Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara demokrasi, yang sudah tentu rakyat menjadi
pemegang legitimasi dalam menjalankan pemerintahan. Rakyat sebagai tolok ukur
jalannya pemerintahan, tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
Pernyataan tersebut menunjukkan esensi kedaulatan, rakyat terlibat dalam
menentukan para wakil dalam penyelenggaraan negara. Untuk mewakilkan
suaranya di parlemen, dibentuklah lembaga perwakilan atau badan legislatif.
Menurut Abu Daud Busroh (2011) lembaga perwakilan adalah cara yang sangat
praktis untuk memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya
terhadap orang-orang yang menjalankan tugas kenegaraan, (hlm. 43).
Lembaga perwakilan baik di tingkat pusat maupun daerah, rakyat
mewakilkan suaranya. Menurut Darmawan, DPR merupakan representasi lembaga
yang menyuarakan atau mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan publik,
perlu dibentuk dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat, (2017).
DPR sebagai institusi keterwakilan politik (political representation)
berfungsi melakukan transformasi aspirasi rakyat melalui proses-proses politik
yang diperjuangkannya guna mencapai keputusan politik yang dijamin oleh
konstitusi, (2017). Sejak 2004, rakyat Indonesia telah mewakilkan haknya
langsung kepada para legislator melalui mekanisme pemilihan umum.
DPR ialah pengemban amanah rakyat, sudah sepatutnya DPR menjadi
lidah penyambung persoalan-persoalan yang dirasakan rakyat Indonesia. Adanya
adagium Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt
absolutetily” kekuasaan yang melekat cenderung disalahgunakan ini melekat pada
DPR. S ampai saat ini DPR belum dapat melepaskan diri dari kepentingan pribadi
dan golongan. Penyalahgunaan kekuasaan, yang menjadi corong munculnya
korupsi masih menyelimuti para wakil rakyat tersebut. Hal ini dapat terlihat
berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 911 pejabat

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2

negara/pegawai swasta melakukan tindak pidana korupsi sepanjang 2004-


September 2018. Menurut profesi/jabatannya, para pelaku tindak pidana korupsi
terbanyak merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mencapai 229 orang, (sumber: katadata.id).
Dari data tersebut, dapat diketahui anggota legislatif baik itu di tingkat pusat
maupun provinsi menjadi profesi terbanyak pelaku korupsi.
Kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD
telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Angka
tersebut lebih dari separuh jumlah pejabat/karyawan swasta yang telah tertangkap
komisi anti rasuah yang mencapai 118 orang. Sehingga sejak 2004, anggota DPR
dan DPRD yang terlibat kasus korupsi telah mencapai 205 orang atau 24% dari
total 856 orang. Sebagai informasi, dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, 41
orang telah tertangkap KPK. Sebagai wakil rakyat, para anggota dewan tersebut
justru melakukan tindakan tercela dengan melakukan tindak pidana korupsi secara
berjamaah. Tidak hanya itu, kasus suap dalam pembahasan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota Malang tahun 2015 itu juga melibatkan mantan
Walikota Malang, (sumber: katadata.id).

Gambar 1.1 Jumlah anggota DPR dan DPRD


Sejumlahterjerat
kasus dan perilaku korupsi tersebut, nampaknya anggota DPR
korupsi
yang sempat terjerat kasus korupsi, tetap akan mencalonkan diri lagi pada
pemilihan umum 2019 ini. Juli 2018, tercatat 165 mantan narapidana korupsi
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Pencalonan kembali menjadi wakil rakyat,

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3

sebetulnya sempat menuai polemik. Secara yuridis, pencalonan kembali calon


anggota legislatif eks koruptor legal, merujuk pada peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 membolehkan eks koruptor menjadi calon
anggota legislatif. Isi dari putusan tersebut menyatakan eks koruptor
diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif dengan syarat memberi
pemberitahuan pada publik bahwa yang bersangkutan merupakan eks koruptor.
Putusan tersebut diberlakukan saat regulasi mengenai pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden dipisahkan. Adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum membuat regulasi baik itu pemilihan legislatif maupun
pemilihan presiden dibawah Undang-undang yang sama. Hal ini kemudian
menimbulkan polemik baru di pemilihan umum tahun 2019. Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 melarang secara tegas eks koruptor
menjadi caleg. Namun, undang-undang Pemilu tidak secara spesifik melarang.
Polemik tersebut menuai dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No. 43
P/HUM/2018 yang menyatakan eks koruptor diperbolehkan mencalonkan diri
menjadi calon anggota legislatif.
Sementara itu, memasuki tahun 2019, data terbaru, Indonesia Corruption
Watch (ICW) pada 10 Januari 2019 merilis 46 calon anggota legislatif mantan
narapidana kasus korupsi yang terdiri dari 40 orang berasal dari 12 partai politik
dan 6 orang calon perwakilan daerah. Data tersebut dirilis ICW berdasarkan riset
data yang diperoleh dari Komite Pemilihan umum (KPU) Republik Indonesia.
Polemik caleg eks koruptor sejak September 2018 lalu telah menuai reaksi
dari berbagai kalangan di Indonesia. Legal secara hukum, namun tak etis secara
moral. Respon publik terlihat dengan adanya petisi online “Tolak Bawaslu
Loloskan Koruptor Nyaleg” yang hingga kini telah ditandatangani 455.000 orang
yang diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih yang meliputi
Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), komite Pemantau Legislatif, Kopel, serta Pusako Andalas.
Hadirnya korupsi menjadi kelindan masalah yang terus menerus terjadi.
Salah satu teori yang dapat dijadikan rujukan dalam polemik caleg eks koruptor
ialah mengenai etika politik. Hal ini berkenaan terutama dengan fungsi etika
politik. Menurut Franz Magnis Suseno (2001), etika politik tidak bertugas untuk

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4

mengkhotbahi para politisi atau untuk langsung mempertanyakan legitimasi moral


pelbagai keputusan. Melainkan sebaliknya. Etika politik menuntut agar segala
klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-
prinsip moral dasar, (hlm. 4-5). Moral-moral dalam dunia politik di Indonesia
bersumber dari kehidupan masyarakat.
Menciptakan para wakil yang amanah menjadi salah satu capaian setelah
diadakannya pemilihan umum. Namun, hal ini akan bergantung terhadap sejauh
mana partai sebagai corong utama penyeleksi calon anggota legislatif dan publik
dalam hal ini masyarakat untuk tahu para calon legislatif yang akan dipilih.
Perhelatan pemilihan umum memberi kebebasan pada rakyat untuk
langsung memilih para wakilnya, maupun para pemimpinnya, maka seharusnya
menciptakan pemilihan umum yang bersih tentu menjadi langkah awal agar
pemilih dapat memilih calonnya dengan fair. Artinya, mereka memilih apa yang
memang secara persyaratan moral sudah baik.
Kepedulian masyarakat untuk lebih tahu wakil yang akan dipilih menjadi
hal yang penting. Untuk menciptakan iklim pemilihan umum, tentu harus
didorong masyarakat yang peduli. Namun, hal ini nampaknya belum terjadi Karim
Suryadi (2018) mengatakan penciptaan pemilu secara adil tersebut agaknya perlu
diperhatikan sebab menurut masyarakat masih belum terdorong untuk mengenali
para calon wakil rakyat yang akan mewakilinya di DPR. Adanya virus EGP
(emang gue pikirin) dapat merusak pertumbuhan demokrasi yang sehat karena
demokrasi hanya akan tumbuh normal di atas keterlibatan dan partisipasi publik.
Demokrasi akan mati suri bila publik tidak terlibat. Organ-organ demokrasi pun
akan mengalami stroke bila publik menarik diri dan membiarkan proses politik
berjalan seperti pesawat tanpa pilot, (hlm. 73).
Maka, dalam hal pemilu dan pencalonan anggota legislatif eks koruptor,
adanya kepedulian publik tentang korupsi serta rekam jejak calon menjadi hal
mutlak. Selain itu, partai menjadi penentu utama suksesnya penyelenggaran
pemilu dan pemilihan kepala daerah yang demokratis. Partai politik mempunyai
peranan penting dalam menghasilkan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota yang profesional dan berintegritas, (Tanjung & Retno,
2018, hlm. 397). Dalam mekanisme pencalonan legislatif, partai memiliki andil

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5

besar, sebab prosedur untuk meloloskan atau tidak seorang eks koruptor untuk
‘nyaleg’ tergantung komitmen dan integritas partai kepada gerakan
pemberantasan korupsi.
Atas permasalahan yang telah di uraikan di atas, penelitian ini akan
menggambarkan perspektif publik dari segi moral politik, gerakan antikorupsi
serta perkembangan demokrasi mengenai adanya caleg eks koruptor di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Calon Anggota Legislatif (Caleg) Eks
Koruptor Dalam Perspektif Publik?”
Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, maka
permasalahan pokok tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa sub masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana pandangan publik terhadap caleg eks koruptor ditinjau dari
partai politik, etika dan moral politik, gerakan antikorupsi, serta
perkembangan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana proses rekrutmen calon anggota legislatif?
3. Bagaimana implikasi yang ditimbulkan dengan adanya caleg eks koruptor
bagi publik ditinjau dari moral politik, gerakan antikorupsi, serta
perkembangan demokrasi di Indonesia?
4. Bagaimana upaya yang dapat ditempuh publik untuk mengatasi implikasi
adanya caleg eks koruptor?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan calon anggota legislatif
(Caleg) eks koruptor dalam perspektif publik.
2. Tujuan Khusus

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6

a. Mendeskripsikan pandangan publik terhadap caleg eks koruptor ditinjau


dari partai politik, etika dan moral politik, gerakan antikorupsi, serta
perkembangan demokrasi di Indonesia.
b. Menjabarkan proses rekrutmen calon anggota legislatif.
c. Mendeskripsikan implikasi yang ditimbulkan dengan adanya caleg eks
koruptor bagi publik ditinjau dari etika dan moral politik, gerakan
antikorupsi, serta perkembangan demokrasi di Indonesia.
d. Menjabarkan upaya yang dapat ditempuh publik untuk mengatasi adanya
caleg eks koruptor.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan yang dapat dilihat dari
beberapa aspek yang meliputi:
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berkaitan
dengan korupsi, kekuasaan, dan yang berkaitan dengan pemilihan
legislatif.
b. Menggambarkan calon anggota legislatif eks koruptor dalam perspektif
publik dengan kajian keilmuan yang presisi.
c. Memberikan rujukan langkah yang dapat ditempuh lembaga terkait untuk
pemilihan legislatif tahun 2019.
2. Secara Praktis
a. Dapat menjadi gambaran sejauh mana perspektif publik dengan adanya
calon anggota legislatif yang memiliki rekam jejak sebagai eks koruptor.
b. Lembaga-lembaga yang terkait dengan gerakan antikorupsi, partisipasi
pemilihan legislatif dapat menjadikan karya tulis ini rujukan untuk
membangun kesadaran publik yang lebih besar.
c. Mendorong adanya kesadaran publik untuk mengenal rekam jejak calon
anggota legislatif, sehingga kualitas para anggota legislatif yang nantinya
mewakili suara rakyat di parlemen dapat lebih baik.
d. Peneliti yang tertarik mengenai hal yang berkaitan dengan pemilihan
legislatif, moral politik, gerakan antikorupsi dalam konteks caleg eks

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7

koruptor, dapat melanjutkan penelitian ini sebagai acuan dasar


pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5 Struktur Organisasi Skripsi
Guna menyusun penelitian yang sistematis, maka penulis menyusun karya
tulis ini ke dalam struktur organisasi skripsi. Dalam penyusunan skripsi ini
meliputi halaman judul, halaman pengesahan, halaman tentang keaslian skripsi
dan bebas plagiarisme, halaman ucapan terima kasih, nama dan kedudukan tim
pembimbing, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, isi,
daftar pustaka dan daftar lampiran. Adapun bagian isi dari karya ilmiah skripsi ini,
sebagai berikut:
1) Bab I pendahuluan. Dalam bab pembuka sebuah skripsi, bab ini menguraikan
latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi.
2) Bab II kajian pustaka. Bab ini berisi teori-toeri yang mendukung, pendapat-
pendapat ahli serta tujukan dari penelitian sebelumnya.
3) Bab III metode penelitian. Bab ini berisi tentang desain penelitian, partisipan,
populasi dan sampel, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan analisis
data.
4) Bab IV hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan menjabarkan
jawaban atas rumusan masalah, pengolahan data serta kajian dari hasil
penelitian.
5) Bab V kesimpulan, implikasi dan rekomendasi. Bab ini menjabarkan
kesimpulan, implikasi penelitian dan rekomendasi dari hasil penelitian yang
diperoleh dalam penyusunan karya tulis ini.

Nurul Yunita, 2019


CALON ANGGOTA LEGISLATIF EKS KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF PUBLIK
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Anda mungkin juga menyukai