Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

EFEKTIVITAS AROMATERAPI LAVENDER TERHADAP


PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN
PADA PASIEN HEMODIALISA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah EBP dan Penulisan Ilmiah

Dosen Pembimbing : Ns. Nila Marwiyah, M.Kep

WIDIA YUNI PRATIWI

1020032079

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS FALETEHAN SERANG

TAHUN AJARAN 2020-2021


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan

nikmat serta karunia sehat walafiat sehingga penulis dapat mengerjakan tugas

Makalah hingga dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga ingin mengucapkan

terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan

tugas Makalah ini dan berbagai sumber yang telah penulis pakai sebagai data dan

fakta pada tugas Makalah ini. Penulis mengakui bahwa penulis adalah manusia

biasa yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada

hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas

Makalah ini yang telah penulis selesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai

pihak.

Maka dari itu penulis bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat

memperbaiki tugas Makalah ini di masa yang akan datang. Sehingga tugas

Makalah berikutnya dan tugas Makalah lain dapat menambah pengetahuan dan

pemahaman tentang “Efektivitas Aromaterapi Lavender Terhadap penurunan

Tingkat Kecemasan pada Pasien Hemodialisa”

Serang, 20 Januari 2021

Widia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 3

BAB II ANALISIS KRITIS


A. Ginjal
1. Anatomi................................................................................... 5
2. Fisiologi................................................................................... 6
B. Gagal ginjal kronik
1.Pengertian................................................................................. 7
2. Penyebab.................................................................................. 7
3. Manifestasi klinis..................................................................... 8
4. Patofisiologi............................................................................. 9
5. Penatakasanan.......................................................................... 11
C. Hemodialisa................................................................................. 12
D. Kecemasan................................................................................... 12
E. Aromaterapi Lavender................................................................. 13
1. Pengertian................................................................................ 13
2. Manfaat.................................................................................... 13
3. Indikasi dan Kontraindikasi..................................................... 14
5. Standar Operasional Prosedur.................................................. 14

ii
BAB III ANALISIS DAN KESIMPULAN
A. Kesimpulan............................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 17
LAMPIRAN................................................................................................` 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ..................................................................................................... 5

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik merupakan keadaan dimana ginjal
mengalami gangguan, ditandai dengan struktur yang abnormal atau fungsi
ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Tanda-tanda kerusakan pada
penyakit ginjal kronis antara lain proteinuria, sedimen urin, elektrolit,
histologi, kelainan struktur ginjal atau riwayat transplantasi ginjal, dan
penurunan laju filtrasi glomerulus (Agustin et al., 2020). National Kidney
Foundation (2010) menunjukkan bahwa gagal ginjal kronis menempati
urutan ke-27 dalam penyebab kematian, tetapi naik menjadi urutan ke-18
pada tahun 2010 (Anastasia, et al., 2015)
Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia untuk pasien usia lima belas tahun keatas
sebesar 0,2%. Semakin bertambahnya usia prevalensi gagal ginjal kronik
maka semakin tinggi peningkatan nya, pada kelompok umur 25-44 tahun
sebesar (0,3%), pada umur 45-54 tahun sebesar (0,4%), pada umur 55-74
tahun (0,5%), dan pada kelompok umur ≥ 75 tahun sebesar (0,6%)
(Agustin et al., 2020). Penatalaksanan pada penyakit gagal ginjal kronik
ini selain memerlukan terapi diet dan medikamentosa, pasien gagal ginjal
juga membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal yang terdiri dari
hemodialisis dan transplantasi ginjal. Walaupun terdapat 2 jenis terapi
pengganti fungsi ginjal ini yaitu terapi hemodialysis dan peritoneal
dialisis, namun terapi hemodialysis masih menjadi pilihan yang umum
digunakan., Salah satu keuntungannya adalah murah dan risiko perdarahan
lebih rendah dibandingkan dialisis peritoneal (Anastasia, et al., 2015).

Hemodialisis adalah proses dimana terjadi pertukaran antara zat


terlarut dengan produk sisa tubuh. Zat sisa yang bertumpuk pada pasien
gagal ginjal kronik dtarik dengan mekanisme pada difusi pasif membran

1
semipermeabel. Dan perpindahan yang dihasilkan dari produk sisa
metabolik ini ikut serta dalam penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi
ke dalam dialisat yaitu cairan yang digunakan dalam prosedur
hemodialisa. Sehingga dengan metode tersebut pengeluaran albumin yang
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik diharapkan dapat menurun, dan
gejala uremia berkurang sehingga gambaran klinis pasien dapat membaik
(Agustin et al., 2020). Hemodilisis ini merupakan terapi seumur hidup
yang memungkinkan pasien gagal ginjal kronik untuk bertahan hidup lebih
lama, tetapi terapi ini memungkinkan terjadinya komplikasi akut, seperti
hipotensi, kram otot, anemia, gatal, penyakit tulang, depresi, kelelahan,
gangguan tidur, yang disebabkan dialysis yang memakan waktu lama dan
tidak dapat ditoleransi (Mohamed et al., 2019). Berdasarkan hasil studi
pendahulan yang dilakukan di Unit Hemodialisa RSUD Wangaya
Denpasar pada awal Bulan Februari tahun 2012. Dari 8 pasien yang
menjalani HD, terdapat 5 pasien (62,5%) mengatakan dirinya mengalami
kecemasan saat menjalani HD dengan keluhan seperti merasa tegang,
jantung berdebar-debar, serta khawatir terhadap efek samping setelah HD
(misalnya mual dan kepala terasa pusing) (Dewi et al., 2017).

Kecemasan merupakan gangguan yang umum sekali dialami oleh


pasien yang menjalani hemodialisa yang berhubungan dengan gejala
perilaku, psikologis, fisik dan mental. Penyakit dan perubahan dalam
kehidupan profesional, perkawinan, keluarga dan sosial menyebabkan
kecemasan pada pasien ini. Sebagian besar pasien dialisis terus-menerus
menderita kecemasan dan tekanan tentang masalah keuangan, disfungsi
seksual, tanggung jawab keluarga, dan kurangnya kemandirian (Bagheri,
et al., 2017).
Dokter dan perawat yang bertugas di unit hemodialisa
bekerjasama untuk mengurangi kecemasan pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa dengan cara pemberian obat anticemas
atau anxiolytic . Hasil yang didapat dengan mengonsumsi obat ini cukup

2
membantu pasien dalam meredakan kecemasan, namun disisi lain petugas
kesehatan juga mengkhawatirkan efek samping yang ditimbulkan oleh
obat anti kecemasan. Maka dari hal tersebut, diperlukan sebuah terapi non-
farmakologis yang bisa membantu terjadinya penurunan tingkat
kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Dalam
dunia kesehatan telah dikembangkan Complementary and Alternative
Medicine (CAM) yang sangat berguna dalam dunia kesehatan. Salah satu
jenis dari CAM yang banyak digunakan dalam bidang kesehatan adalah
Aromaterapi {Formatting Citation}.
Asosiasi Nasional untuk Aromaterapi Holistik (NAHA)
mendefinisikan aromaterapi sebagai "aplikasi terapeutik zat aromatik
(minyak esensial) untuk penyembuhan." Hal ini dapat diaplikasikan pada
indra penciuman dan penyerapan kulit dengan menggunakan produk
seperti difuser, inhaler, minyak tubuh, krim, dan losion untuk pijat atau
aplikasi topikal. (Mohamed & Hafez, 2019). Aromaterapi, salah satu
praktik pelengkap yang digunakan untuk mengatasi masalah kelelahan dan
kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis, diartikan sebagai
penggunaan minyak esensial, yang diekstrak dari sumber herbal (daun,
bunga, kulit kayu, buah-buahan, dan akar) dan dikonsentrasikan, untuk
efek terapeutiknya (Karadag et al., 2019).

B. Rumusan Masalah
Semakin tingginya angka penderita gagal ginjal kronik di dunia
maupun di Indonesia, maka perlu penanganan yang baik untuk
mengatasi masalah tersebut salah satu nya dengan terapi
hemodialisa.tetapi rata-rata pasien yang akan menjalani terapi
hemodialisa mengalami kecemasan. Selain dengan farmakologi atau
obat-obatan penanganan nonfarmakologis juga sangat dibutuhkan.
Penanganan kecemasa ini salah satunya dengan aromaterapi lavender yan
dipercaya dan terbukti menurunkan kecemasan yang dialami pasien.

3
Berdasarkan dari latar belakang diatas, penulis membuat rumusan
masalah yaitu “bagaimana intervensi aromaterapi lavender terbukti
terhadap penurunantingkat kecemasan pada pasien hemodialisa”.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Ginjal

1. Anatomi Ginjal

Ginjal berada diantara vertebra Thorakal-12 (T12) sampai Lumbla-3 (L3),


dengan panjang sekitar 11-12 cm. bentuk ginjal seperti kacang,dengan cekungan
pada tepi medial (bagian tengah) yang merupakan tempat masuknya pelvis renalis,
arteri dan vena renalis,sistem linfatik dan sebuah pleksus saraf ke dalam sinus
ginjal. Ginjal dapat dibagi menjadi korteks dan medula oblongata. Medula
oblongata membentuk 8 sampai 18 piramida ginjal (Gambar 1) (Rifai et al., 2018)

Gambar 1

Sumber : Mundt dan Shanahan, 2016

Gambar anatomi ginjal diatas menunjukkan urutan ginjal bagian luar


adalah kapsul ginjal, korteks, dan medulla dibagian dalamnya. Kapsul ginjal
terdiri dari jaringan adipose yang disebut juga sebagai renal fot pad. Papilla ginjal
adalah saluran pengumpul, setelah urine dihasilkan oleh nefron. Urine tersebut

5
kemudian menuju ke kaliks ginjal dan berkmupul di pelvis renalis, menuju ke
ureter, kandung kemih, uretra, dan akhirnya diekskresi. Hilus ginjal adalah suatu
struktur untuk tempat masuk dan keluarnya pembuluh darah,saraf, saluran
limfatik, dan ureter (Mundt dan Shanahan,2016).

Satuan unit fungsional ginjal adalah nefron. Setiap ginjal memiliki sekitar
1,2 juta nefron yang terdiri dari korpus renalis atau glomelurus dan tubulus-
tubulus yang saling berhubungan.bagian tubulus dari nefron terdiri dari tubulus
proksimal, loop of Henle dan tubulus distal. Nefron yang terletak di daerah
korteks disebut cortical nephron, sedangkan nefron cortical nephron, sedangkan
nefron yang terletak di koreks dan medulla disebut juxtamedulary.

Glomerulus terletak di korteks ginjal, terdiri dari sekelompok kapiler, dan


ditutupi oleh epitel parietal kapsul Bowman. Sawar filtrasi diantara ruang darah
dan urine terdiri dari 3 bagian yaitu endothelium fenestra yang tipis, bagian
tengah berupa mesangium (membrane basalis atau basement membrane) dan
epitel visceral membrane) dan epitel visceral yang berhubungan dengan
membrane basalis. (Brunzel,2018).

Ginjal berfungsi sebagai organ pengatur keseimbangan air dan elektrolit,


keseimbangan asam dan basa,n ekskresi air dari metabolit dan toksin, serta
mengeluarkan beberapa hormone (missal hormone renin, eritropoitin,
prostatglandin, 1-25 dihidroksikalsiferol).hal ini mengakibatkan terjadinya
gangguan organ atau sel yang dipengaruhi oleh hormone tersebut, bila terjadi
kerusakan ginjal. Saat terjadi PGK (Penyakit Ginjal Kronik) akan menimbulkan
penurunan produksi eritropietin, sehingga mengaikibatkan anemia. Ginjal juga
mengatur pengangkutan garam, air dan elektrolit. (Rifai, et al., 2018).

2. Fisiologi Ginjal

Ginjal mengeluarkan sebagian besar produk sisa metabolisme. Produk sisa


metabolik keluar dari ginjal melalui urin dan mengalir di uretra ke urin (kandung
kemih) yang terletak di panggul (Snell, 2011). Tiga proses utama pembentukan
urin terjadi di ginjal, yaitu (1) filtrasi glomerulus; (2) reabsorpsi zat dari tubulus

6
ginjal ke dalam darah; (3) sekresi zat dari darah ke tubulus ginjal. Ketika
sejumlah besar cairan tanpa protein disaring dari kapiler glomerulus ke dalam
kantung Bowman, urin mulai terbentuk. Sebagian besar zat dalam plasma (kecuali
protein) dapat disaring dengan bebas, sehingga konsentrasi filtrat glomerulus pada
kapsul Bowman hampir sama dengan pada plasma (Guyton dan Hall, 2011).

B. Gagal Ginjal Kronik

1. Pengertian

Gagal ginjal kronis diartikan sebagai kelainan pada struktur atau fungsi
ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih. Tanda-tanda kelainan struktur ini
antara lain proteinuria (30 mg / 24 jam atau lebih), hematuria, dan kelainan
elektrolit akibat penyakit tubulus ginjal. Fungsi ginjal abnormal ditandai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL / menit / 1,73 m2.
Umumnya, gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal
(jumlah fungsi nefron) secara bertahap selama berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun. Penurunan fungsi ginjal pada pasien gagal ginjal kronik biasanya bersifat
ireversibel, sehingga pengobatan pasien gagal ginjal kronik bertujuan untuk
memperlambat perkembangan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (Schonder et
al., 2016).

2. Penyebab
Di negara maju, penyebab paling umum dari gagal ginjal kronis
adalah diabetes, hipertensi, dan glomerulonefritis. Pada penyakit ginjal
polikistik, obstruksi dan infeksi merupakan penyebab gagal ginjal yang
penting tetapi jarang (Perlman et al., 2014).
Sementara itu, menurut Kasper et al. (2016), penyebab umum
gagal ginjal kronis adalah:

1. Diabetes nefropati

2. Hipertensi

3. Glomerulonefritis

7
4. Penyakit ginjal polikistik

5. Nefropati terkait Human Immunodeficiency Virus (HIV) 6. Transplant


allograft failure (penolakan kronik)

Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya gagal ginjal kronik. Faktor


kerentanan meningkatkan risiko penyakit ginjal, tetapi tidak secara langsung
menyebabkan kerusakan ginjal, antara lain faktor kerentanan seperti usia tua,
penurunan kualitas ginjal dan berat badan lahir rendah, riwayat keluarga,
peradangan sistemik, dan dislipidemia. Faktor pemicu langsung dapat
menyebabkan kerusakan ginjal, yang dapat diubah dengan terapi obat, termasuk
diabetes, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, dan nefropati
HIV. Faktor progresif mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah terjadinya
kerusakan ginjal, diantaranya faktor progresif yaitu glukosa darah, hipertensi,
proteinuria dan hiperlipidemia pada penderita diabetes (Dipiro et al., 2015).

3. Manifestasi klinik

Manifestasi klinik gagal ginjal kronik menurut Baradero, Dayrit, &


Siswadi (2009) dan Kowalak, Welsh, & Mayer (2017) yaitu:

1. Sistem hematopoietik: Anemia (cepat lelah) dikarenakan


eritropoietin menurun, trombositopenia dikarenakan adanya
perdarahan, ekimosis dikarenakan trombositopenia ringan,
perdarahan dikarenakan koagulapati dan kegiatan trombosit
menurun
2. Sistem kardiovaskular: Hipervolemia dikarenakan retensi
natrium, hipertensi dikarenakan kelebihan muatan cairan,
takikardia, disritmia dikarenakan hiperkalemia, gagal jantung
kongestif dikarenakan hipertensi kronik, perikarditis dikarenakan
toksin uremik dalam cairan pericardium

8
3. Sistem pernafasan: Takipnea, pernapasan kussmaul, halitosis
uremik atau fetor, sputum yang lengket, batuk disertai nyeri,
suhu tubuh meningkat, hilar pneumonitis, pleural friction rub,
edema paru
4. Sistem gastrointestinal: Anoreksia, mual dan muntah
dikarenakan hiponatremia, perdarahan gastrointestinal, distensi
abdomen, diare dan konstipasi
5. Sistem neurologi: Perubahan tingkat kesadaran (letargi, bingung,
stupor, dan koma) dikarenakan hiponatremia dan penumpukan
zatzat toksik, kejang, tidur terganggu, asteriksis
6. Sistem skeletal: Osteodistrofi ginjal, rickets ginjal, nyeri sendi
dikarenakan ketidakseimbangan kalsium-fosfor dan
ketidakseimbangan hormon paratiroid yang ditimbulkan
7. Kulit: Pucat dikarenakan anemia, pigmentasi, pruritus
dikarenakan uremic frost, ekimosis, lecet
8. Sistem perkemihan: Haluaran urine berkurang, berat jenis urine
menurun, proteinuria, fragmen dan sel urine, natrium dalam
urine berkurang semuanya dikarenakan kerusakan nefron
9. Sistem reproduksi: Interfilitas dikarenakan abnormalitas
hormonal,
10. libido menurun, disfungsi ereksi, amenorea.

4. Patofisiologi

Patofisiologi gagal ginjal kronis bervariasi dengan proses etiologinya.


Terlepas dari penyebab yang mendasari, glomerulosklerosis, inflamasi interstisial,
dan fibrosis semuanya merupakan gambaran gagal ginjal kronis dan menyebabkan
penurunan fungsi ginjal. Seluruh nefron secara bertahap dihancurkan. Pada tahap
awal, ketika nefron menghilang, nefron fungsional yang tersisa menjadi hipertrofi.
Aliran kapiler glomerulus dan tekanan dalam nefron ini meningkat, dan lebih
banyak partikel zat terlarut disaring untuk mengimbangi massa ginjal yang hilang.

9
Permintaan yang meningkat menyebabkan nefron yang tersisa berkembang
menjadi glomerulosklerosis (jaringan parut), yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan pada nefron.

Proteinuria yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus dipercaya menjadi


penyebab kerusakan tubulus ginjal. Proses hilangnya fungsi nefron yang
berkelanjutan ini dapat berlanjut bahkan setelah proses penyakit awal
diselesaikan. Perjalanan gagal ginjal kronis bervariasi dari bulan ke tahun. Pada
tahap awal, biasanya disebut sebagai cadangan ginjal yang berkurang, nefron yang
tidak terpengaruh dapat mengkompensasi nefron yang hilang. Laju filtrasi
glomerulus (GFR) sedikit menurun pada pasien asimtomatik dengan BUN normal
dan kadar kreatinin serum. Laju filtrasi glomerulus (GFR) sedikit menurun pada
pasien asimtomatik dengan BUN normal dan kadar kreatinin serum. Seiring
perkembangan penyakit dan penurunan GFR lebih lanjut, manifestasi hipertensi
dan insufisiensi ginjal tertentu dapat muncul. Serangan selanjutnya pada ginjal
pada tahap ini (seperti infeksi, dehidrasi, atau obstruksi saluran kemih) dapat
mengurangi fungsi dan menyebabkan gagal ginjal atau uremia lebih lanjut. Kadar
kreatinin serum dan BUN meningkat tajam, dan pasien menjadi oliguria dan
menunjukkan tanda-tanda uremia. Pada gagal ginjal kronis stadium akhir, laju
filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari tingkat normal, dan terapi penggantian
ginjal diperlukan untuk mempertahankan hidup. (Lemone, Burke, & Bauldoff,
2016).

5. Penatalaksanaan

Tahap pertama pengobatan gagal ginjal kronik adalah tahap


konservatif, yang bertujuan untuk memperlambat kemunduran disfungsi
ginjal dan juga bertujuan untuk mengatasi komplikasi yang terjadi. Pada
tahap ini dilakukan investigasi terhadap faktor-faktor yang masih bersifat
reversibel, seperti:

10
1. Penggunaan diuretik yang berlebihan atau pembatasan garam
yang terlalu ketat, menyebabkan jumlah cairan ekstraseluler
menurun.
2. Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau
fibrosis retroperitoneal.
3. Infeksi, terutama infeksi saluran kemih.
4. Obat yang memperberat penyakit ginjal: aminoglikosida, obat
antitumor, obat antiinflamasi nonsteroid.
5. Hipertensi berat atau maligna.

Prinsip dasar pengobatan konservatif didasarkan pada pemahaman tentang


batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terkena. Setelah diketahui, diet
zat terlarut dan cairan pasien dapat disesuaikan menurut batasan ini.

a. Pengaturan diet protein

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kandungan BUN, tetapi juga


menyebabkan metabolisme protein toksik yang tidak diketahui. Tetapi
pembatasan protein juga mengurangi asupan kalium, fosfat, dan produksi ion
hidrogen yang dihasilkan oleh protein. Asupan protein yang rendah akan
mengurangi beban ekskresi, sehingga mengurangi ultrafiltrasi glomerulus,
tekanan intraglomerular dan kerusakan sekunder pada nefron utuh. Status gizi
pasien harus diperhatikan untuk memastikan bahwa berat badan dan indikator lain
(seperti serum albumin) tetap stabil (≥3g / dl).

b. Pengaturan diet kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah gagal ginjal kronis, jadi


penting untuk membatasi asupan kalium dalam makanan. Kandungan kalium yang
diijinkan dalam makanan adalah 40 sampai 80 mEq / hari. Tindakan yang harus
diambil bukan memberi obat atau makanan tinggi kalium.

11
c. Pengaturan diet natrium dan cairan

Asupan natrium yang berlebihan dapat menyebabkan retensi cairan tubuh,


edema perifer, edema paru, tekanan darah tinggi, dan gagal jantung kongestif.
Selain itu, jika asupan natrium tidak mencukupi, volume darah tidak mencukupi,
GFR menurun dan fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu, penting untuk
menentukan asupan natrium yang optimal untuk setiap pasien (Price and Wilson,
2005; Ariyanti eka, 2018).

C. Hemodialisa

Hemodialisis adalah proses terjadinya pertukaran zat terlarut dan produk


sisa tubuh. Mekanisme difusi pasif dari membran semipermeabel membuang zat
sisa yang terkumpul pada pasien gagal ginjal kronis . Setelah gradien konsentrasi
dari cairan yang bersirkulasi ke dialisat menurun, terjadi perpindahan zat sisa
metabolik. Melalui metode ini diharapkan pelepasan albumin yang terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dapat dikurangi, dan gejala uremia dapat berkurang
sehingga memperbaiki kondisi klinis pasien (Pretto dkk, 2019).

Namun hemodialisis ini juga tidak dapat memulihkan penyakit ginjal


dan tidak mampu mengimbangi hilangnya hormon endokrin melainkan
hemodialisis ini dapat memperpanjang umur penderita penyakit gagal ginjal
kronik. Pasien masih akan mengalami banyak perubahan bentuk dan fungsi
sistem tubuh, serta masalah dan berbagai efek samping, salah satunya
menimbulkan kecemasan bagi pasien (Smeltzer, 2014).

D. Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan yang terus-menerus, yang diwujudkan dalam


bentuk kecemasan, perasaan tidak menyenangkan, kekhawatiran dan ambiguitas,
serta gejala fisik seperti berkeringat, sakit kepala, gelisah, dan gejala fisik.

12
Merupakan respons terhadap ancaman yang tidak terduga, termasuk reaksi fisik,
emosional, dan psikologis. Perubahan kognitif. Sejalan dengan aspek emosional
dari kecemasan. Saat pasien dalam keadaan cemas, dia akan kesulitan
berkonsentrasi dan merasa tidak nyaman, yang akan berdampak negatif pada
pekerjaan dan hubungan dengan orang lain. (Barati, 2016).

E. Aromaterapi Lavender (Lavandula angustifolia)

1. Pengertian
Aromaterapi adalah terapi pengobatan yang menggunakan minyak
nabati yang mudah menguap (disebut minyak esensial) dan senyawa
aromatik lain dari tumbuhan untuk memengaruhi suasana hati atau
kesehatan orang (Warjiman, Ivana, & Triantoni, 2016).
Dehkordi, dkk (2017) mengatakan bahwa senyawa aromaterapi
melalui inhalasi akan langsung memberikan efek terhadap sistem saraf
pusat dan mempengaruhi keseimbangan korteks serebri serta saraf-saraf
yang terdapat pada otak.
Mengutip dari (Dewi,dkk. 2017). Kandungan linalool asetat yang
merupakan bahan utama dalam minyak esensial lavender dipercaya dapat
merelaksasikan dan mengendurkan sistem saraf dan otot yang tegang
dengan cara mengurangi kerja saraf simpatis saat cemas.

2. Manfaat
Manfaat dari Aromaterapi Lavender memperbaiki
ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem tubuh. Aroma yang
terkandung dalam minyak esensial dapat menimbulkan rasa tenang akan
merangsang daerah di otak untuk memulihkan daya ingat, mengurangi
kecemasan, depresi, dan stress.(Dewi,dkk.2017).

13
3. Indikasi dan Kontraindikasi

Aromaterapi inhalasi dapat digunakan sebagai salah satu terapi


alternatif dan terapi komplementer untuk mengatasi kecemasan yang dialami
pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa serta meminimalkan
efek samping terapi farmakologis. (Dewi,dkk.2017).

Aromaterapi Lavender tidak ada kontaindikasinya karena sangat mudah,


sederhana dan bisa dilakukan untuk semua orang dalam keadaan apapun dan dapat
membantu menurunkan tingkat Kecemasan pasien.

4. Standar Operasional Prosedur


Aromaterapi disajikan dalam bentuk tissue atau kasa, dengan
masing-masing aromaterapi 1 tetes dikombinasikan dengan 20 tetes
minyak zaitun (1:20). Hal ini sesuai dengan penelitian Nesami dkk
(2017) dan penelitian Kiani (2016) yang menyatakan bahwa
aromaterapi inhalasi minyak esensial lavender 5% diencerkan 1:20
dengan minyak almond kemudian diletakkan di kerah pasien dan
pasien diminta untuk bernafas secara normal selama 15-20 menit.

Langkah-langkah teknik aromaterapi lavender menurut Agustin,dkk 2020


1. Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman
2. wawancara (pre test) terhadap responden mengenai tingkat kecemasan
yang dirasakan
3. menjelaskan tujuan dan manfaat dari pemberian aromaterapi lavender
yang akan digunakan dengan menggunakan kuesioner Zung Self Rating
Anxiety Scale
4. Kemudian aromaterapi lavender diberikan kepada responden selama 30
menit setiap kali pasien menjalani hemodialisa dan selama 4 kali
perlakuan

14
5. Setelah responden diberikan aromaterapi inhalasi sebanyak empat kali
perlakuan, responden diwawancarai kembali mengenai tingkat
kecemasannya tepat 30 menit setelah pemberian aromaterapi inhalasi
berakhir (pos test).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Dewi ,dkk. 2017) mengenai
eketivitas aromaterapi lavender terhadap penurunan tingkat kecemasan
pada pasien hemodialisa dengan jumlah responden 30 orang diperoleh
nilai asymp sig (2-tailed) 0,000 (asymp sig (2-tailed) ≤ α). Hal ini
artinya, ada pengaruh pemberian aromaterapi inhalasi terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis .
Penelitian yang juga dilakukan oleh (Agustin, dkk. 2020) dengan 7
responden juga menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan pada
pasien hemodialisa setelah diberikan aromaterapi lavender dengan Hasil
statistik didapatkan p < 0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan
rata-rata nilai kecemasan sebelum dan sesudah diberikan aromaterapi
lavender.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik merupakan ketidaknormalan sruktur maupun fungsi


ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih. Tanda kerusakan yang terjadi pada
penyakit ginjal kronik ini yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin,
elektrolit, histologi, struktur ginjal, atau adanya riwayat transplantasi ginjal , dan
disertai penurunan laju filtrasi glomelurus. Penatalaksanan pada penyakit gagal
ginjal kronik ini salah satunya adalah dengan terapi Hemodialisa. Hemodialisis
adalah proses dimana terjadi pertukaran antara zat terlarut dengan produk sisa
tubuh.

Pasien yang menjalani terapi hemodialysis mengatakan sering merasa


cemas, gelisah. Maka dari itu dilakukan terapi aromaterapi dari lavender dengan
tujuan untuk menunrunkan tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani
hemodialisa. Aromaterapi bunga lavender (Lavandula angustifolia) ini
mengandung linool yang berfungsi sebagai efek sedatif sehingga ketika seseorang
menghirup aromaterapi bunga lavender akan merasa tenang, dan menunrukan
kecemasan pada pasien.

Intervensi ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam menurunkan


kecemasan pada pasien hemodialisa. dan berdampak positif terhadap keadaan
psikis pasien yang menjalani terapi hemodialisa. terapi ini merupakan terapinon
farmakologis artinya bisa dilakukan secara mandiri oleh pasien karna tidak
menimbulkan dampak yang berbahaya dan mudah diterapkan.

Kendala pada terapi ini bisa terjadi jika terapi dilaksanakan tidak sesuai
prosedur, dan pelaksanaannya tidak mengikuti anjuran yang telah disampaikan
oleh perawat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, A., Hudiyawati, D., & Purnama, A. P. (2020). Pengaruh Aroma Terapi
Inhalasi Terhadap Kecemasan Pasien Hemodialisa. Juornal Prosiding
Seminar Nasional Keperawatan, 2012, 16–24.
Ariyanti., Eka, M,. 2018. Studi Penggunaan Asam Folat Pada Pasien Gagal
Ginjal kroik.
Bagheri-Nesami, M., Shorofi, S. A., Nikkhah, A., & Espahbodi, F. (2017). The
effects of lavender essential oil aromatherapy on anxiety and depression in
haemodialysis patients. Pharmaceutical and Biomedical Research, 3(1), 8–
13. https://doi.org/10.18869/acadpub.pbr.3.1.8
Dewi, I Putu Pasuana P., I Made Surata W. (2017). Pengaruh Aromaterapi
Inhalasi Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal
Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsud Wangaya Denpasa, 1510-
1519.
Karadag, E., & Samancioglu Baglama, S. (2019). The Effect of Aromatherapy on
Fatigue and Anxiety in Patients Undergoing Hemodialysis Treatment: A
Randomized Controlled Study. Holistic Nursing Practice, 33(4), 222–229.
https://doi.org/10.1097/HNP.0000000000000334
Mohamed, H. G., & Hafez, M. K. (2019). Effect of Aromatherapy on Sleep
Quality , Fatigue and Anxiety among Patients Undergoing Hemodialysis.
8(5), 17–25. https://doi.org/10.9790/1959-0805101725
Ramadhan, R., Zettira Zara, O,. 2017. Aromaterapi Bunga Lavender (Lavandula
angustifolia) dalam Menurunkan Risiko Insomnia.
Sarah, A., Bayhakki., Fathara Annis N. 2015. Pengaruh Aromaterapi Inhalasi
Lavender terhadap Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis. Journal, 2(37), 1–31. https://doi.org/10.12816/0013114
Susianti Hani. 2019. Memahami Interpretasi Penyakit Ginjal Kronis. UB Press:
Malang. Hal 2-5.

17
LAMPIRAN

Plagiarisme Checker Bab 1

18
Plagiarisme Checker Bab 2

19

Anda mungkin juga menyukai