Penyusun :
Dokter Pendamping :
Dr. Herawati
JAMBI
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “DEMAM TIFOID”. Laporan kasus ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Program Internship Dokter Indonesia
di RS Bhayangkara Mayang Mangurai Jambi.
Penulis
2
BAB 1 : PENDAHULUAN
3
Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga
20%.2 Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,
karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. 4
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan etiologi demam tifoid
2. Mengetahui epidemiologi dan gejala klinis demam tifoid
3. Mengetahui patofisiologi demam tifoid
4. Mengrtahui penegakan diagnosis demam tifoid
5. Mengetahui dan enjelaskan penatalaksanaan umum demam tifoid dan
pilihan antibiotik pada demam tifoid
6. Mengetahui komplikasi dan prognosa demam tifoid
1.3 Manfaat
4
BAB 2 : LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien anak datang di bawa oleh orang tua nya ke IGD Rs
Bhayangkara dengan keluhan demam yang meningkat sejak 3 jam SMRS.
5
Batuk rejan Kuning Eksim
TBC Cacing Urtikaria / liman
Difteri Kejang Sakit tenggorokan
Tetanus Demam tifoid Tidak pernah masuk RS
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/Umur
BCG Lahir
DPT :
1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio :
6
1 2 bulan
2 4 bulan
3 -
Hepatitis B :
0 Lahir
1 2 bulan
2 4 bulan
3 -
Campak -
7
Riwayat keluarga :
Ikhtisar keturunan : (Gambar skema keluarga dan beri tanda keluarga yang menderita penyakit sejenis)
Susunan keluarga
Nama Jelaskan : Sehat, Sakit (apa)
N Umur L/
o P Meninggal (umur, sebab)
1 H 35 th L
Sehat
2 S 30 th P Sehat
3 Z 9 th P sehat
4 Z 3,5 th P Sehat
5 Z 9 bln L Sakit
8
Kesadaran : Compos mentis ,GCS: 4 – 5 – 6
Keadaan Gizi
9
BB/U : -3 (BB rendah)
Status Generalisata :
Kepala : Normochepali
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : dalam batas normal
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret ada
gigi dan mulut : bibir lembab, sianosis (-)
Lidah : Tifoid Tounge (+)
Tenggorokan : Tonsil sulit dilihat
Leher : pembesaran KGB dan kelenjar tiroid tidak ada
Thorax
Paru-Paru
10
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
retraksi dinding dada (-)
Ekstremitas Inferior
Regio kanan : akral hangat, edem (-), pucat (-), CRT<2’’
Regio kiri : akral hangat, edem (-), pucat (-), CRT<2’’
11
Leukosit 12,65 10^3/ 9.000 –30.000
mm3
Hematokrit 29,0 % 35 – 68 %
Trombosit 406 10^3/mm3 150.000 – 350.000
Eritrosit 5,08 10^6/mm3 3.00 – 7.00 Juta
MCV 57,1 um^3 95,0 – 12,0
MCH 16,5 pg 30 - 42
MCHC 28,8 g/dl 30 - 34
RDW 19,2 % 11.0 – 16.0
Basofil 0,3 % 0–1
Eosinofil 2,7 % 0.5 – 5.0
Neutrofil % 18,4 % 50 - 70
Limfosit % 78,0 % 20 – 40
Monosit 11,0 % 3.0 – 12.0
IMUNO <2 = negative
SEROLOGI 3 =Boderline
4-6= Positif
TUBEX - TF +6 6.10 Strong Positif
12
Pada saat di lakukan pemeriksaan fisik di IGD Rs. Bhayangkara,
anak tampak lemas, pemeriksaan suhu 38,8, di temukan tifoid tounge, pada
pemeriksaan yang lain masih dalam batas normal, pada saat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa darah rutin dan serologi Tubex, bahwa Hb:
9,0(L) dl, L: 12.650, Tb:450.000 (H), dan Tubex +6.
Tatalaksana
Awal (IGD) :
- IVFD Rl gtt 8 tetes per menit
- Inf. Paracetamol 650mg jika T: >38,5
- PO: Paracetamol drop 3x 0,6 cc
- Konsul dr. William, Sp.A
2.8 Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
2.9 Follow Up
(31 Maret 2021, 20.00)
S Demam (+), Batuk (+)
O Status Present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : composmentis
Nadi : 110 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38 oC
Vas : 5
Pemfis : dalam Batas normal
A Observasi Demam Tifoid
P Th/
Non Farmakolgi :
- Tirah baring
- Diet makan lunak
Farmakologi :
- Observasi keadaan umum + tanda tanda vital
- Ivfd Rl 8 tetes per menit
- Inj. Ceftriaxon 250 mg dalam Dextrose 5% (2x250mg)
13
- Paracetamol drop 3x0,8 cc
- Mucos drop/epexol drop 3 x0,4 cc
- Racikan (trid c, Vit C, cetirizine) 3x1
(1 April 2021)
S Demam sudah menurun, batuk (+)
O Status Present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : composmentis
Nadi : 128 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu :37,5oC
Vas : 3
Farmakologi :
- Observasi keadaan umum + tanda tanda vital
- Ivfd Rl 6 tetes per menit
- Inj. Ceftriaxon 250 mg dalam Dextrose 5% (2x250mg)
- Paracetamol drop 3x0,8 cc
- Mucos drop/epexol drop 3 x0,4 cc
- Racikan (trid c, Vit C, cetirizine) 3x1
- Zink 1x20 mg
2 April 2021)
S Demam menurun, batuk (+)
O Status Present
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Sensorium : composmentis
Nadi : 115 x/menit
Respirasi : 26 x/menit
Suhu :37oC
Vas : 3
Pemfis : lidah bersih ,
Pulmo:Vesikuler +/+,wh -/-, rh+/+ minimal
A Observasi Demam Tifoid + Bronkitis
P Th/
Non Farmakolgi :
- Tirah baring
- Diet makan lunak
14
Farmakologi :
- Observasi keadaan umum + tanda tanda vital
- Ivfd Rl 8 tetes per menit
- Inj. Ceftriaxon 250 mg dalam Dextrose 5% (2x250mg)
- Nebul Ventolin 2,5 cc/ 8 jam
- Paracetamol drop 3x0,8 cc
- Zink 1x20 mg
- Mucos drop/epexol drop 3 x0,4 cc
- Racikan (trid c, Vit C, cetirizine) 3x1
3 April 2021
S Demam (-) batuk berkurang
O Status Present
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : composmentis
Nadi : 78 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu :36,7oC
Pemfis: Pulmo: Vesikuler+/+, Rh -/-, Wh -/-
A Observasi Demam Tifoid
P Th/
- Pasien diizinkan pulang dengan obat pulang
- Cefixime syr 2x1,2 cc
- Racikan (trid c, Vit C, cetirizine) 3x1
- Kontrol ke poli Anak 1 minggu kemudian
15
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi
endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk
Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang
banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16
juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia
prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien
yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang yang
telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam
tinja selama lebih dari satu tahun.
16
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi.Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus,
bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah
dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke
lumen intestinal.Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman
masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasana
asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus
halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding
usus tepatnya di ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch
merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi.
17
menggigil.11 Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung,
konstipasi dan diare.Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal
dan kemudian pada minggu kedua timbul diare.1,11,18 Selain gejala – gejala yang
disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala yang
lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan.
Tanda Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid
antara lain adalah pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri
perabaan, antara lain hepatomegali dan splenomegali. Penderita demam tifoid
dapat disertai dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran
penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis sampai somnolen.1
Selain tanda – tanda klinis yang biasa ditemukan tersebut,mungkin pula
ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan
roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler kulit. Kadang-
kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia >
5 tahun. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan
komplikasi. sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu dibagian
tengah kotor dan pinggir hiperemis, meteorismus . Penelitian sebelumnya
didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda
seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan demam tifoid.
1. Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia normokromi
normositik yang terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum
tulang.Terdapat gambaran leukopeni, tetapi bisa juga normal atau
meningkat. Kadang-kadang didapatkan trombositopeni dan pada hitung
jenis didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif.Leukopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari
demam, menunjukkan arah diagnosis demam tifoid menjadi jelas.
2. Uji Serologis Widal
18
Pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan yang tertua untuk
mendeteksi kenaikan titer antibodi Salmonella typhi. Pemeriksaan tersebut
telah digunakan sejak 1896 oleh Felix Widal, prinsip pemeriksaan adalah
terjadi reaksi aglutinasi antibodi terhadap antigen O (somatik) dan H
(flagela) S. typhi. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan
pengenceran serum berulang. Biasanya antibodi O meningkat di hari ke6-8
dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi hasil
pemeriksaan Widal harus cermat karena banyak faktor yang
mempengaruhi, yaitu antara lain: stadium penyakit, pemberian antibiotika,
teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologis
masyarakat setempat dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan
spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang digunakan, bahkan
dapat memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif
demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifitas 91,4%,
dan positive predictive value (PPV) 80%.8 Hasil pemeriksaan Widal
positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya
diulang 2-3 minggu, jika terjadi kenaikan titer 4 kali, terutama aglutinin O
maka memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer
aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/160 sampai >1/320
tergantung masing-masing laboratorium dan juga tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat, dengan catatan 8 bulan terakhir
tidak mendapat vaksinasi tifoid atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa
alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar
dengan kondisi stabil, paparan berulang S. typhi di daerah endemis, reaksi
silang terhadap nonsalmonella lain, dan kurangnya kemampuan
reproducibility dari hasil pemeriksaan tsb.9 Pemeriksaan serologis untuk
aglutinin salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak
direkomendasi.
Dalam dua dekade ini, pemeriksaan adanya antibodi IgM dan IgG
spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan ELISA berkembang.
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara
lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H),
dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang
membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas
hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S.
typhi. Sensitivitas dan spesifitas dari pemeriksaan antibodi IgM terhadap
19
antigen O lipopolisakarida S. typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. typhi
(Typhidot)R berkisar 70% dan 80%.
3. Kultur Bakteri
Kultur Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu
kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur darah
positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat.
Namun, interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada
kasus tersangka demam tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti
Salmonella dapat bertahan sampai 3 bulan dalam darah. Beberapa hal
dapat mengurangi sensitifitas pemeriksaan dengan metode kultur
diantaranya adalah :
1. Pasien telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya
2. Waktu pengambilan sampel tidak tepat sehingga sampel tidak
mengandung cukup bakteri untuk dapat tumbuh
3. Volume darah yang diambil tidak mencukupi
4. Sampel darah menggumpal Sampel yang diambil dari sumsum tulang
mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi
20
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut
yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang
bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid
terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.Dapat digunakan untuk
terapi bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol terikat pada ribosom
subunit 50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak
21
terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Sedangkan mekanisme resistensi
antibiotik ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang
diperantarai faktor-R. Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2
minggu sekitar 24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh
kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu turun.Sedangkan dosis terapi untuk
bayi 25-50 mg/kgBB.
2. Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana
bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik ini
memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik
betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang
dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding
sel.Dosis terapi intravena untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan
untuk bayi dosis tunggal 50 mg/kg/jam.
3. Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada mikroba
yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid. Dosis ampisilin
tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien. Untuk anak
dengan berat badan 7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
4. Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis.Trimetoprim
dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat pada mikroba.
Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul PAmino Benzoic Acid (PABA)
ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif.Frekuensi terjadinya resistensi
terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena
mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka
terhadap komponen lainnya. Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim
8 mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.
5. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai
kuman gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam
antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis
dinding sel mikroba. Mekanisme penghambatannya melalui reaksi transpeptidase
dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena yang
dianjurkan untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk
neonatus 100 mg/kg/h dalam 2 dosis.15 Pada penelitian – penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, menyebutkan bahwa pasien dengan deman tifoid
menunjukkan respon klinis yang baik dengan pemberian seftriakson sehari
22
sekali.Lama demam turun berkisar 4 hari, hasil biakan menjadi negatif pada hari
ke – 4 dan tidak ditemukan kekambuhan.
Pada kasus MDRST anak, seftriakson merupakan antibiotik pilihan karena
aman. Sedangkan pada penggunaan antibiotik kloramfenikol lama demam turun
berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual dan muntah terjadi pada 5 %
pasien.Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah obat dihentikan pada 6 % dari
kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi yang < 14 hari. Antibiotik terpilih
untuk MDRST adalah siprofloksasin dan seftriakson.Pemberian siprofloksasin
pada anak usia < 18 tahun masih diperdebatkan karena adanya potensi artropati,
sehingga seftriakson lebih direkomendasikan.
Penelitian lainnya juga ada yang menyebutkan bahwa terjadi resistensi
terhadap antibiotik kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan trimetoprim, tetapi
penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSHS sejak tahun
2010 menunjukkan Salmonella Typhi masih sensitif terhadap antibiotik
kloramfenikol, ampisilin dan kombinasi trimetoprim-sulfametoksasol
(kotrimoksasol).Dengan antibiotik kotrimoksasol demam turun berkisar 5 hari,
sedangkan dengan ampisilin berkisar 7 hari.
23
yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi
komponen vi dari salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
24
berdahak, 2 hari yang lalu pasien BAB encer, berlendir tapi BAB tidak berdarah,
mual dan muntah 1 kali yang di muntahkan berisi susu dan makanan, saat ini anak
terlihat, nafsu makan anak menurun, BAK tidak ada keluhan warna kuning seperti
biasa. Berdasarkan anamnesa awal bahwa anak demam lebih dari 2 minggu,
demam yang bersifat intermitten dan meningkat pada sore dan malam hari,
demam yang bersifat sperti keluhan adalah sesuai dengan teori pada demam tifoid.
Serta terdapat gejala mual muntah dan BAB yang encer yang merupakan
adanya infeksi dari saluran pencernaan. Pada teori demam tifoid ialah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Kemudian adanya keluhan batuk
berdahak pada pasien juga ada menunjukan penyakit infeksi saluran nafas yang
dapat menjadi diagnose banding pada kasus ini.
Pada saat di lakukan pemeriksaan fisik di IGD Rs. Bhayangkara, anak
tampak lemas, pemeriksaan suhu 38,8, di temukan lidah yang kotor, pada
pemeriksaan yang lain masih dalam batas normal, sehingga dapat menyingkirkan
diagnosa banding, pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa darah rutin
dan serologi Tubex, bahwa Hb: 9,0(L) dl, L: 12.650, Tb:450.000 (H), dan Tubex
+6. Sesuai dengan teori demam tifoid, pada pemeriksaan fisik dapat kita temukan
lidah kotor yang di sebut coated tounge, pada saat di lakukan pemeriksaan
penunjang, di temukan anemia ringan, sebagaimana pada penelitian
carrolina,2019 menyebutkan pada penderita demam tifoid didapatkan anemia
normokromi normositik yang terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum
tulang.Terdapat gambaran leukopeni, tetapi bisa juga normal atau meningkat.
Dilakukan pemeriksaan serologi berupa tubex, Pemeriksaan antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.
Typhi (Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan
80%.2,15,16 Studi meta analisis di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki
sensitivitas 69% dan spesifisitas 88%. Hasil dari pemeriksaan di dapatkan +6, di
dalam teori menyebutkan pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai
positif kuat. Diagnosis kerja saat masuk adalah tersangka demam tifoid dan gizi
kurang.
25
Di IGD di berikan tatalaksana berupa pemasangan infus Rl 8 tetes
permenit, dan pemeberian antipiretik berupa paracetamol drop 3x0,6 cc, di
konsulkan ke dr.Sp.A, Selanjutnya pasien dirawat, tirah baring, diet makanan
lunak di ruangan di berikan Antibiotik ceftriakson 2x250 mg, Berdasarkan hasil
penelusuran literatur yang ada, studi terkini lebih menganjurkan pemberian
seftriakson dibandingkan kloramfenikol untuk pasien demam tifoid yang dirawat
di rumah sakit. Beberapa studi menunjukkan bukti luaran yang lebih baik tentang
penggunaan seftriakson sebagai terapi empiris pada demam tifoid. Kriteria yang
sebaiknya dipenuhi oleh antibiotik empiris antara lain cara pemberian mudah bagi
anak, tidak mudah resisten, efek samping minimal, dan telah terbukti efikasi
secara klinis. Kemudian di berikan mucos drop 3x0,4 cc di karenakan adanya
lidah kotor. Pasien diberikan zink 1x20 mg, karena ada keluhan muntah dan BAB
cair sebelum masuk rumah sakit, sehingga untuk memenuhi kecukupan mineral
serta berperan penting untuk tumbuh kembang anak, Pada hari ke 2 rawatan
demam anak sudah menurun, namun batuk dikeluhkan. Pasien mendapatkan nebul
ventolin karena batuk berdahak yang sulit di keluarkan. Pada hari ke 3 rawatan
demamsudah menurun dan batuk berdahak berkurang dan pasien sudah boleh
pulang, mendapat obat pulang berupa antibiotic cefixim syrup 2x1,2 cc dan
ambroxol syr 3x1/2 cth dan pemberian edukasi kepada orang tua pasien untuk
menjaga kebersihan lingkungan terutama air dan makanan yang akan di konsumsi,
karena penyakit demam tifoid merupakan penyakit menular yang di tularkan
melalui fecal oral.
DAFTAR PUSTAKA
Alba, S,. Bakker, M. I., Hatta, M., Scheelbeek, P. F. D., Dwiyanti, R., Usman, R., Smits,
H. L. 2016. Risk Factors of Typhoid Infection in The Indonesian Archipelago. PLOS
ONE, 11(6): 1–14.
Andayani dan Fibriana, A. I. 2018. Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Karang Malang. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 2(1):
51–57.
Cita, Y. P. 2011. Bakteri Salmonella typhi dan demam tifoid. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, 6(1): 42-46.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2017. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2016.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang.
26
Djaja, I. M. 2008. Kontaminasi E. coli pada Makanan dari Tiga Jenis Tempat Pengelolaan
Makanan (TPM) di Jakarta Selatan 2003. Makar Kesehatan, 12(1): 36–41.
Purba, E.I., Wandra , T., Nugrahini, N., Nawawi, Kandun, N. 2016. Program
pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Media penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 26(2): 99–108.
Kabwama, S. N., Bulage, L., Nsubuga, F., Pande, G., Oguttu, D. W., Mafigiri, R., Zhu, B.
P. 2017. A large and persistent outbreak of typhoid fever caused by consuming
contaminated water and street-vended beverages: Kampala, Uganda, January - June 2015.
BMC Public Health, 17(1): 1–9.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Hadinegoro SR. Masalah multidrug resistance pada demam tifoid anak. Cermin Dunia
Kedokteran 1999;124:5-8
Seran, Palandeng dan Kallo, 2015. Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian
Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tumaratas. Jurnal. Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi
Sharma, P. K., Ramakrishnan, R., Hutin, Y., Manickam, P., & Gupte, M. D., 2009. Risk
factors for typhoid in Darjeeling, West Bengal, India: Evidence for practical action.
Tropical Medicine and International Health, 14(6): 696–702.
Siddiqui, F. J., Haider, S. R. and Bhutta, Z. A. 2008. Risk Factors for Typhoid Fever in
Children in Squatter Settlements of Karachi: A nested case-control study. Journal of
Infection and Public Health, 1(2): 113–120.
Syapila Paul O. 2018. Factors associated with the 2012 typhoid fever outbreak in
Mufulira district, Zambia: a case control study. Health Zambia Bull, 2(2): 8–16
27