Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Glaukoma

1. Definisi Glaukoma

Glaukoma adalah suatu penyakit neuropati optik kronik yang

ditandai oleh pencekungan diskus optikus dan penyempitan lapang pandang

dengan peningkatan tekanan intraokular sebagai faktor risiko utama

(Vaughan, 2016). Tekanan intraokular dipengaruhi oleh produksi humor

aquos dan sirkulasinya di mata. Humor aquos diproduksi oleh korpus

siliaris, sirkulasinya melewati bilik mata depan kemudian terdrainase di

trabecular meshwork di sudut iridokorneal (Purnamaningrum, 2010)

Glaukoma adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya

peningkatan TIO, penggaungan, dan degenerasi saraf optik serta defek

lapang pandang yang khas. Istilah glaukoma diberikan untuk setiap kondisi

gangguan kompleks yang melibatkan banyak perubahan gejala dan tanda

patologik, namun memiliki satu karakteristik yang cukup jelas yaitu adanya

peningkatan tekanan intraokuli, yang menyebabkan kerusakan diskus optik

(opticdisc), menyebabkan atrofi, dan kehilangan pandangan perifer.

Glaukoma merupakan penyakit yang mengakibatkan kerusakan saraf

optik sehingga terjadinya gangguan pada sebagian atau seluruh lapang

pandang, yang diakibatkan oleh tingginya tekanan bola mata seseorang,

biasanya disebabkan karena adanya hambatan pengeluaran cairan bola mata


(humor aquous). Kerusakan saraf pada glaukoma umumnya terjadi karena

peningkatan tekanan dalam bola mata. Bola mata normal memiliki kisaran

tekanan antara 10-20 mmHg sedangkan penderita glaukoma memiliki

tekanan mata yang lebih dari normal bahkan terkadang dapat mencapai 50-

60 mmHg pada keadaan akut. Tekanan mata yang tinggi akan menyebabkan

kerusakan saraf, semakin tinggi tekanan mata akan semakin berat kerusakan

saraf yang terjad (Kemenkes RI, 2015).

Dapat disimpulkan glaukoma adalah suatu penyakit neuropati optik

kronik yang ditandai oleh pencekungan diskus optikus dan penyempitan

lapang pandang dengan peningkatan tekanan intraokular sebagai faktor

risiko utama.Tekanan mata yang tinggi akan menyebabkan kerusakan saraf,

semakin tinggi tekanan mata akan semakin berat kerusakan saraf yang

terjadi.

2. Klasifikasi Glaukoma

Klasifikasi dari glaukoma menurut Ilyas (2014) sebagai berikut :

a. Glaukoma Primer

Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Pada glaukoma akut yaitu

timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik depan

yang sempit pada kedua mata. Pada glaukoma kronik yaitu karena

keturunan dalam keluarga, DM Arteriosklerosis, pemakaian

kartikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif dan lain-lain

dan berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu :


1) Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis)

Glaukoma sudut terbuka merupakan sebagian besar dari glaukoma

(90-95%), yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan

kelainan berkembang disebut sudut terbuka karena humor aqueous

mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat

oleh perubahan degeneratif jaringan trabekular, saluran schleem, dan

saluran yang berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi.

Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan

peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan

tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul.

2) Glaukoma sudut tertutup / sudut semu (akut)

Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup karena

ruang anterior secara otomatis menyempit sehingga iris terdorong ke

depan, menempel ke jaringan trabekuler dan menghambat humor

aqueos mengalir ke saluran schlem. Pergerakan iris ke depan dapat

karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan diruang

posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang

timbul dari penutupan yang tiba-tiba dan meningkatnya TIO, dapat

nyeri mata yang berat, penglihatan kabur. Penempelan iris

menyebabkan dilatasi pupil, tidak segera ditangani akan terjadi

kebutaan dan nyeri yang hebat.


b. Glaukoma Sekunder

Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diakibatkan oleh penyakit

mata lain atau trauma didalam bola mata, yang menyebabkan

penyempitan sudut/peningkatan volume cairan dari dalam mata.

Misalnya glaukoma sekunder oleh karena hifema, laksasi/sub laksasi

lensa, katarak instrumen, oklusio pupil, pasca bedah intra okuler.

c. Glaukoma Kongenital

Glaukoma Kongenital adalah perkembangan abnormal dari sudut filtrasi

dapat terjadi sekunder terhadap kelainan mata sistemik jarang (0,05 %)

manifestasi klinik biasanya adanya pembesaran mata (bulfamos),

lakrimasi.

d. Glaukoma absolut

Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/ terbuka)

dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata

memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut kornea

terlihat keruh, bilik mata dangkal, adanya penyumbatan pembuluh darah

sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskularisasi pada iris.

Keadaan ini memberikan rasa sakit dan berakibat timbulnya glaukoma

hemoragik. Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan

sinar beta pada badan siliar, atau melakukan pengangkatan bola mata

karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.


3. Penyebab Glaukoma

Tamsuri (2010) penyebab adanya peningkatan tekanan intraokuli

adalah perubahan anatomi sebagai bentuk gangguan mata atau sistemik

lainnya, trauma mata, dan predisposisi faktor genetic. Glaukoma sering

muncul sebagai manifestasi penyakit atau proses patologik dari sistem tubuh

lainnya. Adapun faktor risiko timbulnya glaukoma antara lain riwayat

glaukoma pada keluarga, hipertensi dan diabetes mellitus.

4. Patofisiologi Glaukoma

Mekanisme utama penurunan penglihatan pada penyakit glaukoma

disebabkan oleh penipisan lapisan serabut saraf dan lapisan inti dalam retina

serta berkurangnya akson di nervus optikus yang diakibatkan oleh kematian

sel ganglion retina, sehingga terjadi penyempitan lapangan pandang. Ada

dua teori mengenai mekanisme kerusakan serabut saraf oleh peningkatan

tekanan intraokular, pertama peningkatan tekanan intraokular menyebabkan

kerusakan mekanik pada akson nervus optikus. Peningkatan tekanan

intraokular menyebabkan iskemia akson saraf akibat berkurangnya aliran

darah pada papil nervi optici (Tamsuri, 2010).

Tingginya tekanan intraokular bergantung pada besarnya produksi

humor aquelus oleh badan siliari dan mengalirkannya keluar. Besarnya

aliran keluar humor aquelus melalui sudut bilik mata depan juga bergantung

pada keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan episklera. Tekanan

intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada pemeriksaan

dengan tonometer Schiotz (aplasti). Jika terjadi peningkatan tekanan


intraokuli lebih dari 23 mmHg, diperlukan evaluasi lebih lanjut. Secara

fisiologis, tekanan intraokuli yang tinggi akan menyebabkan

terhambatannya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke retina.

Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap (Tamsuri,

2010).

5. Manifestasi Klinis Glaukoma

Manifestasi klinis glaukoma menurut Tamsuri (2010) meliputi :

a. Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga)

b. Pandangan kabur, melihat halo sekitar lampu

c. Mual, muntah, berkeringat

d. Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar

e. Visus menurun

f. Edema kornea

g. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut

terbuka)

h. Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya

i. TIO meningkat

Apabila terjadi peningkatan tekanan intraokular, akan timbul

penggaungan dan degenerasi saraf optikus yang dapat disebabkan oleh

beberapa faktor (Tamsuri, 2010) :

a. Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan deganerasi berkas

serabut saraf pada papil saraf optik.


b. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf

optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola

mata. Bagian tepi papil saraf otak relatif lebih kuat dari pada bagian

tengah sehingga terjadi penggaungan pada papil saraf optik.

c. Sampai saat ini, patofisiologi sesungguhnya dari kelainan ini masih

belum jelas.

d. Kelainan lapang pandang pada glaukoma disebabkan oleh kerusakan

serabut saraf optik.

6. Penatalaksanaan Glaukoma

Penatalaksanaan glaukoma menurut Tamsuri (2010) meliputi :

a. Pengobatan bagi pasien glaukoma

Pengobatan dilakukan dengan prinsip untuk menurunkan TIO,

membuka sudut yang tertutup (pada glaukoma sudut tertutup),

melakukan tindakan suportif (mengurangi nyeri, mual, muntah, serta

mengurangi radang), mencegah adanya sudut tertutup ulang serta

mencegah gangguan pada mata yang baik (sebelahnya). Upaya

menurunkan TIO dilakukan dengan memberikan cairan hiperosmotik

seperti gliserin per oral atau dengan menggunakan manitol 20%

intravena. Humor aqueus di tekan dengan memberikan karbonik

anhidrase seperti acetazolamide (Acetazolam, Diamox), dorzolamide

(TruShop), methazolamide (Nepthazane). Penurunan humor aqueus

dapat juga dilakukan dengan memberikan agens penyekat beta adrenergic

seperti latanoprost (Xalatan), timolol (Timopic), atau levobunolol


(Begatan). Untuk melancarkan aliran humor aqueus, dilakukan konstriksi

pupil dengan miotikum seperti pilocarpine hydrochloride 2-4% setiap 3-6

jam. Miotikum ini menyebabkan pandangan kabur setelah 1-2 jam

penggunaan. Pemberian miotikum dilakukan apabila telah terdapat tanda-

tanda penurunan TIO.

Penanganan nyeri, mual, muntah dan peradangan dilakukan

dengan memberikan analgesik seperti pethidine (Demerol), antimuntah

atau kortikosteroid untuk reaksi radang. Jika tindakan pengobatan tidak

berhasil, dilakukan operasi untuk membuka saluran Schlemm sehingga

cairan yang banyak diproduksi dapat keluar dengan mudah. Tindakan

pembedahan dapat dilakukan seperti trabekulektomi dan laser

trabekuloplasti. Bila tindakan ini gagal, dapat dilakukan siklokrioterapi

(pemasangan selaput beku).

b. Penatalaksanaan keperawatan bagi pasien glaukoma

Penatalaksanaan keperawatan lebih menekankan pada pendidikan

kesehatan terhadap penderita dan keluarganya karena 90% dari penyakit

glaukoma merupakan penyakit kronis dengan hasil pengobatan yang

tidak permanen. Kegagalan dalam pengobatan untuk mengontrol

glaukoma dan adanya pengabaian untuk mempertahankan pengobatan

dapat menyebabkan kehilangan penglihatan progresif dan mengakibatkan

kebutaan. Klien yang mengalami glaukoma harus mendapatkan

gambaran tentang penyakit ini serta penatalaksanaannya, efek

pengobatan, dan tujuan akhir pengobatan itu. Pendidikan kesehatan yang


diberikan harus menekankan bahwa pengobatan bukan untuk

mengembalikan fungsi penglihatan, tetapi hanya mempertahankan fungsi

penglihatan yang masih ada. Dalam hal ini diperlukan adanya dukungan

keluarga bagi penderita glaukoma, keluarga dapat memberikan dorongan

(motivasi) dan bantuan fisik terhadap anggota keluarga yang sakit.

B. Konsep Edukasi

1. Definisi Edukasi Kesehatan

Edukasi atau pendidikan secara umum adalah segala upaya yang

direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau

masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku

pendidikan, yang tersirat dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran

pendidikan (individu, kelompok, dan masyarakat), pendidik adalah (pelaku

pendidikan), proses adalah (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi

orang lain), output adalah (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku)

(Notoatmodjo, 2012).

Edukasi kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan dalam

bidang kesehatan. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua

kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap, praktek

baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012).

Edukasi kesehatan adalah proses pemberdayaan individu dan

masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan


determinan-determinan kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat

kesehatan mereka (Subaris, 2016).

Edukasi kesehatan adalah proses perubahan perilaku hidup sehat

yang didasari atas kesadaran diri baik itu di dalam individu, kelompok

ataupun masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan (Sari,

2013).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa edukasi

kesehatan adalah kegiatan atau upaya untuk meningkatkan kesehatan dan

memperluas pengetahuan tentang kesehatan agar terhindar dari penyakit.

2. Tujuan Edukasi Kesehatan

Tujuan edukasi atau pendidikan kesehatan menurut Notoatmodjo (2012)

yaitu :

a. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat

dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat dan lingkungan

sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan

optimal.

b. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan

sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.

c. Mengubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang

kesehatan.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Edukasi Kesehatan

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikan kesehatan

dapat mencapai sasaran (Saragih, 2011) yaitu :

a. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap

informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima

informasi yang didapatnya.

b. Tingkat Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin mudah pula

dalam menerima informasi baru.

c. Adat Istiadat

Masyarakat kita masih sangat menghargai dan menganggap adat istiadat

sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan.

d. Kepercayaan Masyarakat

Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh

orang-orang yang sudah mereka kenal, karena sudah ada kepercayaan

masyarakat dengan penyampai informasi.

e. Ketersediaan waktu di masyarakat

Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat aktifitas

masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam

penyuluhan.
4. Metode Edukasi Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012), berdasarkan pendekatan sasaran yang

ingin dicapai, penggolongan metode pendidikan ada 3 (tiga) yaitu:

a. Metode berdasarkan pendekatan perorangan

Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan untuk membina

perilaku baru, atau membina seorang yang mulai tertarik pada suatu

perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakannya pendekatan

individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang

berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru

tersebut. Ada 2 bentuk pendekatannya yaitu : bimbingan dan penyuluhan

(Guidance and Counceling) dan wawancara

b. Metode berdasarkan pendekatan kelompok

Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara kelompok. Dalam

penyampaian promosi kesehatan dengan metode ini kita perlu

mempertimbangkan besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan

formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya kelompok, yaitu

kelompok besar dan kelompok kecil

c. Metode berdasarkan pendekatan massa

Metode pendekatan massa ini cocok untuk mengkomunikasikan

pesan- pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat. Sehingga

sasaran dari metode ini bersifat umum, dalam arti tidak membedakan

golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, tingkat

pendidikan, dan sebagainya, sehingga pesan-pesan kesehatan yang ingin


disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap

oleh massa.

5. Media Edukasi

Media sebagai alat bantu menyampaikan pesan-pesan kesehatan.

Alat-alat bantu tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut (Notoatmodjo,

2012) :

a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan

b. Mencapai sasaran yang lebih banyak

c. Membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam pemahaman

d. Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan –pesan yang

diterima oran lain

e. Mempermudah penyampaian bahan atau informasi kesehatan

f. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran/ masyarakat

g. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih

mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik

h. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh

Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan-pesan kesehatan,

media dibagi menjadi tiga kategori yaitu media cetak, media elektronik dan

media papan (billboard) (Notoatmodjo, 2012). Adapun keterangan dari

ketiga jenis media tersebut adalah sebagai berikut:


a. Media Cetak

1) Leaflet

Merupakan bentuk penyampaian informasi kesehatan melalui lembaran

yang dilipat.

2) Booklet

Booklet adalah suatu media untuk menyampaikan pesan-pesan

kesehatan dalam bentuk tulisan dan gambar. Booklet sebagai saluran,

alat bantu, sarana dan sumber daya pendukungnya untuk

menyampaikan pesan harus menyesuaikan dengan isi materi yang akan

disampaikan.

3) Flyer (selembaran)

4) Flip chart (lembar balik)

Media penyampaian pesan atau informasi kesehatan dalam bentuk buku

di mana tiap lembar berisi gambar peragaan dan lembaran baliknya

berisi kalimat sebagai pesan kesehatan yang berkaitan dengan gambar.

5) Rubrik (tulisan – tulisan surat kabar), poster, dan foto

b. Media Elektronik

1) Video dan film strip

Media audio visual adalah merupakan media perantara atau

penggunaan materi dan penyerapannya melalui pandangan dan

pendengaran sehingga membangun kondisi yang dapat memperoleh

pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Media pembelajaran interaktif

atau interactive video adalah suatu sistem penyampaian pengajaran


yang menyajikan materi video rekaman dengan pengendalian komputer

kepada penonton yang tidak hanya mendengar dan melihat video dan

suara, tetapi juga memberikan respon yang aktif, dan respon itu yang

menentukan kecepatan dan efesiensi penyajian (Arsyad, 2009).

Keunggulan penyuluhan dengan media ini adalah dapat

memberikan realita yang mungkin sulit direkam kembali oleh mata dan

pikiran sasaran, dapat memicu diskusi mengenai sikap dan perilaku,

efektif untuk sasaran yang jumlahnya relatif penting dapat diulang

kembali, mudah digunakan dan tidak memerlukan ruangan yang gelap.

Sementara kelemahan media ini yaitu memerlukan sambungan listrik,

peralatannya beresiko untuk rusak, perlu adanya kesesuaian antara kaset

dengan alat pemutar, membutuhkan ahli profesional agar gambar

mempunyai makna dalam sisi artistik maupun materi, serta

membutuhkan banyak biaya.

Tujuan pendidikan kesehatan melaui media video pada penderita

glaukoma mencakup tujuan kognitif dimana dapat mengembangkan

kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal hal yang

baru dan dapat menunjukan cara bersikap. Tujuan afektif dapat

mempengaruhi dalam bersikap dan emosi. Tujuan psikomotor dapat

memperlihatkan contoh dalam keterampilan yang menyangkut gerak

(Arsyad, 2009). Menurut Habibah, Ezdha, & Fitri (2019), pemberian

metode audiovisual efektif diberikan selama tiga sesi untuk merubah

self management.
2) Slide

Keunggulan media ini yaitu dapat memberikan berbagai realita

walaupun terbatas, cocok untuk sasaran yang jumlahnya relatif besar,

dan pembuatannya relatif murah, serta peralatannya cukup ringkas dan

mudah digunakan. Sedangkan kelemahannya memerlukan sambungan

listrik, peralatannya beresiko mudah rusak dan memerlukan ruangan

sedikit lebih gelap.

3) Televisi

Televisi menyampaikan pesan atau informasi kesehatan dalam bentuk

audio, dapat berupa sandiwara, sinetron, forum diskusi Tanya jawab

seputar masalah kesehatan, reality show, ceramah, TV spot, kuis cerdas

cermat dan sebagainya.

4) Radio

Radio merupakan perlengkapan elektronik yang dapat digunakan untuk

mendengarkan berita aktual, dapat mengetahui beberapa kejadian dan

peristiwa-peristiwa penting dan baru, masalah-masalah kehidupan dan

sebagainya. Radio dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang

cukup efektif.

5) Internet

Internet kependekan dari interconnection-networking adalah seluruh

jaringan computer yang saling terhubung menggunakan standard sistem

global Transmission Control Protocol/Internet Protocol Suite (TCP/IP)

sebagai protocol pertukaran paket (packet switching communication


protocol) untuk melayani milyaran pengguna di seluruh dunia.

Beberapa aplikasi yang dapat digunakan dengan internet adalah layanan

Website, Blog, Youtube, Social Media (WhatsApp, Facebook, Twitter,

Instagram dan lain sebagainya) yang dapat digunakan baik melalui

computer, tablet, maupun telepon seluler (Pusat Teknologi dan

Komunikasi, 2017).

c. Media Papan

Papan (Bill board) merupakan media yang dipasang di tempat umum

seperti dipinggir jalan atau pun gedung bertingkat dapat digunakan sebagai

media pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan pada bill board diisi

dengan pesan-pesan kesehatan yang menarik dan dapat pula dituliskan

pada lembaran seng kemudian ditempelkan pada kendaraan umum seperti

bus.

C. Konsep Self Care Management

1. Definisi Self Care Management

Self care management adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang

diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi

kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan

kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit (Alligood, 2014).

Terdapat lima komponen dalam self care management yaitu promosi

kesehatan, perawatan kesehatan, pencegahan penyakit, deteksi penyakit dan

penatalaksanaan penyakit (Thomas & Mohite, 2015).


Self care management melibatkan perilaku mencegah keparahan (self

care maintenance) dan melibatkan proses pengambilan keputusan dimana

pasien mampu mengevaluasi dan mengatasi gejala penyakit ketika terjadi

(self care management). Self care management meliputi evaluasi gejala,

penatalaksanaan gejala dan evaluasi perilaku penatalaksanaan. Self care

management yang efektif berarti bahwa individu memiliki rasa tanggung

jawab terhadap kesehatan mereka sendiri dan memiliki peran yang penting

terhadap perawatan kesehatan mereka sendiri (Bonnecwe, 2012).

Self care management adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

tanggung jawab klien dalam mengelola dirinya sendiri di rumah dengan

baik ketika tidak ada dokter dan perawat (Piferi& Lawler, 2014).

Dari definisi tersebut maka dapat dikaitkan dengan kegiatan self care

management pada pasien glaukoma merupakan segala sesuatu yang

berkaitan dengan tanggung jawab pasien dalam mengelola dirinya sendiri

dan mempertahankan perilaku yang efektif dalam menghadapi penyakit

glaukoma yang dialami.

2. Self Care Defisit Nursing Theory

Self care defisit nursing theory adalah sebuah teori keperawatan

yang dipelopori oleh Dorothea E. Orem. Konsep self care Dorothea E.

Orem mendasari peran perawat dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri

klien untuk mencapai kemandirian dan kesehatan yang optimal. Orem

mengembangkan tiga teori yang saling berhubungan yaitu teori self care,

teori self care deficit, dan teori nursing system. Tiga teori tersebut berfokus
pada peran manusia menyeimbangkan kehidupan, kesehatan dan

kesejahteraannya dengan merawat diri mereka sendiri (Alligood, 2014).

a. Teori self care

Untuk memahami teori self care sangat penting terlebih dahulu

memahami konsep self care (perawatan diri), self care agency

(kemampuan perawatan diri), basic conditioning factor (faktor yang

mempengaruhi perawatan diri) dan therapeutic self care-care demand

(terapi kebutuhan perawatan diri).

Self care adalah performance atau praktek kegiatan individu

untuk berinisiatif dan membentuk perilaku mereka dalam memelihara

kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Jika self care dibentuk dengan

efektif maka hal tersebut akan membantu individu dalam

mengembangkan potensi dirinya.

Self care agency adalah kemampuan manusia atau kekuatan untuk

melakukan self care. Kemampuan individu untuk melakukan self care di

pengaruhi oleh basic conditioning factors seperti: umur, jenis kelamin,

status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem

keluarga, pola kehidupan, lingkungan serta ketersediaan sumber.

Kebututuhan self care therapeutic (Therapeutic self care demand)

adalah tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk memenuhi syarat

perawatan diri.

Teori self care tidak terlepas dari syarat perawatan diri (self care

requisites), yaitu aspek yang menentukan tingkat pemenuhan


keperawatan diri. Orem mengidentifikasikan tiga katagori self care

requisites :

1) Universal meliputi: udara, air, makanan dan eliminasi, aktifitas dan

istirahat, solitude dan interaksi sosial, pencegahan kerusakan hidup,

kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia.

2) Developmental, lebih khusus dari universal di hubungan dengan

kondisi yang meningkatkan proses pengembangan siklus kehidupan

seperti: pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh dan kehilangan

rambut.

3) Perubahan kesehatan (Health Deviation) berhubungan dengan akibat

terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan integritas

individu untuk melakukan self care akibat suatu penyakit atau injury.

b. Teori self care deficit

Gagasan utama teori ini adalah kebutuhan individu dalam

perawatan diri dihubungkan dengan subyektifitas kedewasaan individu

terhadap keterbatasan terkait kesehatan atau perawatan kesehatan.

Keterbatasan yang dialami mengakibatkan individu tidak dapat secara

penuh atau sebagian melakukan perawatan diri. Individu juga mengalami

keterbatasan pada kemampuan terlibat secara terus menerus dalam

perawatan untuk mengendalikan atau mengelola faktor-faktor yang

berpengaruh pada perkembangan individu dan kemandirian individu.

Defisit perawatan diri (self care deficit) adalah istilah yang

mengungkapkan hubungan antara kemampuan tindakan individu dan


tuntutan perawatan mereka. Defisit perawatan diri adalah sebuah konsep

abstrak yang bila dinyatakan dalam hal keterbatasan tindakan,

memberikan panduan untuk pemilihan metode untuk membantu dan

memahami peran pasien dalam perawatan diri (Alligood, 2014).

c. Teori nursing system

Nursing system didasarkan pada kebutuhan self care dan

kemampuan pasien untuk melakukan self care. Jika ada self care deficit,

self care agency dan kebutuhan self care therapiutik maka keperawatan

akan diberikan. Nursing agency diberikan untuk melakukan, mengetahui

dan membantu orang lain atau klien untuk menemukan kebutuhan self

care therapiutik mereka, melalui pengembangan self care agency.

Teori ini menyebutkan bahwa keperawatan adalah tindakan

manusia, sistem tindakan keperawatan yang dibentuk oleh perawat

melalui peran perawat sebagai agen keperawatan (nursing agency) untuk

individu yang mengalami batasan terkait perawatan diri. Sistem

keperawatan diciptakan untuk individu, orang-orang yang mendirikan

unit keperawatan mandiri, untuk kelompok yang anggotanya memiliki

tuntutan perawatan diri terapeutik dengan komponen serupa atau yang

memiliki keterbatasan yang sama dalam keterlibatan perawatan mandiri,

dan untuk keluarga. Ilmu praktek keperawatan ini mencakup wholly

compensatory nursing science, partly compensatory nursing science, dan

supportive educative nursing system (Alligood, 2014).


Perawat memenuhi self care pasien sesuai dengan rencana yang

telah ditentukan kemudian dilanjutkan dengan evaluasi pencapaian.

Intervensi diberikan sesuai dengan area defisit dan kondisi

ketidakadekuatan yang dialami individu berdasarkan self care terapeutik

yang dibutuhkan atau therapeutic self care demand.

Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam

self care:

1) Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.

2) Memberikan petunjuk dan pengarahan.

3) Memberikan pendidikan kesehatan

4) Memberikan dukungan fisik dan psychologis.

5) Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung

pengembangan personal.

Gambar 2.1
Teori Self care Menurut Orem
Alligood (2014)
3. Dimensi Self Care

Riegel, Jaarsma,& Strömberg (2012) membagi self care ke dalam 3

(tiga) dimensi yaitu:

1) Self care Maintenance.

Aktivitas yang dinilai dalam self maintenance pasien dengan

glaukoma meliputi: terapi pengobatan sesuai indikasi, mengelola diit

nutrisi, memonitor perubahan yang terjadi pada tubuh, teratur dalam

pemeriksaan kesehatan.

2) Self care Management

Self care management meliputi upaya untuk mempertahankan

kesehatan atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam

dimensi ini meliputi: meningkatnya kepatuhan dalam pengaturan diit,

kemampuan mengenal dan mengevaluasi perubahan status nutrisi yang

terjadi, meningkatnya pengetahuan dengan dapat mengambil keputusan

untuk penanganan dan mengevaluasi respon tindakan serta mampu

mendapatkan akses informasi secara mandiri, mempunyai rasa percaya

diri pada kemampuan untuk menggunakan support services.

Self care management pada penderita glaukoma diharuskan

mampu mengenali eksaserbasi gejala glukoma yaitu nyeri pada mata dan

sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga), pandangan kabur, melihat halo

sekitar lampu, mual, muntah, berkeringat dan mata merah. Penderita

glaukoma harus mampu mengetahui dan mencegah komplikasi yang

ditimbulkan dari glaukoma itu yaitu kebutaan pada penderita glaukoma,


kegagalan dalam pengobatan untuk mengontrol glaukoma dan adanya

pengabaian untuk mempertahankan pengobatan dapat menyebabkan

kehilangan penglihatan progresif dan mengakibatkan kebutaan (Tamsuri,

2010).

Self care management keperawatan pada pasien glaukoma

merupakan perawatan berfokus pada penurunan TIO ke tingkat yang

cenderung tidak menyebabkan kerusakan saraf optik lebih lanjut.

Menurut Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L. , Cheever, K. H., & Bare (2010)

manajemen keperawatan pada pasien glaukoma yaitu:

a. Mengajarkan pasien tentang perawatan glaukoma

1) Pasien diberikan pengetahuan yang cukup sebab harus

menjalankan rejimen terapeutik seumur hidup.

2) Perawat harus menekankan pentingnya kepatuhan yang ketat

terhadap rejimen pengobatan.

3) Perawat yang menghadapi pasien dengan glaukoma sebagai

penyakit diagnosis sekunder harus menilai tingkat pengetahuan

dan kepatuhan mereka terhadap rejimen terapeutik

b. Melanjutkan perawatan glaukoma di rumah

1) Untuk pasien dengan glaukoma berat, berikan layanan yang

mungkin diperlukan untuk membantu pasien dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.

2) Hilangnya penglihatan paling merusak mobilitas. Pasien-pasien

ini perlu dirujuk ke layanan low vision dan rehabilitasi.


3) Kepastian dalam memilih dan menjalankan proses perawatan

serta adanya dukungan emosional merupakan aspek penting dari

sebuah perawatan.

4) Keluarga harus diintegrasikan ke dalam rencana perawatan dan

karena penyakit ini memiliki kecenderungan pada penyakit

keturunan maka anggota keluarga harus didorong untuk

menjalani pemeriksaan minimal dalam 2 tahun sekali untuk

mendeteksi glaukoma lebih awal.

Sedangkan menurut Baughman & Hackley (2002) menjelaskan

beberapa perawatan yang harus dilakukan pasien glaukoma, yaitu:

a. Pemeriksaan mata secara teratur

Penatalaksanaan pemeriksaan mata atau follow up pada

penderita glaukoma berdasarkan panduan follow up yang diadaptasi

dari American Academy of Ophthalmology Summary Benchmarks

(2016) yaitu:

Tabel 2.1
Panduan yang disarankan untuk follow up Status Glaukoma berdasarkan Evaluasi Saraf Optik
dan Penilaian Lapangan Visual*
Target IOP Kemajuan Durasi Kontrol (bulan) Perkiraan Interval
Tercapai Kerusakan Follow up (bulan)**
Ya Tidak ≤6 6
Ya Tidak >6 12
Ya Ya NA 1-2
Tidak Ya NA 1-2
Tidak Tidak NA 3-6
IOP = intraocular pressure; NA = not applicable (tak dapat diterapkan)

*Evaluasi terdiri dari pemeriksaan klinis pasien, termasuk saraf optik

kepala Penilaian (dengan stereophotography warna periodik atau


komputerisasi pencitraan saraf optik dan struktur lapisan serat saraf

retina) dan penilaian lapangan visual.

** Pasien dengan kerusakan lebih lanjut atau risiko seumur hidup

yang lebih besar dari POAG mungkin memerlukan lebih banyak

evaluasi. Interval ini adalah waktu maksimum yang direkomendasikan

untuk evaluasi.

b. Penggunaan obat tetes mata

Menggunakan obat tetes mata atau obat lain yang diresepkan

dapat membantu pasien glaukoma dalam mendapatkan hasil terbaik

dari perawatan glaukoma. Penderita glaukoma dipastikan untuk

menggunakan obat tetes mata sama seperti yang ditentukan.

Kepatuhan pasien dalam menggunakan obat tetes mata sangat

diperlukan. Jika tidak, kerusakan saraf optik dapat menjadi lebih

buruk lagi. Pasien harus mematuhi dosis, frekuensi, waktu pemberian

dan jenis obat yang dianjurkan. Penggunaan obat sebagai bagian dari

rutinitas harian yang harus dilaksanakan sehingga tidak akan ada dosis

yang terlewatkan. Penggunaan obat-obat harus tetap diteruskan

bahkan ketika IOP telah terkontrol. Sebelum prosedur pemberian obat

tetes mata, pemberi obat harus melakukan cuci tangan terlebih dahulu.

Meneteskan obat mata harus sesuai yang diinstruksikan. Apabila mata

yang mengalami gangguan hanya salah satu maka ikuti instruksi untuk

mengelola obat tetes mata pada mata yang terkena saja.


c. Perawatan mata

Perawatan mata meliputi menjaga mata agar tetap bersih dan

bebas dari iritan; menghindari menggosok mata; menggunakan

kosmetik nonalergi; serta mengenakan kacamata selama ketika

berenang dan kacamata pelindung ketika melakukan olahraga atau

bekerja di halaman atau area yang kemungkinan membahayakan.

d. Pemeliharaan kesehatan fisik

Pasien glaukoma harus mempertahankan kesehatan fisik yang

baik dengan menghindari masukan cairan yang berlebihan,

mempertahankan tingkat berat badan yang sesuai, melakukan olahraga

namun bukan olahraga berat, dan meluangkan waktu untuk bersenang-

senang dan relaksasi serta menghindari emosi yang berlebihan. Pasien

glaukoma juga disarankan mengkonsumsi makanan yang sehat.

Beberapa vitamin dan nutrisi penting untuk kesehatan mata, termasuk

yang ditemukan di sayuran hijau dan asam omega-3 yang tinggi.

Pasien glaukoma juga diharuskan membatasi kafein sebab minuman

dengan sejumlah besar kafein dapat meningkatkan tekanan bola mata

pada penderita glaukoma.

e. Melaporkan tanda dan gejala

Pasien harus segera melaporkan perubahan yang tidak biasa

pada dokter jika terjadi hal-hal seperti iritasi berlebihan, mata berair,

penglihatan ganda, pandangan kabur, rabas mata, pelangi sekitar


cahaya ketika malam hari, kilatan cahaya, dan benda melayang dalam

bidang pandang.

3) Self care Confidence

Dimensi self care confidence ini menentukan bagaimana

kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self

care, yang meliputi: kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala

penyakit, kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan, kepercayaan

diri mengenal secara dini perubahan kesehatan yang dialami,

kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit,

kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah

dilakukan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Care Management

Teori self care dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (Paul, 2009):

a. Individu

Faktor individu merupakan kemampuan dan keterampilan, latar belakang

dan demografi. Untuk pendekatan individu melalui peningkatan

pengetahuan dan keterampilan caring.

b. Psikologi

Faktor psikologi adalah persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan

motivasi.

c. Organisasi

Faktor organisasi merupakan kepemimpinan, sumber daya, imbalan dan

desain pekerjaan untuk pendekatan organisasi dapat dilakukan melalui


perencanaan pengembangan, imbalan yang terkait dengan kepuasan

kerja, iklim kerja yang kondusif dan perencanaan jenjang karir.


D. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan rangkaian teori yang mendasari topik

penelitian. Rumusan kerangka teori paling mudah mengikuti kaedah input,

proses dan output (Saryono, 2010). Kerangka teori dalam penelitian ini dapat

dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut:

Self care

Self care agency Self care demands

Nursing agency

Self care therapeutik


1. Universal
2. Develomental
3.Health Deviation

Dimensi Self care Edukasi Media video


1. Self care
Maintenance.
Self care defisit penatalaksanaan
2. Self care glaukoma
Management
a. Pengobatan bagi pasien
3. Self care glaukoma
Confidence b. Penatalaksanaan keperawatan
bagi pasien glaukoma
a.
Meningkatkan self Faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan
care management a. Tingkat Pendidikan
pada glaukoma b. Tingkat Sosial Ekonomi
c. Adat Istiadat
d. Kepercayaan Masyarakat
e. Ketersediaan waktu di masyarakat

Gambar 2.2
Kerangka Teori Pengaruh Edukasi Melalui Video Terhadap Self Care Management Pada Pasien
Glaukoma di Klinik Mata RSD Mangusada Kabupaten Badung
(PERKENI, 2011, Tamsuri, 2010).

Anda mungkin juga menyukai