Anda di halaman 1dari 7

Nama: Widya kusma ningsih

Nim: 12010723376
Kelas: 2C pendidikan kimia
UAS Studi Al-Qur’an
1. Waktu turun (zamān an-nuzūl)
Menurut prespektif ini bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah, sedangkan
Madaniyah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun
bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut
Madaniyah walaupun turun di Mekah atau Arafah.[2]
Dengan demikian surat An-Nisa’ [4]:58 termasuk kategori Madaniyah kendatipun
diturunkan di Mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekah (fath Mekah):
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya,dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Seusungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi
maha melihat” (an-Nisa’ [4]: 58).[3]
Begitu pula, surat Al-Maidah [5]:3 termasuk kategori Madaniyah kendatipun tidak
diturunkan pada peristiwa haji wada’.
Tempat turun (makān an-nuzūl)
Menurut prespektif ini Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan
sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-
ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba’, dan Su’la.[4]
Namun terdapat kelemahan dari pendefinisian di atas sebab terdapat ayat-ayat
tertentu, yang tidak diturunkan di Mekah dan di Madinah dan sekitarnya. Misalnya
surat At-Taubah [9]:42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]:45 diturunkan di
tengah perjalanan antara Mekah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat
definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam makiyyah dan Madaniyah.
Objek pembicaraan (mukhatab)
Menurut prespektif ini makiyyah adalah khitab bagi orang-orang Mekah, sedangkan
Madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.
Pendefinisian di atas dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-
Quran dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha An-nas” yang menjadi kriteria
Makiyyah, dan ungkapan “ya ayyuha Al-ladziina” yang menjadi kriteria Madaniyah.
Namun tidak selamanya asumsi ini benar. Misalnya Surat Al-Baqarah [2] termasuk
kategori Madaniyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan
ayat 168 yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuha An-nas”. Lagi pula banyak ayat
Al-Quran yang tidak dimulai dengan dua ungkapan di atas.[6]
Adapun pendefenisian Makiyyah dan Madaniyah dari prespektif tema pembicaraan
akan disiggung lebih rinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Sekalipun keempat definisi di atas pada dasarnya merupakan bagian dari
pengklasifikasian ayat-ayat Al-Quran. Tetapi untuk menghindari kekeliruan kami
sepakat memilih definisi yang pertama. Dengan pengklasifikasian yang teliti
berdasarkan tempat dan waktu turunnya ayat, akan diketahui ayat-ayat mana saja yang
turun lebih dahulu dan turun kemudian. Selanjutnya akan diketahui kronologi
turunnya ayat tertentu.
Tema pembicaraan (mawḍūʻ).
Menurut prespektif ini makiyah adalah Surat yang membahas tentang ke esa an Allah,
kisah para nabi – nabi terdahulu, sedangkan surat madaniyah adalah surat yang
membahas tentang ketentuan hukum, had dan muamalah
2. Pendekatan transmisi (riwayah) adalah pendekatan yang berasal dari para sahabat,
yaitu orang yang besar kemungkinanya menyaksikan dan mendengar langsung
tentang turunya wahyu, atau para generasi tabi’in yang langsung berjumpa dengan
para sahabat yang menyaksikan turunya wahyu. Dalam hal ini, Abu Bakar b. Al-
Tayyib al-Baqilani dalam al-Intisar-nya, seperti yang dikutip al-Zarkashi, al-Zarqani,
dan al-Qattan disebutkan bahwa informasi tentang Makkiyah dan Madaniyah hanya
dapat dilacak pada otoritas sahabat dan tabi‘iin saja, sebab Rasulullah sendiri tidak
pernah menjelaskan hal itu, karena ilmunya memang bukan merupakan kewajiban
umat.1
Sedangkan pendekatan analogi (qiyas) adalah pendekatan yang dikembangkan oleh
para ulama belakangan seperti alQattan dan al-Sa lih, dengan bertolak dari ciri-ciri
khusus atau karakteristik ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Dalam hal ini, para
ulama telah menentukan tema-tema sentral yang kemudian ditetapkan sebagai
karakteristik dari dua klasifikasi ayat-ayat tersebut. Al-Qattan misalnya,
mengemukakan dua titik tekan dalam merumuskan karakter ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah, yaitu aspek analogi (dawabit qiyasiyah) dan aspek tematis (mumayyizat
mawdu‘iyah).2
3. Ulama yang Pro terhadap Nasikh Mansukh
1.Abu Jafar al-Nahhas menurutnya dasar makna naskh ada dua.3
Pertama, dari “nasakhat al-syams al-azhilla”, jika matahari menghilangkan atau
menghapuskan bayangan dan menggantikannya. Padangan makna naskh ini adalah
firman Allah Q.S. Al-Hajj ayat 52:
“Lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu dan Allah
menguatkan ayat-ayat- nya”.
Dan yang kedua, dari “nasakhta al-kitaba idzā anqaltahu min nuskhatihi”
(engkau me-naskh sebuah buku jika engkau memindahkan naskahnya). Dari
makna inilah dibangun konsep nasikh–mansukh.4
2.Imam al-Suyuthi
Imam al-Suyuthī adalah tokoh ulama yang mendukung adanya naskh–mansukh dalam
Al-Qur’an. Beliau memberikan definisi nāskh sebagai berikut:5
Pertama, naskh bermakna al-izālah (menghapus/menghilangkan). Sebagaimana
Allah berfirman Q.S. Al-Hajj ayat 52:
“lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu dan Allah
menguatkan ayat-ayat- nya”.
Kedua, naskh bermakna al-tabdil (perubahan, pemindahan dan pertukaran).
Sebagaimana firman Allah Q.S. An-Nahl ayat 101:
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

1
Al-Zarkashi, al-Burhan, 246; al-Zarqani , Manahil, 196; dan al-Qattan, Mabahith, 60. Otoritas para sahabat dan
tabi’in dalam mengetahui informasi kronologis al-Qur’an.
2
2 Lihat al-Qattan, Mabahith, 61.
3
Abu Ja‟far al-Nahhās, I‟robu al-Quran (Beirut: „Alam al-Kutub, 1988), h. 357.
4
Abu Ja‟far al-Nahhās, I‟robu al-Quran, h. 359
5
Jalāluddin al-Suyūṭī, Al-Itqon, (Bairut: Dar al-Fikr, 2012), h. 326.
Dalam perspektif pemahaman dalam fenomena nāsikh, Nasr Hamid Abu Zaid
mengatakan, bahwa ulama kuno tidak lepas dari kekeliruan, dan kekeliruan ini
muncul karena tidak ada sikap kritis terhadap riwayat-riwayat yang berkaitan dengan
ilmu nāskh dan mansūkh pada satu sisi, dan pada sisi lain mereka mengedepankan
pola penukilan saja dari ulama kuno dan mengkompromikan antara pendapat, ijtihad,
dan riwayat meskipun masalah ini berkaitan dengan pengetahuan tentang asbabun
nuzul. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan ijtihad, tidaksekedar berhenti
dengan upaya mengkompromikan antara riwayat yang ada.
3.Syaikh Manna Khalil al-Qattan
Beliau salah satu tokoh yang menerima adanya nasikh- mansukh dalam al-Qur’an,
dengan melontarkan beberapa kreteria secara tegas: “bahwa cara mengetahui nāsikh
mansūkh itu ada beberapa cara”. Yaitu: harus mengetahui dalil secara jelas (sharih),
harus ada (ijma‟) kesepakatan umat terhadap persoalan mana dalil yang nāsikh dan
mana dalil yang mansūkh, dan mengetahui sejarah orangorang mutaqaddimin dan
orang-orang mutaakhirin. Beliau juga menambahkan bahwa dalam masalah nāsikh
mansūkh itu tidak ada kaitannya dengan persoalan ijtihad, tidak mengandung
peryataan dari ahli tafsir dan tidak ada dalil yang dianggap samar bertentangan
dengan dalil yang sudah jelas.6

Ulama yang kontra terhadap Nasikh Mansukh


1.Abu Muslim al-Isfahani
Menurut Abu Muslim al-Isfahani, naskh mungkin terjadi secara logika
namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada Q.S. Fushilat: 42:
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Atas dasar ayat di atas, Abu Muslim al-Isfahani, mengatakan bahwa ayat-ayat yang
terdapat dalam al-Qur‟an tidak ada yang batal. Oleh karena itu jika
nasikh diartikan membatalkan, maka yang demikian itu bertentangan dengan ayat
tersebut. Atas dasar itu ia lebih suka menyebut kata nāskh dengan istilah
takhshis.7 Karena untuk mencabut bagian-bagiannya saja, harus ditempuh dengan
majaz. Kata “keumuman” adalah subjek pokok bagi setiap bagian, tidak
membatasi bagian-bagian lainnya kecuali disertai pengkhususan. Pengkhususan
bila terjadi pada berita-berita hadist dan lain-lain, sedangkan nāsikh tidak terjadi
pada sebaliknya. Diantara dalil-dalil yang melandasi “pengkhususan” ialah fikiran
dan perasaan, di samping kitabullah dan Sunnah Rasul.

2.Muhammad Syahrur Muhammad Syahrur menolak adanya konsep nasikh dalam al-
Qur’an, selain karena pemahaman tentang nāsikh seperti itu merupakan produk dari
pemerintahan yang kejam, juga karena tidak ditemukan riwayat yang mengatakan
bahwa nabi Muhammad saw. Telah memerintah para sahabatnya untuk meletakkan
suatu ayat dari al-Qur’an ditempat yang lain atas nama nāsikh dan mansukh, demikian
juga tidak pernah sampai secara Mutawatir beliau mengisyaratkan atau menyebutkan
hal ini. Namun meskipun demikian bahwa Syahrur tetap mengakui keberadaan
konsep naskh sebagaimana dalam surat AlBaqarah ayat 106, menurut Syahrur , nāsikh
dalam ayat tersebut di atas adalah nāskh antara syariat-syariat samawi, sebagaimana
juga dapat dipahami dari suratAn-Nahl ayat 101; kata “ayat” dalam dua ayat tersebut
di atas diartikan oleh Syahrur sebagai risalah samawi dan bukan sejumlah ayat dalam
6
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an, Singapura, Haramain, t.th., h. 234.
7
Abu Muslim al-Ishfahani, An-Nāsikh Wa Al-Wansūkh (Baerut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, Tp.t), h. 102.
al-Qur‟an sebagaimana yang di duga oleh sebagian orang-orang. Setiap ayat menurut
Syahrur memilki bidang area, dan setiap hukum memiliki ruang untuk
pengamalannya. Oleh karena itu tidak mungkin ada pergantian ayat-ayat yang
memuat syariat yang satu bagi rasul yang satu, tetapi pasti terjadi pergantian syari‟at
di antara syari‟at yang berbeda-beda dan rasul yang datang berurutan.
Menurut saya ilmu nasikh sangat penting karena bagian dalam Al-Qur’an yang wajib
diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah dalam
memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengetahui naksikh dalam Al-
Qur’an dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam menetukan hukum.
4. Kemukjizatan Bahasa
5. Al-Quran turun di tengah-tengah masyarakat yang kaya akan sastra. Banyak sekali
yang menguasai sastra di sana. Namun seketika al-Quran diturunkan, seakan
semuanya bungkam. Mereka sangat takjub dengan turunnya al-Quran. Bahkan, hanya
dengan mendengarnya pun mereka mengetahui bahwa al-Quran sangat sulit dikarang
oleh manusia.
Sebenarnya al-Quran tidak keluar dari aturan-aturan syair mereka, baik huruf-huruf,
lafazh, susunan maupun uslubnya. Akan tetapi keserasian antara jalinan
hurufnya,keteraturan ayatnya, keindahan uslubnya, semuanya tertera dalam al-Quran.
Dengan hal tersebut, al-Quran sudah ada pada tahapan yang paling tinggi, serta tidak
ada seorang pun yang dapat menandinginya.
Kemukjizatan Ilmiah
Banyak orang yang keliru memahami tentang keilmiahan al-Quran. Mereka mengira
bahwa di dalam al-Quran selalu ada teori-teori ilmiah. Padahal, ilmu pengetahuan
akan selalu berubah dan berkembang untuk kemajuan. Dan jika dipaksakan, maka al-
Quran akan dianggap dapat diubah untuk dicari relevansinya dengan teori ilmiah yang
berubah.Kemukjizatan ilmiah dalam al-Quran bukan terletak dalam teorinya yang
selalu berubah. Akan tetapi, kumukjizatannya terletak pada dorongannya untuk
senantiasa berfikir dan menggunakan akal kita. Al-Quran mendorong kita untuk
memikirkan tentang alam sekitar, dari mulai hal yang terkecil sampai yang terbesar.
Banyak sekali ayat al-Quran yang memberikan isyarat-isyarat tentang ilmu
pengetahuan. Misalnnya mengenai embrio (Q.S At-Tariq ayat 6-7). Dan juga al-
Quran seringkali membangkitkan kesadaran ilmiah kaum muslimin untuk berfikir dan
memahaminya.seperti dalam Q.S Al-Baqarah [2] ayat 219.
6. Karena bangsa Arab pada masa itu adalah masyarakat yang menganut paham
keagamaan dalam tingkat yang amat sederhana, masih percaya pada alam sekitar
yang memiliki kekuatan ghaib melebihi kekuatan manusia. Dalam kondisi ini, al-
Qur’an datang dengan membawa misi-misi dan pesan-pesan ilahiyah yang berisi
penegasan dan perintah menyembah Allah, untuk mempercayai Rasul, janji ancaman
dan pembalasan yang diantaranya diungkapkan dengan sumpah. Kajian tentang
sumpah dalam al-Qur‟an memberikan gambaran bahwa wahyu yang datang kepada
manusia jauh dari kesan adanya paksaan untuk menerima kebenaran mutlak,
melainkan telah diberikan kesempatan kepada manusia untuk memikirkannya melalui
akal pikiran yang logis. Hal ini terlihat dengan banyaknya bentuk qasam Allah yang
menggunakan nama makhluk, dimana penyebutannya itu merupakan sesuatu yang
benar-benar urgen untuk dipikirkan.8
7. a.Tuhan
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai zat yang Maha Esa
dan Maha perkasa, Yang menciptakan segala sesuatu sekaligus Yang mengetahui
segalanya, Yang kekal serta Yang menentukan takdir bagi alam semesta ini. Secara
8
Manna‟ al-Qaththan, Mabahits, 285
logis, Tuhan hanya satu, yaitu Allah, Allah berkata: “Janganlah mengambil dua
Tuhan, karena Dia adalah Esa”, Allah bersaksi: “Tiada Tuhan selain Dia”.
Firman Allah SWT.
‫ْصا ۚ َر َوهُ َو اللَّ ِطيْفُ ْال َخبِ ْي ُر‬
َ ‫ك ااْل َب‬ َ ‫اَل تُ ْد ِر ُكهُ ااْل َب‬
ُ ‫ْصا ُر َوهُ َو يُ ْد ِر‬
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus, Mahateliti.“ (QS. Al-An'am 6:103)
Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Esa atau Tunggal dan
juga Yang Berkuasa (Tauhid). Menurut Al-Qur’an ada 99 Asmaul Husna (nama-nama
yang paling baik) dan juga mengingatkan bahwa setiap sifat-sifat Tuhan itu berbeda.
Semua nama-nama yang paling baik tersebut mengacu pada Allah SWT, nama yang
Maha Tinggi lagi Maha Luas. Dari 99 nama Allah tersebut yang paling sering
digunakan ialah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).9
b. Manusia sebagai individu.
Manusia adalah ciptaan Allah seperti makhluk ciptaan lainnya. Tetapi, kelebihan
manusia dengan makhluk yang lain karena Tuhan “meniupkan roh-Nya kepadanya”
(Q 15:29; 38:72; 32:9). Menurut F Rahman, Alquran tampaknya tidak mendukung
teori dualisme jiwa-raga secara radikal, karena dua entitas itu dalam satu perpaduan,
tidak bisa dipisahkan.
Dalam kehidupan dunia, manusia diperintahkan untuk melakukan perjuangan moral
tanpa henti. Dalam perjuangan ini, Tuhan bersama manusia dengan syarat manusia
sebagai wakil Tuhan dengan pilihan bebasnya mau melakukan segala upaya yang
perlu, demi terciptanya sebuah tatanan moral sosial di bumi (hlm 18).
Untuk menghadapi setan sebagai kekuatan jahat, manusia perlu mengembangkan
perilaku takwa (upaya melindungi diri seseorang menghadapi konsekuensi-
konsekuensi berbahaya atau buruk dari perbuatan seseorang) (hlm 29). Setan adalah
kekuatan anti-manusia, bukan anti-Tuhan. Tugasnya untuk memperdaya manusia agar
tergelincir dari jalan yang lurus.
Takwa memberikan kestabilan kepada manusia dalam menentukan pilihan moralnya.
Di akhirat nanti, manusia mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya selama
hidup di dunia di depan Tuhan sendiri-sendiri. Dengan demikian, hidup yang hanya
sekali ini sangat menentukan nasib manusia di akhirat kelak.
c. Manusia dalam masyarakat.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama Alquran adalah membangun sebuah tatanan
sosial yang dapat berlangsung terus di atas bumi yang didasarkan pada prinsip
keadilan dan etika. Tidak pernah ada dalam sejarah manusia, individu tanpa
masyarakat. Dalam perspektif ini, konsep perbuatan manusia, khususnya yang
menyangkut takwa hanyalah punya arti dalam konteks sosial (hlm 37).
Tujuan Alquran tentang sebuah tatanan etika, egalitarian, dan adil diumumkan
bersamaan dengan penolakan keras terhadap ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan
sosial yang marak dalam masyarakat komersial Makkah pada saat itu. Merebaknya
penyalahgunaan anak-anak perempuan, anak yatim, dan kaum perempuan, serta
adanya lembaga perbudakan memerlukan perubahan yang berani (ibid.) Maka doktrin
tauhid (monoteisme) yang diajarkan Alquran bertaut rapat dengan perjuangan
menegakkan keadilan dalam masyarakat.
d. Alam semesta.
Pembicaraan tentang kosmogeni tidak banyak dalam Alquran. Berbeda dengan
manusia dengan hak pilihan bebasnya, alam semesta hanya punya satu pilihan, yaitu
tunduk kepada Tuhan melalui hukum-hukum yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya

9
Yuni Ade, “Tema Pokok Al-Qur’an”, Makalah Studi Al-Qur’an, hlm.3.
alam semesta dikatakan Muslim, karena ketaatan dan ketundukannya kepada kemauan
Tuhan.
Alam semesta ini tidak bisa menjelaskan dirinya, tetapi ia “adalah sebuah tanda yang
menunjuk kepada sesuatu ‘di luar’ dirinya, sesuatu yang tanpa itu alam semesta,
dengan segala sebab alamiahnya, akan menjadi tiada dan hampa” (Lihat F.Rahman,
Major, hlm 69).
Alam semesta dengan segala keteraturannya diciptakan untuk kepentingan manusia,
tetapi tujuan manusia sendiri tidak lain selain untuk mengabdi kepada Tuhan, untuk
berterima kasih kepada-Nya, dan hanya semata-mata untuk menyembah-Nya (Ibid,
hlm 79).

e. Kenabian dan wahyu.


Berita tentang Nabi atau Rasul dan wahyu juga merupakan tema pokok dari Al-
Qur’an. Secara umum dapat dikatakan bahwa Nabi atau Rasul dibangkitkan semata-
mata dianjurkan pada faham monotheisme, dimana hanya Allah lah tuhan yang Maha
Esa dan patut disembah.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an, bahwa Nabi juga merupakan manusia biasa, Nabi
dianggap wajar jika melakukan kesalahan sehingga ia harus selalu berjuang, jika
mereka tidak dapat melakukan demikian, maka mereka tidak akan bisa menjadi
teladan bagi manusia lain. Nabi tak pernah ingin mempersiapkan dirinya menjadi
Nabi, tetapi hal ini merupakan pengalaman religius secara tak terduga yang
mengantarkannya menjadi seorang Nabi.10
f. Eskatologi
Eskatologi merupakan gambaran tentang surga dan neraka, yang mana merupakan
tempat kembali dan tempat terbalasnya semua perbuatan manusia. Ide pokok yang
menjadi dasar ajaran Al-Qur’an mengenai eskatologi atau akhirat ini yaitu bahwa
manusia akan memperoleh kesadaran unik tentang suatu pengalaman yang tidak
pernah dialami sebelumnya. Dimana akhirat adalah saat-saat ditunjukannya kebenaran
dan tujuan akhir kehidupan yang diperoleh dari amal perbuatan manusia diatas dunia.
g. Syaitan dan Kejahatan
Syaitan ialah makhluk yang menyebabkan Adam dan Hawa turun ke bumi, ia
membujuk dengan berbagai macam cara, kemudian berhasil menjebak Adam dan
Hawa untuk melanggar perintah Allah SWT. Syaitan juga merupakan musuh bagi
manusia.
Firman Allah SWT.
‫ق فَاَل تَ ُغ َّرنَّ ُك ُم ْال َح ٰيوةُ ال ُّد ْنيَ ۗا َواَل يَ ُغ َّرنَّ ُك ْم بِاهّٰلل ِ ْال َغرُوْ ُر‬
ٌّ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِ َّن َو ْع َد هّٰللا ِ َح‬
Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia
memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan
kamu tentang Allah. (QS. Fatir 35:5)
Ide yang paling penting dalam Al-Qur’an adalah bahwa aktifitas syaitan ialah
menggoda manusia dan selalu memasuki setiap bidang kehidupan manusia. Oleh
karena itu, manusia harus selalu berjaga-jaga dan harus bisa mengontrol setiap
tindakannya. Jika manusia mengendorkan sedikit saja kewaspadaannya maka akan
mudah bagi syaitan untuk membujuk dan menggodanya. Namun untuk orang yang
bertaqwa kepada Allah SWT tidak akan mudah terlena dengan kejahatantetapi cepat
menyadari bahwa itu hanyalah tipu daya syaitan, sehingga bisa memilah dan
mengontrol setiap tindakan.

10
Ahmad Azib, Skripsi: Eskatologi dalam Perspektif Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009) hlm.
40-41
Meskipun secara prinsip dalam Al-Qur’an dijelaskan tidak ada manusia yang kebal
terhadap godaan syaitan, namun syaitan tidak dapat memperdayakan orang yang
bertaqwa dan yang menjaga integritas moralnya. Cengkeraman syaitan itu sebernanya
tidaklah kuat, hanya saja ketidakwaspadaan manusia itulah yang membuat syaitan
terlihat kuat.
Pada kenyataannya, pada diri manusia juga punya kecenderungan-kecenderungan
yang baik dan jahat. Kecenderungan jahat bisa semakin kuat karena adanya tipu daya
syaitan, maka dari itu kunci terhadap godaan syaitan ialah taqwa. Sebagai manusia
kita harus senantiasa berdo’a dan meminta pertolongan Allah SWT. Siapa yang
berpihak pada Allah dan Rasul-Nya ialah orang-orang yang beriman, sesungguhnya
partai Allah akan memperoleh kemenangan.

Anda mungkin juga menyukai