Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker serviks uteri merupakan kanker pada perempuan yang menduduki urutan teratas
di Indonesia, sedangkan di negara maju kejadian kanker serviks mengalami penurunan. 1
Perjalanan penyakit kanker serviks sudah diketahui dengan baik. Infeksi HPV (Human
Papillomavirus) risiko tinggi merupakan awal dari patogenesis kanker serviks, penularannya
melalui hubungan seksual dan sudah ditemukan pencegahannya yaitu vaksinasi HPV.1
Insiden kanker serviks tinggi di Indonesia yaitu sebesar 0,9%, sedangkan di Bali 0,8%. 2
Kanker yang ditemukan lebih dini dan diobati dengan cepat dan tepat akan memiliki
kemungkinan sembuh yang lebih besar.3
Lebih dari 70% kasus kanker serviks terdiagnosis saat sudah stadium lanjut (di atas 2B),
sehingga lebih sulit diobati. Survival rate kanker serviks dalam 5 (lima) tahun sebesar 15%
dan kematian seorang wanita di Indonesia tercatat setiap satu jam disebabkan oleh kanker
serviks.3 Upaya pencegahan kanker serviks di Indonesia masih rendah dan pap smear yang
dilakukan sebagai upaya skrining baru mencakup 5%.4 Pencegahan sekunder dengan
pemeriksaan pap smear mempunyai beberapa kelemahan yaitu: tidak mencegah terjadinya
NIS (CIN), terapi lesi prakanker yang baru terdeteksi pada saat pap smear seringkali
menimbulkan morbiditas terhadap fungsi fertilitas pasien dan pencegahan sekunder akan
mengalami hambatan pada sumber daya manusia dan alat yang kurang.3
Secara khusus, permasalahan pap smear adalah: menyangkut akurasi, teknik pengambilan
dan pemeriksaan pap smear, sumber daya manusia, geografi dan sikap wanita yang
selayaknya menjalani skrining. Skrining penting dilakukan karena dapat membantu
mendeteksi perkembangan kanker serviks tetapi tidak dapat mencegah terjadinya infeksi
HPV.5
Selain itu, pemeriksaan rutin sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia
karena sulitnya akses ke pusat pelayanan yang memiliki laboratorium dan tenaga kesehatan
yang memadai serta biaya tes pap smear yang relatif mahal serta perlunya kunjungan yang
berkali-kali ke pusat kesehatan. Kesulitan tersebut menjadikan banyak perempuan di
Indonesia menjadi malas untuk melakukan skrining.5
Dengan adanya beberapa keterbatasan dan masalah dalam pemeriksaan pap smear, maka
upaya untuk mencegah infeksi virus HPV melalui vaksinasi (pencegahan primer) harus
ditingkatkan di Indonesia.4
.

BAB II
PEMBAHASAN

Etiologi dan Perjalanan Penyakit


Infeksi HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks. Pendapat ini
ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for
Research on Cancer (IARC) terhadap 1000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya
infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10
000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52,
58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2500 kasus karsinoma serviks dan 2500
perempuan yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada
penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR.6
Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel
skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis
adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS II/III mendapatkan
infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah
menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun.7 HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker
serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang
berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus
dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi
DNA virus dimulai pada daerah E1-E2.
Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan
rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb.Hambatan kedua TSG
menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak
terjadi.8 E6 akan mengikat p53 sehingga Tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan
fungsinya, yaitu untuk menghentikan siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein E7
akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan faktor
transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.8
Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh P53 bertujuan memberi kesempatan kepada
sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan
masuk ke fase S. p53 menghentikan siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin
yang berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel
pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S
tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa
kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel
yang dimulai dari kehancuran gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh
untuk mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses
apoptosis tidak berjalan. Saegusa et al9 yang meneliti peranan Bcl-2 mendapatkan
peningkatan aktivitas imunologi Bcl-2 pada NIS III dibandingkan dengan NIS I-II dan
karsinoma invasif. Penelitian lain tentang Bcl-2 juga mendapatkan penurunan aktivitas Bcl-2
pada karsinoma serviks. Keadaan ini menunjukan bahwa Penurunan aktivitas apoptosis pada
karsinoma serviks disebabkan peningkatan aktivitas dari antiapoptosis.10
Peningkatan Bcl-2 bukan berarti terjadi penurunan aktivitas apoptosis, karena
mekanisme apoptosis dikontrol oleh banyak gen. Tetapi indeks apoptosis pada karsinoma sel
skuamosa, pada penelitian nampaknya justru menurun, dan ini dibuktikan oleh beberapa
penelitian. Pada penelitian juga dijumpai adanya penurunan beberapa keluarga Bcl-2,antara
lain Bak, caspase 3 dan caspase 6.Protein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui
mekanisme yang berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase Go dan G1 tumor
suppressor gene pRb berikatan dengan E2F ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif
E2F merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc,
dan N-myc.10
Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan E2F bebas
terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga akan terjadi proses
transkripsi atau proses siklus sel. Kekuatan ikatan protein E7 dengan pRb berbeda-beda pada
beberapa tipe virus HPV, misalnya: ikatan E7 HPV 6 dan 11 kurang kuat dibandingkan
dengan HPV 16 ataupun 18.10 Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan karsinoma
serviks di beberapa rumah sakit di Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV tipe
16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar 39% dan tipe 52 sebesar 14%. Sisanya sebesar 14%
terdeteksi infeksi HPV multipel.1
Pada penelitian identifikasi tipe HPV pada adenokarsinoma, didapatkan bahwa
prevalensi HPV pada Adenokarsinoma jenis musinosum, intestinal, endometrioid adalah 91%
dan jenis adenoskuamosa 100%. Sedangkan pada subtipe nonmusinous, clear cell, serous dan
mesonefrik tidak dijumpai infeksi HPV. Kejadian HPV tipe 16, 18, 45, 52, dan 35 adalah
berturut-turut 50%, 40%, 10%, 2% dan 1%. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sejumlah
70% kanker serviks, sedangkan tipe 16, 18, 33, 45, 31, 58, 52, dan 35 ditemukan pada
sejumlah 90% kanker serviks. Tiga belas tipe HPV (16, 18, 31, 58, 33, 52, 35, 51, 56, 45, 39,
66, 6), pada metaanalisis, dijumpai pada HSIL. Pada LSIL ditemukan HPV tipe 16 (26%), 31
(12%), 51 (11%), 53 (10%). 56 (10%), 52 (9%), 18 (9%), 66 (9%), 58 (8%), dan tipe lainnya
5%. 8

Infeksi laten HPV


Infeksi laten HPV adalah infeksi yang diketahui dengan terdapatnya DNA HPV tanpa
ditemukan kelainan baik makroskopik ataupun mikroskopik, secara sitologi maupun
histologi. Infeksi laten berbeda dengan infeksi subklinikinfeksi yang tidak diketahui dengan
pemeriksaan klinik, tetapi dibuktikan dengan sitologi ataupun histologik. DNA HPV
memegang peranan penting timbulnya rekurensi pascaterapi lesi prakanker. Terapi destruksi
baik dengan krioterapi maupun kauterisasi elektrik atau laser mampu memperbaiki kelainan
sel yang terjadi, tetapi seringkali tetap meninggalkan DNA HPV. Keberadaan DNA HPV
atau HPV persisten menyebabkan timbulnya rekurensi pascaterapi. 9

Pencegahan
Infeksi HPV risiko tinggi merupakan penyebab terjadinya kanker serviks, sehingga tindakan
skrining mengalami pergeseran yang semula ditujukan untuk pencegahan sekunder bergeser
untuk tujuan pencegahan primer. Mencegah terjadinya infeksi HPV risiko tinggi merupakan
pencegahan primer dan dianggap lebih penting, karena pencegahan sekunder mempunyai
beberapa kelemahan,antara lain :
1. Pencegahan sekunder tidak mencegah terjadinya NIS (CIN),
2. Terapi lesi prakanker yang baru terdeteksi pada pencegahan sekunder seringkali
menimbulkan morbiditas terhadap fungsi fertilitas pasien, dan
3. Pencegahan sekunder akan mengalami hambatan pada sumber daya manusia dan alat yang
kurang. Pencegahan primer hanya mungkin dilakukan dengan deteksi terjadinya infeksi HPV
risiko tinggi terlebih dahulu.1 Identifikasi terjadinya infeksi HPV risiko tinggi dapat
dilakukan dengan Hybrid Capture (HC) atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Selain itu, berbagai macam cara mendeteksi HPV, antara lain dengan Vira Pap, Vira
Type,dan HPV Profile 4

Tabel 1. Pedoman Vaksinasi HPV (Dimodifikasi dari Pedoman Vaksinasi HPV yang
Disusun HOGI)1
Perjalanan penyakit Sel epitel serviks normal, terinfeksi HPV risiko tinggi,
kanker serviks invasif berdegenerasi menjadi lesi prakanker kemudian berdegenerasi
menjadi kanker serviks invasif
Vaksin Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP
(virus like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral
capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat.
Pencegahan Vaksinasi HPV merupakan pencegahan primer kanker serviks
uterus (vaksinasi profilaksis HPV 16,18). Pap smear
merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Pencegahan yang
terbaik adalah dengan melakukan vaksinasi dan pap smear
untuk menjangkau infeksi HPV risiko tinggi lainnya), karena
jangkauan perlindungan vaksinasi tidak mencapai 100% (89%).
Jenis vaksin Bivalen (16, 18) dan quadrivalen (16, 18, 6, 11). HPV 16 dan
HPV 18 merupakan HPV risiko tinggi (karsinogen),sedangkan
HPV 6 dan 11 merupakan HPV risiko rendah (non-karsinogen).
Tujuan vaksinasi Mencegah infeksi HPV 16, 18 (karsinogen kanker serviks),
Vaksinasi tidak bertujuan untuk terapi. Lama proteksi vaksin
bivalen 53 bulan, dan vaksin quadrivalen berkisar 36 bulan.
Indikasi Perempuan yang belum terinfeksi HPV 16 dan HPV 18. Usia
pemberian vaksin (disarankan usia >12 tahun).
Belum cukup data efektivitas pemberian vaksin HPV pada laki-
laki.
Efektivitas Pada penelitian fase II proteksi NIS 2/3 karena HPV 16 dan 18
pada yang divaksinasi mencapai 100% (Protokol 007), dan
proteksi 100% dijumpai sampai 2-4 tahun pengamatan (follow
up).
Proteksi silang Vaksin bivalen (HPV tipe 16 dan 18) mempunyai proteksi
silang terhadap HPV tipe 45 (dengan efektivitas 94%) (cross
protection) dan HPV tipe 31 (dengan efektivitas 55%).
Populasi target Berdasarkan pustaka vaksin diberikan pada perempuan usia
antara 9-26 tahun (rekomendasi FDA-US). Populasi target
tergantung usia awal hubungan seksual (di negara Uni Eropa
usia 15 tahun, Italia usia 20 tahun, di Czech 29 tahun, Portugal
usia 18 tahun hanya 25% dan di Iceland 72%).
Deteksi HPV Pemeriksaan pap smear dapat mendiagnosis infeksi HPV
secara umum, tidak dapat mendiagnosis infeksi HPV risiko
tinggi. Diagnosis infeksi HPV risiko tinggi dapat diketahui
dengan pemeriksaan hybrid capture (HC) atau polymerase
chain reaction (PCR). Pemberian vaksin sebaiknya dilakukan
pada perempuan yang belum/tidak terinfeksi HPV.
Pemeriksaan skrining infeksi HPV sebaiknya dilakukan untuk
mendapatkan efektivitas vaksinasi HPV.Pemberian vaksin pada
perempuan yang telah terinfeksi HPV ataupun NIS tidak
merugikan penderita tetapi mempunyai efektivitas penangkalan
infeksi HPV yang lebih rendah. Vaksinasi HPV dapat diberikan
pada penderita gangguan sistem imun, tetapi efektivitasnya
lebih rendah.
Kontraindikasi Vaksinasi pada ibu hamil tidak dianjurkan, sebaiknya vaksinasi
diberikan setelah persalinan. Sedangkan pada ibu menyusui
vaksinasi belum direkomendasikan. Hipersensitivitas.
Cara pemberian Vaksin diberikan secara suntikan intramuskular. Diberikan
pada bulan 0, 1, 6 (dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu
1 tahun)
Efek samping Nyeri pelvis, nyeri lambing, nyeri sendi, nyeri otot, mual,
muntah, diare, dan febris.
Yang memberikan vaksin Seluruh petugas kesehatan meliputi para medis, dokter umum,
dokter spesialis yang mendapat pelatihan pemberian vaksin
HPV.

Vaksinasi HPV
Vaksin HPV yang saat ini telah dibuat dan dikembangkan merupakan vaksin kapsid
L1 (merupakan imunogenik mayor) HPV tipe 16 dan 18. Vaksinasi HPV merupakan upaya
pencegahan primer yang diharapkan akan menurunkan terjadinya infeksi HPV risiko tinggi,
menurunkan kejadian karsinogenesis kanker serviks dan pada akhirnya menurunkan kejadian
kanker serviks uterus. Infeksi HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 70-80% penderita kanker
serviks, sehingga sejumlah itu pula yang diharapkan dapat menikmati proteksi terhadap
kanker serviks uteri.
Pemberian vaksin dilaporkan memberi proteksi sebesar 89%, karena vaksin tersebut
dilaporkan mempunyai cross protection dengan tipe lain. Vaksin yang mengandung vaksin
HPV 16 dan 18 disebut sebagai vaksin bivalent, sedangkan vaksin HPV tipe 16, 18, 6 dan 11
disebut sebagai vaksin quadrivalent. HPV tipe 6 dan 11 (HPV risiko rendah) bukan
karsinogen sehingga bukan penyebab kanker serviks uterus. Vaksin HPV risiko tinggi tipe
lainnya belum dikembangkan.1 Pemberian vaksin pada laki-laki dilaporkan tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Vaksin yang saat ini akan diaplikasikan adalahvaksin profilaksis
bukan vaksin terapeutik. Vaksinasi pada perem-puan yang telah terinfeksi HPV tipe 16 dan
18 kurang bahkan mungkin tidak memberi manfaat proteksi, tetapi pemberiannya dilaporkan
tidak menimbulkan efek yang merugikan.5

Efektivitas Vaksin HPV


Vaksinasi HPV 16-18 bertujuan mencegah infeksi HPV 16 dan 18. Penelitian
efektivitas vaksin HPV (penelitian fase 3/FUTURE 1) dilakukan pada 2261 sampel yang
diberi vaksin HPV dan sejumlah 2279 diberi placebo. Pada kelompok yang diberikan vaksin
tidak dijumpai sampel yang menderita infeksi HPV ataupun NIS, sedangkan pada kelompok
yang diberikan placebo ditemukan lesi prakanker dan infeksi HPV sebanyak 40 dari 2279
sampel penelitian.7

Kesimpulan
HPV risiko tinggi merupakan karsinogen kanker serviks uteros. Vaksin HPV adalah vaksin
HPV kapsid L1 tipe 16 dan 18, dan pemberian vaksin bertujuan mencegah infeksi HPV tipe
16 dan 18 (vaksinasi profilaksis). Vaksinasi HPV memberi perlindungan terhadap infeksi
HPV sebesar 89%.
Daftar Pustaka

1. Suwiyoga. Vaksin Papillomavirus Sebagai Upaya Pencegahan kanker Serviks.


Denpasar: Bagian/ SMF Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar; 2009.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Dinkes Bali Gerakan Bersama Melawan Kanker
Serviks melalui Penguatan Kapasitas Petugas Puskesmas di Provinsi Bali. Available
online at http://www.diskes.baliprov.go.id/berita/2014/[Tanggal akses 15 November
2014]; 2014.
3. Diananda. R. Panduan Lengkap Mengenai Kanker. Yogyakarta: Mirza Media
Pustaka; 2009.
4. Suwiyoga. Beberapa Masalah PAP SMEAR Sebagai Alat Diagnosis Dini Karakter
Serviks di Indonesia. Denpasar: Bagian/SMF Obstetri-Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar; 2010.
5. Pradipta, B. & Sungkar, S. Penggunaan Vaksin Human Papilloma Virus dalam
Pencegahan Kanker Serviks. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 57. No. 11: 391 –
396; 2007
6. Munoz N, Castellsague X, de Gonzalez AB, Gissmann L. HPV in the etiology of
human cancer. Vaccine 2008;24:1-10.
7. Parkin DM, Bray F. The burden of HPV-related cancers. Vaccine 2006;24:11-25.
8. Shin B, Dubeau L. Cell cycle abnormalities in squamous cell carcinoma of the cervix.
CME Journal of Gynecologic Oncology 2007;6:167:72.
9. Kaufman RH, Adam E, Vonka V. Human Papillomavirus infection and cervical
carcinoma. Clin Obstet and Gynecol 2008;43:363-80.
10. Cheung TH, Chung TKH, Lo KWK, et al. Apoptosis-Related Proteins in Cervical
Intraepithelial Neoplasia and Squamous Cell carcinoma of the Cervix. Gynecol Oncol
2009;86:14-8.
Health Education

VAKSINASI HUMAN PAPILLOMA VIRUS (HPV)

Oleh :

Zikrullah Anggreani

13014101065

Pembimbing

dr. Eko

Bagian Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Manado

2 0 14

Anda mungkin juga menyukai