Anda di halaman 1dari 13

NAJIS DAN HADATS

Disusun Oleh
Nama : Rafika Tia Fhadillah

NIM : 702020004

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul
"Najis dan Hadts" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa saya mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar keinginan saya dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat
permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Palembang, 25 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
BAB I ....................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Masalah ........................................................................................................................ 5
BAB II ...................................................................................................................................................... 6
NAJIS DAN HADATS ................................................................................................................................. 6
2.1 Pengertian .............................................................................................................................. 6
2.2 Alat- Alat Bersuci dan Beristinja’............................................................................................... 6
2.3 Macam-Macam Air .................................................................................................................. 7
2.4 Macam-macam najis dan cara menghilangkannya .................................................................. 10
2.5 Adab buang hajat (beristinja’) ................................................................................................ 10
2.6 Macam-macam hadats dan cara menghilangkannya............................................................... 11
BAB III ................................................................................................................................................... 12
PENUTUP............................................................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Thaharah menurut bahasa ialah bersih (nadzafah), suci (nazahah) terbebas
(khulus) darkotoran (danas). Sedangkan menurut istilah adalah sifat hokum yang
menwajibkan hilangnya hadas dan najis. (an-Nuri 1995:4). Terutama ketika
melaksanakan sholat dan thawaf, sebagaimana firman Alla SWT:

ٌ ‫َِّل ا َ ْن قَالُ ْٖٓوا ا َ ْخ ِر ُج ْوهُ ْم م ِْن قَ ْريَتِكُ ْۚ ْم اِنا ُه ْم ا ُن‬


َ َ ‫َاس يات‬
َ‫ط اه ُر ْون‬ ٖٓ ‫اب قَ ْوم ِٖٓه ا ا‬
َ ‫َو َما َكانَ َج َو‬

Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Lut dan
pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.”

Kaum muslimin sangat memperhatikan thaharah bahkan ulama fiqih


menganggap thaharah merupakan salah satu syarat pokok sahnya ibadah (Jawad, 2011:
12). Thaharah sangatlah penting karena bisa menentukan sah atau tidaknya seseorang
dalam ibadah.
Keberadaan thaharah mempengaruhi terhadap kualitas ibadah seorang hamba.
Thaharah mendidik seseorang yang ditaklif syara’ untuk senantiasa menjaga kebersihan
dalam keseharian baik dalam bentuk lahiriyah maupun batiniyah (Jawad, 2011: 13).
Ibadah seseorang dipandang baik secara kualitas apabila ia beribadah dalam keadaan
bersih baik secara lahir maupun batin.
Thaharah erat kaitannya dengan rutinitas ibadah terutama shalat. Seseorang yang
hendak melaksanakan shalat maka ia wajib untuk melaksanakan thaharah sebelumnya
(Yunus, tt: 3). Oleh karena itu, thaharah mempunyai kedudukan penting dalam shalat
yang menjadi rutinitas ibadah karena orang yang khusyu sebelum shalat (thaharah) maka
telah didapatkan baginya kunci shalat.
Para ulama ahli fiqih (Fuqhaha) membagi thaharah kedalam empat bagian yaitu:
wudhu, mandi junub, tayamum, dan istinja (Yunus, tt: 3). Thaharah mempunyai
kedudukan penting dalam rutinitas ibadah terutama shalat tetapi 3 hal ini sering
dikesampingkan karena kurangnya pemahaman serta bimbingan bagi orang yang
melaksanakan thaharah.
Terkait dengan permasalahan bagi lanjut usia, thaharah sering dikesampingkan
misalnya, berwudhu secara langsung dengan air kurang dari dua qullah. Seseorang yang
bersuci dengan air yang kurang dari dua kullah jelas dipandang tidak sah menurut aturan
fiqih (Ahmad, tt: 4). Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pribadi serta
pemahaman keluarga terkait pentingnya thaharah. Padahal, lanjut usia sangat
membutuhkan bimbingan yang bersifat spiritual untuk memberikan ketenangan di masa
usia lanjut (Istiwidayanti, 1990:409).
Dalam menjalankan rutinitas keseharian lanjut usia mempunyai keterbatasan yang
disebabkan oleh perubahan fisik serta psikologis yang berada pada perkiraan usia
enampuluh tahun (Istiwidayanti,1990: 72) Hal demikian menjadi alasan bahwa dalam
melaksanakan rutinitas keseharian khususnya thaharah, para lanjut usia membutuhkan
bimbingan dalam pelaksanaannya.
Kemampuan fisik serta psikis menjadi penghalang bagi lanjut usia dalam
melakukan rutinitas keseharian yang bersifat spiritual khususnya thaharah. Oleh karena
itu, perlu adanya bimbingan untuk membantu lanjut usia dalam mencapai kemampuan
secara maksimum serta pemahaman diri mengenai arti penting thaharah dan
pengaplikasiannya yang baik dan benar menurut aturan syara’. Bimbingan yang
dimaksud adalah suatu proses pemberian bantuan yang tersedia secara terus menerus dan
sistematis dari pembimbing kepada terbimbing (Fathurrahman: 14).
Tidak adanya program khusus bagi lanjut usia mengenai thaharah dari instansi
setempat serta keterbatasan pengetahuan dari pihak keluarga, mengakibatkan para lanjut
usia tidak mendapatkan bimbingan thaharah. Hal demikianlah yang menjadi alasan bagi
para lanjut usia dalam melaksanakan kewajiban beribadah khususnya thaharah tidak ada
dalam aturan syara’ yang semestinya. Seseorang yang bersuci sebelum shalat tetapi ia
bersuci keluar dari aturan yang semestinya, maka ia tidak sah shalatnya (Jawad,2011:4).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Najis dan Hadats?
2. Apa saja alat-alat bersuci dan beristinja’?
3. Apa saja macam-macam air?
4. Apa macam-macam najis dan cara menghilangkannya?
5. Bagaimana adab cara buang air
6. Apa macam-macam Hadats dan cara menghilangkannya?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui pengertian Najis dan Hadats.
2. Untuk mengetahuialat-alat bersuci dan beristinja’.
3. Untuk mengetahui macam-macam air.
4. Untuk mengetahui macam-macam najis dan cara menghilangkannya.
5. Untuk mengetahui adab cara buang air.
6. Untuk mengetahui macam-macam hadats dan cara menghilangkannya.
BAB II

NAJIS DAN HADATS

2.1 Pengertian
Didalam kamus bahasa Arab-Indonesia, najis berasal dari kata najasun yang
berarti kotor. (Tim Kashiko 2000: 620). Dengan kata lain ialah kotoran yang menempel
pada badan, pakaian dan tempat. Adapun hadats ialah kondisi badan secara hokum
dinyatakan kotor karena sesuatu sebab seperti keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur.

Najis merupakan lawan dari thaharah yaitu segala sesuatu yang kotor dan
menjijikan dalam pandangan syara. Najis ialah suatu benda yang kotor dan menjadi
penghalang kesahnya shalat. Shalat tidak akan sah jika tubuh, pakaian, atau tempat orang
yang mengerjakan shalat itu terkena najis, seperti bangkai, tulang dan rambut bangkai,
kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang. Najis juga dapat diartikan sebagai suatu
kotoran yang harus dibersihkan oleh orang muslim dan mengharuskannya untuk mencuci
segala sesuatu yang dikenainnya. Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Muddatstsir (74):
4
“ dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir (74): 4)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah (2): 222 )

Sedangkan Istilah Al hadats ( ‫ ) الحدث‬dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang baru ( ‫الحدیث‬
), maksudnya sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada.

1.2 Alat- Alat Bersuci dan Beristinja’

Adapun benda yang dapat dipakai untuk bersuci yaitu air yang suci, jika tidak ada air
dapat menggunakan benda padat seperti tiga batu, kayu, tisu dan lain sebagainya yang
digunakan untuk bersuci. Sepanjang masih ada air atau uzur tidak dapat
menggunakan air, maka fungsi air diganti dengan benda lain seperti disebutkan yang
diatas.

Artinya : Anas ra, berkata: rasulullah SAW masuk ke tempat yang sunyi, aku dan
seorang pemuda yang sebaya denganku membawa kantong kulit dan tumbak kecil, lalu
beliau beristinjak dengan air. (HR. Bukhori No. 152 dan Muslim No.70). (an-nuri
1995:148).

Ada empat macam alat-alat yang digunakan untuk bersuci yaitu:

1. Air, dengan syarat airnya berupa air yang mutlak. Air mutlak adalah air yang tidak
disebut dengan perantara yang mengikat namanya. Jadi bila perantara tersebut
mengikat namanya maka tidak memenuhi kriteria ini, seperti air Coca Cola, Sprite, air
kembang tujuh rupa dan sebagainya yang dipindah ke tempat manapun namanya tetap
air Coca Cola, Sprite, air kembang tujuh rupa.
2. Debu, jika murni atau tidak ada campurannya serta tidak musta’mal. Insya Allah akan
dijabarkan pada bab Tayamum.
3. Batu istinjak bila suci, mampu mengangkat kotoran-kotoran yang keluar dari kubul
dan dubur. Insya Allah akan dijabarkan pada bab istinjak.
4. Ad-Dabigh yaitu alat yang digunakan untuk menyamak kulit bangkainya hewan-
hewan tertentu yang bisa disamak dan hewan itu dihukumi hewan yang suci semasa
hidupnya. Jadi meskipun bangkai dihukumi najis kita bisa mengambil kemanfaatan
dengan mengambil kulitnya untuk disamak agar suci dan bisa digunakan. Ad-Dabigh
harus berupa benda-benda yang berasa pedas-asam (sepet: jawa) seperti berbagai jenis
dedaunan, bahkan dari benda yang najis sekalipun seperti kotoran burung dara yang
memiliki rasa pedas-asam ini. Harus berasa demikian dikarenakan mampu
mengangkat kotoran-kotoran dan mengangkat penyebab-penyebab pembusukan pada
kulit.

2.3 Macam-Macam Air


Dalam bersuci kita harus memperhatikan macam-macam air sebagai berikut:

a. Air mutlak
Hukumnya ialah suci lagi menyucikan, artinya ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi
lainnya, seperti:
1. Air hujan.
Air hujan, salju, es dan embun, berdasarkan firman Allah SWT:

Artinya : Dan diturunkannya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu (QS 8 Al-
Anfal : 11)

Artinya : Dan kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan. (QS 25 Al-
Furqan : 48).
2. Ari laut
Berdasarkan hadits abu hurairah ra, katanya : seorang laki-laki menanyakan
kepada rasulullah, katanya : Ya, rasulullah, kami biasa berlayar di laut dan hanya
membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk membawa air berwudhu akibatnya
kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Berkata
rasulullah SAW:

Artinya: Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal dimakan. (H.R
Abu Daud No.83)
Menurut Tirmidzi dan Muhammad Ismail al-bukhori menyatakan bahwa hadits ini
shahih.

3. Air zam-zam
Adapun air Zamzam, maka pendapat kebanyakan ulama seperti pendapat ulama
kami (ulama Syafiiyah), yaitu tidak makruh berwudhu dan mandi dengannya.
Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan sebagai berikut;
Dan tidak dimakruhkan wudhu dan mandi dengan air Zamzam karena ia adalah air
suci dan mensucikan sebagaimana air pada umumnya.

Disebutkan bahwa kebolehan berwudhu dengan air Zamzam sudah menjadi


kesepakatan semua ulama empat mazhab, ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan
Hanabilah. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
berikut;
Hukum bersuci dengan air Zamzam, boleh berwudhu dan mandi dengan air Zamzam.
Ini yang disepakati oleh ulama empat mazhab, ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Syafiiyah dan Hanabilah. Bahkan hal itu disebutkan sudah menjadi kesepakatan para
ulama.

4. Air yang berubah


a. Air yang berubah disebabkna lama tergenang atau tidak mengalir, atau
disebabkan tercampur dengan apa yang menurut galibnya tidak terpisah dari air
seperti kiambangdan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu
tetap termasuk air mutlak

b. Air Musta’mal (telah terpakai)


Ialah air yang telah terpisah dari anggota-anggotanya orang yang berwudhu
dan mandi. Humu nya suci lagi menyucikan. Karena didalam suatu riwayat
menyebutkan bahwa dari abu hurairoh ra, bahwa nabi Muhammad SAW
berjumpa dengannya di salah satu jalan kota madinah, sedangkan ia waktu itu
dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari rasulullah lalu mandi,
kemudian datang lagi, lalu ditanya nabi Muhammad SAW : kemana ia tadi?
Dijawabnya bahwa ia dalam keadaan junub dan tidak mau menemaninya dalam
keadaan suci itu.
Alasan air musta’mal dapat dipakai untuk wudhu dan mandi karea ialah orang-
orang mukmin itu tidak mungkin najis, maka tidak ada alasan menyatakan bahwa
air itu kehilangan kesuciannya karena sentuhannya.
Berkata ibnu mundzir: diriwayatkan dari hasan ali ibnu umar, abu umamah atha’
makhul dan nakhai, bahwa mereka berpendapat tentang orang yang menyapu
kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya, cukup bila ia menyapu dengan air
itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan. Dan pendapat ini juga
senada dengan imam malik dan syafii, demikian juga menurut ibnu hazmin hal ini
sama menurut sufyan as-sauri, abu tsaur dan semua ahli zahir.

c. Air yang bercampur dengan barang yang suci.


Yang dimaksud dengan air yang bercampur dengan barang yang suci ialah
seperti bercampur dengan sabun, kiambang, tepung dan lain sebagainya yang
biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan karena
kemutlakannyamasih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tidak dapat lagi
dikatakan air mutlak, maka hukumnya suci pada dirinya tetapi tidak menyucikan
bagi yang lainnya.

d. Air yang bernajis


Air yang bernajis ialah air yang terdapat didalamnya najis. Dalam hal ini
terdapat dua keadaan yaitu:
1. Bila najis itu merubah salah satu diantara rasa, warna dan baunya maka para
ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci.
2. Bila air tetap dalam keadaan mutlak, maksudnya salah satu diantara sifat
diatas tidak berubah, maka hukumnya adalah suci biar sedikit atau banyak

Selain dari keempat macam air diatas, sulaiman rasjid mengatakan ada juga air:
a. Air suci tapi tidak menyucikan.
Air suci, tetapi tidak menyucikan yaitu zatnya suci, tetapi tidak sah diapakai untuk
menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam bagian in ada 3 macam:
1. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu
benda yang suci seperti air kopi, the dan sebagainya
2. Air sedikit kurang dari dua kulah, sesudah dipakai untuk menghilangkan
hadats atau najis sedang air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula
bertambah timbangannya.
3. Air pohon-pohonnya atau air buah-buahan seperti air yang keluar dari
tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.
b. Air yang makruh
Yaitu air yang terjemur matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air
ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian, kecuali air
yang terjemur di tanah. Seperti air kolam dan sebagainya.

2.4Macam-macam najis dan cara menghilangkannya


Menurut tingkatannya, najis terbagi 3, yaitu:
a. Najis mughollazoh (berat).
Najis mughollazoh seperti anjing dan babi. Benda yang terkena najis ini
hendaklah dibasuh 7 kali, satu kali di ataranya dibasuh dengan air yang
bercampur dengan tanah.
b. Najis mukhoffah (ringan)
Najis mukhoffafah misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan
makanan selain air susu ibu. Kaifiyat mencuci benda terkena najis ini ialah
sudah memadai dengan memadai dengan memercikkan air pada benda itu,
meskipun tidak mengalir. Sedangkan kencing bayi perempuan walaupun
hanya makan asi ia digolongkan kencing dewasa
c. Najis mutawasittah
Najis mutawassitah (pertengahan) ialah najis yang lain dari pada kedua
macam diatas. Najis pertengahanini terbagi dua yaitu:
1. Najis hukmiah
Yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau,warnanya,
seperti kencing yang telah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah
hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas
benda yang terkena itu.
2. Najis ‘ainiyah
Yaitu yang masi ada zat, baud an warna, rasa kecuali warna atau bau
yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara
mencucinya dengan menghilangkan zat, rasa, warna dan baunya.

2.5Adab buang hajat (beristinja’)


Islam telah memberikan tata cara buang hajat, sebagai berikut:
a. Sunnah mendahulukan kaki kiri ketika masuk jamban, dan mendahulukan
kaki kanan tatkala keluar jamban, sebab sesuatu yang mulai hendaklah
dimulai dengan kanan, sebaliknya setiap yang hina dimulai dengan kiri.
b. Membaca basmalah dan berdoa
c. Tidak menghadap kiblat atau pon membelakanginya.
d. Janganlah berkata-kata selama didalam jamban, kecuali darurat.
e. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama allah, rasulullah SAW
ketika masuk jamban beliau mencabut cincin beliau yang berukir
Muhammad rosulullah
f. Hendaklah memakai trompah atau sepatu atau sejenisnya, karena
rosulullah SAW. Apabila masuk jamban, beliau memakai sepatu.
g. Hendaklah menutup diri dan menjauh dari orang sehingga bau kotoran
tidak sampai kepadanya, supaya jangan mengganggu orang lain.
h. Jangan buang air besar atau kecil diair yang tenang, kecuali apabila air
tenang itu banyak menggenangnya, seperti kolam, sebab rosulullah
melarang kencing di air tenang.
i. Jangan kencing di lubang-lubang tanah, karena mungkin ada binatang
yang tersakiti dalam lubang itu, dan rosulullah SAW melarang yang
demikian.
j. Jangan buang air kecik dan besar di tempat orang banyak melintas atau
ditempat mereka berteduh (seperti dibawah pohon).
k. Mengucapkan doa ghufroonaka setelah keluar kamar mandi

2.6Macam-macam hadats dan cara menghilangkannya


Berhadas ialah kondisi badan kotor yang mengakibatkan tidak sah melakukan
sholat, thawaf dan tidak boleh menyentuh mushaf. Adapun macam-macam
hadats ini terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Hadats kecil yang disebabkan kentut, missing, keluar mani, dan kencing.
Adapun cara mengangkatkan hadats ini ialah dengan berwudhu.
b. Hadast besar, yang disebabkan bersetubuh, keluarnya mani, haid atau
nifas, maka cara mengangkatnya ialah dengan mandi wajib.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat
mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa. Kata thatharah sendiri berasal dari kata
thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Secara terminologi ath thaharah adalah
bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi, yaitu
hadats. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats
atau kotoran.

Cara thaharah dari hadas

1. Hadas besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib

2. Hadas kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum


Bersuci ada dua bagian:

1. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib shalat lima waktu. Secara
etimologis berarti kebersihan (annadhofah). Kamil Musa mendefinisikan wudlu secara
terminologi yakni sifat yang nyata (suatu perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota
badan yang tertentu) yang dapat menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan
shalat atau ibadah yang lain yang berhubungan dengan Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqih Ibadah.
Jakarta: AMZAH.

Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy Syafi’i. Jakarta: AMZAH.


Mulkhan, Abdul Munir. 1994. Teologi dan Fiqih. Yogyakarta: ROIKHAN.
Nasution, Lahmudin, Fiqh I,1995,Logos,Jakarta, hal.9

Rasjid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 1/17

Anda mungkin juga menyukai