Anda di halaman 1dari 34
MADZHAB-MADZHAB ANTROPOLOGI Nur Syam © LKiS, 2007 xvi +230 halaman 12x18 cm 1. Perubahan Masyarakat 2. Teori Antropologi ISBN: 979-97853-5-9 ISBN 13: 978-979-97853-5-0 Pengantar: Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, M.A Editor: Aindoble Rancang Sampul: Alam Penata isi: Santo Penerbit & Distribusi: LKiS Yogyakarta Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 .: (0274) 379430 Jhwwwlkis.co.id e-mail: Ikis@Ikis.co.id Cetakan I: Mei 2007 Cetakan IT: Maret 2009 Bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya JIA. Yani 117 Surabaya Percetakan: PT. LKiS Printing Cemerlang Salakan Baru No 3 Sewon Bantul JI. Parangeritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 7472110, 417762 e-mail: elkisprinting@yahoo.co.id Kebudayaan dalam Perspektif Evolusionisme Pendahuluan Di dalam jajaran studi antropologi, aliran evolu- sionis merupakan yang tertua, kemudian berturut- turut adalah aliran struktural fungsional, kognitif, strukturalisme, dan simbolik-interpretatif. Sebagai aliran tertua di dalam studi-studi antropologis maka banyak juga nama yang dapat dikaitkan dengan perspektif ini. Misalnya, E.B. Tylor, J.J. Bachofen, J.G. Frazer, R.R. Marett, dan Andrew Lang. Di antara kajian mereka, banyak yang tertarik dengan fenomena agama dan masyarakat, kecuali Bachofen yang mene- mukan teori pembentukan keluarga. Tylor ialah yang menemukan teori animisme, Frazer menemukan teori batas akal atau magi, dan Marett menemukan teori dinamisme, sedangkan Lang menemukan teori dewa tertinggi.' Ketertarikan terhadap fenomena agama dan masyarakat ini tampaknya didasari oleh suatu ke- nyataan bahwa pada masyarakat primitif ternyata ' Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (jakarta: Ul Press, 1981). 15 Madzhab-Madzhab Antropologi terdapat sekian banyak ritual yang terkait dengan berbagai pemujaan terhadap sesuatu yang dianggap lain dari dunianya sendiri. Ada sesuatu yang dianggap suci atau sakral di dalam kehidupan yang mesti ikut serta terlibat di dalam kehidupan individu dan masya- rakat. Perspektif evolusionisme kiranya berdasar atas suatu pandangan bahwa ada suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan, teori evolusi keluarga yang diangkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu mengikuti cara hidup binatang yang disebutnya sebagai fase pro- miskuitas, kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal diferensiasi, ayah, ibu, dan anak dalam sebuah keluarga, terus berkembang ke pola kehidupan eksogami dan terus ke indogami. Untuk itu, ada sebuah proses yang terjadi dari masa awal ke sekarang.’ Proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba, namun bermekanisme evolutif, per- lahan tetapi pasti. Keyakinan keagamaan pun berubah seperti itu. Berawal dari politeisme seperti dirangkum oleh teori animisme dan dinamisme kemudian ber- kembang ke monoteisme seperti keyakinan di dalam agama-agama semit, Yahudi, Kristen, dan Islam. ? Koentjaraningrat, Sejarah Teori ..., him. 34 16 Kebudayaan dalam Perspektif ... Kebudayaan dalam Perspektif Evolusionisme Kebudayaan dalam konsepsi antropolog evolusio- nis mengandung tiga hal utama, yaitu kebudayaan sebagai sistem (cultural system) yang berupa gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku ide (ideas). Sistem budaya itu disebut juga “tata budaya kelakuan”. Kemudian berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang wujudnya kongkrit dan dapat diamati yang disebut system social atau sistem kemasyarakatan yang ber- wujud kelakuan. Dan berikutnya berwujud benda (artifacts) yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan.* Sebagai sebuah sistem, kebudayaan mempunyai isi atau disebut sebagai isi kebudayaan yang selan- jutanya disebut sebagai cultural universals sebagaimana digagas oleh C. Kluckholn. Isi kebudayaan, menurut- nya, yakni (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup, (2) sistem mata pencaharian hidup, (3)sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, dan (7) sistem religi.’ Isi kebudayaan Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), hlm. 40-41. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, akarata: Dian Rakyat, 1985), hlm.7. 17 Madzhab-Madzhab Antropologi ini juga disebut sebagai unsur-unsur kebudayaan, yang ketika berada di suatu kehidupan masyarakat akan membentuk suatu sistem kebudayaan. Oleh karena itu, di kalangan ahli antropologi, khususnya etnolog, memperlajari kebudayaan suatu masyarakat berarti menggali terhadap ketujuh unsur budaya tersebut. Di dalam tulisan berbahasa Indonesia, kiranya dapat disimak beberapa karya antara lain karya Djoko Soekiman,*’ Noerid Halui Radam,° Ekajati,’ dan Koentjaraningrat.* Sistem religi, sebagai salah satu sistem budaya universal, terdiri dari sistem kepercayaan, kesusastraan Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis.... Karya ini membahas secara mendalam sistem kebudayaan orang Indis dan masyarakat pendukungnya dalam perspektif sistem budaya universal, yaitu meliputi gaya hidup orang Indis dan masyarakat pendukungnya. Di bagian lampiran juga ditampilkan tujuh budaya universal dalam bentuk gambar-gambar baik yang berasal dari foto di sekitar kejadian maupun lukisan-lukisan kala itu. © Noerid Halui Radam, Religi Orang Bukit, (Jakarta: Semester, 2001). Karya ini mencoba untuk mengeksplorasi satu sistem di dalam sistem kebudayaan universal, yaitu sistem religinya. Edi S. Ekajati, Kebudayaan Sunda: Suatu Kebudayaan Sejarah, Vakarta: Pustaka Jaya, 1995). Buku ini mengkaji kebudayaan Sunda, khususnya masyarakat Kanekes dari aspek sistem sosial, sistem ekonomi atau mata pencaharian dan sistem religi yang terkait dengan tata upacara ritual daur hidup. ® Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (jakarta: Djambatan, 1975). Karya ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai tulisan para ahli mengenai berbagai budaya di Indonesia. Di dalamnya dikaji mulai kebudayaan Aceh sampai Timor. Selain diberi kata pengantar oleh Koentjara- ningrat, karya ini juga ditutup dengan tulisan mengenai perubahan kebudayaan secara evolutif melalui pembangunan. 18 Kebudayaan dalam Perspektif ... suci, sistem upacara keagamaan, komuniti keagamaan, ilmu gaib dan sistem nilai, serta pandangan hidup. Sebagai sebuah sistem maka satu dengan yang lain tentunya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana yang digambarkan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut:? Sistem kepercayaan Emosi keagamaan Mengamati terhadap hubungan skema ini maka sistem religi merupakan hubungan timbal balik antara emosi keagamaan, sistem keyakinan, kelompok ke- agamaan, dan sistem ritual. Inti dari hubungan sistemik adalah terletak pada emosi keagamaan, yang lazim dari keseluruhan subsistem religi tersebut. Untuk mengkaji sistem budaya universal tersebut, metode utama yang digunakan ialah metode per- bandingan. Penelitian ini sangat cocok untuk mengkaji perubahan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, ° Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial ..., him. 284, 19 Madzhab-Madzhab Antropologi ada dua metode perbandingan, pertama metode per- bandingan diakronik, yaitu peneliti mengkaji kebuda- yaan pada entitas masyarakat tertentu, pada suatu waktu, dan kemudian dikaji lagi beberapa saat kemu- dian, juga pada suatu entitas masyarakat yang sama sehingga akan diperoleh perubahan kebudayaannya, dan kedua, penelitian komparatif sinkronik, yaitu mengkaji entitas kebudayaan dari suatu komunitas tertentu pada suatu waktu yang hampir bersamaan, hanya saja di dua entitas budaya dari komunitas yang sama, namun yang satu pada entitas budaya yang terbuka dan satunya tertutup. Melalui penelitian ini akan diperoleh gambaran kebudayaan yang tetap dan berubah."” Penelitian kebudayaan komparatif diakronik itu, misalnya, dilakukan oleh R. Firth yang mengkaji tentang komunitas penduduk pulau Tikopea di Polinesia pada tahun 1929. Selang waktu 25 tahun kemudian penelitian serupa dilakukan terhadap komunitas ini dan ternyata telah terjadi perubahan- perubahan signifikan, yaitu dari kebudayaan tradi- sional ke kebudayaan modern. Seperti penelitian Redfield tentang komunitas petani suku bangsa Indian Maya di Chan Kom, Yucatan (Mexico Selatan) pada tahun 1931-1935 dan kemudian ditelitinya kembali tahun 1948. Penelitian ini menghasilkan perubahan- perubahan kebudayaan selama selang waktu 13 tahun. » Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Il, (Jakarta: Ul Press, 1990), him. 4. 20 Kebudayaan dalam Perspektif ... Penelitian komparatif sinkronik, misalnya, dilakukan oleh E.M. Bruner tahun 1958 terhadap kebudayaan suku Batak Toba di daerah pedesaan dan daerah perkotaan Medan. Dari penelitian ini dinyatakan bahwa sikap patuh terhadap adat bagi orang Batak Toba pedesaan sangat kuat, begitu juga dengan yang di kota, juga sangat kuat. Kuatnya sikap patuh pada adat ini disebabkan oleh adanya ikatan solidaritas sesama suku ketika harus berhadapan dengan berbagai macam suku lain di kota Medan. Hasil penelitian ini menjungkirbalikkan asumsi ahli ilmu sosial bahwa adat di desa kuat dan di kota makin lemah. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan oleh Koentjaraningrat terkait dengan gotong royong pada masyarakat Celapar di Jawa Tengah yang membandingkan masyarakat terbuka dan tertutup. Jika di dalam masyarakat yang terisolasi tradisi gotong royong masih sangat kuat, sebaliknya di dalam masyarakat terbuka menjadi kurang. Hal ini disebabkan oleh masuknya sistem perekonomian perkotaan,"' Dua metode ini memang relevan untuk mengkaji berbagai perubahan kebudayaan pada suatu masya- rakat. Perubahan, dengan demikian dapat diukur secara relatif “eksak”, dengan melihat mana unsur yang tetap dan mana unsur yang berubah. ™ Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi ..., him. 4-7. 21 Madzhab-Madzhab Antropologi Kebudayaan dalam Cara Pandang Evolusionistik. Seperti telah dijelaskan di depan bahwa cara pandang evolusionis bertujuan untuk mendiskripsikan unsur-unsur budaya universal, dan pola perubahan yang teramati melalui mekanisme perbandingan kebudayaan yang hidup dan berkembang di suatu entitas budaya. Penelitian kebudayaan dalam perspektif ini dapat dilakukan dengan melihat kaitan sistemik unsur-unsur kebudayaan dan bisa juga melihat satu sistem dalam suatu unsur, Jika penelitian di atas seperti yang dilakukan oleh Ekajati atau seperti Koentjaraningrat'” yang lebih setuju pada bekerjanya suatu sistem dari unsur-unsur budaya—meskipun tidak semua unsur dilihat—maka penelitian yang dilakukan oleh Radam dan Soekiman justru menganalisis satu sub-sistem. Radam melihat, unsur religi yang hidup dan ber- kembang dalam suatu entitas kebudayaan masyarakat dalam kaitannya dengan struktur dan fungsi sosial- ekonomi, sedangkan Soekiman melihat, satu subsistem struktur kemasyarakatan yang mendukung budaya dalam kaitannya dengan pola kehidupan atau gaya kehidupannya.' ” Periksa tulisan Edi S. Ekajati, Kebudayaan Sunda ..., dan tulisan Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan. © Periksa tulisan Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit dan tulisan Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis. 22 Kebudayaan dalam Perspektif ... Tulisan Soekiman pada dasarnya membahas tentang kebudayaan Indonesia yang berkembang di Jawa abad XVIII sampai abad XX. Pada abad ke-18 sampai medio abad ke-20, seperti kita ketahui adalah masa penjajahan Belanda yang tentu saja tidak hanya mengusung persoalan politik (imperialisme), tetapi juga budaya Barat yang secara tidak langsung ke- mudian masuk ke dalam budaya Jawa dan meng- hasilkan budaya yang khas—sebagai hasil akulturasi— yang disebut sebagai budaya Indis. Budaya Indis merupakan perpaduan antara budaya Barat dengan budaya Timur, khususnya Jawa yang menghasilkan kebudayaan dan gaya hidup tersendiri. Gaya hidup masyarakat Indis itu dapat dilihat dari rumah tinggal Indis dan kelengkapan rumah tinggalnya, gaya hidup dalam keluarga sehari- hari dan juga gaya hidup mewah yang merupakan ciri umum dari masyarakat Indis. Melalui analisis sistem budaya universal—sebagaimana telah diuraikan di atas—maka dapat diketahui ciri-ciri mendasarnya. Dari aspek bahasa terdapat pola campuran antara bahasa Belanda dengan bahasa Jawa dan Cina yang membentuk bahasa pidgin yang dipergunakan oleh orang-orang keturunan Belanda ibu Jawa, atau Cina keturunan dan Timur Asing. Selain itu, juga meng- hasilkan bahasa campuran (petjoek), yaitu bahasa yang dipergunakan oleh kaum miskin, dan orang Belanda yang tidak diakui.'* 4% Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis ..., him, 44-45. 23 Madzhab-madzhab Antropologi Dari dimensi kelengkapan hidup, ternyata juga terdapat pola percampuran antara kebudayaan Jawa, Cina, dan Belanda. Kelengkapan hidup itu meliputi rumah tinggal, kelengkapan rumah tangga, seperti meja, kursi, dan peralatan lainnya, pakaian, alat sen- jata, alat produksi, dan transportasi. Kelengkapan hidup adalah semua hasil cipta untuk memelihara dan melindungi kehidupan sehingga kehidupan menjadi nyaman. Rumah tinggal mereka ditandai dengan tanah luas, ukuran rumah besar, halaman luas, dan segala perabotan yang menggambarkan kemewahan. Mata pencaharian hidup ditandai dengan peng- eksploitasian berbagai sumber ekonomi oleh kaum Belanda. Dalam hal ini, kaum Belanda melakukan perluasan berbagai sumber ekonomi, seperti per- kebunan teh, kopi, tebu, lada, dan kayu. Akibat dari eksploitasi ekonomi itu maka kaum Belanda dapat menikmati kekayaan dan kehidupan mewah sebagai- mana tercermin dalam kehidupannya. Di dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi ini, mereka mempekerjakan prajurit sewaan, pejabat ad- ministrasi pemerintahan, dan tenaga kasar. Mereka juga memperoleh keistimewaan lain, seperti pen- didikan dan status sosial. Percampuran budaya juga memasuki “ruang” agama, misalnya, penggunaan gamelan untuk upacara keagamaan mereka. Dengan kata lain, terdapat proses akulturasi antara budaya Barat dan Timur (Jawa) dalam bentuknya yang khas, yang menyangkut tujuh unsur budaya universal.'* ® Djoko Soekiman, Kebudayaan /ndis ..., hlm. 136-156. 24 Kebudayaan dalam Perspektif ... Tulisan lain yang lebih menukik pada subsistem budaya universal adalah tulisan Radam tentang Religi Orang Bukit. Tulisan ini, meskipun menggunakan pendekatan sistemik budaya universal, tidak mengkaji semua isi subsistem religi. Tulisan ini hanya mengkaji struktur keyakinan dan struktur upacara, dan di bagian akhir bercerita tentang fungsi religi di dalam kehidup- an sosial ekonomi. Keyakinan religi orang bukit merupakan sebuah keyakinan yang berasal dari konsepsi mereka tentang Tuhan, manusia, dan alam. Konsepsi tentang kekuatan gaib itu berada di dalam konsepsinya mengenai Tuhan, Hyang Kuasa, Roh alam, dan Roh Datu Nini, serta malaikat dan nabi. Konsepsi mengenai manusia berasal dari asal usul manusia dan konsepsi tentang alam tersirat dari konsepsi tentang asal usul padi.'® Begitu pentingnya padi—sebagai bahan makanan—maka “kesakralan” padi itu begitu diyakini. Padi, katanya, lazim untuk seluruh upacara religi di antara mereka, misalnya, tiada upacara tanpa mempersembahkan lemang ketan.'” Struktur upacara religi mengandung fungsi edu- katif, yaitu sebagai proses transformasi nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi muda. Upacara religi me- rupakan wadah orang-orang untuk belajar menjadi balian (pemimpin upacara, dukun), dan menguasai ® Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit ..., hlm. 161-209. ” Ibid., him. 180. 25 Madzhab-Madzhab Antropologi mantra dan meningkatkan keterampilan membuat peralatan serta sesajen. Upacara ini mengandung makna simbolis, yaitu kebenaran tentang alam se- mesta, tentang diri dan nasib manusia serta tentang sumber daya kehidupan pokok yaitu padi. Manifestasi dari ketiga hal itu adalah upacara religi bercorak adat komunitas, upacara lingkaran hidup, dan upacara bercocok tanam. Upacara-upacara ini terkait dengan hubungan antara manusia, alam, dan Ilahi.'* Di dalam sistem keyakinan mereka, balian juga memiliki gradasi dengan persyaratan dan fungsi yang berbeda-beda, balian muda, balian tangah, balian tuba, dan guru jaya. Mereka memiliki otoritas atau kewenangan untuk melakukan upacara yang terkait dengan kehidupan Orang Bukit. Religi di dalam kehidupan Orang Bukit tidaklah berdiri sendiri, tidak hanya terkait dengan persoalan- persoalan sakral, adikodrati, dan Ilahiah, yaitu sesuatu yang terjadi sesudah kehidupan (kematian) dan sebagainya, namun terkait dengan hal-hal yang ber- sifat duniawi. Misalnya, daur hidup, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dalam kehidupan sosial, religi mem- berikan batas identitas bagi warganya sehingga orang yang berpindah ke agama Islam maka tidak lagi dianggap sebagai Orang Bukit, tetapi dianggap sebagai Orang Dagang. Religi memberikan makna eksistensi sosial bagi manusia.'? Dalam bidang ekonomi, religi ® Ibid., him. 228-229. ® Ibid., him. 300. 26 Kebudayaan dalam Perspektif ... juga mendasari keyakinan mereka bahwa berladang adalah lebih utama. Dasar keyakinan ini dibentuk melalui berbagai upacara terhadap Ilahi, Roh, dan Hyang Kuasa yang berawal dari Suwara, dan Datu Tihawa. Dengan demikian, religi tidak hanya berurusan dengan hal-hal sakral an sich, tetapi juga terkait secara sistemik dengan masalah keduniawian, seperti per- soalan kemasyarakatan dan ekonomi. Catatan Akhir Tibalah saatnya untuk mencoba menganalisis mengenai pandangan kaum evolusioner mengenai kebudayaan. Menurut kaum evolusioner, kebudayaan itu mengalami proses perubahan dari suatu tahap ke tahap lainnya. Dari primitive culture ke modern cul- ture. Perubahan itu dapat dilihat dari mana unsur yang tetap dan mana unsur yang berubah. Perubahan bisa dalam bentuk pola percampuran, seperti yang ditutur- kan oleh Djoko Soekiman jika terjadi proses pertemuan dua kebudayaan, misalnya, budaya Barat (Belanda) dengan budaya Timur (Jawa) sebagaimana terurai di atas. Bisa juga perubahan dalam suatu budaya karena intervensi waktu dan interaksi dengan budaya lain, seperti dituturkan oleh Koentjaraningrat dalam penelitiannya di Celapar, Jawa Tengah. Tulisan-tulisan ini secara konsisten menggunakan analisis terhadap tujuh unsur budaya universal dengan relatif ketat. Dengan demikian, ketatnya penerapan tujuh unsur 27 Madzhab-Madzhab Antropologi budaya universal tersebut kelihatan bahwa tulisan itu sepertinya menerapkan secara utuh terhadap gagasan C. Kluckholn di atas, yakni konsep verifikasinya. Selanjutnya, agak berbeda dengan Soekiman, ialah Radam ketika meneliti Religi Orang Bukit. Ia juga menggunakan pendekatan sistem. Artinya, ia melihat bahwa ada keterkaitan sistemik antarunsur kebudayaan. Hanya saja, ia tidak mengkaji secara keseluruhan terhadap tujuh unsur budaya universal, kecuali melihat unsur dominan di dalam budaya Orang Bukit, yaitu religi dalam kaitannya dengan sistem sosial dan sistem ekonomi. Hal ini dimungkin- kan karena ia melihat sistem dalam rangkaian fung- sional, yaitu keterkaitan antara sistem religi (sistem keyakinan dan sistem upacara) dengan sistem sosial (identitas sosial) dan sistem ekonomi (bercocok tanam). Keterkaitan ini terlihat dari bagaimana religi membentuk identitas sosial dan keutamaan bercocok tanam. Dengan demikian, Soekiman berusaha mem- verifikasi tujuh unsur budaya universal, dan kemudian menghasilkan deskripsi tentang percampuran budaya Barat dan Timur yang disebut sebagai budaya Indis, sedangkan Radam lebih melihat fungsi suatu subsistem budaya universal dalam kaitannya dengan subsistem sosial dan ekonomi yang menghasilkan deskripsi mengenai Religi Orang Bukit. 28 Kebudayaan dalam Perspektif Fungsionalisme Struktural Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Kebudayaan hadir beriring dengan kehadiran kehidupan manusia. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, sudah selayaknya jika kebudayaan merupakan sebuah sistem yang terkait dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam pandangan antropologi, jika aliran evolusi ber- cerita tentang perubahan kebudayaan dari yang lumrah ke yang canggih dan dari yang tradisional ke modern maka dalam pandangan aliran fungsionalisme struktural dinyatakan kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya. Misalnya, bagaimana religi mempengaruhi terhadap kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya sistem yang menyeluruh. Manusia tidak hidup di dalam ruang hampa, tetapi manusia hidup di dalam keseluruhan 29 Madzhab-Madzhab Antropologi sistemik yang membentuk jaringan tak terpisahkan. Ketika manusia merasa dirinya tidak mampu lagi untuk menyelesaikan urusan duniawinya karena keter- batasan rasionya maka mereka menemukan cara lain di dalam sistem religinya yang disebut sebagai magi. Ketika mereka tidak merasa hidup dengan persoalan material atau fisikal maka mereka membuat aturan- aturan yang bertemali dengan religinya. Begitu juga, ketika mereka di dalam kehidupan ekonominya terkait dengan alam yang tidak mampu ditundukkan dengan akalnya, mereka ciptakan upacara-upacara sebagai suatu cara untuk menguasai alam. Begitulah manusia selalu berada di dalam kehidupan yang bercorak fung- sionalitas antarsubsistemnya. Agama, ekonomi, seni, teknologi, dan sebagainya memiliki kaitan fungsional dengan kehidupan umat manusia. Pemuka Perspektif Fungsionalisme Aliran fungsionalisme struktural berkembang di Inggris, dan kemudian di Amerika pada abad ke-18, seirama dengan perkembangan aliran-aliran baru di dalam jajaran antropologi budaya. Sumbangannya yang terpenting di dalam studi kebudayaan adalah pada temuan konseptualnya mengenai peranan ke- budayaan di dalam kehidupan manusia, baik yang primitif maupun yang modern. Fungsionalisme struktural menjadi satu madzhab di dalam antropologi budaya yang semakin kuat melalui sentuhan Branislaw Malinowski (1884- 30 Kebudayaan dalam Perspektif ... 1942), di dalam penelitiannya di masyarakat Trobrian. Dalam pandangan ahli antropologi kelahiran Polandia ini, di mana-mana manusia mempunyai kebutuhan bersama yang bersifat biologis dan psikologis. Fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan ter- sebut. Malinowski membagi kebutuhan manusia dalam tiga hal, yaitu kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi; kebudayaan juga harus memenuhi ke- butuhan instrumental, seperti kebutuhan hukum dan pendidikan; dan kebudayaan juga harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian. Sebenarnya, pemikiran Malinowski banyak dipengaruhi oleh William James. Salah satu bukti pengaruhan itu adalah ketika ia beranggapan bahwa “teori budaya harus diawali dari kebutuhan organis manusia”. Meskipun demikian, dalam pandangan Nadel,' ada dua kelemahan Malinoswki dalam me- rumuskan pandangan teoritiknya, yaitu ketidak- konsistenannya dalam membuat asumsi teoritik yang dalam hal ini adalah hasil etnografinya tentang masyarakat Trobrian yang sangat spesifik—institusi Trobrian dan cara mengintegrasikannya—dan kemudian dipakai untuk menjelaskan tentang budaya manusia pada umumnya atau melompat dari pen- duduk Trobrian ke humanitas.’ ' Brian Morris, Antropologi Agama, (jakarta: AK Group, 2003), him. 178. 2 Ibid., him, 178-179. 34 Madzhab-Madzhab Antropologi Masyarakat Trobrian, sebagaimana etnografi Malinowski adalah sebuah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan magis dan sihir. Orang yang mati dapat menempati salah satu dari dua posisi, menjadi hantu atau roh yang gentayangan atau men- jadi jiwa (soul atau Baloma). Soul ini menempati pulau Tuma dan hidup sebagaimana kehidupan di dunia ini. Jika soul menjadi tua maka ia dapat berganti kulit untuk menjadi muda kembali dan melalui prosesi tertentu sou/ itu dapat masuk ke vagina perempuan sehingga perempuan tersebut dapat hamil. Untuk itu, meskipun perempuan telah bersuami dan melakukan hubungan seksual jika sow/ itu tidak masuk ke rahim perempuan maka perempuan tidak akan hamil. Dan keyakinan ini bermakna bahwa adat matrilineal mem- peroleh penjelasan. Melalui kajiannya ini, didapatkan sebuah karya penting, Magic, Science, and Religion, yang mengelaborasi bahwa tidak ada suatu komunitas yang tidak memiliki agama atau magi, dan masyarakat primitif pun juga memiliki kemampuan ilmiah sesuai dengan takarannya. Akan tetapi, ketika rasio mereka tidak dapat lagi mengalahkan kekuatan di luar dirinya maka mereka menggunakan magi sebagai instrumen untuk me- mecahkannya. Oleh karena itu, magi berfungsi untuk menjembatani jurang yang berbahaya dalam setiap aktivitas yang penting atau situasi kritis.* Paparan ini juga menggambarkan betapa besar pengaruh J.J. Frazer * Ibid., him. 186-187. 32 Kebudayaan dalam Perspektif ... ketika Malinoswki menjelaskan tentang fungsi magi di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam bukunya, Golden Bough, Frazer menyatakan bahwa magi akan digunakan manusia ketika akal sudah tidak lagi dapat dipakai untuk memecahkan masalah yang dihadapi- nya. Dalam hal ini, Frazer lebih dikenal dengan teori “batas akal’. Antropolog lain adalah A.R. Radcliffe-Brown (1881-1955) yang disebut sebagai pendiri aliran struktural fungsional. Antropolog kelahiran Inggris ini beranggapan bahwa setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat memiliki fungsi tertentu, yaitu untuk melestarikan struktur masyarakat yang ber- sangkutan sehingga masyarakat bisa lestari. Kajian semacam ini akan menghasilkan hukum-hukum umum tentang perilaku manusia. Pertanyaan penting di dalam antropologi struktural fungsional ini adalah mengapa timbul kebiasaan khusus dan dengan cara bagaimana kebudayaan berubah? Dalam pandangan Radcliffe-Brown, kebudayaan memiliki karakteristik, sebagai milik bersama, yaitu kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai-nilai standar perilaku. Untuk itu, kebudayaan adalah sebutan bersama (common denominator) yang menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami bersama. Manusia me- miliki kemampuan untuk menafsirkan perilaku manusia lainnya dan disebabkan oleh adanya common denominator ini. Selanjutnya, mereka berinteraksi bersama dalam ruang dan waktu yang sama maka 33 Madzhab-Madzhab Antropologi mereka akan memiliki kesamaan pengetahuan yang dapat dipahami bersama pula. Misalnya, ketika orang mengapresiasi sebuah pidato dengan tepuk tangan maka yang lain memahaminya sebagai ungkapan penghormatan. Jika orang bertepuk tangan dengan standing ovation, berarti apa yang disampaikannya adalah suatu hal yang luar biasa, dan semua orang memahaminya. Ketika mencari hubungan dalam berbagai fenomena kebudayaan, Radcliffe-Brown sangat dipengaruhi oleh Durkheim. Pengaruh tersebut dapat dilihat ketika dia melakukan penelitian di pulau Andaman, suatu masyarakat yang ketika itu masih berpola hidup berburu dan mengumpulkan makanan, serta hidup dalam komunitas-komunitas lokal yang padat. Di sini, terlihat bahwa masyarakat ini telah memiliki kekayaan mitologis dan kosmologis. Jiwa orang yang meninggal selalu dikaitkan dengan langit, bumi, hutan, laut, matahari, bulan, pelangi, guntur, dan sebagainya yang dianggap sebagai personifikasi dari fenomena alam. Radcliffe-Browm tidak tertarik dengan dunia asal usul dari sebuah institusi, tetapi ia lebih tertarik pada makna dan fungsinya. Oleh karena itu, terlihat/tampak upacara masya- rakat Andaman yang kelihatan lucu dan aneh itu ternyata justru menjadi cara baginya untuk meng- ekspresikan dan mensistematisisasi gagasan-gagasan fundamentalnya tentang kehidupan dan alam,‘ * Brian Morris, Antropolog ..., him. 151. 34 Kebudayaan dalam Perspektif ... Dalam pandangan Radcliffe-Brown, pemikiran tentang fungsi didasarkan pada pemikiran bahwa budaya sebagai suatu mekanisme adaptif yang membuat manusia mampu menjaga kehidupan sosial sebagai suatu komunitas yang teratur. Pendekatan ini didasarkan atas analogi organik-eksplisit. Artinya, setiap kebiasaan dan keyakinan suatu masyarakat primitif memainkan beberapa bagian peran yang menentukan dalam kehidupan komunitas. Suku Andaman banyak melakukan ritual dengan tangisan. Tangisan itu tidak bermakna kesedihan, tetapi meru- pakan ekspresi dari solidaritas sosial. Dan tangisan adalah memiliki fungsi sebagai ungkapan rasa solidaritas sosial. Dalam penelitiannya tentang agama dan masya- rakat, ia mengikuti cara berpikir Durkheim yang tidak ingin mengungkap bagaimana agama itu dari sisi what is religion dan asal usul agama, tetapi lebih tertarik pada fungsi sosial agama, yakni konstribusi yang diberi- kan agama dalam membentuk dan mempertahankan tatanan sosial atau what does religion do for other. Dalam kajiannya tentang totemisme—penyembahan ter- hadap binatang tertentu—dia menyatakan bahwa “setiap objek atau peristiwa yang memiliki pengaruh penting terhadap kesejahteraan masyarakat (material atau spiritual) atau segala sesuatu yang merepresentasi- kan objek atau peristiwa itu cenderung menjadi objek perilaku ritual”.> 5 Ibid., him. 157. 35 Madzhab-Madzhab Antropologi Tokoh lain yang bisa dinisbatkan dengan madzhab ini ialah Leslie White (1900-1975), seorang tokoh antropologi Amerika Utara. Dalam kajiannya, Leslie White melihat kebudayaan sebagai kumpulan dari tiga komponen, yaitu komponen tekno-ekonomis, sosial, dan ideologi. Komponen tekno-ekonomis adalah cara yang digunakan oleh para anggota suatu kebudayaan untuk menghadapi lingkungannya. Dari sini, kemudian berpengaruh terhadap komponen sosial dan ideologi. Dalam hal ini, ia menulis sebuah karya yang terkenal, The Evolution of Culture. Bagi Leslie White, perkembangan kebudayaan merupakan sebagai reaksi atas pekembangan dan kemajuan teknologi.® Kebudayaan pada hakikatnya, terkait dengan lambang atau simbol. Seni, agama, uang, dan selalu melibatkan lambang-lambang. Gambar salib, ka’bah, masjid, dan gereja adalah lambang untuk meng- gambarkan tentang dunia religiusitas manusia. Lambang salib menggambarkan penderitaan manusia yang disalib dan lambang ka’bah menggambarkan rumah Tuhan (ait Allah). Bahkan, struktur politik, agama, organisasi ekonomi, dan institusi-institusi sosial lainnya juga tidak mungkin tanpa lambang- lambang. © William A. Haviland, Antropologi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hlm. 340. 36 Kebudayaan dalam Perspektif ... Kebudayaan dalam Perspektif Struktural Fungsional Setiap aliran tampaknya memiliki definisi ter- sendiri dalam memandang kebudayaan. Dalam pandangan antropologi ini, kebudayaan adalah keterkaitan antara subsistem kebudayaan yang menghasilkan sesuatu yang lain. Misalnya, keterkaitan struktur sosial dengan kebudayaan pada suatu masya- rakat tertentu. Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia dan yang tercermin di dalam perilakunya. Semuanya dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, dan apabila seseorang berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut maka perilaku mereka dianggap dapat diterima oleh masyarakat itu. Ke- budayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudaya- an berfungsi sebagai sesuatu keseluruhan yang terpadu.” Secara definitif kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang apabila dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.* 7 Ibid., hlm. 331. ® Ibid., him, 333. 37 Madzhab-Madzhab Antropologi Implikasi pengertian kebudayaan tersebut berada pada pengertian masyarakat, yaitu sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu dan yang secara bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama. Untuk menjawab suatu pluralitas di dalam masyarakat yang kompleks maka dikenal konsep variasi kebudaya- an khusus, yaitu seperangkat norma dan pola perilaku tertentu yang diikuti oleh suatu kelompok di dalam masyarakat yang lebih luas. Melalui pengertian ini, dapat dikaji varian-varian budaya di dalam masyarakat plural, misalnya kebudayaan Madura di kompleks kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawa pada kompleks masyarakat Suriname dan seterusnya. Selain itu, ada masyarakat majemuk, yaitu sebuah masyarakat yang memiliki keanekaragaman kebudayaan khusus. Misalnya, masyarakat Cina di Jawa, dapat diketahui bahwa mereka sesungguhnya adalah orang Cina, namun telah berada di dalam tradisi kebudayan Jawa. Jadi, ia se- sungguhnya tetap memiliki kebudayaan Cina yang menjadi pegangan perilakunya, tetapi juga bisa meng- gunakan budaya Jawa dalam memandang sesuatu fenomena budaya atau perilaku sosial lainnya. Dalam contoh yang dikemukakan oleh James P. Spraedly bisa digambarkan tentang adanya dua kelompok dalam satu budaya, namun keduanya menggunakan cara ber- beda dalam penafsiran terhadap perilaku sosial lainnya. Dalam sebuah insiden tentang seorang perem- puan yang terkena penyakit jantung tiba-tiba, seorang 38 Kebudayaan dalam Perspektif ... polisi bermaksud menolong melalui pernapasan buatan, namun hal itu ditafsirkan berbeda oleh ke- lompok lainnya sebagai tindakan yang tidak terpuji. Oleh karena itu, di dalam hal ini terjadi perbedaan cara pandang dari dua kelompok yang berbeda mengenai kelakuan kelompok lainnya. Dari sisi metodologi, ada titik penekanan dari antropologi struktural fungsional, yaitu dalam kajian tentang budaya yang bercorak sistemik. Artinya, keterkaitan antara subsistem satu dengan lainnya sangat kuat. Atau dengan kata lain peneliti harus mengeksplorasi ciri sistemik kebudayaan. Jadi, harus diketahui bagaimana pertalian antara instuitusi- institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat.’ Pada dasarnya, metode penelitian sosial pada umumnya dapat digunakan untuk mengkaji antro- pologi fungsional ini. Sebagaimana penuturan Kingsley Davis bahwa aliran fungsionalisme sinonim dengan analisis sosiologis dan antropologis. Artinya, aliran ini tidak perlu memiliki suatu metode khusus sebagai bagian metode khasnya. Oleh karena itu, untuk mengkaji hubungan fungsional subsistem kebudayaan dengan lainnya dapat menggunakan metode-metode penelitian sosial pada umumnya, seperti analisis hubungan budaya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Malinoswsky ketika melakukan analisis ° David Kaplan, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), him. 76. 39 Madzhab-Madzhab Antropologi terhadap hubungan antara magi dengan kecemasan, atau kajian Melford Spiro tentang hubungan antara kepercayaan bangsa Ifaluk tentang roh jahat dengan sikap dan tindakan agresif yang dilakukannya. Radcliffe-Brown yang mengkaji hubungan antara eksistensi upacara keagamaan dengan solidaritas sosial.'!? Namun demikian, tidak berarti bahwa pada waktu itu sudah dilakukan analisis kuantitatif seperti sekarang. Tetap saja, analisis yang digunakan adalah analisis hubungan rasional dan logis, bukan hubungan (korelasi) antara dua variabel budaya atau lainnya. Dalam hal ini, sebagai studi kebudayaan tetap saja menggunakan metode analisis pemahaman, sebagai- mana ancangan di dalam etnografi. Levi Bruhl juga sangat dipengaruhi oleh Durkheim. Ketika meneliti tentang kebudayaan primitif, ia sampai pada kesimpulan bahwa orang primitif memiliki pemikiran yang hampir sama secara keseluruhan, yaitu kebudayaan yang lebih bercorak mistikal, Meskipun ada pikiran orang primitif seperti orang Eskimo atau orang Bushman, namun di sisi lain juga terdapat pikiran orang primitif yang bercorak seperti itu. Sebagaimana kecenderungan kajian antro- pologi di Inggris, Levi Bruhl melakukan kajian terhadap budaya primitif dalam konteks “representasi kolektif” berdasar atas asumsi dan kategori-kategori yang telah distandardisasi dan sedikit mengabaikan kecenderungan individu. Inilah kira-kira bedanya ® Ibid., him. 77. 40 Kebudayaan dalam Perspektif ... dengan Taylor dan Frazer yang lebih cenderung melihat kecenderungan individu daripada kesadaran kolektif."! Berbeda dengan analisis struktural fungsional dalam sosiologi yang cenderung makro, atau sekurang- kurangnya menghasilkan teori kelas menengah, analisis struktural fungsional dalam antropologi lebih cen- derung mikro. Jadi, tetap saja unit analisisnya adalah kasus di dalam suatu lokus terbatas (desa, komunitas, etnis, dan sebagainya). Satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah penerapan model Merton tentang fungsi manifes dan fungsi laten, Di dalam analisis antropologi, keduanya dapat dijadikan sebagai model analisis untuk me- mahami fenomena budaya dalam kaitan antarsubsistemnya. Dalam menjelaskan ini, ada uraian menarik dari Merton tentang fungsi ritual hujan pada suku Hopi. Ia menyatakan, apabila ditinjau dari fungsi manifes bahwa upacara itu dimaknai sebagai upacara untuk menurunkan hujan, namun ketika hujan tidak turun maka harus juga dianalisis dengan bagan analisis fungsi laten sebagai berikut, “bahwa upacara itu hakikatnya adalah untuk memenuhi dan memper- kokoh identitas kelompok melalui suatu peristiwa periodik di kala banyak warga etnis itu yang bekerja di tempat lain secara tersebar”. "M, Douglas, “Alam Pemikiran Primitif”, dalam Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Vakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 84-85. “1 Madzhab-Madzhab Antropologi Sebagai penelitian antropologi maka perspektif struktural fungsionalisme tetap saja berada di dalam kawasan kajian budaya dalam kaitannya dengan struk- tur dan sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, kajian kebudayaan dalam hal ini terkait pada kajian kebudayaan dengan keteraturan sosial. Sosial order itu tercermin di dalam struktur dan sistem sosial yang stabil dan terus berlangsung karena keduanya di- butuhkan manusia sebagai kebutuhan asasinya. Di sana, sebagai objek kajian adalah keteraturan budaya. Dan, sebagaimana kajian di dalam perspektif fungsionalisme, konflik juga menjadi bagian penting yang dapat dikaji secara antropologis. Dalam hal ini, kajian-kajian perubahan sosial dan perubahan ke- budayaan sebagai akibat adanya dinamika di dalam suatu masyarakat menjadi penting untuk dicermati. Contoh studi konflik dan integrasi dalam perspektif ini adalah kajian Ahmad Fediyani Saifuddin dalam penelitiannya mengenai paham keagamaan NU dan Muhammadiyah di Alabio, Kalimantan Selatan. Melalui perspektif proposisi teori konflik-fungsional, kajian ini menghasilkan suatu pemahaman bahwa konflik yang didasari oleh perbedaan paham agama tersebut ternyata juga menghasilkan integrasi di antara keduanya yang disebabkan oleh paham pentingnya integrasi sosial.'* 2 Ahmad Fediyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Studi Perbedaan Faham Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1993). 42 Kebudayaan dalam Perspektif ... Studi lain yang dapat dikategorikan ke dalam kajian fungsionalisme adalah Erni Budiwanti dalam penelitiannya tentang Islam Sasak. Dalam tulisannya yang bertopik “Islam Wetu Telu versus Wetu Limo” ini menggambarkan bahwa Islam wetu telu dalam jangka panjang akan kehilangan nuansanya karena desakan dakwah yang dilakukan oleh Islam wetu limo. Meskipun begitu, sesungguhnya Islam Wetu Telu adalah Islam juga, namun dalam bentuknya yang khas. Islam, sebagaimana Wetu Telu adalah Islam yang berada dalam coraknya yang bukan antonim, melain- kan kompatibel. Erni Budiwanti menyebut kajiannya menggunakan pendekatan baru yang disebut fung- sionalisme alternatif.'* Dalam kajian yang dilakukan oleh Nur Syam tentang “Konflik dan Integrasi: Studi Perbedaan Paham Keagamaan” yang menggunakan perspektif teori konflik fungsional, dapat digambarkan faktor- faktor yang menentukan terhadap konflik dan integrasi antara Orang NU dan Muhammadiyah. Konflik adalah penyulut dinamika. Tanpa konflik tidak akan ada perubahan sosial. Demikian kata bijak teoretisi fungsional konflik. Oleh karena itu, pene- rapan teori fungsional konflik untuk menjelaskan dinamika hubungan NU dan Muhammadiyah di tengah perubahan sosial menjadi sangat relevan. ® Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu versus Wetu Limo, (Yogyakarta: LKIS, 2001). 43 Madzhab-madzhab Antropologi Pertama, penguatan identitas kelompok. Konflik yang terjadi antara orang NU dan Muhammadiyah hakikatnya akan mempertegas batasan identitas kelompok. Orang akan menyatakan dirinya NU atau Muhammadiyah manakala konflik itu menguat. Ungkapan minna untuk mengidentifikasi bagian dari kelompoknya dan minhum untuk mengidentifikasi orang di luar dirinya. Dalam konsepsi sosiologis disebut sebagai in group dan out group. Perasaan se- kelompok dapat terjadi ketika seorang individu berada di tengah pergulatan identitas yang memang harus disandangnya. Seorang individu akan merasa menjadi bagian kelompok dan akan mengidentifikasi dirinya bagian dari kelompok ketika terdapat berbagai organisasi yang masing-masing mengklaim “kebenar- an” hanya ada padanya. Dalam kasus hubungan NU dan Muhammadiyah, klaim “kebenaran” dalam peng- amalan agama akan menjadi pemicu yang sangat ekstrim ke arah pengakuan diri sebagai bagian kelompok tertentu. Oleh karena itu, identitas sosial akan dengan mudah dapat dikenali dari tempat melakukan shalat, kepada siapa hubungan-hubungan sosial dibangun dan interaksi seperti apa yang ditampilkan di dalam kesehariannya. Bahkan, dalam ungkapan-ungkapan yang sering digunakan juga akan dapat dijadikan sebagai cara memahami siapa menjadi bagian dari organisasi apa. Seorang individu yang berjamaah di masjid Kauman pastilah orang NU dan sebaliknya orang yang shalat jamaah di masjid at-Taqwa pastilah 44 Kebudayaan dalam Perspektif ... dia anggota Muhammadiyah. Orang yang datang di upacara Barikan di Makam Bu Nyai Emban pastilah dia orang NU atau sekurang-kurangnya simpatisan NU. Siapa yang hadir di dalam upacara slametan kelahiran sampai kematian adalah orang NU dan siapa yang menolaknya adalah orang Muhammadiyah. Jadi, identitas yang muncul adalah Muhammadiyah Tus dan NU Tus." Kedua, penguatan solidaritas kelompok. Kohesi sosial terjadi ketika ada faktor pemicu yang bercorak eksternal. Ketika faktor eksternal tersebut datang dengan kuat maka juga akan memunculkan kohesi sosial yang kuat di antara orang-orang yang diintervensi tersebut. Ada beberapa faktor yang menjadi variabel pemicu yang sangat kuat terjadinya kohesi sosial, yaitu persoalan ideologis dan agama. Ketika agama sebagai sesuatu yang ultimate concern dipersalahkan maka akan muncul kekuatan tandingan untuk melawannya. Dalam contoh hubungan NU dan Muhammadiyah, “serangan” terhadap salah satunya akan menjadi variabel penting terjadinya kohesi sosial. Dalam kasus NU yang dinyatakan sebagai kelompok ahli bdah oleh kelompok Muhammadiyah maka solidaritas dan kohesivitas NU menjadi semakin menguat. Hal itu ™ Untuk uraian tentang Muhammadiyah Tus dan NU Tus sebagai sekat identitas sosial keagamaan silahkan baca Nur Syam, [slam Pesisir. (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 240-242. Yang termasuk Tus adalah pemimpin organisasi, orang memberikan bantuan, atau sumbangan kepada organisasi dan elit-elit organisasi lainnya. Madzhab-Madzhab Antropologi dapat dilihat dari meningkatnya “rasa ke-NU-an” yang ditunjukkan dengan tidak mau menyekolahkan anak- nya ke MI yang gurunya orang Muhammadiyah, dan meningkatnya kecenderungan untuk menghidupkan jam’iyah NU melalui berbagai kegiatan, dan semakin semaraknya kegiatan-kegiatan ritual yang mereka lakukan. Pengaruh eksternal tersebut juga memicu perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Jika pada masa lalu penanganan zakat tergantung kepada kiai maka dewasa ini sudah berbasis kepentingan warga NU. Ketiga, kepentingan elit organisasi. Pada dasarnya, setiap konflik akan menjadi mengeras di level elitnya. Semakin elit status seseorang di dalam organisasi sosial keagamaan maka semakin keras tingkatan konflik dengan organisasi sosial keagamaan lainnya. Konflik dalam strata sosial “bawah” tidak sekeras di strata sosial “atas”. Seperti pernyataan Coser,'* setiap tipe dari suatu struktur masyarakat terdapat konflik, yaitu ketika individu di dalam bagian kelompoknya membuat klaim-klaim rivalitas mengenai sumber- sumber yang langka, prestise, dan posisi kekuasaan. Yang sesungguhnya “merasa” memiliki sumber daya pendukung, prestise, dan kekuasaan adalah kaum elit organisasi. Oleh karena itu, pihak yang paling merasakan dan memiliki kesadaran adanya “serangan” itu adalah kelompok elitnya. Jadi, dapat dimengerti © Lewis Coser, The Function of Social Conflict, (Glence: II Free Press, 1956), hlm. 227. 46 Kebudayaan dalam Perspektif ... ketika terjadi masalah dengan organisasi lain maka yang paling sibuk adalah kelompok elit organisasi tersebut. Dalam hubungan konfliktual antara NU dan Muhammadiyah pada dekade awal yang terjadi adalah perebutan sumber daya pendukung organisasi. Sementara NU telah menjadi organisasi established dalam waktu yang lama dan ketika muncul Muham- madiyah yang akan merebut sumber daya manusia pendukung organisasinya maka pada saat yang ber- samaan akan memunculkan konflik yang keras. 47

Anda mungkin juga menyukai