasi arteriovenosa
- Trauma mayor, pembedahan atau cedera kepala
- Perdarahan gastrointestinal beberapa bulan sebelumnya
- Kelainan pembekuan darah yang diketahui
- Diseksi aorta
- Pungsi non compressible pada 24 jam (seperti biopsi liver atau
lumbal pungsi)
2. Kontraindikasi relatif
- Transient ischaemic attack dalam waktu 6 bulan
- Terapi antikoagulan oral
- Kehamilan atau dalam 1 minggu postpartum
- Hipertensi refrakter (SBP>180 mmHg dan/atau DBP >110
mmHg)
- Penyakit hepar
- Endokarditis infektif
- Ulkus peptik aktif
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan kasus di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan, yaitu:
- Tn. S mengalami STEMI anteroseptal, dengan gejala nyeri dada
yang tidak dipengaruhi oleh posisi, tidak berkurang dengan
istirahat, berlangsung lebih dari 15 menit, disertai sesak napas,
keringat dingin, dan mual. Selain itu, dari hasil pemeriksaan
elektrokardiogram, Tn. S mengalami elevasi segmen ST dan inversi
gelombang T pada lead V1-V4. Selain itu, dari hasil penanda
jantung, Troponin I pasien mengalami kenaikan.
- Tn. S memiliki faktor risiko STEMI yang berupa laki-laki, usia
lanjut, memiliki riwayat hipertensi, dislipidemia, perokok berat,
dan kebiasaan diit tinggi kolesterol.
- Saat tiba di IGD RSMS, terapi awal untuk Tn. S yaitu oksigenasi,
injeksi morfin, aspilet, dan klopidogrel. Hal ini sudah sesuai
dengan guideline manajemen awal STEMI.
- Terapi selanjutnya untuk Tn. S yaitu dilakukan yaitu reperfusi
dengan trombolisis/fibrinolisis dengan menggunakan stresptase 1.5
juta unit selama 60 menit intravena.
DAFTAR PUSTAKA

Ashis, Shrestha. 2018. In Patients With ST-segment Elevation Myocardial


Infarction, Which Fibrinolytic Agent is The Safest and Most Effective?.
Annals of Emergency Medicine. 19 (6): 18-30.

Brown, Michael. 2018. Comparative efficacy and safety of reperfusion therapy


with fibrinolytic agents in patients with ST-segment elevation myocardial
infarction: a systematic review and network meta-analysis. Lancet.
390:747-759.

Gershick, A., A. Banning, A. Myat. 2013. Reperfusion Therapy for STEMI: is


There A Role for Thrombolysis in The Era of Primary Percutaneous
Intervention? Lancet. 38 (2): 624-632.

Hoffman, R., S. James, L. Svensson, N. Witt, M. Frick. 2014. Determination of


the role of oxygen in suspected acute myocardial infarction trial. American
Heart Journal. 167 (3): 322-328.
Ibanez, Borja., S. James, S. Agewal, M. Antunes, C. Bucciarelli. 2018. 2017 ESC
Guidelines for The Management of Acute Myocardial Infarction in
Patients Presenting with ST-segment Elevation: The Task Force for The
Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with
ST-segmen Elevation of The European Society of Cardiology. European
Heart Journal. 2 (7): 119-177.

Kyto, V., J. Sipila, P. Rautava. 2015. Gender and in-hospital mortality of ST


segment elevation myocardial infarction. American Journal Cardiology.
115 (3): 303-306.

Pedersen, F. V. Butyrmovich, H. Kelbaek, K. Wachtell. 2014. Short- and long


term cause of death in patients treated with primary PCI for STEMI.
Journal American College Cardiology. 64 (20): 2101 –2108.
Quinn, T., S. Johansen, C. Gale, H. Snooks, S. McLean. 2014. Effects of
prehospital 12-lead ECG on processes of care and mortality in acute
coronary syndrome: a linked cohort study from the Myocardial Ischaemia
National Audit Project. Heart Journal. 100 (12): 944-950.
Regitz, Z., V. Oertelt, E. Franconi, E. Gerdts, A. Ludwig. 2016. Gender in
cardiovascular diseases: impact on clinical manifestations, management,
and outcomes. European Heart Journal. 37 (1): 24-34.
Windecker, S., F. Kohl, F. Alfonso, P. Collet, J. Cremer. 2014. 2014 ESC/EACTS
Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on
Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology
(ESC) and the European Association for Cardio-Thoracic Surgery
(EACTS). Developed with the special contribution of the European
Association of Percutaneous Cardiovascular Interventions (EAPCI).
European Heart Journal. 35 (37): 2541-2619.

Anda mungkin juga menyukai