Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

HERPES ZOSTER

Oleh :
Disci Yelfi Putri 1410070100056
Jhean Vantika Kenti 1410070100058
Dinda Putri Faurin 1410070100075
Jehan Riyaldi 1310070100194

Preseptor :
dr. H. Yosse Rizal, Sp KK

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
RS DR. ACHMAD MOCHTAR BUKIT TINGGI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan case report session yang
berjudul “Herpes Zoster”. Penulisan case report session ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat lulus di bagian Kulit dan Kelamin. Penulis
menyadari sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan case report session
ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang terkait.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Namun penulis berharap semoga nantinya tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Bukittinggi, 1 Juli 2019

Penulis

I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Definisi Herpes Zoster....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................3
2.3 Etiopatogenesis.................................................................................................. 4
2.4 Gejala Klinis.......................................................................................................8
2.6 Diagnosis..........................................................................................................11
2.7 Diagnosis Banding........................................................................................... 12
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................... 13
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................18
BAB IV PENUTUP............................................................................................... 22
2.1 Kesimpulan...................................................................................................... 22
2.2 Saran.................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 24

II
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patogenesis herpes zoster.............................................................5
Gambar 2.2 herpes

zoster..................5

Gambar 2.3

Gambaran

perkembangan

rash pada herpes

zoster .................6

Gambar 2.4

Sekelompok

vesikel-vesikel

dalam bentuk

bervariasi............7

Gambar 2.5 Vesikel

berumbilikasi dan

membentuk krusta

........................... 7

Gambar 2.6
Sekelompok
vesikel – vesikel
berkonfluens pada
kasus inflamasi
berat...................7
Gambar 2.7 Vesikel
pecah menjadi
krusta dan
mungkin dapat
menjadi “scar”

III
jika inflamasi
berat...................8
Gambar 2.8

Gambaran klinis

herpes zoster......9

Gambar 2.9

Gambaran

dermatom

sensorik tubuh

manusia............10

Gambar 2.10 Jaras

sensorik nyeri...15

Gambar 2.11 vaksin.......................................................................................16

IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi
varicella zoster virus (VZV) yang memiliki double-stranded DNA dan bereplikasi
di nukleus sel, sehingga memiliki kemampuan untuk menjadi laten pada ganglion
sel saraf sensori manusia selama seumur hidup.
Herpes
zoster
menyebabkan
morbiditas yang
cukup tinggi
karena menyerang
saraf sensori
sehingga
mengakibatkan
rasa yang sangat
nyeri, selain itu
penyakit ini juga
menyebabkan
ketidaknyamanan
karena vesikel
yang muncul
mengikuti
dermatom saraf
pada bagian-
bagian yang dapat
menganggu
aktivitas sehari-
hari, misalkan
pada pinggang,

1
punggung, dan
lengan. Rekarensi
penyakit herpes
zoster
menyebabkan
tingkat kesakitan
semakin tinggi.
Virus ini dapat bereplikasi di kemudian hari dengan cara menjalar
mengikuti saraf sensori menuju kulit sehingga muncul penampakan klinis berupa
vesikel terutama saat kekebalan tubuh menurun. Kasus herpes zoster semakin
meningkat seiring semakin meningkatnya kasus imunodefisiensi seperti HIV dan
keganasan. Herpes zoster bisa dijadikan pertanda awal HIV/AIDS, dengan
meningkatnya risiko herpes zoster 20 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
tanpa imunodefisiensi.
Kejadian herpes zoster .meningkat secara dramatis seiring dengan
bertambahnya usia. Kira-kira 30% populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami
herpes zoster. Selama masa hidupnya bahkan pada usia 85 tahun 50% (1 dari 2
orang) akan mengalami herpes zoster. Insidens herpes zoster pada anak-anak 0.74
per 1000 orang per tahun. Insidens ini meningkat menjadi. 2,5 per 1000 orang di
usia 20-50 tahun. (adult age), 7,0 per 1000 orang di usia lebih dari 60 tahun.
(older adult age) dan mencapai 10 per 1000 orang per tahun di usia 80 tahun.
Komplikasi lebih sering terjadi terutama neuralgia paska herpes zoster (NPH)
yang meningkat. sampai 10-40% kasus. Penderita juga.dapat mengalami
komplikasi motor neuropati sebanyak 1-5%.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan case ini bertujuan untuk lebih memahami tentang penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan pada Herpes Zoster.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Herpes Zoster


Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi
erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron
ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf
autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.
2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi
musiman. kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus. Ada sekitar 1 juta kasus herpes zooster di
Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan angka rata-rata 3-4 kasus/1000 orang.
Penelitian menyatakan bahwa insidensi dari herpes zostersemakin meningkat.
Pasien yang belum divaksinasi dan berusia 85 tahun keatas mempunyai resiko
terkena herpes zoster hingga 50%. Hingga 3% lebih dari pasien yang mengalami
penyakit ini membutuhkan perawatan.
Faktor resiko mayor untuk penyakit herpes zoster adalah peningkatan
usia. Seiring peningkatan jeda waktu setelah infeksi varicela, terdapat
pengurangantingkat imunitas T-Cell terhadap VZV. Tidak seperti virus-spesific
antibiodies, yang berhubungan dengan proteksi terhadap herpes zoster. Resiko
penyakit ini lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, pada kulit putih
dibandingkan kulit hitam, dan pada pasien dengan riwayat pernah mengalami
herpes zoster dibandingkan pasien tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Herpes
zoster dapat terjadi sejaka janin masih di uterus atau pada bayi yang baru
lahir, dimana sistem imunitasseluler masih belum matang, dan dikaitkan dengan
kejadian herpes zoster pada masa anak-anak. Pasien dengan immunocompromised
dengan gangguanimmunitas sel-T, termasuk pasien penerima organ atau
transplantasi sel stem, pasien yang menerima terapi

3
immunosupresif, dan pasein dengan limfoma, leukimia, atau infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dapat meningkatkan resiko pasien mengalami
herpes zoster dan perburukan dari penyakit tertentu.
2.3 Etiopatogenesis
Virus varicela zoster berpean dalam patogenesis herpes zoster terutama
imunitas selularnya. Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui
droplet respiratori. Virus varicela zoster bereplikasi dan menyebar ke seluruh
tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi.
Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta. Selama terjadi kulit
yang erupsi, virus varicela zoster menyebar dan menyerang saraf secara
retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi
laten.Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan
menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari
reaktivasi dan replikasi Virus varicela zoster pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan
lagi peranannya dalam patogenitas.Sifat latensi ini menandakan virus dapat
bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi
yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang yang rentan.
Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi
secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal. Infeksi
primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster.
Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV
dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.

4
Gambar 2.1 Patogenesis Herpes Zoster

Gambar 2.1 herpes zoster

Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada


keadaan imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya
imunitas terhadap Virus varicela zoster spesifik.

5
Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan
batang otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit
vesikuler yang khas. Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten
dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya mengalami herpes zoster.
Selama proses varisela berlangsung, Virus varicela zoster lewat dari lesi
pada kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim
secara sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. Herpes zoster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas
tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal
ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.
Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan
mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin
berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang efisien pada
saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir.

Gambar 2.2 Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster


diawali dengan:
1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.
2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.

6
Gambar 2.3 Sekelompok vesikel-vesikel dalam bentuk bervariasi

Gambar 2.4 Vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta

Gambar 2.5 Sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat

7
Gambar 2.6 Vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika
inflamasi berat

2.4 Gejala Klinis


Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa
sensasi abnormal atau nyer otot lokal, nyeri tulang, pegal, parastesia sepanjang
dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai
sakit gigi, pleuritis, infark jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau
empedu, apendisitis. Dapat juga dijumpai gejala konstitusi misalnya nyeri kepala,
malaise dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10
hari, rata-rata 2 hari).
Setelah awitan gejala prodromal timbul erupsi kulit yang biasanya gatal
atau nyeri terlokalisata (terbatas di satu dermatom) berupa makula kemerahan.
Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5
hari. Selanjutnya isi veskel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta
(berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4
minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi kulitnya menyembuh secara
spontan tanpa gejala sisa.
Saraf yang paling sering terkena adalah nervus trigeminal,fasialis,
optikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan
motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada
daerah yang terkena.

8
 


Gambar 2.7 Gambaran klinis herpes zoster
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Masing-masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dadadan perut seperti tumpukan cakram
yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan
kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. Dermatom
sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan
saraf-saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster(shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai
lesi pada dermatom tertentu.

9
Gambar 2.8 Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia

2.6 Diagnosis
Diagnosis herpes zoster sangat jelas, karena gambaran klinisnya memiliki
karakteristik sendiri. Berupa adanya gejala prodromal, Keluhan biasanya diawali
dengan nyeri pada daerah dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung
dalam waktu yang bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung
terus-menerus atau sebagai seranga yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari
rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk-
tusuk dan erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah
yang dipersarafi oleh satu ganglion sensorik.
Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian. tubuh, yang tersering di daerah
ganglion torakalis. Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian
terbentuk Papul-papul dan dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi
vesikel. Pada hari ketiga berubah menjadi. pustul. Yang akan mengerin. menjadi
krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan. sampai 2-3 minggu kemudian

10
mengelupas. Pada saat ini biasanya nyeri segmental juga menghilang. Lesi baru
dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai hari ketujuh.
Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran. Klinis yang
meragukan. Metode laboratorium untuk identifikasi adalah sama seperti orang-
orang untuk herpes simpleks. Tzanck smear , biopsi kulit, titer antibodi, cairan
vesikuler antibodi immunofluorescent (direct fluorescent antibody), mikroskop
elektron, dan kultur dari cairan vesikel dari beberapa studi patut dipertimbangkan.
Tes awal pilihan adalah apusan sitologi (Tzanck smear), adanya perubahan
sitologi sel epitel dimana terlihat multi nucleated giant sel. Dasar dari lesi pertama
kali dikerok dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin, Giemsa, Wright’s, toluidine
biru, atau tinta papanicolaou.
Direct fluorescent antibody : dilakukan untuk HSV-1. DFA adalah tes cepat
(rapid test) untuk membedakan VHS-1, VHS-2, dan VVZ. Pemeriksaan dengan
teknik plymerase chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostik yang paling
sensitif dan spesifik (dapat mendeteksi DNA virus varicela zoster dari cairan
vesikel)
Kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tmemiliki sensitifitas yang
rendah karena virus labil dan sulit to recover dari cairan vesikel.
Herpes zoster terlihat kira-kira 7 kali lebih sering pada pasien HIV. Tes
HIV dilakukan jika ada indikasi yang jelas.

2.7 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Venenata atau Dermatitis Kontak
Dermatitis venenata merupakan dermatitis kontak iritan tipe akut
lambat yang biasanya disebabkan oleh gigitan, liur, atau bulu serangga yang
terbang pada malam hari. Dermatitis kontak iritan akut akibat toxin serangga,
paling sering terjadi di daerah yang panas serta beriklim tropis, salah satu
yang tersering adalah paederin, gambaran klinis dan gejalanya baru muncul 8

11
sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Penderita baru merasa pedih esok
harinya,pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel
atau bahkan nekrosis
2. Herpes Simplek
Herpes simpleks adalah infeksi akut suatu lesi akut berupa vesikel
berkelompok di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok
terutama pada atau dekat sambungan mukokutan.Herpes simpleks disebabkan
oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang dapat berlangsung
primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore,
herpes febrilis, herpes labialis, herpes genitalis.
3. Luka Bakar derajat 1-2
Luka bakar adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas
maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang
tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang
merah dan menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel
kulit dan mukosa.

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri seepat
mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan
saraf lebih lanjut.
Terapi Sistemik
a. Obat Antivirus
 Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu
penyembuhan akan lebih singkat.
 Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam
setelah erupsi kulit.
 Golongan antivirus yang dapat di berikan yaitu asiklovir, valasiklovir,
famasiklovir.
 Dosis antivirus oral untuk pengobatan herpes zoster:
Neonatus : asiklovir 500 mg/m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari

12
Anak (2-12 tahun) : asiklovir 4 x 20 mg/ kgBB/hari/oral selama 5 hari
 Pubertas dan Dewasa
Asiklovir : 5x800 mg /hari/oral selama 7 hari
Valasiklovir : 3x1000 mg /hari/oral selama 7 hari
Famasiklovir : 3x 500 mg /hari/oral selama 7 hari

b. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walupun berbagai
penelitian menunjukan hasil yang beragam. Prednison yang digunakan bersama
asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan penurunan derajat
neuritis akibat infeksi virus dan kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan
pada syaraf yang terlibat.
Akan tetapi mengingat risiko komplikasi kortikosteroid leboh berat dari
pada keuntungannya, depatermen ilmu kesehatan kulit tidak menganjurkan
pemberian kortikosteroid pada herpes zoster.
c. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik terhadap AINS
(aseosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak) atau analgetik non opioid (kodein,
morfin atau oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik hebat. Pernah dicoba
pemakaian kombinasi parasetamol dengan kodein 30-60 mg.
d. Antidepresan dan Antikonvulsan
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi asiklovir dengan
antidepresan trisiklik atau gabapentinn sejak awal mengurangi prevalensi NPH.

Topikal
1. Analgetik topikal

a. Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin
(Caladryl) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan
pruritus.kompres dengan solusio Burowi (aluminium asetat 5%) dilakukan 4-

13
6 kali/hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold pack juga sering
digunakan
b. Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dan kloroform atau etil
eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai. Asam asetil salisilat
topikal dalam pelembab lebih efektif dibandingkan aspirin oral dalam
memperbaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau kloroform dilaporkan
aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa jam. Krim
indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan aplikasinya lebh nyaman.
Penggunaannya pada area luas dapat meyebabkan gangguan gastrointestinal
akibat absorpsi per kutan.
2. Anestetik lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi di sepanjang jaras saraf
yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk menghilangkan
nyeri. Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blok saraf perifer, ruang
paravertebral atau epidural, dan blok simpatis untuk nyeri yang berkepanjangan
sering digunakan. Akan tetapi, dalam studi prospektif dengan kontrol berskala
besar, efikasi blok sarah terhadap NPH belum terbukti dan berpotensi
menimbulkan risiko.
3. Kortikosteroid
Krim/ losio yang mengandung kotikosteroid tidak digunakan pada lesi
akut herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko terjadinya NPH

2.8 Komplikasi
Komplikasi Postherpetic neuralgia Postherpetic neuralgia merupakan
komplikasi herpes zosteryang paling sering terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi
sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf trigeminal. Resiko
komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia
didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri
akanmenetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat
penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan

14
nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut
herpes zoster menghilang.

Gambar 2.9 Jaras sensorik nyeri


Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang
muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi,
nyeri menetap dialamilebih dari 3 bulan setelah penyembuhan
herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus
ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangn
ya imunitas dikaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma,
kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat
immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ atauuntuk manajemen
penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.
  Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik
akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-
120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di
defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelahtimbulnya
ruam pada kulit).

15
2.9 Pencegahan
Vaksin Zostavax℗ : strain hidup yang dilemahkan dari VVZ. Berhubungan
dengan Varivax℗, tetapi diperkirakan 14 kali lebih terkonsentrasi. Telah disetujui
oleh FDA untuk pasien > 60 tahun tanpa riwayat penyakit herpes zoster
sebelumnya. Zostavax telah diketahui untuk mengurangi penyakit herpes zoster
dan neuralgia paska herpes.

Gambar 2.10 Gambar vaksin


2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis
bergantung pada tindakan perawatan secara dini. Pemberian booster vaksin strain
oka terhadap orangtua harus dipikirkan untuk meningkatkan kekebalan spesifik
terhadap virus varisela zoster sehingga dapat memodifikasi perjalanan penyakit
herpes zoster.

16
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 60 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bukittinggi
Status : menikah

Anamnesis
Keluan Utama:
Muncul gelembung berair dikulit dengan kulit kemerahan didada dan
punggung atas sejak 4 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Awalnya pasien merasakan badan pegal-pegal dan kelelahan kemudian
muncul bintik-bintik kecil disertai gelembung kemerahan di punggung kiri
atas dan menyebar ke dada kiri atas.
- Pasien merasa agak demam, sakit kepala dan tidak nafsu makan
- Tidak ada riwayat mengoleskan obat atau zat lain ke badan

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien tidak ingat apakah pernah menderita cacar air sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini
-
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Compos mentis

17
Head To Toe
• Kepala : Normochepal
• Leher : Dalam batas normal
• Thorax : Dalam batas normal
• Abdomen : Dalam batas normal
• Ekstremitas : Dalam Batas normal
• Genitalia : Dalam batas normal

Status Dermatologis
Lokasi : dada atas dan bahu atas kiri
Distribusi : unilateral
Bentuk : Tidak khas
Susunan :Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Milier dan plakat
Efloresensi : Tampak makula eritema, papula eritema, vesikel, krusta
hitam

18
Gambar 3.1 Gambaran Kasus Herpes zoster

Pemeriksaan Ajuran :-

Diagnosa Kerja:
- Heper zoster dermatom T3-T6

Diagnosa Banding :
- Dermatitis Venenata

Penatalaksanaan
Umum
• Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini disebabkan infeksi virus
lanjutan, Perawatan kebersihan kulit
• Jangan digaruk jika gatal karena dapat memecahkan vesikel

19
Terapi Sistemik :
· Antivirus : asiklovir 5x800 mg selama 7 hari
· NSAID : Asam Mefenamat 2x500 mg selama 7
Terapi Topikal
 Bedak salisil 2 %

RSUD dr. Acmad Mochtar Bukittinggi


Ruangan/Poliklinik: Kulit Dan Kelamin
Dokter: dr. DDKJ
SIP No: 3001/SIP/2019

Bukittinggi, 26 Juni 2019


R/ Asiklovir 800 mg tab No.XXXV
S5 dd Tab 1
R/ Asam Mefenamat 500 mg tab No. XV
S2 dd Tab 1 (sesudah makan)
R/ Salycyl talc 2 % No I
S.u.e

• Pro : Tn. A

• Umur : 60 th

Prognosis
- Quo ad vitam : Bonam

- Quo ad sanationam : Bonam

- Quo ad Kosmetikum : Dubia ad Bonam

- Quo ad fungtionam : Bonam

20
BAB IV
PENUTUP

1.3 Kesimpulan
Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang
memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah nama
lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem
saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat
dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit
dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten
atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa dermatom
atau difus. Pemeriksaan laboratorium antara lain : tzanck smear, direct fluorescent
antibody dilakukan untuk HSV-1, kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tidak
sensitif. Komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpes.
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya
diberikan 7 hari,paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen
yang dianjurkan. Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis
bergantung pada tindakan perawatan secara dini.
1.4 Saran
Dari seluruh proses dalam menyelesaikan case report session ini, maka
dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang berperan dalam penulisan case report session ini. Adapun saran tersebut adalah
agar penulisan selanjutnya lebih memperluas cakupan, sehingga dapat lebih
bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan
kesehatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A . Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.5. Jakarta. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
2. Siregar RS . Akne Vulgaris Atlas Berwarna Saripati Penyakit. Jakarta. EGC .
2006.
3. Barratt H, Hamilton F, Car J, Lyons C, Layton A, Majeed A. Outcome
measures in acne vulgaris: systematic review. British Journal of Dermatology.
160(3):132-6. 2009.
4. Williams SM. Pilo Sebaceuous duct physiology, observation on the number
and size of pilo sebaceuous ducts in acne vulgaris. New York. Dermatology .
95(2);153- 55. 2007.
5. Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology
Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:4-
18.
6. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health.
2011 .p. 148 -151.
7. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine.
7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
8. James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.
9. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and
Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders.
2006 .p.145-148.
10. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In :
Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders.
2010.p. 479 – 490.
11. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2008 : 115 – 119.

22

Anda mungkin juga menyukai