OLEH :
ENGGA SEPTIA DAMAYANTI
NPM. 2026040024.P
Kelas : B3 Kebidanan
A. Contoh Kasus 1
Ny. S usia 29 tahun, G2P1 hamil 40 minggu, datang ke Puskesmas
tanggal 29 November 2020, pada pukul 19.30 WIB, dan diterima oleh bidan
dengan keluhan utama mules-mules sejak 10 jam ketuban pecah sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien melakukan pemeriksaan antenatal di bidan
secara teratur. Anak pertama berusia 5 tahun. lahir dengan ekstraksi vakum,
berat lahir 3300 gram. Pada pemeriksaan didapatkan his 3 kali dalam 30
menit, lamanya 40 detik. Tinggi fundus uteri 36 cm, penurunan kepala 4/5,
denyut jantung janin 155 kali/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu
36,80C dan frekuensi nadi 90 kali/menit. Cairan ketuban berwarna jernih.
Pada pemeriksaan dalam, didapatkan pembukaan 4 cm, tidak ada molase.
Proteinuria (-), aseton (-), volume urin 350 ml.
B. Contoh Kasus 2
Ny. J usia 28 tahun G1 P0 A0 hami 38 minggu dalam persalinan, VT:
pembukaan lengkap penurunan kepala di H IV, DJJ normal, sudah di pimpin
mengejan sejak 2 jam yang lalu bayi belum lahir, ibu mengeluh susah
mengejan sehingga napas terputus dan mengatakan tidak sanggup lagi untuk
mengejan.
C. Penatalaksanaan Kasus
1. Penanganan Umum
a. Perawatan pendahuluan :
Menurut Sarwono (2014) penatalaksanaan penderita dengan
partus kasep (lama) adalah sebagai berikut :
1) Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk
tanda vital dan tingkat dehidrasinya).
2) Kaji nilai partograf, tentukan apakah pasien berada dalam
persalinan; Nilai frekuensi dan lamanya his.
3) Suntikan cortone acetate 100-200 mg intramuscular.
4) Penisilin prokain : 1 juta IU intramuscular.
5) Streptomisin : 1 gr intramuscular.
6) Infuse cairan : Larutan garam fisiologis (NaCl), Larutan glucose 5-
10 % pada janin pertama : 1 liter per jam.
7) Istirahat 1 jam untuk observasi, kecuali bila keadaan
mengharuskan untuk segera bertindak.
b. Pertolongan :
Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi
forsep, manual aid pada letak sungsang, embriotomi bila janin
meninggal, secsio cesaria, dan lain-lain (Saifuddin, 2015)
2. Penanganan Khusus (Saifuddin, 2015)
a. Fase laten memanjang (prolonged latent phase)
Yaitu fase laten yang melampaui 20 jam pada primi gravida atau
14 jam pada multipara.
b. Fase Aktif Memanjang
Yaitu fase aktif yang berlangsung lebih dari 12 jam pada primi
gravida dan lebih dari 6 jam pada multigravida. Dan laju dilatasi
serviks kurang dari 1,5 cm per jam 3.
c. Kala 2 Lama
b. Bagi janin
A. Contoh Kasus 1
Bayi lahir di ruang bersalin Rumah Sakit DKT Kota Bengkulu dengan
keluhan lahir tanpa menangis dan belum cukup bulan dengan tangis merintih,
napas tidak adekuat. Setelah di suction, banyak cairan ketuban yang keluar.
Ny. S mengaku ini adalah kehamilannya yang pertama. Ny. S biasa
ANC di puskesmas yang diperiksa oleh bidan. HPHT diakui oleh Ny. S pada
tanggal 24 Agustus 2020. sebelum melahirkan, Ny. S mengalami riwayat
keluar air yang banyak, jernih, dan tidak bau, disertai dengan perut yang
mules. Selama hamil, Ny. S tidak pernah sakit atau pun minum obat-obatan.
Bayi lahir spontan preskep dengan indikasi ketuban pecah dini, BBL
2400 gram. Apgar skor 5 – 7. tangis (-), sianosis (-).
B. Contoh Kasus 2
By. Ny. S lahir spontan tidak langsung menangis BB.2500 Gram, pb 42
cm, JK laki-laki anus (+) kelainan (-), A/S 3/4.
C. Penanganan Kasus
Adapun penatalaksanaan umum pada bayi BBLR (Proverawati dan
Ismawati, 2010).
1. Mempertahankan suhu tubuh bayi
Bayi prematur akan cepat mengalami kehilangan panas badan dan
menjadi hipotermia, karena pusat pengaturan panas badan belum
berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah, dan permukaan badan
relatif luas. Oleh karena itu, bayi prematur harus dirawat di dalam
inkubator sehingga panas badannya mendekati dalam rahim. Bila belum
memiliki inkubator, bayi prematur dapat dibungkus dengan kain dan
disampingnya ditaruh botol yang berisi air panas atau menggunakan
metode kanguru yaitu perawatan bayi baru lahir seperti bayi kanguru
dalam kantung ibunya.
Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat di dalam inkubator.
Inkubator yang modern dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan
kelembaban agar bayi dapat mempertahankan suhu tubuhnya yang
normal, alat oksigen yang dapat diatur, serta kelengkapan lain untuk
mengurangi kontaminasi bila incubator dibersihkan. Kemampuan bayi
BBLR dan bayi sakit untuk hidup bila mereka dirawat pada atau
mendekati suhu lingkungan yang netral. Suhu ini ditetapkan dengan
mengatur suhu permukaan yang terpapar radiasi, kelembaban relatif, dan
aliran udara sehingga produksi panas (yang diukur dengan konsumsi
oksigen) sesedikit mungkin dan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
dalam batas normal. Suhu inkubator yang optimum diperlukan agar panas
yang hilang dan konsumsi oksigen terjadi minimal sehingga bayi
telanjang pun dapat mempertahankan suhu tubuhnya sekitar 36,50-37oC.
Prosedur perawatan dapat dilakukan melalui “jendela” atau
“lengan baju”. Sebelum memasukkan bayi ke dalam inkubator, inkubator
terlebih dahulu dihangatkan, sampai sekitar 29,4oC, untuk bayi dengan
berat 1,7 kg dan 32,2oC untuk bayi yang lebih kecil. Bayi dirawat dalam
keadaan telanjang, hal ini memungkinkan pernafasan yang adekuat, bayi
dapat bergerak tanpa dibatasi pakaian, observasi terhadap pernafasan
lebih mudah. Mempertahankan kelembaban nisbi 40-60% diperlukan
dalam membantu stabilisasi suhu tubuh yaitu dengan cara sebagai berikut:
a. Mengurangi kehilangan panas pada suhu lingkungan yang rendah
b. Mencegah kekeringan dan iritasi pada selaput lendir jalan nafas
terutama pada pemberian oksigen dan selama pemasangan intubasi
endotrakea atau nasotrakea
c. Mengencerkan sekresi yang kental serta mengurangi kehilangan
cairan insensible dari paru.
2. Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini adalah
menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal pemberian yang
sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR.
ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan pertama jika bayi mampu
mengisap. ASI juga dapat dikeluarkan dan diberikan pada bayi yang tidak
cukup mengisap.
Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan
pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan masuknya
udara dalam usus. Pada bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat
mengisap dan sianosis ketika minum melalui botol atau menekan pada
ibunya, makanan diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT). Jadwal
pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi
BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan
Berat Badan lebih rendah.
Alat pencernaan bayi prematur masih belum sempurna, lambung
kecil, enzim pencernaan belum matang. Sedngkan kebutuhan protein 3
sampai 5 gr/kgBB dan kalori 110 gr/kgBB, sehingga pertumbuhannya
dapat meningkat. Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan
didahului dengan menghisap cairan lambung. Refleks menghisap masih
lemah, sehingga pemberian minum sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi
dengan frekuensi sedikit yang lebih sering.
3. Pencegahan infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam tubuh
khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah mendapat infeksi. Infeksi
terutama disebabkan oleh infeksi nasokomial. Rentan terhadap infeksi ini
disebabkan oleh kadar immunoglobulin serum pada bayi BBLR masih
rendah, aktivitas bakterisidal neotrofil, efek sitotoksik limfosit juga
masih rendah dan fungsi imun belum berpengalaman.
Fungsi perawat disini adalah memberi perlindungan terhadap bayi
BBLR dari bahaya infeksi. Oleh karena itu, bayi BBLR tidak boleh
kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan masker
dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat,
perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptis dan antiseptik alat-alat
yang digunakan, isolasi pasien, jumlah pasien dibatasi, rasio perawat
pasien ideal, mengatur kunjungan, menghindari perawatan yang terlalu
lama, mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotik yang tepat.
Bayi prematur mudah sekali terkena infeksi karena daya tahan tubuh yang
masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang, dan pembentukan
antibodi belum sempurna. Oleh karena itu, upaya preventif dapat
dilakukan sejak pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi persalinan
prematuritas/BBLR.
4. Penimbangan berat badan
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau nutrisi bayi
dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan
berat badan harus dilakukan dengan ketat.
5. Pemberian oksigen
Ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi
preterm BBLR, akibat tidak adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi O2
yang diberikan sekitar 30-35% dengan menggunakan head box,
konsentrasi O2 yang tinggi dalam masa yang panjang akan menyebabkan
kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat menimbulkan kebutaan.
6. Pengawasan jalan nafas
Jalan nafas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing,
trachea, bronchiolus, bronchiolus respiratorius, dan duktus alveoleris ke
alveoli. Terhambatnya jalan nafas dapat menimbulkan asfiksia, hipoksia
dan akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat beradaptasi
dengan asfiksia yang terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir
dengan asfiksia perinatal.
Bayi BBLR berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi
surfakatan, sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang
sebelumnya diperoleh dari plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan
pembersihan jalan nafas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan
pada posisi miring, merangsang pernapasan dengan menepuk atau
menjentik tumit. Bila tindakan ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi
endotrakhea, pijatan jantung dan pemberian oksigen dan selama
pemberian intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini dapat
dicegah sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian
bayi BBLR.