Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian munasabah

Kata Munasabah secara etimologi, menurut asy-Suyuthi berarti al-


Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekatan)1. Kata munasabah sering
dipakai dalam tiga pengertian. Pertama, Kata ini dipakai dengan makna
"musyakalah atau muqarabah (dekat)". Jika dikatakan fulan yunasibu fulanan,
maka hal itu berarti yuqaribu minhu wa yusyakiluhu (proses dekat atau
hampirnya seseorang kepada orang lain). Kata munasâbah juga diartikan dengan
"al-nasib" (kerabat atau sanak keluarga).2

Dari pengertian di atas di katakan bahwa setiap sesuatu uyang berdekatan dan
mempunyai hubungan bisa dikatakan munasabah.

Sedangkan menurut terminologi dapat difinisikan sebagai berikut:

1. Menurut az-Zarkasyi, munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami,


takala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimannya.
2. Menurut Ibnu al-Araby, munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-
Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai
kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
3. Menurut al-Biqai, munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba
mengetahui  alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-
Qur’an baik ayat atau surat dengan surat.
4.  Menurut Al-Biqa’i, Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba
mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-
Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, ilmu munasabah al-Qur’an adalah


suatu ilmu yang mempelajari hubungan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau
suatu surat dengan surat lainnya. Hubungan itu dapat berupa hubungan
umum dengan khusus, hubungan logis (‘aqli) atau hubungan konsekuensi
logis seperti hubungan sebab dengan akibat, hubungan dua hal yang
sebanding atau berlawanan.3

Rumusan lain yang mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang


menjelaskan persesuaian antara ayat dengan ayat dan atau antara surah

1
Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Amzah, 2005), 197
2
Badruddin Muhammad ibn Abdillah az-Zarkasyiy, al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an, (Beirut : Darul-
Kutubil-’Ilmiyyah, 1988), 61.
3
Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 305
dengan surah yang lain, sehingga dapat diketahui alasan-alasan penertiban
dari ayat-ayat dan atau surah-surah dalam al-Qur’an tersebut.4

Dengan demikian, pengertian munasabah itu tidak hanya terbatas dalam arti
yang sejajar dan parallel saja, tetapi juga kontradiksipun termasuk di dalam
ruang lingkup munasabah. Misalnya ketika al-Qur’an menerangkan hal ihwal
orang-orang mukmin kemudian diiringi dengan penjelasan mengenai orang-
orang kafir dan yang semacamnya. Sebab sebagian dari ayatayat dan atau surah-
surah dalam al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhshih terhadap ayat-
ayat lain yang bersifat umum. Selain itu, juga kadangkadang ayat-ayat tersebut
juga berfungsi mengkongkritkan hal-hal yang kelihatannya dianggap abstrak.
Sebagaimana juga ayat-ayat itu memiliki korelasi satu dengan yang lainnya
karena menerangkan sebab dari sesuatu akibat. Misalnya, kebahagiaan yang
diperoleh bagi setiap orang beramal saleh atau sebaliknya, kesengsaraan bagi
mereka yang melanggar ketentuanketentuan Allah dan seterusnya.5

B. Macam-macam Munasabah

Untuk lebih memperjelas pembahasan mengenai munasabah, perlu


dikemukakan macam-macamnya baik dilihat dari sifat-sifatnya maupun dari
segi materinya. Munasabah dari segi sifat-sifatnya dapat dipilah menjadi dua,
yaitu :
1. Zahirul Iratibah, munasabah terjadi karena bagian al-quran yang satu dengan
yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu
dengan yang lain sehingga menjadi kalimat yang sempurna jika dipisahkan
dengan kalimat yang lain.6 Deretan beberapa ayat yang menerangkam sesuatu
materi itu terkadang ayat yang satu berupa penguat, penafsiran, penyambutan,
penjelasan, pengecualian, dan pembatas runtu dan tidak terpisahkan.

Contoh : hubungan antara ayat satu dan dua dari surat al-isra yang menjelaskan
tentang di-isra’kannya Nabi muhammad SAW, dan diikuti oleh keterangan
diturunkannya taurat kepada Nabi Misa. Dari dua yat tersebut nampak jelas
bahwa keduanyamenjelaskan tentang diutusnya nabi dan rasul.

2. Khaffiyul Iratibat, munasbah terjadi karena antara bagian-bagian al-quran


tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantara
keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat
4
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : Dunia Islam, 1998), 154
5
Usman, Ulumul Qur’an, 163-164.
6
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 155-156
yang dihubungan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan
dengan yang lain. Hal tersebut tampak dalam dua model, yaitu hubungan yang
ditandai dengan huruf ‘Athaf dapat ditelti melalui susunan mudhodah, istithrod,
takhollush, atau tamsil.

Munasabah dari segi materinya terbagi menjadi sebagai berikut, yaitu:

1. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya


As-suyuthi mengatakan bahwa munasabah antar surat denagn surat
sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada
surat sebelumnya. Munasabah antara satu ayat dengan ayat yang lain, kadang-
kadang terlihat jelas dan kadang-kadang tidak tampak jelas, hingga tidak mudah
untuk dicari. Dalam hal yang demikian itu, ukuran yang digunakan untuk
mencari munasabah adalah dengan melihat sisi hubungan (‘athaf) baik langsung
atau tidak langsung.7
Salah satu suart berfungsi menjelaskan surat sebelumnya, misalnya dalam surat
Al-fatihah ayat 6. disebutkan

ِّ ‫ْال ُم ْستَقِ ْي ۙ َم ال‬


‫ص َراطَ اِ ْه ِدنَا‬
“ Tunjuklah kami ke jalan yang lurus”

Lalu dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk Al-Quran, sebagaimana di sebutkan

َ ِ‫ْب اَل ْال ِك ٰتبُ ٰذل‬


‫ك‬ َ ‫لِّ ْل ُمتَّقِي َْن ھُدًى فِ ْي ِه َري‬
“ Kitab Al-Quran ini tidak ada keraguan padanya , petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.

2. Munasabah antara nama surat dengan tujuan turunnya


Nama-nama surat yang ada di dalam al-Qur’an memiliki kaitan
dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Contohnya adalah Surat an-Nisa
yang artinya perempuan, karena di dalamnya banyak menceritakan tentang
perempuan.

3. Munasabah antar bagian suatu ayat

7
Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 40.
Munasabah antar bagian ayat sering berbentuk pola munasabah at-tadhadat
(perlawanan) seperti berikut ini : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, Dia mengetahui
apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun
dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hadid: 4).

Di dalam surat Al-Hadid tersebut terdapat korelasi antara kata masuk (yaliju)
dan kata keluar (yakhruju), serta kata turun (yanzilu) dan kata naik (ya’ruju).

4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan


Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan
jelas, namun juga sering terlihat tidak jelas. Munasabah yang terlihat jelas, pada
umumnya dapat diketahui bahwasanya menggunakan pola ta’kid (penguat),
tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).

Pola ta’kid tersebut dapat ditemukan di dalam surat Al-Fatihah ayat 1-2
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”,
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” di dalam ayat pertama terdapat
sifat Allah “Maha Pemurah” dan “Maha Penyayang” yang kemudian dikuatkan
oleh ungkapan ayat berikutnya “Tuhan semesta alam”.

Pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh
ayat sesudahnya. Sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa”. Kata “mereka yang bertakwa” pada ayat di atas kemudian ditafsiri
dengan ayat sesudahnya: “(yaitu) mereka yang beriman pada yang gaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka”.

Pola i’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada
kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau
di antara dua kalimat yang berhubungan dengan maknanya. Seperti di dalam
surat An-Nahl: 57: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan,
Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang
mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” Kata “Mahasuci Allah” di atas
merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarnya. Kata tersebut
merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah.
Pola munasabah berikutnya, yakni yang menggunakan pola tasydid. Yaitu
apabila suatu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat sebelumnya. Misal:
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, “yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai
dan bukan pula jalan mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah: 6-7).

Di dalam surat Al-Fatihah di atas, pada ayat keenam terdapat ungkapan “jalan
yang lurus” yang kemudian ayat tersebut ditegaskan oleh ayat selanjutnya yakni
“bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”.

Sedangkan untuk munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui
hubungan makna (qara’in maknawiyyah) yang terlihat dalam empat pola
munasabah, yaitu perbandingan (at-tanzir), perlawanan (al-mudhadat),
penjelasan lebih lanjut (istithrad), dan perpindahan (at-takhallush).

At-Tanzir yaitu membandingkan dua hal yang sebanding, menurut kebiasaan


orang yang berakal. Misal: “Itu adalah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka itu akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di
sisi Tuhannya dan mendapat keampunan serta rezeki yang mulia” (QS Al-
Anfal: 4). Dan ayat berikutnya adalah: “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu
pergi dari rumahmu dengan kebenaran (berangkat perang), padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”
(QS Al-Anfal: 5).

Dalam pembahasan ini terdapat dua keadaan yang sebanding, yaitu mereka
yang mengikuti perintah Tuhannya akan mendapat imbalan sesuai dengan
kerjanya. Imbalan tersebut adalah kebaikan dunia dalam bentuk materi dari
harta rampasan, dan imbalan akhirat adalah pahala yang berlipat ganda serta
keampunan dari pemberi perintah (Allah).

Perlawanan (Al-Mudhodat), misalnya di dalam surat Al-Baqarah ayat 6


menjelaskan tentang sifat-sifat orang kafir, sedangkan pada ayat sebelumnya
menjelaskan sifat dari orang-orang mukmin.

Pola peralihan kepada penjelasan lain (Al-Istithrad). Contohnya seperti berikut


ini: “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian (nikmat)
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
(senantiasa bertakwa kepada Allah) itulah yang lebih baik” (QS Al-A’raf: 26).
Ayat tersebut menjelaskan tentang nikmat Allah, sedang ditengahnya dijumpai
kata “libasut taqwa” yang mengalihkan perhatian pada penjelasan ini (pakaian).
Dalam hal ini, munasabah yang dapat dilihat adalah antara menutup tubuh atau
aurat dengan kata-kata takwa.

Pola yang terakhir adalah peralihan (At-Takhollus). Yang dimaksudkan dengan


peralihan adalah peralihan pembicaraan terus menerus dalam suatu ayat dan
tidak kembali lagi pada pembicaraan pertama. Misalnya: “Apakah mereka tidak
melihat bagaimana unta itu diciptakan, dan melihat kepada bagaimana langit di
tinggikan”. Ayat ini mengandung pembicaraan terus menerus. Yakni mulai dari
unta, langit, dan seterusnya.

5. Munasabah antara pemisah (Fashilah) dan isi ayat.


Setidaknya ada dua tujuan pada jenis munasabah ini.
Yang pertama adalah menguatkan (tamkin) seperti dapat diketahui dalam surat
Al-Ahzab ayat 25: “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang
keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh
keuntungan apapun. Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. Dan Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa Allah menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan disebabkan kelemahan orang-orang kafir, karena
angin kencang atau malaikat yang dikirim Allah. Pemahaman yang kurang lurus
ini diluruskan dengan fashilah artinya Allah berkuasa memisahkan antara dua
golongan dalam perang tersebut (dalam perang Badar). Kejadian ini
menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa bahwa merekalah yang
menang. Inilah pemahaman yang tersirat dalam fashilah ayat itu.8
Kedua, adalah memberikan penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa
penjelasan tersebut makna suatu ayat sudah jelas, namun adanya penambahan
ini agar makna ayat semakin tajam. Contohnya pada surat An-Naml ayat 80:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang itu mendengar dan
(tidak pula) menjadikan orang-orang tuli mendengar panggilan, apabila mereka
telah berpaling”. Kalimat “apabila mereka telah berpaling” merupakan kalimat
penjelasan tambahan terhadap definisi orang tuli.

6. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama.

8
Ibid
Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashash, pada awal surat
yakni pada ayat 1-32 menjelaskan perjuangan Nabi Musa, sementara di akhir
surat (ayat 83-88) memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad s.a.w.
yang sedang menghadapi tekanan dari kaumnya, dan akan mengembalikannya
ke Mekah (di awal surat tidak menolong orang yang berdosa, sedangkan di
akhir surat, Nabi Muhammad s.a.w. dilarang menolong orang-orang kafir).
Munasabah tersebut terletak pada kesamaan kondisi antara Nabi Musa dan Nabi
Muhammad s.a.w. yang sama-sama mengalami berbagai tekanan.

7. Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.


Contoh dari munasabah ini dapat ditemukan pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf
dengan awal ayat pada surat Muhammad. Pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf
disebutkan:
“Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa)
seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah)
suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasiq”.
Pada ayat pertama surat Muhammad dikatakan: “(Yaitu) orang-orang yang kafir
dan menghalang-halangi dari jalan Allah, Allah menghapus segala amal-amal
mereka.”
Pada ayat terakhir surat Al-Ahqaf dijelaskan mengenai ancaman dan siksa bagi
orang-orang fasiq, sedangkan pada ayat pertama surat Muhammad dijelaskan
karakteristik dan ciri-ciri orang fasiq.

C. Urgensi Munasabah

            Munasabah sangat berperan dalam memahami Al-quran. Muhammad


Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang
diungkapkan oleh surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan
pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang
hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan
keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.”9

9
Rosihan Anwar, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, 96.
Daftar isi

 Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: Litera antarNusa. Cetakan
kesepuluh.
Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Penerbit Amzah. Cetakan kedua.
Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. Cetakan ketiga.
Shihab, Muhammad Quraish. 2004. Wawasan Al-Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka. Cetakan kelima
belas.
http://cecengsalamudin.wordpress.com/2011/10/11/munasabah-dalam-al-qur%E2%80%99an/
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta :
LkiS. 2001.
Al-Hafizh, Ashim W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Amzah. 2005.
Al-Qathathan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir. Beirut : Al-Syarikah al-
Muttahid li al-Tauzi. 1973.
Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Mufatih al-Ghaib. Baghdad : al-Mutsanna.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an. Damaskus : Dar al-Fikr. 1979.
Anwar, Rosihan. Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Anwar, Rosihan. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2008.
Ash-Shofa, Ichwan. “Teori Munasabah dalam AL-Quran:Analitik Aplikatif”. baca online
http://ichwanushshofa.blogspot.com/2010/11/teiri-munasabah-dalam-al-qurananalitik.html.
diakses tanggal 03 Oktober 2011.
Az-Zarkasyiy, Badruddin Muhammad ibn Abdillah. al-Burhan fî ‘Ulumil-Qur’an. Beirut : Darul-
Kutubil-’Ilmiyyah. 1988.
Chalik, A. Chaerudji Abd. ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Diadit Media. 2007.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an. Yogyakrta : Dana Bhakti Yasa. 1998.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya : Dunia Islam. 1998.
Iqbal, Mashuri Sirodjuddin & A. Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Angkasa. 1989.
Nugroho, Anjar. “Ilmu Munasabah Al-Qur’an”. baca online
http://hapidzcs.blogspot.com/2011/05/ilmu-munasabah-al-quran.html. diakses tanggal 03 Oktober 2011.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin
Mohammad. Bandung : Penerbit Pustaka. 1995.

Anda mungkin juga menyukai