Pengertian munasabah
Dari pengertian di atas di katakan bahwa setiap sesuatu uyang berdekatan dan
mempunyai hubungan bisa dikatakan munasabah.
1
Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Amzah, 2005), 197
2
Badruddin Muhammad ibn Abdillah az-Zarkasyiy, al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an, (Beirut : Darul-
Kutubil-’Ilmiyyah, 1988), 61.
3
Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 305
dengan surah yang lain, sehingga dapat diketahui alasan-alasan penertiban
dari ayat-ayat dan atau surah-surah dalam al-Qur’an tersebut.4
Dengan demikian, pengertian munasabah itu tidak hanya terbatas dalam arti
yang sejajar dan parallel saja, tetapi juga kontradiksipun termasuk di dalam
ruang lingkup munasabah. Misalnya ketika al-Qur’an menerangkan hal ihwal
orang-orang mukmin kemudian diiringi dengan penjelasan mengenai orang-
orang kafir dan yang semacamnya. Sebab sebagian dari ayatayat dan atau surah-
surah dalam al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhshih terhadap ayat-
ayat lain yang bersifat umum. Selain itu, juga kadangkadang ayat-ayat tersebut
juga berfungsi mengkongkritkan hal-hal yang kelihatannya dianggap abstrak.
Sebagaimana juga ayat-ayat itu memiliki korelasi satu dengan yang lainnya
karena menerangkan sebab dari sesuatu akibat. Misalnya, kebahagiaan yang
diperoleh bagi setiap orang beramal saleh atau sebaliknya, kesengsaraan bagi
mereka yang melanggar ketentuanketentuan Allah dan seterusnya.5
B. Macam-macam Munasabah
Contoh : hubungan antara ayat satu dan dua dari surat al-isra yang menjelaskan
tentang di-isra’kannya Nabi muhammad SAW, dan diikuti oleh keterangan
diturunkannya taurat kepada Nabi Misa. Dari dua yat tersebut nampak jelas
bahwa keduanyamenjelaskan tentang diutusnya nabi dan rasul.
Lalu dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk Al-Quran, sebagaimana di sebutkan
7
Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 40.
Munasabah antar bagian ayat sering berbentuk pola munasabah at-tadhadat
(perlawanan) seperti berikut ini : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, Dia mengetahui
apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun
dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hadid: 4).
Di dalam surat Al-Hadid tersebut terdapat korelasi antara kata masuk (yaliju)
dan kata keluar (yakhruju), serta kata turun (yanzilu) dan kata naik (ya’ruju).
Pola ta’kid tersebut dapat ditemukan di dalam surat Al-Fatihah ayat 1-2
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”,
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” di dalam ayat pertama terdapat
sifat Allah “Maha Pemurah” dan “Maha Penyayang” yang kemudian dikuatkan
oleh ungkapan ayat berikutnya “Tuhan semesta alam”.
Pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh
ayat sesudahnya. Sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa”. Kata “mereka yang bertakwa” pada ayat di atas kemudian ditafsiri
dengan ayat sesudahnya: “(yaitu) mereka yang beriman pada yang gaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka”.
Pola i’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada
kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau
di antara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Seperti di dalam
surat An-Nahl: 57: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan,
Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang
mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” Kata “Mahasuci Allah” di atas
merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarnya. Kata tersebut
merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah.
Pola munasabah berikutnya, yakni yang menggunakan pola tasydid. Yaitu
apabila suatu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat sebelumnya. Misal:
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, “yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai
dan bukan pula jalan mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah: 6-7).
Di dalam surat Al-Fatihah di atas, pada ayat keenam terdapat ungkapan “jalan
yang lurus” yang kemudian ayat tersebut ditegaskan oleh ayat selanjutnya yakni
“bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”.
Sedangkan untuk munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui
hubungan makna (qara’in maknawiyyah) yang terlihat dalam empat pola
munasabah, yaitu perbandingan (at-tanzir), perlawanan (al-mudhadat),
penjelasan lebih lanjut (istithrad), dan perpindahan (at-takhallush).
Dalam pembahasan ini terdapat dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka
yang mengikuti perintah Tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan
kerjanya. Imbalan tersebut adalah kebaikan dunia dalam bentuk materi dari
harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala yang berlipat ganda serta
keampunan dari pemberi perintah (Allah).
8
Ibid
Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashash, pada awal surat
yakni pada ayat 1-32 menjelaskan perjuangan Nabi Musa, sementara di akhir
surat (ayat 83-88) memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad s.a.w.
yang sedang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya
ke Mekah (di awal surat tidak menolong orang yang berdosa, sedangkan di
akhir surat, Nabi Muhammad s.a.w. dilarang menolong orang-orang kafir).
Munasabah tersebut terletak pada kesamaan kondisi antara Nabi Musa dan Nabi
Muhammad s.a.w. yang sama-sama mengalami berbagai tekanan.
C. Urgensi Munasabah
9
Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 96.
Daftar isi
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Litera antarNusa. Cetakan
kesepuluh.
Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit Amzah. Cetakan kedua.
Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. Cetakan ketiga.
Shihab, Muhammad Quraish. 2004. Wawasan Al-Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka. Cetakan kelima
belas.
http://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/11/munasabah-dalam-al-qur%E2%80%99an/
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta :
LkiS. 2001.
Al-Hafizh, Ashim W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Amzah. 2005.
Al-Qathathan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir. Beirut : Al-Syarikah al-
Muttahid li al-Tauzi. 1973.
Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Mufatih al-Ghaib. Baghdad : al-Mutsanna.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an. Damaskus : Dar al-Fikr. 1979.
Anwar, Rosihan. Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Anwar, Rosihan. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2008.
Ash-Shofa, Ichwan. “Teori Munasabah dalam AL-Quran:Analitik Aplikatif”. baca online
http://ichwanushshofa.blogspot.com/2010/11/teiri-munasabah-dalam-al-qurananalitik.html.
diakses tanggal 03 Oktober 2011.
Az-Zarkasyiy, Badruddin Muhammad ibn Abdillah. al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an. Beirut : Darul-
Kutubil-’Ilmiyyah. 1988.
Chalik, A. Chaerudji Abd. ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Diadit Media. 2007.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an. Yogyakrta : Dana Bhakti Yasa. 1998.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya : Dunia Islam. 1998.
Iqbal, Mashuri Sirodjuddin & A. Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Angkasa. 1989.
Nugroho, Anjar. “Ilmu Munasabah Al-Qur’an”. baca online
http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/ilmu-munasabah-al-quran.html. diakses tanggal 03 Oktober 2011.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin
Mohammad. Bandung : Penerbit Pustaka. 1995.