Konfigurasi umum survey resistivitas terdiri dari empat elektroda dan satu
resitivitas meter (Gambar 1). Resistivitas meter merupakan peralatan yang terdiri dari
voltmeter dan ammeter untuk menghitung nilai hambat arus.
B. Konfigurasi Schlumberger
Penempatan Konfigurasi Schlumberger melibatkan dua elektroda yang berpindah
untuk menerima dan memberi arus (Gambar 3). Konfigurasi ini bekerja lebih cepat dari
Konfigurasi Wenner.
C. Konfigurasi Mise-a-la-Masse
Konfigurasi Mise-a-la-Masse disebut juga sebagai charged body potential method
yang digunakan dalam eksplorasi tubuh sulfida masif. Tubuh sulfida masif tersebut memiliki
perbedaan nilai resisivitas yang signifikan karena bersifat konduktif. Metode ini
menempatkan elektroda A pada tubuh sulfida yang konduktif lalu elektroda B atau C
ditempatkan jauh dengan jarak tak hingga dan elektroda M untuk mendeteksi ujung tubuh
sulfida, serta yang terakhir elektroda N ditempatkan berlawanan dari elektroda B (Gambar 4).
D. Konfigurasi Dipol-Dipol
Konfigurasi dipol-dipol melibatkan elektroda A dan B serta M dan N (Gambar 5).
Hasil perhitungan dari konfigurasi ini adalah nilai resistivitas semu yang merupakan nilai
rerata dari keempat resistivitas yang diperoleh pada empat elektroda. Konfigurasi ini berhasil
menemukan endapan emas di Yukon, Amerika Serikat.
Gambar 5 Konfigurasi Dipol-Dipol (www.agiusa.com)
Unconsolidated Sediment
1. Alluvium 1.96 - 2.00 1.98
2. Clay 1.63 - 2.60 2.21
3. Gravel 1.70 - 2.40 2.00
4. Loess 1.40 - 1.93 1.64
5. Silt 1.80 - 2.20 1.93
6. Soil 1.20 - 2.40 1.92
Sedimentary Rocks
7. Sand 1.70 - 2.30 2.00
8. Sandstone 1.61 - 2.76 2.35
9. Shale 1.77 - 3.20 2.40
10. Limestone 1.93 - 2.90 2.55
11. Dolomite 2.28 - 2.90 2.70
12. Chalk 1.53 - 2.60 2.01
13. Halite 2.10 - 2.60 2.22
14. Glacier Ice 0.88 - 0.92 0.90
Igneous Rocks
15. Rhyolite 2.35 - 2.70 2.52
16. Granite 2.50 - 2.81 2.64
17. Andesite 2.40 - 2.80 2.61
18. Syenite 2.60 - 2.95 2.77
19. Basalt 2.70 - 3.30 2.99
20. Gabbro 2.70 - 3.50 3.03
Metamorphic Rocks
21. Schist 2.39 - 2.90 2.64
22. Gneiss 2.59 - 3.00 2.80
23. Phylite 2.68 - 2.80 2.74
24. Slate 2.70 - 2.90 2.79
25. Granulite 2.52 - 2.73 2.65
26. Amphibolite 2.90 - 3.04 2.96
27. Eclogite 3.20 - 3.54 3.37
Rentang Densitas Perkiraan Rerata Densitas
No. Tipe Material ( Mg/m 3)
( Mg / m3 )
Metallic minerals
1. Oxides, Carbonates
A. Manganite 4.2 - 4.4 4.32
B. Chromite 4.2 - 4.6 4.36
C. Magnetite 4.9 - 5.2 5.12
D. Haematite 4.9 - 5.3 5.18
E. Cuprite 5.7 - 6.15 5.92
F. Cassiterite 6.8 - 7.1 6.92
G. Woframite 7.1 - 7.5 7.32
H. Uraninite 8.0 - 9.97 9.17
2. Copper n.d 8.7
3. Silver n.d 10.5
4. Gold 15.6 - 19.4 17.0
5. Sulphides
A. Malachite 3.9 - 4.03 4.0
B. Stannite 4.3 - 4.52 4.4
C. Pyrrhotite 4.5 - 4.8 4.65
D. Molybdenite 4.4 - 4.8 4.7
E. Pyrite 4.9 - 5.2 5.0
F. Cobaltite 5.8 - 6.3 6.1
G. Galena 7.4 - 7.6 7.5
H. Cinnabar 8.0 - 8.2 8.1
Non-metallic minerals
6. Gypsum 2.2 - 2.6 2.35
7. Bauxite 2.3 - 2.55 2.45
8. Kaolinite 2.2 - 2.63 2.53
9. Baryte 4.3 - 4.7 4.47
Miscellaneous materials
10. Snow 0.05 - 0.88 n.d
11. Petroleum 0.6 - 0.9 n.d
12. Lignite 1.1 - 1.25 1.19
13. Anthracite 1.34 - 1.8 1.50
Dasar survey metode gravitasi mengikuti Hukum Newton tentang percepatan gravitasi
bahwa benda akan mengalami gaya atraksi F antara massa m 1 dan m2 pada jarak r yang
dinyatakan dalam
Survey metode gravitasi membutuhkan estimasi lokasi target yang akan dihitung dan
rencana lintasan yang akan dilakukan. Survey metode gravitasi dapat dilakukan di darat, laut,
maupun udara. Metode gravitasi melibatkan perangkat gravimeter LaCoste, Romberg, atau
Worden (Gambar 9).
Gambar 9 Perangkat gravimeter LaCoste dan Worden (atas) dan ilustrasi gravimeter (bawah) (Al-Khafaji, 2018)
Hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam metode gravitasi adalah kedalaman
maksimum target dan ukuran luas amplitudo anomali regional. Pada umumnya cakupan luas
area metode gravitasi memiliki besaran tiga kali lebih besar dari luas area target yang
diharapkan. Pengukuran gravitasi dilakukan pada interval tertentu di garis survey yang lurus
dan jarak antargaris yang konstan (Gambar 10).
Gambar 10 Ilustrasi pengukuran gravitasi dan lokasi anomali dari contoh kasus tubuh batuan intrusif (Boet dan
Scott, 1964)
Beberapa koreksi yang harus dilakukan dalam metode gravitasi antara lain :
Koreksi latitude, berkaitan dengan bentuk eliptikal dan rotasi bumi. Nilai gravitasi
hasil observasi perlu dikoreksi untuk memperoleh nilai gravitasi pada sumbu rotasi
elipsoid bumi yang tepat (normal gravity). Koreksi latitude dinyatakan dengan
gn = 978031.85 (1.0 + 0.005278895 sin2(lat) + 0.000023462 sin4(lat)) (mGal)
Koreksi Free Air, berkaitan dengan variasi dan perbedaan elevasi pada lokasi
observasi yang dinyatakan dengan
gfa = gobs - gn+ 0.3086h (mGal)
Koreksi Bouguer, berkaitan dengan koreksi massa berlebih dari hasil observasi pada
elevasi yang lebih tinggi dari elevasi datum (muka air laut atau geoid). Koreksi
Bouguer dapat juga dinyatakan sebagai defisiensi massa pada titik observasi yang
terletak di bawah datum elevasi. Koreksi Bouguer dinyatakan dengan
gb = gobs - gn + 0.3086h - 0.04193r h (mGal)
Nilai gravitasi dari hasil observasi yang telah dikoreksi oleh koreksi-koreksi tersebut
kemudian akan disusun dalam sebuah peta, profil, dan pemodelan 2D (Gambar 11).
Penyusunan grafis tersebut dapat dilakukan ketika survey telah dilaksanakan pada garis-garis
survey yang cukup untuk menghasilkan data sedemikian (Gambar 12; Musset dkk., 2009;
www.geoinfo.nmt.edu).
Gambar 11 Proses pembuatan profil, peta, dan pemodelan dari nilai gravitasi terkoreksi (Musset dkk., 2009)
Gambar 12 Hasil pengolahan dan interpretasi dari survey metode gravitasi (Musset dkk., 2009)
Nilai magnetisme yang terekam dari hasil observasi merupakan penjumlahan dari
semua medan magnet, termasuk induced magnetization dan remnant magnetization. Nilai
magnetisme tersebut disebut sebagai magnetic susceptibility / suseptibilitas magnetik (k).
Nilai suseptibilitas magnetik merupakan kemampuan batuan untuk bersifat magnet dan
berubah-ubah bergantung pada litologi. Beberapa nilai suseptibilitas magnetik yang
ditemukan pada beberapa material ditunjukkan dalam Gambar 15.
Akuisisi data magnetik dapat dilakukan secara relatif atau absolut dengan
menggunakan magnetometer. Magnetometer absolut menghitung nilai total medan magnet
bumi pada suatu titik, namun magnetometer relatif akan menghitung perubahan nilai antara
lokasi akuisisi terhadap base station. Akuisisi data survey magnetik dapat dilakukan dengan
survey darat, udara, dan laut (Mariita, 2007).
Gambar 14 Ilustrasi inklinasi magnetik pada lokasi yang berbeda-beda di bumi (Deutschlander dan Muheim,
2010)
Gambar 15 Variasi nilai suseptibilitas magnetik batuan (Clark dan Emerson, 1991)
Koreksi yang dilakukan dengan reduced to pole (RTP) dan pemisahan anomali
regional dan residual. Magnet yang terekam dalam batuan bersifat dipol sehingga hasil
pengukuran memerlukan koreksi reduced to pole. Koreksi yang dilakukan mula-mula
berkaitan dengan hasil akuisisi ketika observasi berlangsung. Koreksi tersebut antara lain
koreksi diurnal yang dilakukan per hari, lalu koreksi IGRF. Kedua koreksi tersebut akan
melibatkan analisis statistik berupa kriging dan moving average untuk mendapatkan nilai
anomali magnetik total. Anomali magnetik total tersebut akan dilakukan koreksi RTP untuk
memperoleh nilai anomali magnetik yang sebenarnya (Gambar 16).
Gambar 16 Ilustrasi perbandigan nilai observasi sebelum koreksi RTP dan setelah dilakukan koreksi (Gubbins
dan Herrero-Bervera, 2007)
Nilai hasil observasi magnetik telah dikoreksi kemudian akan disusun menjadi sebuah
peta kontur anomali. Survey metode geomagnetik umum dipakai untuk menentukan lokasi
tubuh batuan intrusif, delineasi zona alterasi, menentukan target tubuh bijih (Gambar 17).
Anomali positif nilai magnetik dapat menunjukkan tubuh bijih seperti Cu, Pb, Zn; atau tubuh
batuan intrusif dan alterasi potasik pada sistem porfiri Cu yang dicirikan dengan kehadiran
magnetit. Anomali negatif nilai magnetik dapat menunjukkan keberadaan emas.
Gambar 17 Ilustrasi anomali nilai suseptibilitas magnetik yang sudah diolah dan menunjukkan tubuh batuan
intrusif berupa dyke (Denith dan Mudge, 2014)
Menurut Hall et al. (1988) pada Darman & Sidi (2000), Halmahera terletak pada
pertemuan empat lempeng, yakni Lempeng Australia, Lempeng Filipina, Lempeng Eurasia,
dan Lempeng Mindanao Timur. Lempeng Australia terletak di sebelah selatan dan dibatasi di
bagian utara oleh Sesar Sorong. Lempeng Filipina terletak di sebelah utara dan timur Pulau
Halmahera, sehingga batas barat Lempeng Filipina merupakan Palung Filipina yang
berasosiasi dengan Palung Halmahera. Lempeng Filipina bergerak relatif ke arah barat dari
Lempeng Australia. Lempeng Eurasia memiliki berbatasan dengan Sesar Filipina dan
menyambung ke arah selatan hingga thrust di Barat Halmahera. Lempeng Mindanao Timur
merupakan salah satu anggota lempeng-lempeng kecil yang terdapat di Lempeng Eurasia dan
Lempeng Filipina. Lempeng Mindanao Timur tersebut dibatasi oleh Sesar Filipina di sebelah
barat dan Palung Filipina di sebelah timur (Gambar 18.)
Gambar 18 Fitur tektonik dan regional Maluku Utara yang mencakup Pulau Halmahera (Hamilton, 1979)
Menurut Hall (1987) pada Darman & Sidi (2000), gerak konvergen antara Lempeng
Filipina dan Lempeng Eurasia terjadi karena subduksi di Palung Sangihe dan gerakan sesar
mengiri pada Sesar Filipina yang menggerakkan Lempeng Eurasia relatif ke selatan Lempeng
Mindanao Timur atau subduksi pada arah berlawanan Palung Filipina dan Palung Halmahera.
Lempeng Laut Filipina mengalami subduksi ke arah barat di bawah Lempeng Mindanao
Timur pada Palung Filipina. Kemudian, Lempeng Mindanao Timur mengalami subduksi ke
arah timur di bawah Lempeng Filipina pada Palung Halmahera. Peristiwa tersebut
menyebabkan terdapat bentukan-U pada Laut Maluku. Tinggian pada lengan baratdaya
Halmahera dan subsidence pada Teluk Weda disebabkan karena adanya collision antara
Busur Kepulauan Halmahera dengan batas kontinen utara Australia pada Miosen Awal.
Kolisi tersebut menyebabkan batas Busur Kepulauan Halmahera dengan Kontinen Australia
yang semula berupa batas konvergen menjadi batas transform dan disertai subduksi oblique
convergence dari Lempeng Laut Maluku. Kolisi ini turut membentuk Cekungan Halmahera
Selatan yang memanjang dari Teluk Weda. Peristiwa tektonik tersebut menyebabkan Teluk
Weda mengalami subsidence dan pengangkatan.
3.2 Struktur Regional
Zona tengah Halmahera yang melalui leher Halmahera yang berbentuk huruf-K terdiri
dari rangkaian pegunungan dengan sungai yang bermuara di Kau dan Teluk Weda. Bagian
barat dari zona ini curam karena keberadaan kontrol sesar. Zona tengah memiliki batuan
dasar Formasi Oha yang tidak selaras terlipat oleh sedimen Neogen. Deformasi yang terjadi
pada zona ini berupa perlipatan dengan sumbu dengan trend utara-selatan dan diperkirakan
terjadi pada Pliosen. Pada bagian barat zona ini batuan dasar yang terlipat tertutupi oleh lava
yang memiliki kemiringan lapisan landai ke arah barat. Batuan sedimen Neogen yang terlipat
berada di atas Formasi Subaim yang terdiri dari batugamping (Darman dan Sidi, 2000).
Struktur geologi berupa sesar naik dan sesar normal relatif umum ditemukan pada
prospek Teluk Weda (Gambar 19). Struktur geologi berarah relatif baratlaut-tenggara dan
timur laut-baratdaya. Struktur di daerah penelitian merupakan manifestasi evolusi tektonik
Pulau Halmahera. Pembentukan struktur geologi di daerah penelitian diinterpretasikan
bermula dari struktur berarah timurlaut-barat daya dan dilanjutkan dengan pembentukan
struktur berarah baratlaut-tenggara. Pembentukan struktur berarah baratlaut-tenggara tersebut
menyebabkan reaktivasi sesar-sesar yang terbentuk semula berarah timurlaut-baratdaya.
Keberadaan struktur geologi di daerah penelitian turut dibuktikan pada kontak antara Formasi
Tingteng berupa batugamping kristalin dan Kompleks Batuan Ultrabasa serta antara Satuan
Konglomerat Volkanik dan Kompleks Batuan Ultrabasa. Struktur geologi di daerah
penelitian dapat menjadi jalur permeabilitas bagi air meteorik yang berperan terhadap proses
pelapukan dan pembentukan saprolit untuk akumulasi bijih nikel.
Gambar 19 Peta geologi tersimplifikasi prospek Teluk Weda (Apandi dan Sudana, 1980)
Kompleks Batuan Ultrabasa pada daerah penelitian terdiri dari serpentinit, piroksenit,
dan dunit. Kompleks Batuan Ultrabasa diinterpretasikan tersingkap melalui kolisi antara
Halmahera dengan Australia pada Miosen Awal yang dimanifestasikan dengan sesar anjak
(Ali dan Hall, 1995). Satuan Konglomerat Volkanik pada daerah penelitian terdiri dari
konglomerat dengan fragmen batuan ultrabasa, basalt, rijang, diorit, dan batusabak. Formasi
Tingteng terdiri dari batugamping hablur / kristalin, batugamping pasiran, batunapal, dan
batupasir. Formasi Weda tersusun atas batupasir, batunapal, tufa, konglomerat, dan
batugamping.
Gambar 22 Petrografi sayatan poles sampel pada zona saprolit (Farrokhpay dkk., 2019)
Gambar 23 Petrografi sayatan tipis sampel Teluk Weda (Farrokhpay dkk., 2019)
Tahapan pelaksanaan eksplorasi geofisika secara umum terdapat dua tahap, yakni tahap
perencanaan dan tahap survey umum. Tahapan pelaksanaan survey disimpulkan dalam
gambar 25.
Gambar 26 Rencana lintasan survey metode gravitasi pada Daerah Teluk Weda
Survey metode geolistrik diperlukan untuk mengidentifikasi daerah prospektif pada Teluk
Weda. Metode geolistrik yang akan dilakukan meliputi metode resistivitas dan metode
polarisasi terimbas. Metode ini bertujuan untuk membantu delineasi zona saprolit dan muka
air tanah di bawah permukaan daerah Teluk Weda. Delineasi zona saprolit tersebut dapat
digunakan untuk menentukan zona akumulasi nikel laterit pada daerah penelitian.
Eksplorasi dimulai pada tahap detail dengan cakupan luas 20 x 20 km 2. Perangkat yang
digunakan dalam survey geolistrik tahap detail di Teluk Weda adalah resistivitymeter untuk
survey darat. Survey darat ditujukan untuk mencari anomali rendah resistivitas pada daerah
penelitian. Berkenaan dengan ketebalan horizon profil laterit Teluk Weda yang mencapai
lebih dari 22 meter, survey constant separation traversing perlu dilakukan untuk
mendelineasi variasi lateral bawah permukaan di Teluk Weda. Survey geolistrik juga dapat
memperkirakan tebal overburden pada Teluk Weda yang menutupi zona akumulasi nikel
laterit. Konfigurasi dipol-dipol akan diaplikasikan untuk survey constant separation
traversing.
Rencana lintasan ditentukan berdasarkan pertimbangan untuk lintasan tegak lurus
terhadap struktur geologi yang ditemukan di permukaan dan sejajar dengan arah kemiringan
lereng di sepanjang daerah Bukit Limber (Gambar 28). Hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui morfologi sesar naik dan sesar normal yang ditemukan di daerah penelitian serta
sebaran zona saprolit di daerah Teluk Weda. Rencana lintasan yang akan dibuat relatif
berarah timurlaut-baratdaya sebagaimana struktur geologi di daerah penelitian berarah
baratlaut-tenggara dan morfologi lereng relatif berbentuk ireguler. Peletakkan rencana
lintasan tersebut berada pada kemiringan lereng 2-30 % pada daerah penelitian (Gambar 29)
sehingga diperkirakan merupakan daerah prospektif untuk pembentukan zona saprolit.
REFERENSI
Ali, J.R. & Hall, R. (1995): Evolution of the boundary between the Philippine Sea Plate and
Australia: Palaeomagnetic evidence from Eastern Indonesia. Tectonophysics, 251, 251-
275.
Al-Khafaji, W. M. S. (2018): Gravity Method in Geophysical Exploration, Lecture of
Alkarkh University for Science, Iraq.
Apandi, T. dan Sudana, D. (1980): Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, 1 halaman.
Darman, Herman & Sidi, Hasan F. . 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. Jakarta :
Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Dentith, M., & Mudge, S. T. (2014). Geophysics for the mineral exploration geoscientist.
Cambridge University Press, UK.
Deutschalander, M. E., dan Muheim R. (2010): Magnetic Orientation in Migratory
Songbirds. dalam Bekoff, M. Encyclopedia of Animal Behaviour, Greenwood Press,
Westport, 1274 halaman.
Emerson, D., & Clark, D. A. (2020). Don Emerson’s Best of Exploration Geophysics.
Preview, 2020(205), 43-68.
Farrokhpay, S., Cathelinau, M., Blancher, S. B., Laugler, O., Filippov, L., 2019.
Characterization of Weda Bay nickel laterite ore from Indonesia. Journal of Geochemical
Exploration, 196, 270-281
Gubbins, D., & Herrero-Bervera, E. (Eds.). (2007). Encyclopedia of Geomagnetism and
Paleomagnetism. Springer Science & Business Media.
Hall, R., Audrey-Charles, M. G., Banner, F. T., Hidayat, S., Tobing, S. L., 1988. Late
Paleogene-Quarternary Geology of Halmahera, Eastern Indonesia : Initiation of a
Volcanic Island Arc. Journal of the Geological Society, 145, 577-590
Hall, R. 2000. Neogene history of collision in the Halmahera region, Indonesia. Proceedings
of the Indonesian Petroleum Association 27th Annual Convention. pp. 487-493.
Hamilton, Warren. 1979. Tectonics of The Indonesian Region. Washington : United States
Government Printing Office
Olsson, Per-Ivar; Dahlin, Torleif; Fiandaca, Gianluca; Auken, Esben (2015). "Measuring
time-domain spectral induced polarization in the on-time: decreasing acquisition time and
increasing signal-to-noise ratio"
Schubert, H., & Bischofberger, C. (1978). On the hydrodynamics of flotation machines.
International Journal of Mineral Processing, 5(2), 131-142.
Seigel, H. (1959): Mathematical Formulation and Type Curves dor Induced Polarization.
Geophysics, 24 (3), 547-565
Mariita, N. O. (2007): The Magnetic Method. Short Course II on Surface Exploration for
Geothermal Resources, 8 halaman.
Mussett, A. E., Khan, M. A., dan Button, S. (2009): Looking into the Earth: an Introduction
to Geological Geophysics. Cambridge University Press, Cambridge, 506 halaman.
www.agiusa.com diakses 5 Oktober 2020