Najis Dan Hadats Aik
Najis Dan Hadats Aik
Disusun Oleh
Nama : Rafika Tia Fhadillah
NIM : 702020004
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul
"Najis dan Hadts" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa saya mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan saya dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Lut dan
pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.”
2.1 Pengertian
Didalam kamus bahasa Arab-Indonesia, najis berasal dari kata najasun yang
berarti kotor. (Tim Kashiko 2000: 620). Dengan kata lain ialah kotoran yang menempel
pada badan, pakaian dan tempat. Adapun hadats ialah kondisi badan secara hokum
dinyatakan kotor karena sesuatu sebab seperti keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur.
Najis merupakan lawan dari thaharah yaitu segala sesuatu yang kotor dan
menjijikan dalam pandangan syara. Najis ialah suatu benda yang kotor dan menjadi
penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh, pakaian, atau tempat orang
yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti bangkai, tulang dan rambut bangkai,
kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang. Najis juga dapat diartikan sebagai suatu
kotoran yang harus dibersihkan oleh orang muslim dan mengharuskannya untuk mencuci
segala sesuatu yang dikenainnya. Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Muddatstsir (74):
4
“ dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir (74): 4)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah (2): 222 )
Sedangkan Istilah Al hadats ( ) الحدثdalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( الحدیث
), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada.
Adapun benda yang dapat dipakai untuk bersuci yaitu air yang suci, jika tidak ada air
dapat menggunakan benda padat seperti tiga batu, kayu, tisu dan lain sebagainya yang
digunakan untuk bersuci. Sepanjang masih ada air atau uzur tidak dapat
menggunakan air, maka fungsi air diganti dengan benda lain seperti disebutkan yang
diatas.
Artinya : Anas ra, berkata: rasulullah SAW masuk ke tempat yang sunyi, aku dan
seorang pemuda yang sebaya denganku membawa kantong kulit dan tumbak kecil, lalu
beliau beristinjak dengan air. (HR. Bukhori No. 152 dan Muslim No.70). (an-nuri
1995:148).
1. Air, dengan syarat airnya berupa air yang mutlak. Air mutlak adalah air yang tidak
disebut dengan perantara yang mengikat namanya. Jadi bila perantara tersebut
mengikat namanya maka tidak memenuhi kriteria ini, seperti air Coca Cola, Sprite, air
kembang tujuh rupa dan sebagainya yang dipindah ke tempat manapun namanya tetap
air Coca Cola, Sprite, air kembang tujuh rupa.
2. Debu, jika murni atau tidak ada campurannya serta tidak musta’mal. Insya Allah akan
dijabarkan pada bab Tayamum.
3. Batu istinjak bila suci, mampu mengangkat kotoran-kotoran yang keluar dari kubul
dan dubur. Insya Allah akan dijabarkan pada bab istinjak.
4. Ad-Dabigh yaitu alat yang digunakan untuk menyamak kulit bangkainya hewan-
hewan tertentu yang bisa disamak dan hewan itu dihukumi hewan yang suci semasa
hidupnya. Jadi meskipun bangkai dihukumi najis kita bisa mengambil kemanfaatan
dengan mengambil kulitnya untuk disamak agar suci dan bisa digunakan. Ad-Dabigh
harus berupa benda-benda yang berasa pedas-asam (sepet: jawa) seperti berbagai jenis
dedaunan, bahkan dari benda yang najis sekalipun seperti kotoran burung dara yang
memiliki rasa pedas-asam ini. Harus berasa demikian dikarenakan mampu
mengangkat kotoran-kotoran dan mengangkat penyebab-penyebab pembusukan pada
kulit.
a. Air mutlak
Hukumnya ialah suci lagi menyucikan, artinya ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi
lainnya, seperti:
1. Air hujan.
Air hujan, salju, es dan embun, berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya : Dan diturunkannya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu (QS 8 Al-
Anfal : 11)
Artinya : Dan kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan. (QS 25 Al-
Furqan : 48).
2. Ari laut
Berdasarkan hadits abu hurairah ra, katanya : seorang laki-laki menanyakan
kepada rasulullah, katanya : Ya, rasulullah, kami biasa berlayar di laut dan hanya
membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk membawa air berwudhu akibatnya
kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Berkata
rasulullah SAW:
Artinya: Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal dimakan. (H.R
Abu Daud No.83)
Menurut Tirmidzi dan Muhammad Ismail al-bukhori menyatakan bahwa hadits ini
shahih.
3. Air zam-zam
Adapun air Zamzam, maka pendapat kebanyakan ulama seperti pendapat ulama
kami (ulama Syafiiyah), yaitu tidak makruh berwudhu dan mandi dengannya.
Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan sebagai berikut;
Dan tidak dimakruhkan wudhu dan mandi dengan air Zamzam karena ia adalah air
suci dan mensucikan sebagaimana air pada umumnya.
Selain dari keempat macam air diatas, sulaiman rasjid mengatakan ada juga air:
a. Air suci tapi tidak menyucikan.
Air suci, tetapi tidak menyucikan yaitu zatnya suci, tetapi tidak sah diapakai untuk
menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam bagian in ada 3 macam:
1. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu
benda yang suci seperti air kopi, the dan sebagainya
2. Air sedikit kurang dari dua kulah, sesudah dipakai untuk menghilangkan
hadats atau najis sedang air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula
bertambah timbangannya.
3. Air pohon-pohonnya atau air buah-buahan seperti air yang keluar dari
tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.
b. Air yang makruh
Yaitu air yang terjemur matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air
ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian, kecuali air
yang terjemur di tanah. Seperti air kolam dan sebagainya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat
mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa. Kata thatharah sendiri berasal dari kata
thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Secara terminologi ath thaharah adalah
bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi, yaitu
hadats. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats
atau kotoran.
1. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib shalat lima waktu. Secara
etimologis berarti kebersihan (annadhofah). Kamil Musa mendefinisikan wudlu secara
terminologi yakni sifat yang nyata (suatu perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota
badan yang tertentu) yang dapat menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan
shalat atau ibadah yang lain yang berhubungan dengan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqih Ibadah.
Jakarta: AMZAH.
Rasjid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 1/17