Anda di halaman 1dari 2

No Topik Analisis Masalah

1. Analisis Upaya Pencegahan Menurut (Pusat Data dan Informasi Kemenkes


Stunting pada Anak Balita RI, 2018; Young et al., 2018) Stunting atau biasa
disebut dengan anak kerdil adalah kondisi dimana
anak mengalami kekurangan gizi ditandai dengan hasil
pengukuran tinggi badan berdasarkan umur yang
kurang dari 2SD sesuai standar pertumbuhan yang
dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut (Black et al.,2013; Budiastutik & Rahfiludin,
2019) Kejadian stunting masuk dalam kategori
masalah umum pada anak secara global. Sekitar 151
juta (22%) balita pada tahun 2017 mengalami stunting
(WHO & UNICEF, 2018). Indonesia merupakan
salah satu negara berkembang di Asia dengan lebih
dari separuh anak mengalami stunting (WHO &
UNICEF, 2018; Young et al., 2018).
Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa
temuan kasus stunting dimulai pada tahun 2007
menunjukkan angka relatif tetap sekitar 36,8% dan
pada tahun 2013 mencapai 37,2%. Selanjutnya, mulai
menurun 6,4% menjadi 30,8% pada tahun 2018.
Meskipun angka kejadian stunting di tahun 2018
menurun, namun masih jauh dari target World Health
Organisation (WHO), yaitu 20% (WHO & UNICEF,
2018).
Dilihat dari hasil diatas menunjukan bahwa
stunting harus menjadi perhatian dibidang
kesehatan,yang mana stunting ini juga ditandai dengan
adanya ganguan pertumbuhan fisik dan pertumbuhan
otak pada anak. Sementara anak adalah generasi
penerus bangsa yang harus diperhatikan. Maka dari itu
perlu pengetahuan dalam pencegahan untuk
mengurangi angka kejadian stunting.

2. Pengaruh Pemberian ASI Stunting atau biasa disebut dengan balita


Eksklusif dan MP-ASI terhadap pendek yang terjadi di Indonesia merupakan masalah
Balita Stunting pada status gizi yang masih menjadi pusat perhatian,
hal ini karena masalah gizi sangat berdampak pada
kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan (Riskesdas tahun 2018) bahwa
prevelensi stunting yang terjadi di Indonesia sudah
mengalami penurunan sekitar 7,2 % dari 37,2 %
prevelensi yang terjadi secara nasional tahun 2017.
Tetapi penurunan angka stunting tersebut masih
terhitung tinggi karena angka tersebut masih jauh
dibawah target WHO yaitu sebanyak 20% .
Penyebab stunting adalah masalah asupan gizi
yang dikonsumsi selama kandungan maupun masa
balita. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum masa kehamilan, serta
masa nifas, terbatasnya layanan kesehatan seperti
pelayanan antenatal. Dari faktor tersebut
membutuhkan intervensi yang paling menentukan
yaitu pada 1000 HPK ( 1000 hari pertama kehidupan ).

3. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Menurut (Wahyuningrum, 2021) usia pra sekolah (3-
terhadap Perkembangan 6) disebut masa golden age yan merupakan masa
Psikososial Anak PraSekolah dalam pematangan fungsi psikis dan fisik yang
merespon stimulus lingkungan dan
menginternalisasikan ke dalam pribadinya. Masa ini
merupakan masa awal perkembangan kemampuan
anak sehingga sangat diperlukan kondisi dan stimulus
yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan
dan perkembanganya dapat tercapai secara optimal.
Angka kejadian keterlambatan perkembangan
personal sosial anak di Hongkong mencapai 23%
(Usman, dkk., 2014). Kanada dan Selandia Baru,
dimana terdapat 5-7% anak mengalami gangguan
perkembangan sosial ((Srinahyanti, 2018). Indonesia
dengan persentase terendah kedua setelah Nepal yaitu
69,9%. Penelitian Dimas tahun 2008 menunjukan
sebesar 30% mengalami keterlambatan dalam
perkembangan personal sosial (Laksono 2010, dalam
Rahmawati, 2016) .
Perkembangan personal sosial anak yang tidak
terpenuhi akan menyebabkan anak menjadi pasif, takut
dan inisiatifnya menjadi kurang, Anak dengan masalah
perkembangan personal sosial akan memiliki prestasi
belajar kurang, suka marah, suka berkelahi, suka
menantang, dan mudah menangis. (Pratiwi, 2018).

Anda mungkin juga menyukai